Tidak cepat berputus
asa. Itulah kunci keberhasilan dalam berbagai hal. Termasuk mencari kesembuhan
akibat gangguan jin. Ruqyah bukan permainan sulap. ‘Sim Salabim’ langsung
sembuh. Ada dinamika tersendiri yang harus dipahami. Terkadang gangguan syetan
semakin meningkat setelah menempuh jalur ruqyah syar’iyyah. Seperti kisah Alan
(nama samaran, usia 26 tahun) yang sempat mundur dari jalur ruqyah syar’iyyah.
Alan menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib di
Jakarta. Berikut kisahnya.
Selepas SMA, saya melanjutkan kuliah di sebuah perguruan tinggi di
yogya. Di sanalah, saya mulai akrab dengan kegiatan lintas alam. Seperti yang
terjadi sewaktu semester dua. Kakak kelas mengadakan kegiatan hiking untuk
menjalin keakraban antara mahasiswa baru dan mahasiswa senior. Saya tertarik
dan ikut bergabung.
Lintas alam dilaksanakan di lembah Wonolelo, yogya. Lembah yang
masih satu wilayah dengan taman wisata Kali Urang. Lembah Wonolelo berada tidak
jauh dari perkampungan penduduk. Tempatnya sepi. Dari kampung melewati jurang,
menyusuri jalan setapak. Nun jauh di bawah terdapat tempat lapang. Rombongan
meninggalkan tanah lapang. Kembali menyusuri jalan setapak di antara ladang
persawahan. Sekitar dua kilo meter kemudian, rombongan sampai di sebuah air
terjun. Waktu itu matahari tepat di atas kepala.
Teman-teman segera berhamburan. Mereka berpadu dengan alam. Mandi
dan bersenda gurau dengan percikan-percikan air. Saat itu, ada perasaan aneh
menyelusuri jiwa. Ada keinginan untuk bermeditasi di bawah guyuran air terjun.
Terbayang, tokoh-tokoh sakti yang bersemedi di bawah derasnya air terjun
Saya tidak bisa menolak. Keinginan itu kuat sekali. Di bawah
guyuran air terjun saya menenangkan diri. Mengatur pernapasan dan gerakan
sedemikian rupa agar tidak menarik perhatian teman-teman. Perlahan, saya
membayangkan aliran energy yang masuk. Aliran angin berputar masuk ke kepala,
terus mengalir dan berputar di tubuh. Rasanya nyaman. Lelah dan letih setelah
satu jam berjalan kaki hilang begitu saja. Berganti dengan hawa segar yang
menyejukkan. Sejak saat itu saya mulai senang berada di pertemuan antara dua
sungai, delta, air terjun, lembah atau di bawah pohon yang rindang.
Setahun kemudian, saya kembali ke lembah Wonolelo. Dengan suasana
yang berbeda. Saya menjadi pemandu bagi mahasiswa-mahasiswa baru. Di sana, di
lembah Wonolelo, saya kembali melakukan meditasi seperti dulu. Saya tidak kuasa
untuk menahan diri dari keinginan itu. Meski saya tahu bila warga telah
memperingatkan kami agar tidak berada di bawah air terjun tepat ketika matahari
di atas kepala. “Jangan ke air terjun pada tengah hari. Saat matahari tegak
lurus, karena air terjun itu tempat berkumpulnya makhluk halus,’ ujar salah
seorang warga. Himbauan warga itu tidak kami hiraukan.
Malam harinya, ketika teman-teman sedang berkumpul di tenda, saya
keluar diam-diam. Saya mencari tempat yang sunyi untuk menyepi. Tidak jauh dari
air terjun, saya menemukan sebuah pohon yang besar. Di sanalah saya kemudian
bermeditasi. Saya ingin menghangatkan tubuh dan meningkatkan energy ‘CI’
(tenaga dalam).
Malam semakin larut. Suara binatang malam kian jelas terdengar.
Meneriakkan nyanyian menakutkan. Setelah badan terasa hangat, saya kembali ke
tenda. Teman-teman sudah terkapar. Hanya satu dua orang yang duduk
berselimutkan sarung. Nampaknya, mereka mendapat giliran jaga.
Sepulang dari Lembah Wonolelo, mulai terasa ada yang berbeda. Saya
tidak lagi aktif sepefti dulu. Sibuk di senat mahasiswa maupun dakwah kampus.
Semuanya berubah Sembilan puluh derajat. Di kelas ngantuk dan tidak bisa
menangkap penjelasan dosen dengan baik. Alhasil nilai akademis saya jeblok.
Dari lP 3,8 di semester pertama menjadi 1,7 di semester empat. Di semester
pertama hanya satu mata kuliah yang mendapat nilai B, sisanya A. Namun hal itu
tidak lagi terulang di semester empat. Semuanya berubah.
Aktifitas dakwah kampus saya juga mengalami kebuntuan. Saya tidak
lagi semangat seperti dulu. Kepala terasa berat, membaca Al-Qur’an juga terasa
berat. Yang lebih menyakitkan lagi, perasaan malas muncul begitu mendengar
suara adzan. Padahal sedari kecil, saya terbiasa shalat berjamaah. Saya
beruntung, dalam kondisi jiwa yang labil, saya bergabung dengan teman-teman
yang komitmen dalam memegang prinsip agama. Mau tidak mau saya dipacu untuk
terus beribadah.
Syetan tidak pernah membiarkan musuhnya senang. Mereka semakin
meningkatkan gangguannya. Kondisi saya pun kian memprihatinkan. Puncaknya
terjadi ketika saya duduk di semester enam. Sebuah pertarungan batin yang kuat.
Pada satu sisi saya mengaji dan tahajud, tapi pada sisi lain saya tetap
mempraktikkan ilmu pernapasan dan belajar tenaga dalam. Puncaknya, saya sampai
sakit keras. Saya kram dan kejang sekujur tubuh.
Waktu itu, saya puasa sunnah hari Senin. Sehari sebelumnya saya
mengahadiri pernikahan tante di Kebumen, Jawa Tengah. Dari Kebumen, saya balik
ke Jakarta bersama adik naik bis. Tas saya taruh di bagasi belakang. Hujan
deras mennguyur jalanan, memercikkan udara dingin ke dalam bis. Menambah
dinginnya bus AC itu. Sementara perut, sudah keroncongan. Perjalanan yang
melelahkan memang.
Adzan Maghrib bergema. Waktu berbuka telah tiba. Tapi. Ah, … tas
ransel yang berisi bekal berbuka itu terlanjur ditaruh di belakang. Rasa malas
membuat saya enggan untuk mengambilnya. Saya diam terpaku. Berpikir sejenak.
Akhirnya saya mendapatkan ide. Mengapa tidak menghangatkan badan dengan olah
pernapasan?
Saya menarik nafas. Menahannya di dada lalu mengalirkannya ke
perut. Saya berusaha merasakan aliran energi ke seluruh tubuh. Baru sekian
menit, jaringan syaraf di sekitar hidung mulai menebal. Makin lama makin kaku.
Terus menjalar ke kepala, pundak dan mengalir ke sekujur tubuh. Badan saya
kaku. Kram. Mulut terkunci dan tidak bisa berteriak.
Penumpang di kiri kanan saya terusik. Mereka melihat perubahan yang
tidak wajar. Ribut. Mereka berteriak. Ada yang mengambil minyak angin dan
menggosokkannya di sekitar hidung. Ada yang mulai memijat-mijat lengan dan
kaki. Badan saya tetap kaku. Pijatan itu justru menambah rasa sakit dan nyeri.
Saya menghentikan olah pernapasan. Saya kembali bernapas seperti
biasa sambil terus melantunkan syahadat dan doa dalam hati. Beberapa saat
kemudian, badan saya mulai lemas. Napas saya kembali teratur. Dan semuanya
berjalan seperti biasa. Tuntutan perut pun segera saya penuhi. Alhamdulillah
perjalanan ke Jakarta itu berjalan lancer. Hanya saja kram itu sering muncul
dalam keseharian saya.
Berada di antara Tiga Karakter yang Berbeda
Setelah sering sakit-sakitan, saya bertanya kepada teman-teman.
Barangkali ada yang tahu obatnya. “Fan, akhir-akhir ini saya sering kram. Kamu
tahu obatnya nggak?” Saya bertanya kepada Fandi, teman kampus yang aktif di
sebuah perguruan tenaga dalam.
Fandi kemudian masuk ke dalam rumah dan mengambil segelas air.
“Minum nih, semoga sembuh,” ujarnya sambil menyodorkan segelas minuman. Air itu
mengaliri tenggorokan saya. Dingin rasanya. Saya merasakan badan saya agak
membaik setelah minum air putih. Dari sini, saya tertarik dengan perguruan
Fandi. Saya bertanya macam-macam. Dan diajari ilmu pernapasan gaya
perguruannya. Tarik nafas lalu ditahan sambil membaca doa. Nafas kemudian
dialirkan ke seluruh tubuh. Katanya, kalau dapat mengalirkan udara ke titik di
antara kedua mata, dia akan sakti. Orang itu akan mampu melihat jin. Tak ayal
saya pun mempraktekkan aliran pernapasan ini.
Memang badan terasa lebih segar. Tapi lama kelamaan, saya makin
alergi mendengar suara adzan. Telinga rasanya mau pecah. Dada berdebar-debar.
Membaca al-Qur’an semakin menyiksa. Pengajian mingguan yang biasa saya ikuti
sekarang makin jarang. Hawanya itu malas dan malas. Kalau dipaksakan untuk
berangkat pun bukan lagi mengharap ridha Allah. Saya hanya malu kepada
teman-teman.
Selain itu, mulai muncul karakter ganda dalam diri saya. Kadang
saya bersikap seperti seorang kakek yang berwibawa. Di lain waktu berubah
seperti kekanak-kanakan. Di kesempatan lain, perasaan berubah feminin. Di saat
sedang mengisi kajian keislaman, saya berubah menjadi orang yang bijak. Saya
dapat menerangkan sesuatu yang belum pernah saya baca. Al-Qur’an itu seperti
tergambar dengan jelas. Dan saya menyampaikannya dengan yakin. Saya tidak
pernah tahu itu surat apa dan ayat berapa. Tapi saya yakin apa yang saya
sampaikan ada di dalam al-Qur’an.
Dalam suasana santai, perilaku saya seperti anak tiga belasan tahun.
Tapi di lain waktu saya bersikap feminine. Saya merasakan gerakan saya lemah
gemulai. Saya mulai tertekan dengan karakter ini hingga saya sempat konsultasi
dengan seorang psikolog.
Dari hari ke hari, perkembangan jiwa saya tidak kunjung membaik.
Akhirnya teman-teman menyarankan saya mengikuti ruqyah. “Sudah deh, kamu
diruqyah saja,” ujar Adi. Saran Adi itu membawa pengaruh yang tidak terduga.
Perut saya langsung mual. Kepala pusing disertai desiran udara yang tidak
mengenakkan. “Yalah, saya pikir-pikir dulu,” jawab saya acuh tak acuh.
Kalau mau berangkat ngaji, badan saya tidak enak. Saya menghubungi
ustad, “Maaf ustadz, saya tidak bisa datang lagi. Kurang enak badan.” Kata saya
mencari alasan. Anehnya, tidak lama setelah menghubungi ustadz, badan saya terasa
segar kembali. Saya bahkan ikut nongkrong bersama teman-teman.
Pernah saya tetap memaksakan diri untuk datang ke tempat pengajian.
Dalam perjalanan itu sakit kepala semakin meningkat. Kadang saya nyaris
terjatuh karena tidak kuat menahan rasa nyeri di kepala. Dari berbagai situasi
itu teman-teman semakin yakin bahwa saya harus ikut ruqyah ke Ustadz Fadhlan di
Yogya.
Saya sepakat. Dengan ditemani seorang teman saya berangkat ke rumah
Ustadz Fadhlan. Satu kilo sebelum sampai ke rumah Ustadz Fadhlan, dada saya
berdegup kencang. Nafas sesak. Hawa mengancam begitu kuat terasa. Begitu
menginjakkan kaki di halaman rumah, saya merasakan banyak jin yang tersiksa.
Saya ikut berempati dengan nasib mereka. Dalam hati timbul ketakutan. “Wah,
saya akan seperti ini.” Dada saya semakin berdesir. Bulu kuduk merinding.
Membawa ketakutan tersendiri. Saya tidak mau masuk ke dalam. Tapi teman menarik
saya ke dalam.
Saya duduk. Begitu Ustadz Fadhlan masuk ruangan, saya mau marah.
Ada dorongan kuat untuk menyerangnya. Saya berusaha menahan diri sebisa
mungkin. Akibatnya saya merasakan badan kaku. Kram dan mual kembali
terasa begitu mendengar ayat-ayat al-Qur’an. Meski demikian, saya
berusaha untuk tetap menguasai diri.
Mata saya melotot, memperhatikan Ustadz Fahdlah yang menerapi
seseorang. Reaksinya memang keras. Ustadz Fadhlan terus membangun dialog dengan
jin yang merasukinya. Sesekali nada ancaman keluar dari Ustadz Fadhlan. Saya
semakin tidak bisa menguasai diri. Saya melangkah, mendekati Ustadz Fadhlan.
lngin rasanya menendang dang dan memukulnya. Ustadz Fadhlan tetap tidak
mengindahkan saya. Ia terus berdialog dengan jin yang merasuki
pasien itu.
Saya berbalik. Emosi yang tidak tertahan saya tumpahkan ke mana
saja saja. Pintu kayu jati menjadi sasaran. Berganti menjadi sansak
tinju. “Jeder. Jederr … “ tangan saya berdarah. Kulitnya terkelupas. Tapi luka
itu tidak terasa sakit. Ustadz Fadhlan berpaling. Ia mendekat dan mendorong
saya.
Kesempatan itu tidak saya sia-siakan. Begitu tangannya menyentuh
kulit saya, saya langsung balik menyerang. Ustadz Fadhlan terdorong ke
belakang. Beberapa peserta ruqyah yang saat itu berada di dalam ruangan
bertindak cepat.Mereka segera melumpuhkan saya. Sejurus kemudian terjadi
pergumulan. Jumlah mereka yang berlipat berhasil meringkus saya. Tangan-tangan
dipegangi dua orang. “Kamu sadar apa yang kamu lakukan?” tanya Ustadz Fadhlan
tidak jauh dari kepala Saya.”Saya sadar, tapi saya tidakbisa mengendalikan
diri,”jawab saya terus terang. Saat itu saya menyadari apa yang terjadi, Hanya
saya tidak mampu menguasai diri saya sendiri. Ltulah mengapa saya sampai berani
menyerang Ustadz Fadhlan.
Akhirnya saya disuruh membaca ayat Kursi beberapa kali. Perlahan,
kesadaran saya pulih kembali. Badan saya kembali rileks sepertisemula.
Sejak itu saya selalu melakukan ruqyah mandiri melalui kaset. Tapi
seiring dengan itu, gangguan yang saya alami semakin meningkat. Badan gemetaran
dan mudah marah. Badan rasanya lemas dan tidak bersemangat.
Beberapa minggu kemudian, sayamengikuti terapi yang kedua. Saya berharap
kekuatan jin itu terus melemah.
Namun, setelah ruqyah kedua justru apa yang saya alami semakin
parah. Seminggu lamanya saya tidak bisa tidur. Bayangan menyeramkan
berkelebatan di kamar. Seonggok kepala sempat menggelinding. Mulutnya
menyeringai. Ia terus mendekati saya. Di lain kesempatan, saya seperti berada
di tengah pasar. Suara yang berisik tanpa henti menderu di telinga. Padahal
saat itu saya tidur di dalam kamar. Tidak ada siapa-siapa. Hanya saya
sendirian.
Lain waktu, suara monyet dari jauh makin mendekat. Awalnya satu
suara. Lama-lama makin banyak. Mereka bergerak cepat dan ‘weeess...’ deru angin
membawa suara mereka menerpa wajah saya.
Tersingkir Dari Jalan Ruqyah
Saya heran. Setelah mengikuti ruqyah, gangguan yang saya alami
semakin parah. Mereka benar-benar tidak ingin saya menempuh jalur ini. Saya
mulai berpikir, setelah ruqyah gangguan semakin meningkat, apakah itu berarti
jin di dalam tubuh saya bertambah? Pertanyaan yang membuat saya menghentikan
ruqyah. Di sinilah, saya kemudian menyerah. lbaratnya saya telah mengangkat
bendera putih. Dan meninggalkan ruqyah secara perlahan.
Saya kembali bergabung dengan teman-teman di pinggir jalan.
Nongkrong bersama dan malas pergi mengaji. Saya mulai membenci teman-teman
aktifis dakwah. Orang-orang yang selama ini banyak mengisi kehidupan saya.
Sebaliknya, saya berkumpul dengan mahasiswa yang senang dengan dunia klenik.
Sejak mulai anti dengan ruqyah, kemampuan saya meningkat. Saya bisa menerawang,
mengobati orang, atau melihat jin. Saya juga bisa merasakan kehadiran jin.
Seperti ketika ikut tadarusan keliling. Sebelum dimulai, saya
merasakan tekanan udara berubah. Semakin besar. Badan saya menggeliat seperti
mau marah. Saya ingin bergerak dan mengamuk. Saya penasaran apa yang sebenarnya
terjadi. Saya berkonsentrasi sejenak. Saya memperhatikan sekeliling. Rupanya
ada kehadiran jin di antarajamaah. Akhirnya saya mengundurkan diri dan tidak
jadi tadarusan keliling. Saya balik dan mengurung diri di kamar.
Hal ini terus berlanjut sampai lulus kuliah. Jujur, saat itu
seharusnya orangtua mendampingi saya. karena itu adalah moment yang
membahagiakan bagi seorang mahasiswa. Tapi apalah daya. Ada masalah yang
membuat orangtua tidak bisa hadir. Saya gelisah, ternyata bapak sedang sakit.
Bapak selalu menyebut nama saya berulang-ulang sebelum akhirnya tidak sadarkan
diri.
Begitu mendarat di Bandara Soekarno Hatta, saya melihat kabut
hitam. Pekat sekali. Firasat saya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres di
rumah. Benar saja begitu sampai di rumah, saya merasakan kehadiran jin di dalam
tubuh bapak. Saya shalat hajat. Memohon kepada Allah agar memberikan ketabahan
kepada kami. Dan semoga bapak segera sembuh.
Saya mengambil segelas air. Saya bacakan ayat Kursi dan beberapa
ayat lainnya lalu saya minumkan kepada bapak. Di sinilah syetan kembali
berperan. Tangan kiri saya bergerak. Saya seakan menyedot sesuatu dari tubuh
bapak. Waktu itu saya memang menggunakan tenaga dalam untuk mengobati bapak.
Beberapa saat kemudian bapak memang kelihatan membaik. Tapi selanjutnya mengigau
lagi.
Setelah mengobati bapak, saya merasakan diri saya terancam. Jin
yang berada di dalam tubuh bapak mengadakan perlawanan. Mereka meminta bantuan
kepada teman-temannya untuk menyerang saya. Serangan itu saya rasakan kuat
sekali. Ketika saya sedang tidur pun tidak luput dari gangguan mereka. Saya
merasakan kehadirannya. Mereka berdiri tidak jauh dari tempat saya berbaring.
Saya diam. Saya biarkan mereka mendekat. Hanya dzikir dalam hati
yang saya lakukan. Terus terang saat itu saya tidak berani membuka mata. Saya
melawannya dengan dzikir dalam hati. Begitu saya rasakan kepergian mereka. Saya
segera menoleh dengan cepat. lbu yang saat itu tidak jauh dari saya terkejut.
“Ono opo leh (ada apa)?” “Ah, tidak ada apa-apa kok bu,” jawab saya menenangkan
ibu.
Saya pun menyerah. Bapak dibawa ke rumah sakit. Sewaktu di rumah
sakit, saya sempat melihat penampakan jin di sana. Sosok anak kecil. Mukanya
seperti anak ideot. Badannya kurus. Rambutnya acak-acakan. Saya juga sempat
melihat sosok kakek-kakek. Ketika saya ceritakan kepada bapak, katanya itu
adalah kakek. Entahlah.
Setelah menggunakan tenaga dalam untuk mengobati bapak, saya
gelisah perasaan malas kembali muncul. Saya suka menyendiri. Meski telah lulus
kuliah, saya belum juga mendapat pekerjaan. Orangtua sering memperingatkan hal
ini. Namun semuanya tidak bisa merubah keadaan. Kondisilah yang memaksa saya
untuk tetap bertahan di rumah. Setahun lamanya saya hanya di rumah.
Bapak yang sudah membaik, memanggil temannya untuk mengobati saya.
Katanya dia sudah mencapai tingkat ma’rifat. Doanya mudah dikabulkan. Allah.
Namanya Ki Tejo. Dengan air putih dicampur garam dia menterapi saya. Memang,
badan saya rasanya lebih ringan. Sakit kram dan kejang-kejang jarang muncul.
Hanya seorang jin yang katanya masih membandel dan tetap bertahan. Jin
perempuan yang selama ini sering hadir di dalam mimpi itu Dia mengaku sebagai
Istri saya. Sesekali jin itu membawa beberapa anak balita yang katanya adalah
anak-anak saya. Entahlah, dalam mimpi itu saya bersikap layaknya seorang bapak
kepada anak-anaknya.
Saya katakan kepada orangtua bahwa saya sudah menikah. Saya tidak
ingin lagi menikah dengan wanita lain. Perempuan yang selalu hadir dalam mimpi
itulah istri saya. Sebagai orang tua, wajar bila mereka sedih mendengar
pernyataan saya.
Ki Tejo menyerah. Ia memanggil anaknya untuk mengobati saya.
Katanya ia lebih sakti dari Ki Tejo. Memang, saya sempat melihat ia menunjukkan
kehebatannya. Ia memelintir kertas di tangan. Beberapa saat kemudian kertas itu
berubah menjadi uang du puluh ribuan. Dari sini, saya melihat ia tak ubahnya
dengan seorang pesulap. Ada kekuatan jin yang membantunya melakukan oengobatan.
Saya pun sudah tidak suka lagi dengan cara pengobatannya. Terlebih bila ia
tidak melaksanakan shalat Ashar. Kami berbincang-bincang sampai jam lima sore.
Dan ketika saya tinggal untuk shalat Ashar, Ki Tejo dan anaknya justru memilih
untuk membaca buku daripada shalat.
Sejak itu, saya ingin kembali mengikuti terapi ruqyah, tapi karena
waktu itu di kantor Majalah Ghoib harus menunggu satu bulan, akhirnya saya
melakukan terapi mandiri melalui kaset. Saya matikan tape bila reaksi tidak
lagi terkendali.
Dua hari menjelang Idul Fitri, persaan saya tidak enak.
Getaran-getaran hawa jin yang mulai berkeliaran kembali terasa. Puncaknya di
malam takbiran, emosi saya meningkat. Meledak-ledak nyaris tak terkendali.
Terlebih suara takbiran yang hanya berjarak dua puluhan meter dari rumah saya
kian menyiksa. Kepala terasa berat. Saya berusaha untuk menahan diri agar tidak
kesurupan di malam Idul Fitri. Saya mengurung diri di kamar.
Aneh, di malam tahun hari raya itu saya tidak mau bertemu orang.
Saya muak dan sebal melihat meeka. Hal itu masih berlanjut hingga keesokan
harinya. Saya mengurung diri di kamar dan tidak iktu shalat hari raya. Saya
juga enggan untuk bersilaturahmi. Orangtua heran melihat perkembangan saya yang
semakin tidak wajar. Mereka mulai curiga bahwa ada sesuatu yang tidak beres di
dalam diri saya.
Akhirnya Saya tempuh Ruqyah Syar’iyyah Kembali
Setelah kasak-kusuk ke tetangga, orangtua sepakat untuk membawa
saya mengikuti terapi ruqyah di kantor Majalah Ghoib. Bagi saya keinginan dan
perhatian mereka merupakan dukungan moral tersendiri bagi saya. 10 Desember
2005, akhirnya saya kembali menempuh jalur ruqyah syar’iyyah setelah terhenti dua
tahun lamanya. Saya sadar bahwa ruqyah sya’iyyah merupakan solusi yang islami
untuk menyelesaikan gangguan yang saya alami. Kin saya tidak boleh cepat
berputus asa bila nentinya gangguan itu semakin meningkat seperti dulu. Yang
jelas, sejak awal saya persiapkan mental dengan baik. Agar kesalahan yang lalu
tidak lagi terulang.
Saat Ruqyah pertama, saya yakin bahwa jin perempuan yang mengaku
sebagai istri saya telah keluar. Buktinya, saya kembali berpikir untuk menikah.
Tidak lagi dihantui bayangan istri dan anak yang sering muncul dalam mimpi.
Hari-hari berikutnya, saya terus memaksa diri melakukan terapi mandiri di rumah
melalui kaset. Hasilnya kian terasa. Gangguan jin itu kian melemah. Hanya suhu
badan yang meningkat. Tapi semuanya terkendali.
Di pertengahan bulan Desember saya ruqyah untuk kedua kalinya. Saat
itu terjadi dialog dengan bahasa Jawa. Jin itu mengaku masuk ke dalam tubuh
saya. Dia akan mewariskan ilmunya. Karena saya dianggap mampu mengembannya.
Kakek-Nenek saya tergolong tokoh yang disegani di masyarakat. Jin itu
bernegosiasi. Untuk itu saya harus menghentikan ruqyah, karena jin yang mengaku
sebagai kakek, menganggap saya sebagai cucu kurang jar. Karena berani
mengusirnya. Alhamdulillah, Jin itumakin lemah.
Semoga kisah ini menjadi pelajaran bagi setiap orang yang mengikuti
terapi ruqyah syar’iyyah. Jangan cepat berputus asa bila gangguan tidak kunjung
hilang. Ruqyah bukanlah sulap. Ada proses yang harus dikiuti.
http://ruqyahmajalahghoib.blogspot.com/p/blog-page.html
Sumber : Majalah Ghoib Edisi 56/4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar