"MONA (bukan nama sebenarnya), kamu berbakat jadi dukun hebat," kata kakek suatu sore. Kata bernada pujian itu terlontar dari bibir kakek setelah sekian bulan. la memantau perkembangan murid-muridnya. Murid yang istimewa, karena semuanya memiliki pertalian darah. Generasi saya adalah generasi kelima dari keluarga yang secara turun ternurun terkenal sebagai dukun kesohor di Jawa Tengah. Pendadaran yang langsung dibawah kendali kakek memang dimaksudkan untuk mencari penerus dari ilmu leluhur kami. Para dukun yang telahsekian puluh tahun malang melintang di dunia perdukunan. Dari kawah candradimuka ini akan terlihat siapa yang layak menjadi pewaris ilmu leluhur keluarga kami.
Mulanya, saya tidak tertarik menjadi
seorang dukun. Saya hanya mengikuti sebuah tradisi dalam keluarga yang
harus menjalani latihan tahap pertama ini. Dan saya dinyatakan sebagai yang
terbaik. Melebihi bakat yang dimiliki sepupu saya yang nampak ngotot ingin menjadi
dukun.
Ukuran keberhasilannya sebenarnya
mudah, hanya dengan melihat pengaruh dari tahapan puasa yang kami jalani.
Seberapa lama seseorang dapat merasakan kehadiran jin tanpa ada rasa takut.
Semakin cepat, katanya, bakat yang dimilikinya semakin besar.Umur saya
masih belasantahun ketika pertama kati disuruh berpuasa tiga
hari. Rabu Pon, Kamis Wage dan Jum'at Kliwon, itulah hari-hari yang
biasanya dipilih. Namun, puasa yang saya jalani berbeda dengan puasa dalam
ajaran Islam. Waktu itu, saya disuruh mengawali puasa pada
hari Selasa siang. Tepatnya jam tiga sore. Bukan Shubuh
seperti lazimnya puasa dalam Islam. Satu jam sebelumnya sayaharus
mengikuti ritual mandi kembang.
Saya berpuasa tanpa makan dan minum.
Adzan Maghrib berlalu tanpa seteguk air membasahi kerongkongan. Saya hanya
diperbolehkan makan nasi satu kepalan tangan dan air putih bila
sudah sangat lapar. Itu pun hanya dibolehkan makan sekali.
Bila tidak mampu, otomatis sayadinyatakan telah gagal
dalam pendadaran ini.
Jam dua belas malam, saya disuruh
keluar rumah lalu menjejakkan kaki ke bumi tiga kali, sambil merapal
mantra berbahasa Iblis yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia bermakna,"Atas kekuatan
udara, langit, bumi dan laut. Aku mengundang semua kekuatan itu atas penciptaan Tuhan. Atas nama besar Muhammad dengan dukungan Iblis ajmaun."
Saya yang belum mengerti apa-apa,
hanya menuruti kata-kata kakek. Selanjutnya, saya disuruh mandi dari tujuh
mata air yang berbeda. Mata air yang harus jatuh dari gunung. Sebuah
persyaratan yang sulit terwujud bila tidak dipersiapkan jauh-jauh hari.
Namun, semua persyaratan itu telah dipersiapkan kakek. Saya tinggal
menjalani ritual semata.
Hari ketiga, saya disuruh kakek masuk ke
dalam kamar. Duduk bersila dan mematikan lampu. Hanya lilin
yang dinyalakan. Dalam temaram lampu lilin, saya
diperintahkan menanggalkan semua busana. Selanjutnya tinggal
menunggu apa yang akan terjadi.
Kata kakek, nanti ada yang datang dan
biasanya menepuk punggung sebelah kanan. Awalnya saya
merinding memikirkan apa yang akan terjadi. Namun saya
berusaha menepisnya dan menenangkan diri. Tepat jam dua belas malam
lebih sepuluh menit saya merasakan tepukan dipundak sebelah kanan.
Saya langsung kedinginan. Dengan
sekuat tenaga saya berusaha untuk tidak berteriak. Saya diam. Menunggu apa
yang akan terjadi. Ternyata hembusan angin mematikan lilin. Padahal saya
berada dalam kamar yang tertutup yang seharusnya tidak mengizinkan
angin masuk. Padamnya lilin merupakan pertanda buruk bagi saya.
Kakek menyatakan tirakat saya gagal
dan harus diulangi lagi. Saya kembali menjalani ritual sejak awal di
bulan berikutnya. Kali ini, kakek berpesan agar saya
tidak membaca basmalah. Karena jinakan pergi lagi bila
saya membaca basmalah. Puasa
yang kedua ini, kakek benar-benar mengawasi saya, hingga ia pun puas.
Saya dinyatakan lulus. Berikutnya saya disuruh melanjutkan puasa
tujuh hari. Namun, terlebih dahulu saya harus mencari hari yang
tepat. RabuPon, Kamis Wage dan Jum'at Kliwon, seperti biasa
menjadi pilihan. Dalam tahapan ini saya dinyatakan lulus,
hingga langsung naik ke tangga berikutnya. Saya puasa dua belas hari, dua
puluh satu hari dan empat puluh hari.
Setelah puasa empat puluh hari, saya
disuruh kakek mandi di laut dengan membawa sisir,potongan rambut,
potongan kuku dan celana dalam. Semua benda itu kemudian
dibungkusdengan besek (sejenis tumbu terbuat dari anyaman
bambu) dan ditinggal di laut. Setelah mandi saya langsung
pulang. Karena kelelahan, sesampai di rumah saya tertidur.
Saat itulah saya mendengar seseorang membangunkan saya. "Nduk, bangun," katanya.
Saya terjaga. Saya tidak tahu apakah saya bermimpi atau tidak. Di
depan saya telah berdiri seorang wanita berkebaya."Lungguh
neng kene, Nduk (duduk di sini, nak)!" katanya.
Saya turuti perintahnya. Tak lamakemudian, datanglah seorang kakek-kakek.
Badannya kurus dengan balutan kain putih dikepalanya. la
membawa sebilah keris. "Ini milikmu. Tolong dijaga!"
katanya sambilmenyodorkan sebilah keris kepada saya. Belum
sempat saya menjawab, keris itu langsung masuk ke dada
saya. Saya benar-benar merasakan rasa sakit ketika keris itu menembus
dada.
Keesokan harinya, saya sakit demam.
Badan dingin menggigil. Setelah diserang panas dingin dua
minggu lamanya, kakek datang. "Bagaimana, sudah masuk apa
belum?" tanyanya. Belum sayajawab, kakek sudah mengejar dengan
pertanyaan kedua. "Sudah didatangi apa belum?" katanya.
Saya heran, siapa orang yang
dimaksudkan kakek. Pertanyaan kakek itu masih belum dapat saya
jawab. Hanya diam jawaban saya. Saya tidak menghubungkan pertanyaan kakek
denganperistiwa dua minggu yang lalu. Pembicaraan pun beralih ke
sakit saya. "Tidak apa-apa, nanti juga sembuh" kata kakek,
setelah memegang kening saya. la kemudian mengunyah jahe lalumenaruhnya di
ubun-ubun saya. Aneh, perlahan rasa sakit itu hilang, hanya
dengan kompres jahe yang dikunyah kakek.
Sejak itu, saya merasakan lidah saya
menjadi tajam. Umpatan dan ancaman seringkali menjadi nyata. Orang
pertama yang menjadi korban masih teman sekelas. Namanya Veti. la
selalumenghina saya di depan umum. "Ngapain ke sini, kamu kan
bau. Bau amis," kata Veti sinis.
Saya tidak terima dipermalukan sedemikian
rupa. Dengan reflek, saya menjejakkan kaki kiri ke tanah tiga kali dan
merapal mantra, "Demi angin,
...... saya berpegang padamu
atas keputusan
Tuhan." Selanjutnya saya
menyebut nama Veti seraya mengancam. "Celaka kamu, kalau kamu memang
tidak mau minta maaf sama saya." ketika pulang dari sekolah, Veti
tertabrak mobil. la mengalami luka parah. Kakinya patah.
Waktu itu, saya belum berpikir
macam-macam bahwa kecelakaan itu karena ucapan saya. Tapi peristiwa
demi peristiwa yang terjadi kemudian membawa saya pada kesimpulan
bahwa sayatidak boleh berbicara sembarangan.
RAMALAN PERTAMA YANG
MENGGUNCANG KELUARGA
Saat SMA itu, saya sudah mulai
meramal. Yang pertama menjadi korban masih sepupu saya. Retno, begitu ia
biasa dipanggil. Retno yang telah berpacaran 8 tahun tidak lama lagi
menikah. Hari H sudah ditentukan. Undangan juga sudah tersebar. Hari
bersejarah dalam hidupnya, tinggal menghitung hari.
Sehari sebelum hari H, saya bermain
ke rumah Retno. Dari raut wajahnya saya meramalkan
bahwa pernikahannya akan gagal. "Ngapain kamu
repot-repot seperti ini. Dia bukan jodohmu," kata saya
tanpa merasa bersalah. Terang saja Retno blingsatan. la
marah. "Kenapa kamu ngomong begitu, tidak sopan," katanya.
"Lihat saja. Siapa jodoh kamu.
Jodoh kamu itu orangnya dari timur. Kulitnya putih dan rambutnya
keriting, ketemunya kamu nanti di kereta," jawab saya
dengan ringan. Retno terpana. la masih tidak percaya dengan ramalan
saya. la bertanya dengan sedikit ragu, "Mengapa kamu bisa tahu
kalau saya tidak berjodoh sama dia?"
"Karena di muka kamu terlihat
bukan dia suami kamu. Aura kamu tidak nyambung. Kalau kamu
tetap nekat sama dia, kamu akan susah. Kamu akan sengsara," kata
saya panjang lebar.
Tak lama setelah kepergian saya,
terdengar berita buruk. Retno gagal melangsungkanpernikahan esok harinya.
Keluarga besar terpengaruh dengan ramalan saya dan memutuskan untuk
membatalkan pernikahan. la syok. Keluarga pun tertimpa aib.
Ujung-ujungnya saya disalahkan karena ramalan itu. Enam bulan lamanya ia
baru dapat melupakan kenangan pahit itu. Ketika Retno berangkat
ke Yogya, ia menceritakan mimpinya. la tidak lagi
mempermasalahkan ramalan saya yang menggagalkan
pernikahannya dulu. "Mon, saya mimpi dikelilingi api," katanya.
"Berangkat sekarang. Besok kamu bertemu dengan jodohmu," jawab
saya meyakinkan. Retno pun berangkat ke Yogya. Dan begitu pulang, dia
langsungmemperkenalkan seorang pria yang kelak menjadi suaminya.
Selain itu saya
mulai menerima pasien. Pasien pertama saya adalah seorang
penderita hilang ingatan asal Semarang,
Jawa Tengah. Namanya Elsa. Saya pegang ubun-ubunnya, lalu saya
tiup sebentar. la memang gila, gumam saya. Setelah saya putuskan
untuk mengobatinya, saya berpuasa tiga hari. Kemudian saya membawanya
ke laut. Di sana, saya duduk di pantai layaknyaorang yang bersemedi. 'Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa yang menciptakan langit, bumi dan segala
isinya, saya
memanggil penguasa laut kidul. Saya minta pertolongannya dan meminta petunjuk atas kebenaran yang tidak saya ketahui." Mantra pemanggil Nyi Roro Kidul pun saya rapal. Air laut
yang ada di depan saya bereaksi. Air laut itu langsung mendekat. laseakan bernyawa. Keluarga Elsa
ketakutan melihat apa yang terjadi. "Panggil saja lautnya dengan
ikhlas," seru saya kepada orangtua Elsa. Mereka pun menuruti
permintaan saya. Mereka memanggil air laut. Air laut kembali mendekat.
la seakan menelan kami. Ia seperti menyambut kedatangan kami. Bila
sudah demikian, saya tahu bahwa pasukan Nyi Roro Kidul sudah datang.
Sebelum memandikan Elsa, terlebih
dahulu saya memotong kuku, rambut dan pakaian dalamnya. Saya
minta orangtuanya menyebutkan nama kecilnya serta nama ibunya.
Setelah itu potongan kuku, rambut dan pakaian dalam itu saya cuci
sampai bersih lalu saya buang ke laut.Selang beberapa minggu kemudian,
orangtua Elsa menghubungi saya dan mengatakan bahwa Elsa
telah sembuh. Hanya saja setiap menjelang bulan Syura, dia harus ke laut.
Semakin hari, pasien saya semakin
banyak. Jumlahnya mencapai ratusan atau bahkan ribuan. Karena kakek
dan paman, juga sering melimpahkan pasiennya kepada saya. Mereka menganut
aliran kejawen yang berkiblat ke Nyi Roro Kidul. Karena itu bila
mendapat masalah yang pelik, mereka selalu datang ke laut dengan membawa
sesembahan berupa bedak, sisir, kemben hijau, selendang hijau, kebaya,
jarik parang, bunga mawar dan bunga melati. Sesajen itu biasanya dibawa
pada hari Selasa kliwon atau Jum'at Kliwon.
Beragam alasan pasien yang datang
kepada saya. Ada yang minta penglaris, dimenangkan dalam perjudian,
maupun pelet. Seperti yang dialami seorang teman karib saya, Desi namanya.
la diinjak-injak pacarnya sendiri. Sebagai sesama wanita saya tidak
rela teman saya diperlakukan demikian. Desi pun minta tolong saya
agar pacarnya tidak memutuskannya. "Mon, tolong saya!"
pintanya memelas.
"Coba cari daun teratai tiga lembar.
Cari yang arahnya saling bertemu dengan ruas yang sama," kata
saya menjawab permintaan Desi. Desi benar-benar mencari daun teratai itu.
"Kamu haruspuasa sehari semalam. Tanpa makan, minum dan tidur. Jam
dua belas malam, ambil air wudhu dan duduklah menghadap kiblat dengan
kaki bersila. Lalu tumpuk daun teratai itu menjadi satu.
Sebut namanya disertai dengan membaca mantra lalu satukan daun-daun itu.
Bayangkanpacarmu lalu usapkan ke kening. Setelah itu jadikan daun teratai
itu sebagai bantalan tidur. Keesokan harinya pacarmu akan datang dengan
muka yang aneh. Pandangannya kosong denganraut muka merah
jambu." Saya jelaskan kepada Desi cara mendapatkan pacarnya
melalui ilmu pelet. Desi akhirnya bersatu kembali dengan pacarnya. Hanya
saja cintanya kini sudah melebihi batas. Dia tidak bisa berpisah dengan
Desi. Kemana-mana selalu ingin bergandengan tangan.Cintanya sudah
tidak wajar. Karena itu dua tahun kemudian Desi menemui saya lagi. la
meminta agar peletnya dilepas. "Kasihan, ia bukan lagi yang saya
kenal dulu," ujar Desi. "Bakar saja fotonya dan kemenyan
bersamaan. Niatkan bahwa kamu ingin melupakannya." Itulah solusiyang saya
berikan kepada Desi. Dengan itu, mereka tidak lagi mesra seperti
yang dulu. Mereka pun akhirnya berpisah dan tidak melanjutkan hubungan
ke jenjang pernikahan.
LARUNG SESAJEN Dl PANTAI SELATAN.
Tahun 2003, saya ikut kakek melakukan
ritual ke laut selatan di malam hari. Bertepatan dengan hari
Selasa Kliwon. Dari rumah kami berjalan kaki ke laut. Saya mengenakan
kebaya sambil membawa tumpeng lengkap dengan nasi
kuning. Sementara kakek membawaseperangkat sesajen berupa macam-macam
pakaian, bedak, kapur sirih, tembakau, mas-masan dan kain
hijau. Kami menuju laut. Sebelum masuk pintu gerbang, saya duduk
dalam posisi menyembah dengan dipimpin kakek. Kemudian kami berjalan
beberapa langkah, lalududuk menyembah kembali. Setelah melewati laut, saya
mencium bau yang sangat harum. "Hmm.... Bau harum melati,"
gumam saya sambil menghirupnya
dalam-dalam.
Semua barang bawaan dilarung ke laut.
Selang beberapa menit kemudian, ombak datang menggulung sesajen.
Kakek ceria. Wajahnya berbinar-binar. la merasa sesajennya diterima
Nyi Roro Kidul. Lalu kami pun pulang dengan mengambil jalan berbeda. Tapi
anehnya, bau harum itu ikut pulang bersama kami. Bau harum melati itu
terus membuntuti sampai dalam rumah. Ketika saya tanya, kakek hanya
men-jawab singkat. "Nyi Roro ikut."
Sejak itu, saya mulai
sering bermimpi yang aneh-aneh. Saya diajak jalan-jalan ke
lautselatan. Melewati pintu gerbang dan batu pualam yang tinggi.
Dalam mimpi itu, saya disambut prajurit berpakaian ala kraton. la
bersenjatakan tombak. Prajurit itumempersilakan saya masuk dan menyuruh
saya tanda tangan. Tapi saya tidak mau, meski saya lihat banyak
juga yang membubuhkan tanda tangan. "Saya hanya
ingin lihat-lihat," elak saya.
"Ya sudah kamu masuk, memang kamu
orang sini," jawabnya mempersilakan saya masuk. Saya melihat istana
yang indah. Dengan lalu lalang orang yang tiada henti. Di sebuah
ruangan terlihat emas permata yang melimpah. Puluhan orang
datang mengambil permata-permata itu silih berganti. Di sudut
lain, saya melihat laki-laki yang dikelilingi perempuan yang
cantik-cantik. Orang itu lagi ngapain? tanya saya, tapi tidak adayang
menjawab. Saya terus melangkah. Di sebuah tempat saya melihat
orang-orang yang mengambil buah yang berisi permata. "Mereka lagi
ngapain?" tanya saya kepada penjaga. "Mereka itu minta. Kamu
nggak ikut minta?" tanya balik seorang penjaga. Saya
menggelengkan kepala. Saya tidak tertarik untuk membawanya, justru saya
ingin segera pulang.
Ketika pulang, saya merasa seperti
terdampar di sebuah kilang minyak. Saya pun terbangun keheranan.
Yang lebih mengejutkan, tempat tidur saya penuh dengan
pasir. Mulanya, saya berpikir mungkin tadi belum saya bersihkan. Tapi
keesokan malamnya, saya kembalibermimpi. Saya dijemput sebuah kereta
kuda. "Ayo nduk pulang. Wong rumahmu di sana," ajak
seorang perempuan berkebaya. Dalam mimpi itu saya kembali ikut ke
laut pantai selatan. Tentu dengan pengalaman yang berbeda dan satu
hasil. Kamar saya bertaburan pasir kembali.
KUNJUNGAN KE 'ISTANA NYI RORO KIDUL'
Akhir Desember 2003, saya membaca Majalah Ghoib edisi
9. Dalam sebuah rubriknya dikisahkan seorang anak yang bertingkah
aneh karena bisa melihat jin. Saya merasakan kisah anak ituseperti
perjalanan hidup saya. Bahkan lebih mengerikan. Dari sana, saya mulai
berpikir bahwa ada yang salah dalam diri saya. Ada masalah yang harus
segera diselesaikan.
Ketika saya bertemu dengan kakek,
saya pertanya-kan apa yang selama ini men-jadi beban pikiran saya.
"Kek, benarkah dalam diri saya ada jinnya?" tanya saya
sambil menyodorkanMajalah Ghoib. Kakek
terpana. la tidak menduga mendapat pertanyaan itu. "Tidak, kamu itu
turunan," jawab kakek dengan suara bergetar. Kakek mem-baca
sepintas Majalah
Ghoib lalu merobek-robeknya. Kakek bercerita, saya
adalah keturunan kelima yang diharapkan dapat mewarisi semua ilmu leluhur.
Ruang diskusi dalam hati saya belum
tertutup, meski Majalah Ghoib telah dirobek-robek kakek. Saya
kembali menelusuri perjalanan masa lalu. Perubahan sikap dan perilaku
yang telah saya alami. Saya terkesima. Saya telah banyak berubah.
Sejak tahun 2003, saya sudah tidak lagimenjalankan puasa
Ramadhan. Jin yang merasuk ke dalam diri saya tidak mengizinkannya.Tenggorokan
saya tercekik, bila saya niatkan puasa Ramadhan atau puasa
sunah lainnya. Satu hal yang sangat berbeda bila saya puasa
mutih atau ngrowot. Semuanya berjalan dengan lancar. Saya juga
tidak lagi bisa shalat. jin-jin itu yang menghalangi saya.
Selain itu, ibu dan kerabat dekat
saya mengatakan saya telah banyak berubah. Katanya saya jahat sekali.
Saya menjadi licik dan omongan saya kotor. Saya bersedih. Linangan air
matapun tidak lagi tertahankan. Saya menangis dalam kesendirian. Akhirnya
saya memutuskan untuk mengikuti ruqyah. Awal 2004, saya berniat
mengikuti ruqyah, namun tidak pernah kesampaian. Ada saja hambatan. Bahkan
bisikan dalam diri saya melarang dengan keras. Baru di akhir tahun
2004, tepat setahun setelah berkenalan dengan Majalah Ghoib saya mengikuti
ruqyah massal. Waktu itu di sebuah kota di Jawa Tengah diadakan
seminar dan ruqyah masal. Saya datang, karena saya
sudah bertekad untuk keluar dari jalur perdukunan. Meski untuk itu
saya harus melawan orangtua dan kakek yang mengharapkan saya
mewarisi ilmu keluarga.
Meski untuk itu saya harus kehilangan
harta yang melimpah. Dan saya harus memulai lagi dari nol. Bayangkan
saya biasa mendapatkan uang empat ratusan ribu bahkan lebih
untuk sekali terapi. Sebuah penghasilan yang sangat menggiurkan
memang. Saat ruqyah masal itu, di dada saya ditaruh sebuah mushaf
al-Qur'an. Anehnya, tubuh saya bergejolak. Aliran darah seakan terhenti.
Tidak ada yang mengalir ke seluruh tubuh, hingga saya merasa sekujur tubuh
saya kesemutan.
Tanpa sadar, saya berontak. Saya
memukul ustadz yang menerapi. Bahkan al-Qur'an yang suci itu
saya ludahi. Saya semakin kaget. Karena saya bisa melihat apa yang
saya lakukan. Tapi saya tidak kuasa menahannya. Saya berteriak dan
tertawa terbahak-bahak.
Setelah ruqyah itu saya demam selama
seminggu. Satu hal yang tidak pernah terjadi sejak dikompres jahe
oleh kakek, dulu. Saya berubah menjadi seorang penakut. Saya merasa
ada serombongan orang yang memanggil-manggil. Mereka menyuruh saya
kembali. Kemana-manasaya selalu dicekam ketakutan. Meski
demikian, saya beruntung. Karena sejak ruqyah pertama, saya
mulai bisa menjalankan shalat. Meski awalnya berat, seperti ada yang
membebani di punggung. Tapi setelah terus dilawan, akhirnya beban itu
hilang dengan sendirinya. Hanya
saja, setelah ruqyah pertama kemampuan saya semakin tajam. Pasien
yang meminta jasapun semakin banyak. Pasien-pasien lama banyak
yang kembali datang. Sebuah pertentangan batin yang berat memang. Di
satu sisi, kehadiran mereka mendatangkan keuntungan materi dan
kehormatan. Namun pada sisi lain, saya telah menyatakan mundur dari
dunia perdukunan. Sebuah masa transisi yang sangat menyesakkan dada.
Namun keputusan sudah diambil. Saya
tidak mau surut ke belakang. Apapun resikonya. Akhirnya dengan bahasa
yang halus, saya menolak permintaan mereka. Saya mulai
menyarankan mereka untuk menempuh cara yang tidak menyimpang dari
agama. "Berdoalah kepada Allah dan lakukan shalat hajat," solusi
seperti inilah yang pada akhirnya saya berikan kepada mereka.
Beberapa minggu setelah terapi
pertama, saya ikut terapi ruqyah secara berkelanjutan. Saat
itulah saya merasakan tubuh saya memanjang. Saya
hanya merasakan seperti melihat ular. Tanpa sadar,
saya mendatangi ustadz. "Siapa kamu. Mengapa kamu membunuh anak
buah saya?Percuma kamu membaca bacaan-bacaan itu karena tidak akan
berpengaruh kepada saya. Saya tidak mempan oleh bacaan-bacaan
itu," begitulah celotehan saya seperti dikisahkan seorang teman.
"Saya membunuh anak buahmu karena
mereka masuk ke tubuh Nona dan mengganggunya,"
jawab ustadz. "lya, karena anak ini yang meminta. Dia
meminta kepada saya dan saya hanyamengirimkan yang dia
minta," jawab balik saya. Jin yang merasuk ke dalam tubuh
saya itu membandel. Dia masih belum mau keluar.
"Jangan salahkan saya karena
perempuan ini yang datang ke saya," ujar jin melalui bibir saya.
"Perempuan ini sudah bertobat," ujar ustadz.
"Tapi perempuan ini sudah memberikan perjanjian kalau dia akan
memberikan semuanya kepada saya dan mengembalikan semuanyakepada
saya," jin yang merasuki tubuh saya tidak mau mengalah. Dia
terus mengoceh. Ketika ditawarkan untuk masuk Islam, jin itu tidak tahu.
"Saya tidak tahu sama sekali apa itu Islam.Siapa itu Muhammad.
Itu zaman kapan? Karena saya tidak hidup pada zaman itu. saya
tidak mau bersyahadat, karena saya tidak mengenal Muhammad dan Islam," jin
itu tetap membandel.
"Keluar dari sini,"
bentak ustadz. "Ya, saya akan keluar karena saya masuk
dengan kemauan sendiri, maka saya bisa keluar dengan kemauan
sendiri." Setelah mengucapkan kalimat itu, jin itu keluar saya pun
tersadar. Jin yang merasuk ke dalam tubuh saya memang belum keluar
semua. Tapi saya tidak berputus asa. Sudah belasan tahun mereka
bertahan dalam tubuh saya, tentu mereka juga tidak mau keluar
dengan mudah. Satu hal yang ingin saya pegang teguh, bahwa saya akan
terus menempuh jalur ruqyah untuk membersihkan diri. Semoga Allah mengam-puni
dosa-dosa saya. yang telah banyak menyesatkan orang melalui ilmu
perdukunan yang saya kuasai.
Ruqyah Majalah Ghoib Dan Bekam 021-70374645
Majalah GHOIB Edisi Khusus “Dukun-Dukun Bertaubat”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar