Kamis, 07 Oktober 2021

Kejahiliyyahan di Bulan Suro

Suro adalah nama bulan pertama dalam hitungan kalender Jawa. Kalau dalam kalender Hijriyyah, bulan Suro jatuhnya bertepatan dengan bulan Muharram, yaitu bulan pertama dalam hitungan kalender Islam (Hijriyyah).

Bulan Suro punya nilai istimewa dalam keyakinan mayoritas masyarakat kita, terutama bagi orang-orang Jawa atau yang merasa punya keturunan orang Jawa. Banyak di antara mereka meyakini bahwa bulan Suro merupakan bulan Keramat. Keramat bukan dalam artian mulia, tapi menjurus pada kekuatan mistis dan majic.

 

Ritual Bulan Suro

Entah sejak kapan keyakinan itu muncul dan mewabah di masyarakat Jawa. Yang jelas, sampai sekarang mereka mempunyai agenda ritual tahunan pada bulan Suro ini. Ritual yang bersifat individu, kelompok, atau nasional dalam lingkup wilayah kerajaan di zaman dahulu.

Di antara ritual tersebut adalah memandikan pusaka. Setiap orang yang punya benda pusaka atau yang sejenisnya, pasti menunggu datangnya bulan Suro ini. Mereka berkeyakinan, bahwa bulan ini adalah bulan yang paling tepat untuk meruwat pusaka atau benda keramat lainnya. Mulai dari membersihkan, memandikan, mengganti sarung atau kerangkanya, sampai dengan melakukan ritual khusus lainnya agar ‘kekeramatan’ benda itu tidak sirna, atau supaya makin bertuah.

Beberapa keraton yang masih ada malah punya agenda resmi dan rutin untuk melakukan ritual tersebut secara massal atau besar-besaran. Seperti di Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, dan Solo Jawa Tengah.

Tapi ironisnya, di sisi lain ada juga mereka yang meyakini bahwa bulan Suro merupakan bulan sial. Sehingga mereka tidak berani menggelar hajatan di bulan ini. Dalam bulan ini, terutama di 10 hari pertama, mereka melakukan ritual yang diyakini bisa membuang sial. Ada ritual kungkum (mandi berendam) di sungai, sumur, mata air, air terjun, danau, atau tempat pemandian tertentu untuk membuang sial yang melekat di badan. Atau memandikan mobil, motor, sepeda atau peralatan hidup lainnya, agar benda-benda itu tidak membawa sial.