Kamis, 28 November 2013

DIRAMAL 50 TAHUN TIDAK DAPAT JODOH

Menembus gerbang pernikahan tidak semudah yangdibayangkan. Ada saja hambatan dan halangan yang harus dilewati. Seperti penuturan Hera, setidaknya tujuh pemuda yang dikenalkan orangtuanya, semuanya, mundur karena satu alasan. Jin turut campur dan tidak menginginkan perkenalan berlanjut kejenjang pernikahan. Ia menuturkan kisahnya kepada Ghoib. Berikut petikannya.
Sebagai remaja yang baru menginjak dewasa, saya mulai terlibat dengan kegiatan di luar sekolah. Kebetulan saya dikaruniai suara yang cukup bagus, sehingga dengan mudah bergabung di sebuah grup musik (qasidah). Saya resmi menjadi penyanyi dan ikut dalam kegiatan kelompok ke sana kemari. Meski saat itu saya baru kelas dua SMP.
Dari sinilah cinta bersemi. Wiling Trisno jalaran saka kulino (Cinta tumbuh dan bersemi karena seringnya pertemuan). Dan itulah yang terjadi. Hanafi, anggota senior dalam kelompok kami menarik perhatian saya. Dengan penampilannya yang simpatik serta sikapnya yang dewasa, ia menjadi idola gadis remaja. Terlebih Hanafi termasuk anggota yang serba bisa. Bisa menyanyi dan memainkan alat musik. Tidak sedikit gadis yang mengidolakannya. Sehingga ketika berita keakraban saya dengan Hanafi perlahan tersebar, ada di antara mereka yang merasa tersaingi. Sebut saja Vivi, gadis kuning langsat dan tinggi semampai itu sempat melabrak saya.
Pernyataan Vivi mulai menggoncang kepercayaan saya kepada Hanafi. Namun untuk membenarkan semua pengakuan Vivi begitu saja, juga bukan jalan terbaik. Saya klarifikasikan hal itu kepada Hanafi. "Kenapa kamu bohong sama saya? Siapa Vivi itu?" Saya mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. "Saya tidak ada hubungan apa-apa dengan Vivi. Kalau perlu saya gamparin dia," kata Hanafi dengan nada tinggi.
Dengan ditemani seorang temannya, kami bertiga melabrak Vivi di rumahnya. "Vivi, katakan yang sebenarnya, kalau saya tidak pernah ngapa-ngapain kamu! Katakan kalau apa yang kamu sampaikan itu bohong semuanya!" Vivi yang tidak menduga kami datangi bertiga, akhirnya tidak bisa berkutik. Dia mengakui semua kesalahannya dan meminta maaf.
Hubungan saya dengan Hanafi pun terus berlanjut tanpa diketahui orangtua. Saya masih berusaha sebisa mungkin merahasiakan hubungan ini dari mereka. Karena memang usia saya yang terbilang masih ingusan. Saya baru kelas dua SMP, sementara Hanafi sudah berumur 22 tahun.
Namun, sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya akan jatuh juga. Itulah yang terjadi. Ketika, sedang asik menonton acara peringatan tujuh belas agustus, bapak memergoki saya sedang berduaan dengan Hanafi. Bapak yang selama ini telah mendengar kabar tidak sedap tentang hubungan kami menjadi naik pitam. Kemarahannya sudah tidak lagi terkendalikan. Sehingga dalam kerumunan orang banyak, bapak menghampiri saya dan memukul saya. Sementara itu Hanafi juga tidak luput dari kemarahan bapak. "Lupakan saja Hera! Kamu bisa dapat yang lebih dari Hera. Dia masih SMP, saya tidak ingin sekolahnya terganggu," kata bapak kepada Hanafi dengan disaksikan banyak orang.

Sosok Kuntilanak Menemani Saya Jalan-Jalan
Sejak itu, hubungan saya dengan Hanafi tidak lagi seperti dulu. Saya semakin jarang bertemu. Hari-hari indah masa remaja berubah dengan kegetiran. Terus terang, hati saya masih belum bisa melupakan Hanafi begitu saja. Sehingga secara perlahan hal itu mempengaruhi kejiwaan saya.
Saya berubah menjadi gadis yang murung dan suka menyendiri. Keceriaan yang biasa mengisi keseharian saya perlahan hilang. Kata ibu, saya sering seperti orang yang melamun dan tidak nyambung bila diajak bicara. Pada sisi lain, kesehatan fisik saya juga mulai terganggu. Kepala dan dada saya sering sakit. Terus menggerogoti fisik saya, sehingga bila sakitnya kambuh saya tidak lagi berjalan dengan tegak. Untuk mengambil barang dari luar kamar, saya harus merangkak, karena rasa nyeri di uluhati yang tidak tertahankan. Sudah sekian kali orangtua membawa saya berobat ke rumah sakit, tapi semua itu tidak banyak membantu. Sakit saya tidak kunjung sembuh. Bisa dipastikan setiap bulan saya selalu muntah tanpa sebab yang jelas.
Setahun setelah peristiwa agustus itu, Hanafi menikah dengan gadis pilihannya. Kenyataan yang tidak dapat saya terima begitu saja. Pertama kali saya mendengarnya dari seorang teman sekelas, saya langsung berteriak histeris. Saya katakan kepada seorang teman bahwa selama ini saya tidak bisa melupakan Hanafi. Saya selalu ingat terus. Cinta saya sudah dibawanya habis. Saya sendiri heran, mengapa saya sedemikian jauh dikuasai perasaan itu hingga sedemikian rupa. Toh masih banyak pemuda yang lebih baik dari dia. Tapi mata hati saya sudah terbutakan.
Dari sini, saya berubah menjadi seorang gadis yang suka bersolek. Mematut diri di depan cermin hingga berjam-jam. Memoles wajah dengan bedak yang tebal dan setelah itu tidur. Saya tidak lagi peduli, apakah riasan itu akan dilihat orang atau tidak. Bagi saya saat itu yang terbayang dalam pikiran adalah saya ingin bersolek begitu saja.
Saya seakan menemukan telaga saat menerima undangan untuk tampil menyanyi. Meski dalam kondisi yang masih labil, saya memaksakan diri untuk tampil. Dan tentu saja bersolek dengan make-up yang tebal dengan wama lipstik yang tidak seperti biasanya. Saya lebih suka memakai shadow warna biru dongker. Sebuah perpaduan warna antara bedak, lipstik dan shadow yang terasa menakutkan bagi sebagian orang. Tapi saya tidak peduli. Saya asyik saja bernyanyi dan berjoged dengan goyangan yang mencengangkan. Ibu yang selalu mengikuti saya ketika tampil menyanyi sampai sedih dan tidak mengira saya bisa berubah sedemikian rupa.
Saat tampil menyanyi, saya kelihatan ceria dan lincah. Tapi begitu sampai di rumah, keceriaan itu hilang. Saya kembali menjalani hari-hari dengan kemurungan dan kesendirian. Ajakan orangtua dan saudara untuk bergabung bersama mereka di lantai bawah tetap tidak saya hiraukan. Saya asyik saja dengan dunia saya. Dalam kondisi yang demikian itu, saya sering merasa didatangi oleh sosok makhluk berambut panjang dan bergaun putih. Setiap jam satu atau dua malam, sosok perempuan dengan wajah mengerikan itu mengajak saya untuk turun. "Hera, Hera ..." panggil sosok itu sambil melambaikan tangan. Dia berusaha membangunkan saya. Saya terima lambaian tangannya dan tanpa sadar, saya menuruni tangga. Rasanya saya seperti diajak jalan-jalan. Ke lantai bawah, atau ke lapangan di depan rumah. Saya seperti sedang ngobrol berdua saja. Saat itu, saya mencium bau harum memancar dari sosok perempuan yang mengajak saya. Tapi lama kelamaan dari mulutnya tercium bau busuk. Bau busuk yang menyadarkan saya hingga saya menjerit, "Ibuuu ... ibuuu ....". Yang saya rasakan kemudian, seperti ada yang memeluk saya sebelum akhirnya saya tidak sadarkan diri. Peristiwa seperti ini sering terulang.
Dua tahun sudah semua itu terjadi, tapi perubahan tak kunjung muncul. Dalam keadaan demikian, tetangga menyarankan bapak mengundang orang pintar yang katanya ustadz, namanya Zuhron. Bapak menuruti saran itu dan Zuhron dipanggil ke rumah.
Dengan disaksikan kerabat saya, Zuhron membaca al-Fatihah dan komat-kamit. Tak lama kemudian, salah seorang temannya kerasukan jin. Katanya, jin dari dalam diri saya dimasukkan ke dalam diri temannya agar bisa diajak dialog. Wajah pemuda yang telah kerasukan jin itu menegang. Matanya melotot dan urat-uratnya mengejang.
"Nih, dia jahat," katanya sambil menunjuk-nunjuk bapak. Bapak terkejut. la tidak menduga akan menjadi kambing hitam. "Sampai kapan pun anaknya harus kawin dengan cucu saya," laki-laki yang kerasukan jin itu tetap saja melotot. Dia mengaku selama ini berdiam diri diri di tengkuk saya. "Saya ada di tengkuknya. Biar dia sakit terus. Terus saya suka ngaling-ngalingin mukanya, agar tidak ada yang suka sama dia."
"Memang kenapa?" tanya Zuhron. "Cucu saya disakiti sama syetan ini," katanya sambil tangannya menunjuk-nunjuk bapak. Ketakutan bapak semakin kuat, ketika laki-laki yang menjadi media jin mengamuk. Setelah kerasukan beberapa saat, laki-laki itu pun disadarkan kembali. Saya sendiri kemudian disuruh berobat ke tempat Zuhron secara rutin. Katanya, akar masalah sudah ditemukan, karena selama ini keluarga bapak tidak bermusuhan dengan siapapun. Satu-satunya masalah yang ada hanya dengan Hanafi, dan itu sudah berlangsung dua tahun yang lalu.

Tujuh Pemuda Mengundurkan Diri
Satu tahun lamanya, saya berobat ke Zuhron, namun tidak ada perubahan yang berarti. Saya tetap dalam kebengongan tak ubahnya orang 'bloon'. Akhirnya bapak membawa saya ke orang pintar lainnya. Ki Prana dari Cirebon, Ki Darjo dan beberapa orang pintar lainnya. Semuanya mengatakan bahwa ada sesuatu yang menghalangi saya sehingga tidak ada pemuda yang suka dengan saya. Bahkan ada di antara mereka yang mengatakan bahwa sampai lima puluh tahun pun saya tidak akan bisa menikah.
Mendengar terawangan mereka yang mengarah pada satu titik itu, orangtua menjadi gelisah. Sementara saya adalah anak yang pertama. Bila kemudian saya terlambat menikah, maka adik-adik saya akan menanggung akibamya. Akhirnya ketika saya berusia 18 tahun, orang tua sudah mulai mengizinkan saya untuk dikenalkan dengan pemuda yang ingin menikah dengan saya.
Sejak itu ada beberapa pemuda yang mencoba dikenalkan. Paman saya memperkenalkan saya dengan temannya. Sebut saja namanya, Redi, tinggal di Jakarta Utara. Redi, sudah berjanji untuk main ke rumah. Alamat saya di Bekasi juga sudah dikantonginya. Namun, pada hari dan jam yang telah dijanjikan, Redi tidak kunjung tiba. Saya tunggu dan terus menunggu, tapi tetap tidak muncul. Selang beberapa jam kemudian terdengar dering telpon. Rupanya Redi yang berbicara dari balik telpon. Katanya, dia tersesat dan tidak menemukan jalan ke rumah saya. Padahal alamat saya mudah ditemukan karena terletak di pinggir jalan.
Redi menyerah. Ada lagi pemuda yang diperkenalkan. Kali ini namanya, Sapto, teman adiknya ibu yang masih kuliah di sebuah PT ternama. Sapto memang tidak tersesat dan dia sempat main beberapa kali ke rumah. Namun aneh, setiap kali bertemu dengan saya, katanya dia selalu sakit-sakitan. Katanya, kepalanya seperti ada yang memukulinya dengan keras. Sampai akhirnya melihat saya saja sudah ketakutan. Keringat dingin sebesar jagung membasahi keningnya. Dan Sapto pun kembali menyerah. Dia tidak lagi nongol ke rumah.
Meski sudah dua pemuda yang mengurungkan niatnya, tapi ibu tetap optimis. Dia berusaha untuk menutupi kekecewaannya, "Sabar Hera, hilang satu tumbuh seribu." Saya tahu ibu mengkhawatirkan keadaan saya, semua ucapannya itu hanya untuk menguatkan jiwa saya agar tidak semakin terpuruk.
Sebenarnya, ketika menerima telpon saya sering tertawa cekikikan 'hi hi hi hi' tanpa saya sadari. Ibu yang selalu memperhatikan ketidakwajaran dalam diri saya itu pun mengingatkannya. Tapi tak lama kemudian saya cekikikan lagi. Mungkin hal ini jugalah yang membuat empat pemuda yang dikenalkan dengan saya di kemudian hari, akhirnya menyerah. Enam orang sudah gagal. Di tengah kebingungan itu, bapak membaca Majalah Ghoib yang menulis kesaksian seorang janda yang tujuh kali dilamar tujuh kali gagal. Setelah membaca majalah itu, ibu menyuruh bapak untuk segera mencari alamat Majalah Ghoib. Karena kisahnya sama dengan kisah saya. Bapak mencari ke alamat di jalan Kebon Manggis, tapi katanya sudah pindah. Sementara orang yang ditanya bapak tidak tahu kemana pindahnya. Tinggallah orangtua memendam rasa penasaran dimana kiranya Majalah Ghoib berkantor.
Sewaktu sakit pinggang dan pijat ke Pak Diman, bapak membawa serta foto saya dan minta diterawang. "Oh, ada yang nutup mukanya. Lima puluh tahun tidak bakalan kawin,' kata Pak Diman. Akhirnya saya disuruh ke sana. Di bawah betis saya, katanya dikeluarkan benda-benda seperti beling. Saya juga dikasih jimat macam-macam, tapi tidak pernah saya pakai. Karena saya sudah tidak lagi percaya dengan jimat-jimat itu. Sudah banyak orang pintar yang mengobati saya, tapi semuanya tidak banyak membawa perubahan.
Setelah itu, orangtua saya berpindah meminta doa kepada seorang habib. "Anak ini memang kurang cesan. la harus segera dinikahkan. Karena dia gampang dikerjain orang," kata habib.
Mendengar penuturan habib seperti itu, orangtua kembali semangat mengenalkan saya dengan pemuda lain, namanya Fikri. la anak seorang kyai. Janji pertemuan telah ditentukan, tapi ketika saya mulai mendekat ke Fikri, saya merasakan sakit kepala yang luar biasa. Sampai saya bentur-benturkan kepala ke tembok. Aneh, memang. Tidak biasanya saya bertingkah laku seperti itu.
Ibu kembali mendorong bapak untuk mencari alamat Majalah Ghoib. Beruntung ketika bapak shalat di Masjid Istiqlal, bapak menemukan Majalah Ghoib. Bapak segera mendaftarkan saya. Ketika giliran terapi, seperti ada saja yang menghalangi saya. Terlambat bangun atau kemalasan yang tiada terkira. Sehingga dua kali saya gagal terapi, karena terlambat datang. Pas, kesempatan yang ketiga, ibu memaksa saya untuk berangkat pagi.
Saat diterapi, sampai pada ayat-ayat sihir, saya berteriak. Saya berontak, hingga Ustadz Aris Fathoni kewalahan. Kelima ustadz yang lain segera menangani saya, meninggalkan pasien masing-masing. Heboh sekali, katanya ibu sampai menangis melihat reaksi saya yang tidak seperti pasien lainnya.
"Hi hi hi hi" saya tertawa seperti dulu. Tertawa ngikik yang tidak akan berhenti sebelum dipukul dengan sapu. Kata ibu, saat diterapi itu, saya berubah menjadi wanita yang genit, seperti gaya bintang film. Karena kondisi saya yang sudah lemas, akhirnya hari itu dihentikan. Jin yang cekikikan itu masih belum mau keluar.
Alhasil, dia kembali berulah saat saya bersama teman-teman berlibur ke puncak. Di tengah perjalanan ke air terjun, tiba-tiba saja saya kembali cekikikan saat melihat ke sebuah pohon besar. Terang saja, teman-teman pada ketakutan. Untunglah salah seorang teman saya segera mengingatkan saya untuk segera beristighfar.
Satu minggu berikutnya, saya ruqyah kedua, reaksi saya masih keras seperti ruqyah sebelumnya. Jin tidak mau mengaku siapa yang mengirimnya. Jin itu hanya menunjuk-nunjuk ustadz yang menterapi sambil mengatakan syetan. Dan selanjutnya, saya ngoceh macam-macam: tidak mau pakai jimat yang dari dukun, tidak mau mandi kembang bahkan ketika shalat, katanya saya juga tidak membaca doa. Saya juga menceritakan bahwa sudah sekian banyak pemuda yang mendekati saya pada mundur, sementara orang pintar mengatakan bahwa ada yang menghalangi saya untuk menikah.
"Masalah jodoh itu di tangan Allah. Bila Allah berkehendak, tidak lama Hera juga nikah. Tidak perlu menghiraukan ocehan orang pintar. Bikin kita stress saja" ujar Ustadz Aris. Ustadz-ustadz yang lain juga menimpali, "Besok juga kawin." Kalimat yang memberikan ketenangan seperti itu, saya anggap sebagai bagian dari doa. Semoga Allah mengabulkan permohonan kami.
Setelah ruqyah kedua ini, saya tidak lagi bermimpi yang aneh-aneh. Sakit kepala yang sudah menahun itu pun sembuh. Semua keluarga di rumah terheran-heran dengan perubahan yang begitu cepat. Keceriaan kembali hadir dalam diri saya. Meski demikian, secara berkala saya mengikuti terapi ruqyah hingga enam kali. Dipandu dengan terapi mandiri di rumah melalui kaset, serta menjalankan shalat dengan baik.

Calon Suami pun Tak Luput Dari Gangguannya
Bersamaan dengan proses terapi ruqyah itu, di bulan Agustus ada seorang pemuda yang mengantarkan undangan pengajian ke rumah. Namanya Syahril. Pemuda yang satu ini berbeda dengan tujuh pemuda yang sempat dikenalkan kepada saya. Dia tidak merasakan ada kejanggalan dalam diri saya. Saya pun demikian, tidak merasa sakit seperti saat bertemu dengan Fikri.
Sejak pertemuan bulan Agustus itu, Syahril tidak lagi main ke rumah. Paling sesekali kami berpapasan di jalan. Namun di bulan Januari dia membuat kejutan melalui telpon. "Her, mau nggak saya kenalkan dengan orangtua?" katanya dari balik telpon. "Ah kenalan. Siapa takut," jawab saya. Waktu itu ibu sedang berangkat haji. Nah, sepulang dari ibadah haji, gantian keluarga Syahril yang main ke rumah. Dari pertemuan yang singkat tersebut, mengalir keinginan untuk menjodohkan kami berdua.
Tak lama kemudian, orangtua Syahril menelpon kembali. Katanya, kalau mereka sudah melamar, maka seminggu atau dua minggu kemudian segera dilangsungkan pernikahan. Ketika hal itu disampaikan ibu, saya sempat terkejut, "Kawin, sebelumnya susah banget. Kok sekarang tiba-tiba mau nikah," gumam saya. Saya pun meminta waktu tiga bulan.
Hari-hari saya berlalu biasa saja. Rasa sakit di kepala, punggung maupun uluhati sudah tidak lagi terasa. Saya jalani keseharian saya dengan penuh keceriaan. Terlebih harapan untuk segera menikah tinggal menunggu hari. Persiapan-persiapan kecil sudah mulai terasa.
Namun, hal berbeda menimpa Syahril. Sebenarnya setelah proses lamaran disepakati, Syahril mengalami kejadian yang tidak jauh berbeda dengan saya dulu. Sesekali muncul kebencian dalam dirinya. Orang sering menyebutnya dengan istilah 'gedhek'. Namun, semua gangguan itu tidak menghentikan proses pernikahan yang sudah disepakati.
Suatu hari Syahril menyampaikan masalah kepada saya melalui telepon. "Katanya kalau mau jadi pengantin, pasti salah satu ada yang gedhek" kata Syahril dari balik telepon. "Kok Hera nggak, kamu kali yang gedhek" jawab saya. "Maklum deh. Itu sih kata yang sudah-sudah," ujar Syahril. "Sudahlah, jangan diturutin. Itukan syetan. Lawan, apa yang mengganggu pikiran kamu biar kita tidak jadi ...," jawab saya.
Saya berusaha menenangkan perasaan Syahril, agar tidak banyak terpengaruh dengan gangguan yang dialaminya. Karena bagi saya semua gangguan itu bukan hal yang asing. Sudah sekian lama saya mengalaminya bahkan yang lebih berat dari itupun sudah saya alami.
Beberapa hari menjelang pernikahan, Syahril bahkan rada bingung. la seakan belum sadar bila akan menikah. Kebingungan itu terus berlanjut hingga saat resepsi pernikahan berlangsung. Pernikahan saya diselenggarakan pada hari Jum'at. Menurut cerita yang saya dengar kemudian, pada Jum'at pagi itu Syahril masih saja bingung dan tidak menyadari bahwa hari itu adalah hari pernikahannya. Waktu itu Syahril masih saja main ke pasar sehingga ditegur ibunya. "Syahril, kamu itu nanti nikah." "Nikah?" katanya rada bingung.
Hal yang sama masih terjadi ketika Syahril harus mengenakan pakaian pengantin. Dia memang menurut saja, ketika didandani. Dari sorot matanya masih tersirat kebingungannya. Untunglah kesadarannya pulih kembali sesaat menjelang ijab qabul. "Kok sekarang sudah nikah, perasaan kemarin masih jadi pacar," tanyanya rada bingung.
Alhamdulillah ijab qabul terlaksana dengan baik. Kami telah resmi menjadi sepasang suami istri. Dan yang membahagiakan saya, Abang Syahril kembali menemukan jati dirinya. la tidak lagi kebingungan seperti sebelumnya. Kami menyalami tamu dan undangan dengan riang. Ocehan 'orang pintar' yang mengatakan saya tidak akan menikah sampai lima puluh tahun ternyata tidaklah demikian. Allah telah mengabulkan permohonan dan usaha kami.
Sehari setelah resepsi, saya perhatikan Abang Syahril sepertinya kelelahan. Badannya panas dingin. Saya membiarkannya istirahat dengan tenang. Setelah maghrib, Abang muntah-muntah. Sedemikian parahnya, hingga ia sampai terjatuh. Akhirnya kami membawanya ke rumah sakit. Di rumah sakit, keadaannya semakin parah. Kalau lagi kepanasan tempat tidurnya sampai bergoyang-goyang.
Belajar dari pengalaman masa lalu, akhirnya saya mengusulkan untuk menjauh dari Bekasi. "Bang kalau memang begitu keadaannya, mendingan kita harus ngumpet dulu. Katanya kalau jauh, Kayaknya tidak kena." "Kemana?" tanya Abang. "Abang kan punya kakak di Bogor."
Sesekali, Abang memang masih bingung, satu hal yang mengantarkannya ruqyah ke Majalah Ghoib seperti yang saya lakukan dulu. Setelah terapi yang pertama, alhamdulillah gangguan yang dialaminya tidak separah dulu. Terlebih Abang tergolong orang yang rajin membaca al-Qur'an. Sehabis shalat Maghrib dan Isya' selalu dimanfaatkannya untuk membaca al-Qur'an. Kebiasaan yang terus berlangsung hingga kini.


Ruqyah Majalah Ghoib Dan Bekam 021-70374645

Tidak ada komentar:

Posting Komentar