Masa-masa kehamilan menjadi hari yang menyenangkan bagi seorang
wanita. Harapannya membumbung tinggi seiring dengan pergerakan janin
yang lincah. Datangnya si buah hati seakan tinggal menunggu waktu. Hari
berganti minggu. Minggu berganti bulan. Dan … tangisan kebahagiaan pun
memecah kesunyian.
Masalahnya. Tidak semua orang hamil merasakan kebahagiaan ini.
Sebagian dari mereka ada yang menggantinya dengan derita dan tangis yang
memilukan. Lantaran janin yang menemaninya kini telah gugur. Terlebih
bila tersirat ketidakwajaran dalam keguguran ini.
Seperti kisah Ibu Rosalia, mantan karyawan swasta. Dua kali ia
keguguran, lantaran kedengkian mantan teman kerjanya sendiri. Ibu
Rosalia menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib di Jakarta Timur, dengan ditemani ibu dan suaminya. Berikut petikan kisahnya.
Saya terlahir dari keluarga yang tergolong menengah ke atas. Ibu
seorang wanita karir yang terbilang sukses. Demikian pula dengan bapak.
Meski saya ditakdirkan terlahir dari suku betawi yang menurut rumor
kurang memperhatikan pendidikan, tapi kehidupan keluarga saya menjadi
cermin gambaran sinetron ‘Si Doel Anak Sekolahan’. Sebuah
keluarga yang mementingkan pendidikan, hingga tidaklah mengherankan bila
ibu diterima kerja di perusahaan asing dan memiliki hubungan yang luas
dengan orang-orang terhormat.
Di sinilah uniknya, kesibukan dunia kerja tidak harus ditebus mahal
dengan hilangnya kasih sayang. Tidak. Meski kedua orangtua saya
terbilang sibuk, namun mereka masih meluangkan waktu untuk kami,
anak-anaknya. Hingga saya dan kedua saudara saya tumbuh dengan baik
tanpa kehilangan kasih sayang. Kini, adik saya menetap di luar negeri
mengikuti suaminya.
Saya sendiri menjadi wanita karir mengikuti jejak ibu. Seperti halnya
ibu, saya juga bekerja di perusahaan asing dengan jabatan yang
menggiurkan. Saya menjadi orang kedua di perusahaan. Sebuah tugas yang
menuntut keahlian dan kemampuan yang tidak sedikit memang. Namun, di
sinilah. Di perusahaan asing ini awal bencana yang datang beruntun.
Awalnya biasa saja. Saya menjalani semua tugas kantor dengan baik.
Saya menjadi jembatan atasan dengan bawahan atau relasi kerja. Semua
tugas itu dapat saya selesaikan dengan lancar. Gender maupun usia tidak
menjadi hambatan yang berarti bagi saya untuk mendapat kepercayaan
atasan dan bawahan.
Mungkin karena sikap saya yang sopan sehingga bawahan yang lebih tua
usianya menjadi segan. Terus terang, saya tidak penah memberikan
perintah kepada bawahan tanpa didahului kalimat minta tolong. Dengan
sentuhan kejiwaan seperti ini karyawan menjadi senang karena
eksistensinya dihargai.
Sebagai orang kedua di perusaan asing, tentu saya sering menemani
atasan mengadakan pertemuan dengan relasi bisnis. Baik dari dalam negeri
maupun luar negeri. Kebetulan dari relasi bisnis atasan, ada juga
seorang wanita asal Indonesia yang memiliki kedudukan tidak jauh dengan
saya. Sebut saja namanya Ani, seorang wanita berkulit gelap dan gemuk.
Ani, bekerja di perusahaan lain yang menjadi relasi bisnis perusahaan
tempat saya bekerja. Meski demikian intensitas pertemuan saya dengan
Ani terbilan tinggi. Hal ini tidak lain kerena saya harus mewakili
atasan melakukan rapat atau negosiasi dengan perusahaan Ani bila atasan
saya tidak bisa datang.
Pertemuan demi pertemuan itu makin merekatkan persahabatan kami.
Hingga sesekali ia menyempatkan diri main ke rumah saya di Jakarta
Timur. Ani pandai bergaul dan enak diajak bicara. Hal yang sama juga
dirasakan oleh orangtua dan saudara-saudara saya.
Pekerjaan saya menuntut banyak berhubungan dengan relasi bisnis.
Selain dengan perusaan tempat Ani bekerja, saya juga sering mengikuti
pertemuan dengan relasi yang lain, baik pria maupaun wanita. Di
antaranya adalah Sulistio. Pria muda yang luwes dalam pergaulan dan berkepribadian dewasa.
Pertemuan demi pertemuan yang pada akhirnya melahirkan benih-benih
cinta di antara kami berdua. Meski saya akui bahwa saat bertemu dengan
Sulistio saya berstatus janda. Tapi, status bukan halangan bagi seorang
wanita untuk menikah lagi. Dan itulah yang terjadi.
Perjalanan menuju pelaminan tidak semulus yang saya bayangkan. Hal ini
terkait dengan kehadiran orang ketiga di antara kami. Ani, dialah yang
lebih dulu mengenal Mas Sulistio memendam cinta yang mendalam. Meski
untuk itu dia harus bertepuk sebelah tangan harapannya membina rumah
tangga kandas.
Cintanya tidak terbalas. Berbagai cara telah ditempuhnya untuk
mempengaruhi Mas Sulistio. Dengan menebar kabar burung misalnya. Kesana
kemari, dia memperkenalkan diri sebagai pacarnya Mas Sulistio.
Sebenarnya kabar tidak sedap ini, mengganggu hubungan saya dengan Mas
Sulistio. Saya gamang, haruskah melanjutkan hubungan atau putus di
tengah jalan. Sungguh tidak mengenakkan berada dipersimpangan jalan.
Setelah menimbang masak-masak dan meminta ketegasan dari Mas
Sulistio, saya pun menerima pinangannya. Karena dari pertemuan selama
ini, saya lebih percaya Mas Sulistio daripada Ani. Seorang gadis yang
tidak disenangi banyak orang. Lantaran sikapnya yang sombong dan mau
menang sendiri.
Saya tahu, sikap apapun yang saya ambil pasti mengandung resiko. Tapi
saya harus tegar. Apapun yang terjadi, saya tidak boleh surut ke
belakang. Meski harus mendengar nada sumbang dari Ani sekalipun. “Kamu itu janda. Kamu tidak pantas sama Sulistio. Mendingan kamu mundur. Dia punya gue. Karena gue masih gadis,” celoteh Ani dari balik telepon.
Saya tidak lagi mempedulikan ocehannya. Biarlah dia mengumpat
semaunya. Toh, Mas Sulistio juga tidak menghiraukannya. Akhirnya di
penghujung tahun 2002, janur kuning pun berkibar. Resepsi pernikahan
saya dengan Mas Sulistio berjalan lancar.
Ani yang saya khawatirkan selama ini, juga nampak di sela-sela
undangan. Ia ikut tertawa dan berbaur dengan tamu-tamu yang lain. Sama
sekali tidak terlihat rona marah atau kecewa. Semuanya nampak
wajar-wajar saja. Saya pun lega. Ketakutan dia akan membuat ulah sedikit
sirna. Bayangan hitam keterlibatan Ani dengan dukun, sedikit
tersingkirkan oleh sikapnya yang manis.
Emosional Meningkat Saat Hamil
Hari-hari pertama mengarungi rumah tangga dengan Mas Sulistio berjalan
normal. Seperti layaknya pengantin baru. Bahkan kesana kemari kami
selalu bergandengan tangan. Tidak ubahnya seperti sepasang kekasih yang
sedang kasmaran. Rutinitas kerja kantoran pun masih berjalan seperti
biasa. Saya menemukan kebahagiaan di awal pernikahan ini.
Tiga bulan kemudian, dokter menyatakan saya positif hamil. Haru dan
bahagia bercampur aduk menjadi satu. Harapan untuk menimang anak dari
perkawinan kedua, tinggal menunggu pergantian bulan demi bulan. Namun,
seiring dengan proses kehamilan, mulai muncul perubahan dalam diri saya.
Sakit darah tinggi yang telah saya alami selama lima tahun, kembali
memuncak. Akibatnya, saya mulai emosional.
Di rumah, saya mulai menebar kemarahan dengan siapapun. Ibu, kakak,
atau bahkan Mas Sulistio. Ya, sejak kehamilan yang seharunya disikapi
dengan kedewasaan itu, perjalanan rumah tangga saya mulai goyah. Ada
saja masalah yang muncul. Padahal sebelumnya, kami menganggap masalah
itu biasa saja.
Terkadang terbetik keinginan untuk mengakhiri jalinan rumah tangga
yang baru seumur jagung ini. Untunglah niatan itu masih bisa diredam
oleh Mas Sulistio yang sabar. Hingga rumah tangga kami masih bisa
bertahan.
Menjelang kehamilan berusia tiga bulan, saya mengalami sakit. Tekanan
darah tinggi saya naik menembus angka 200. Keluarga panik, karena
menurut diagnosa dokter implikasi dari tekanan darah tinggi itu bisa
berakibat fatal.
Benar memang, beberapa hari kemudian, saya mengalami keguguran. Janin
benih perkawinan dengan Mas Sulistio hanya bertahan tiga bulan. Padahal
dari pernikahan yang pertama, tidak ada masalah dalam rahim saya. Saya
melahirkan anak yang pertama dengan normal.
Keguguran yang pertama ini, saya sikapi dengan wajar. Sama sekali
tidak ada kecurigaan sedetik pun bila ada yang berniat jahat. Dan ingin
menghancurkan kebahagiaan kami. Namun, perasan ini tidak bertahan lama.
Hanya dalam hitungan hari segera berubah. Lantaran celotehan dari balik
telepon. Ani yang mendengar berita keguguran janin saya mendapat angin
segar untuk menyerang.
“Turut berduka cita ya…,” katanya. Setelah itu dia malah tertawa-tawa. “Ha ha ha … percaya sajalah kamu tidak bakalan punya anak,”
katanya. Saya terkejut mendengar ucapannya. Sama sekali tidak menduga
bila ada yang tega berkata sekasar ini. Nada bicaranya memberi kesan ia
sedang merayakan sebuah kemenangan. Entah kemenangan seperti apa.
Pembicaraan dari balik telpon itu pun diakhirinya dengan nada tidak
bersahabat ia tertawa. Laksana musik pengiring tarian di atas
penderitaan orang lain. Awalnya saya tidak terlalu mengambil hati. Apa
yang dikatakannya itu saya anggap sebagai angin lalu semata.
Setelah sehat, saya pun masuk kerja seperti biasa. Di sinilah
kemudian, secara tak terduga Ani main ke kantor saya. Ia merangkul
pinggang saya dari belakang. “Eh, gue bilang, lu tidak akan punya anak. Nanti lu bakal cerai. Sulistio gue pelet. Nanti dia bakal nikah sama gue,” katanya riang.
Ia memeluk pinggang saya sambil tertawa menyeringai. Mengerikan. Tapi
saya diam saja. Saya tidak menghiraukan apa yang dikatakannya.
Orang-orang yang mendengar celotehannya juga keheranan dengan sikapnya.
Hari itu, saya memang hanya mendiamkannya.
Tidak bereaksinya saya dimaknai lain oleh Ani. Ia merasa berada di
atas angin dan terus menebar kata-kata yang pedas di lain kesempatan.
Bahkan saya mulai mendengar laporan dari anak buah saya, bahwa Ani
mulai berulah. Karena itu saya disarankan agar waspada. “Hati-hati Bu, dengan Ibu Ani. Soalnya dia menjelek-jelekkan ibu di depan atasan ibu.” Laporan seperti itu sering saya terima dari sebagian karyawan.
Mereka juga memperingatkan saya, bahwa setiap malam Jum’at Ibu Ani selalu memberi sesajen darah pada ‘pegangannya’.
Ani tergolong suka ke dukun. Awalnya saya tidak begitu percaya. Tapi
setelah mendengar kisah hari pertama dia masuk kerja, saya menjadi
maklum.
Ani mengawali kerjanya dengan mengadakan syukuran penyembelihan
kambing. Bila sekedar syukuran biasa, tentu tidak menyimpan sejuta tanda
Tanya. Tapi syukuran itu menyimpan hawa mistis. Ani tidak membiarkan
darah diminum tanah. Ia menampungnya di ember lalu menyimpannya. Entah
apa yang dilakukannya dengan darah itu, tidak ada yang tahu.
Setelah sekian kali mendengar ungkapan yang tidak enak di telinga,
saya tidak kuasa menahan diri. Muka saya memerah menyimpan kemarahan.
Mas Sulistio yang berada di samping saya, akhirnya memarahi Ani
habis-habisan. Heboh memang siang itu.
Hari demi hari terus berganti. Hingga enam bulan berlalu dari masa
keguguran. Saya merasakan ada gejala lain. Siklus haidh saya terhenti.
Dan saya dinyatakan positif hamil. Betapa bahagianya diri ini, Allah
SWT. segera menggantikan dengan janin baru.
Seiring dengan kehamilan yang kedua, emosional saya kembali
meningkat. Kali ini lebih parah dari saat kehamilan yang lalu. Kemarahan
itu bisa tumpah dimana saja tanpa memandang tempat. Di rumah atau di
kantor sudah menjadi hal yang biasa. Sehingga karyawan di kantor sampai
berkomentar, “Ibu mendingan tidak hamil saja deh bu. Ibu kalau hamil jadi galak,” ujar salah seorang anak buah saya.
Mengerikan. Sungguh mengerikan. Saya tidak lagi menghiraukan siapa
yang harus dimarahi. Atasan saya di kantor, bisa saya bentak-bentak bila
saya tidak berkenan. Padahal dia adalah orang asing dan professional.
Tangan saya menunjuk-nunjuk mukanya. Atasan saya hanya diam dan
meninggalkan saya. Dia paham, bahwa saya bukanlah seorang pemarah.
Apalagai sampai meledak-ledak seperti itu.
Kejadian di rumah juga tidak kalah dahsyatnya. Kini, setelah hamil,
justru timbul perasaan tidak senang dengan Mas Sulistio. Rasanya sumpek
dan sesak bila dia di rumah. Akhirnya keributan-keributan dalam rumah
tangga pun tidak lagi terhindarkan. Sampai saling menendang-nendang
pintu. Untuk menenangkan diri, beberapa kali Mas Sulistio meninggalkan
saya sendirian di rumah. Dan baru pulang setelah keadaan mereda.
Hamil kedua ini memang berbeda. Tensi kemarahan saya terus memuncak.
Tekanan darah tinggi saya kembali menembus angka 200. Sungguh mengerikan
bagi seorang ibu yang sedang hamil seperti saya. Keributan demi
keributan terus berlanjut.
Suatu malam, tepatnya hari selasa malam Rabu, saat kehamilan saya
mencapai empat setengah bulan, ada peristiwa aneh. Kulkas dan kitchen set
yang terbuat dari kayu jati, tiba-tiba jatuh. Tidak ada angin, tidak
ada Guntur, tapi akibanya seperti terguncang gempa. Saya dan Mas
Sulistio terbangun. Kami ketakutan setengah mati. Ada apa gerangan?
Perampok ataukah…
Bermula dari sini, keanehan-keanehan dalam rumah mulai bermunculan.
Sesekali Mas Sulistio melihat sosok bayangan berkelebat. Ia pun
ketakutan. Untuk ke kamar kecil saya harus diantar. Memang, ini bukan
salahnya. Karena saya tidak bisa memaksanya agar berani menghadapi
penampakan jin.
Karena hal yang sama juga saya alami saat di kamar mandi. Di
langit-langit kamar mandi bermunculan hewan-hewan menjijikkan dan
menakutkan. Penampakan-penampakan yang membuat Mas Sulistio mulai jarang
di rumah. Ia mulai pulang agak malam.
Dan begitu tiba di rumah, ia pun mudah tersulut kemarahan. Akibatnya
malam-malam kami berlalu dengan iringan perkelahian. Seperti ada bisikan
yang mempengaruhi saya agar tidak percaya dengan Mas Sulistio. “Suami lu nggak bener nih.”
Di kantor, Ani mulai menabuh gendrang perang. Kemana-mana dia selalu menejelek jelekkan saya, “… pakai dukun.” Aneh memang. Saya tidak pernah pergi ke dukun. Bahkan dia sendiri pernah mengakuinya di depan saya. “… dukun lu hebat. Wah, gue akui dukun lu memang hebat.
Canggih. Canggih. Gue akui, gue kalah saat ini, tapi lu jangan berlagu.” Setelah itu dia bahkan mengatakan, “ lu mau gue bikin cerai sama Sulistio. Setelah cerai, jangan sebut nama gue, kalu gue tidak bisa pelet Sulistio.”
Saya tidak terlalu menghiraukan ancaman Ani. Saya tetap ke kantor seperti biasa. Meski semenjak jatuhnya kitchen set,
ulu hati saya selalu sakit pada hari Selasa. Sakit yang terus
meningkat, hingga ketika hamil enam bulan saya harus menjalani rawat
inap di rumah sakit di bilangan di Jakarta Timur.
Saya menggelepar kesakitan. Ulu hati saya seperti ditusuk-tusuk
pedang hingga tembus ke punggung. Berbagai obat pemberian dokter tidak
mempan. Rasa sakit itu tetap tidak bisa hilang. Dan terus menusuk-nusuk .
Raut muka sampai memutih pucat.
Dan baru berkurang setelah ibu memegang ulu hati saya sambil
membacakan ayat-ayat al-qur’an. Saat berikutnya saya terlelap dalam
tidur. Dari sini, ibu semakin yakin bahwa derita yang saya alami selama
ini akibat sihir. Karena itu, ibu selalu meletakkan tanggannya di ulu
hati saya bila rasa sakit itu datang.
Dua hari dirawat, saya diizinkan pulang. Tapi rasa sakit di ulu hati
masih terus mendera. Seorang teman kemudian membawa seorang yang katanya
dikenal sebagai ustadz untuk datang ke rumah. Saya diberi beberapa
jimat. Ada kain yang bertuliskan huruf Arab serta tiga buah bungkusan
putih. Jimat jimat pemberian ‘ustadz’ itu pun saya biarkan begitu saja.
Karena sejak awal saya kurang senang.
Ketika rasa nyeri di ulu hati tidak kunjung sembuh, saya kembali
menjalani rawat inap di sebuah rumah sakit di Jakarta Selatan. Di rumah
sakit inilah, saya mengalami keguguran untuk kedua kalinya. Keguguran
yang diawali dengan serentetan keanehan yang diluar nalar.
Siang harinya, ketika ditemani ibu mertua, saya melihat dua anak laki-laki tanggung berada di dekat jendela. “Di dekat jendela, kok ada dua anak laki-laki tanggung. Cakep-cakep amat. Ngapain?” Tanya saya kepada ibu mertua. Ibu mertua menoleh ke jendela, tapi ia tidak melihat siapa-siapa di sana. “Itu bu, keduanya tersenyum melihat saya,” kata saya meyakinkan ibu. Tapi ibu kembali geleng-geleng kepala.
Malam harinya, giliran bisikan menakutkan yang terdengar. “Rosalia aku akan ambil anakmu. Biar aku ganti yang lebih bagus.”
Saya terbangun. Saya tengok kiri kanan, Mas Sulistio sedang istirahat.
Tidurnya pulas. Ia tidak terusik dengan bisikan yang saya dengar. Seakan
bisikan itu hanya ditujukan kepada saya. Tapi apa makna di balik
bisikan itu? Tak satu pun jawaban yang bisa saya dapatkan. Akhirnya saya
kembali tertidur.
Keesokan harinya, ketika diperiksa dokter pada jam sembilan, detak
jantung janin saya tidak lagi terdengar. Tidak ada aktifitas yang
memberikan sinya tanda-tanda kehidupan. “Kehabisan oksigen,” kata dokter. Deg, saya terkejut mendengar penuturan dokter, saya kembali mengalami keguguran.
Padahal seharian kemarin, janin saya masih bergerak-gerak lincah. “Oh, sehat. Bayinya sehat,“
kata ibu mertua saat meraba perut saya. Sehari sebelumnya saat di USG,
dokter juga mengatakan bahwa janin saya sehat. Meski beberapa hari ini,
saya menjalani rawat inap dan harus minum obat. Saya pun harus diinduksi
untuk mengeluarkan janin yang telah meninggal dalam kandungan.
Sudah jatuh tertimpa tangga.
Begitulah yang saya rasakan. Sudah sekian lama sakit di ulu hati
menusuk-nusuk, kini saya harus kembali menerima kenyataan bahwa saya
keguguran. Sedih dan pilu. Terlebih bila sakit di ulu hati kembali
menghampiri. Sakit yang tidak bisa disembuhkan secara medis.
Biasanya hanya dengan tempelan tangan ibu seraya membaca ayat Kursi
dan beberapa ayat lain yang bisa mengurangi kepedihan ini. Tapi ibu
tidak sedang di rumah. Saya mengerang dan mengaduh. Suster yang mendekat
pun saya bentak. Karena sakit yang tidak tertahankan. Mas Sulistio dan
beberapa kerabat yang lain sudah mengerubungi saya. Saya terus mengerang
sampai meliuk-liukkan badan untuk mengurangi rasa sakit di ulu hati.
Dalam kondisi kritis itu, ibu muncul. Ia segera menempelkan tangannya
ke punggung saya dan kembali membacakan ayat Kursi, al-Ikhlas, al-Falaq
dan an-Naas. Dengan itulah kemudian secara berangsur rasa nyeri itu
hilang. Ibu bilang, bahwa sakit saya ini tidak wajar, tapi ibu tidak
bisa berbuat banyak selain apa yang dilakukannya selama ini. Karena
beberapa pertimbangan itulah akhirnya, saya dibawa pulang ke rumah ibu.
Setelah saya di rumah, selanjutnya giliran ibu yang dirawat di rumah
sakit. Entah kenapa setelah mengobati saya giliran ibu yang diserang.
Perutnya membesar seperti orang sakit busung lapar. Di lengannya
terdapat benjolan sebesar kelereng. Ibu curiga apa yang dialaminya ini
karena gangguan. Jam dua belas malam, ibu muntah-muntah dan buang air.
Badannya lemas karena terus mengeluarkan cairan. Tidak ada pilihan lain,
jam dua belas malam ibu langsung dibawa ke rumah sakit menggantikan
saya dan dirawat sehari semalam.
Dua hari di rumah ibu, ulu hati saya kembali nyeri. Seperti
ditusuk-tusuk belati. Ibu yang sudah sehat sepulang dari rumah sakit,
kembali membacakan ayat-ayat al-Qur’an sambil menempelkan tangannya di
uluhati saya. Saya muntah-muntah sampai Shubuh. Samar-samar saya melihat
jin bertanduk seperti sapi di dalam kamar. Sosok aneh yang mengerikan
itu menyeringai menertawakan saya. Setelah munculnya penampakan itu ulu
hati saya kembali sakit seperti ditusuk-tusuk pisau.
Akhirnya saya dibawa kembali ke rumah sakit. Kali ini, keluarga
membawa saya ke rumah sakit di Jakarta Barat. Tiga jam sekali ulu hati
saya ditusuk-tusuk. Saya mengaduh tidak karuan. Ketika seorang suster
bertanya sakitnya seperti apa, bukan jawaban yang saya berikan. Suster
itu mendapat semprotan dari saya, “Tanya melulu. Sakit tahu. Jangan Tanya-tanya, saya lagi sakit.” Sedemikian galaknya sehingga suster pada ketakutan memeriksa saya.
Berbagai pemeriksaan medis, telah saya jalani di tiga rumah sakit,
namun hasilnya tetap nihil. Dokter yang merawat saya pun sampai
keheranan. “Sekarang banyak penyakit aneh-aneh,” ujar seorang dokter sambil membentangkan tangannya.
Di saat kritis itulah, ibu mendapat informasi dari seorang lelaki yang menjenguk kerabatnya. “Diruqyah saja bu!”
sarannya. Sebenarnya dan pengunjung lain yang menyarankan ibu untuk
membawa saya ke paranormal, tapi lebih memilih ruqyah. Karena dari
penjelasan bapak tadi ruqyah merupakan terapi gangguan jin dengan bacaan
ayat-ayat al-Qur’an. Ibu merasa cocok, karena selama ini ibu mengobati
saya juga dengan bacaan-bacaan al-Qur’an.
Akhirnya, Mas Sulistio meminta Ustadz Aris Fathoni untuk menerapi
saya di rumah sakit. Karena kondisi saya yang sedang kritis dan sulit
dibawa ke kantor Majalah Ghoib. Saat membaca ayat-ayat al-Qur’an saya
juga mendengar bisikan halus yang berusaha melunturkan keyakinan saya
dengan ruqyah. “Lu mau saja digituin sama orang. Lu lihat, air itu
gelasnya setengah. Nanti sehabis baca, gelasnya jadi penuh. Itu dari
ludahnya dia. Idih lu mu aja. Bau. Lu mau saja.”
Sebenarnya setelah Ustadz Aris membaca ayat-ayat al-Qur’an dan
menyuruh saya meminum air, saya sempat ragu-ragu. Bisikan halus itu
memang sedikit mempengaruhi saya. Tapi karena dorongan ibu dan nasehat
Ustadz Aris, air itupun saya minum juga.
Di luar dugaan, hanya dalam waktu setengah jam saya sudah tidak lagi
merasakan tusukan di ulu hati yang begitu menyakitkan. Sungguh ini
adalah karunia dari Allah yang semakin membuka mata hati kami sekeluarga
akan kebesaran dan keagungan-Nya.
Setelah sembuh dari sakit ulu hati, akhirnya kami mengambil
kesimpulan, bahwa apa yang saya alami selama ini tidak terlepas dari
sihir seseorang. Yang pada akhirnya mengarah kepada Ani, tentu ini semua
berdasarkan bukti yang sangat kuat.
Untuk menghindari kemungkinan buruk di kemudian hari akhirnya saya
memutuskan untuk mengundurkan diri dari tempat kerja. Pengunduran diri
ini bukan berarti bentuk kekalahan, tapi untuk meraih kebahagiaan yang
sempat hilang selama ini. Semoga kisah ini menjadi pelajaran berharga
bagi siapapun yang membacanya.
Sumber : Majalah Ghoib Edisi 51/3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar