Menembus gerbang pernikahan tidak semudah yangdibayangkan.
Ada saja hambatan dan halangan yang harus dilewati. Seperti penuturan Hera,
setidaknya tujuh pemuda yang dikenalkan orangtuanya, semuanya, mundur
karena satu alasan. Jin turut campur dan tidak menginginkan perkenalan
berlanjut kejenjang pernikahan. Ia menuturkan kisahnya kepada Ghoib. Berikut
petikannya.
Sebagai remaja yang
baru menginjak dewasa, saya mulai terlibat dengan kegiatan di luar sekolah.
Kebetulan saya dikaruniai suara yang cukup bagus, sehingga dengan mudah
bergabung di sebuah grup musik (qasidah). Saya resmi menjadi penyanyi dan ikut
dalam kegiatan kelompok ke sana kemari. Meski saat itu saya baru kelas dua SMP.
Dari sinilah cinta
bersemi. Wiling Trisno jalaran saka kulino (Cinta tumbuh dan bersemi karena
seringnya pertemuan). Dan itulah yang terjadi. Hanafi, anggota senior dalam
kelompok kami menarik perhatian saya. Dengan penampilannya yang simpatik serta
sikapnya yang dewasa, ia menjadi idola gadis remaja. Terlebih Hanafi termasuk
anggota yang serba bisa. Bisa menyanyi dan memainkan alat musik. Tidak sedikit
gadis yang mengidolakannya. Sehingga ketika berita keakraban saya dengan Hanafi
perlahan tersebar, ada di antara mereka yang merasa tersaingi. Sebut saja Vivi,
gadis kuning langsat dan tinggi semampai itu sempat melabrak saya.
Pernyataan Vivi
mulai menggoncang kepercayaan saya kepada Hanafi. Namun untuk membenarkan semua
pengakuan Vivi begitu saja, juga bukan jalan terbaik. Saya klarifikasikan hal
itu kepada Hanafi. "Kenapa kamu bohong sama saya? Siapa Vivi itu?"
Saya mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. "Saya tidak ada hubungan
apa-apa dengan Vivi. Kalau perlu saya gamparin dia," kata Hanafi dengan
nada tinggi.
Dengan ditemani
seorang temannya, kami bertiga melabrak Vivi di rumahnya. "Vivi, katakan
yang sebenarnya, kalau saya tidak pernah ngapa-ngapain kamu! Katakan kalau apa
yang kamu sampaikan itu bohong semuanya!" Vivi yang tidak menduga kami
datangi bertiga, akhirnya tidak bisa berkutik. Dia mengakui semua kesalahannya
dan meminta maaf.
Hubungan saya dengan
Hanafi pun terus berlanjut tanpa diketahui orangtua. Saya masih berusaha sebisa
mungkin merahasiakan hubungan ini dari mereka. Karena memang usia saya yang terbilang
masih ingusan. Saya baru kelas dua SMP, sementara Hanafi sudah berumur 22
tahun.
Namun,
sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya akan jatuh juga. Itulah yang
terjadi. Ketika, sedang asik menonton acara peringatan tujuh belas agustus,
bapak memergoki saya sedang berduaan dengan Hanafi. Bapak yang selama ini telah
mendengar kabar tidak sedap tentang hubungan kami menjadi naik pitam.
Kemarahannya sudah tidak lagi terkendalikan. Sehingga dalam kerumunan orang
banyak, bapak menghampiri saya dan memukul saya. Sementara itu Hanafi juga
tidak luput dari kemarahan bapak. "Lupakan saja Hera! Kamu bisa dapat yang
lebih dari Hera. Dia masih SMP, saya tidak ingin sekolahnya terganggu,"
kata bapak kepada Hanafi dengan disaksikan banyak orang.
Sosok Kuntilanak
Menemani Saya Jalan-Jalan
Sejak itu, hubungan
saya dengan Hanafi tidak lagi seperti dulu. Saya semakin jarang bertemu.
Hari-hari indah masa remaja berubah dengan kegetiran. Terus terang, hati saya
masih belum bisa melupakan Hanafi begitu saja. Sehingga secara perlahan hal itu
mempengaruhi kejiwaan saya.
Saya berubah menjadi
gadis yang murung dan suka menyendiri. Keceriaan yang biasa mengisi keseharian
saya perlahan hilang. Kata ibu, saya sering seperti orang yang melamun dan
tidak nyambung bila diajak bicara. Pada sisi lain, kesehatan fisik saya juga
mulai terganggu. Kepala dan dada saya sering sakit. Terus menggerogoti fisik
saya, sehingga bila sakitnya kambuh saya tidak lagi berjalan dengan tegak.
Untuk mengambil barang dari luar kamar, saya harus merangkak, karena rasa nyeri
di uluhati yang tidak tertahankan. Sudah sekian kali orangtua membawa saya
berobat ke rumah sakit, tapi semua itu tidak banyak membantu. Sakit saya tidak
kunjung sembuh. Bisa dipastikan setiap bulan saya selalu muntah tanpa sebab yang
jelas.
Setahun setelah
peristiwa agustus itu, Hanafi menikah dengan gadis pilihannya. Kenyataan yang
tidak dapat saya terima begitu saja. Pertama kali saya mendengarnya dari
seorang teman sekelas, saya langsung berteriak histeris. Saya katakan kepada seorang
teman bahwa selama ini saya tidak bisa melupakan Hanafi. Saya selalu ingat
terus. Cinta saya sudah dibawanya habis. Saya sendiri heran, mengapa saya
sedemikian jauh dikuasai perasaan itu hingga sedemikian rupa. Toh masih banyak
pemuda yang lebih baik dari dia. Tapi mata hati saya sudah terbutakan.
Dari sini, saya
berubah menjadi seorang gadis yang suka bersolek. Mematut diri di depan cermin
hingga berjam-jam. Memoles wajah dengan bedak yang tebal dan setelah itu tidur.
Saya tidak lagi peduli, apakah riasan itu akan dilihat orang atau tidak. Bagi
saya saat itu yang terbayang dalam pikiran adalah saya ingin bersolek begitu
saja.
Saya seakan
menemukan telaga saat menerima undangan untuk tampil menyanyi. Meski dalam
kondisi yang masih labil, saya memaksakan diri untuk tampil. Dan tentu saja
bersolek dengan make-up yang tebal dengan wama lipstik yang tidak seperti
biasanya. Saya lebih suka memakai shadow warna biru dongker. Sebuah perpaduan
warna antara bedak, lipstik dan shadow yang terasa menakutkan bagi sebagian
orang. Tapi saya tidak peduli. Saya asyik saja bernyanyi dan berjoged dengan
goyangan yang mencengangkan. Ibu yang selalu mengikuti saya ketika tampil
menyanyi sampai sedih dan tidak mengira saya bisa berubah sedemikian rupa.
Saat tampil
menyanyi, saya kelihatan ceria dan lincah. Tapi begitu sampai di rumah,
keceriaan itu hilang. Saya kembali menjalani hari-hari dengan kemurungan dan
kesendirian. Ajakan orangtua dan saudara untuk bergabung bersama mereka di
lantai bawah tetap tidak saya hiraukan. Saya asyik saja dengan dunia saya.
Dalam kondisi yang demikian itu, saya sering merasa didatangi oleh sosok
makhluk berambut panjang dan bergaun putih. Setiap jam satu atau dua malam,
sosok perempuan dengan wajah mengerikan itu mengajak saya untuk turun. "Hera,
Hera ..." panggil sosok itu sambil melambaikan tangan. Dia berusaha
membangunkan saya. Saya terima lambaian tangannya dan tanpa sadar, saya
menuruni tangga. Rasanya saya seperti diajak jalan-jalan. Ke lantai bawah, atau
ke lapangan di depan rumah. Saya seperti sedang ngobrol berdua saja. Saat itu,
saya mencium bau harum memancar dari sosok perempuan yang mengajak saya. Tapi
lama kelamaan dari mulutnya tercium bau busuk. Bau busuk yang menyadarkan saya
hingga saya menjerit, "Ibuuu ... ibuuu ....". Yang saya rasakan
kemudian, seperti ada yang memeluk saya sebelum akhirnya saya tidak sadarkan
diri. Peristiwa seperti ini sering terulang.
Dua tahun sudah
semua itu terjadi, tapi perubahan tak kunjung muncul. Dalam keadaan demikian,
tetangga menyarankan bapak mengundang orang pintar yang katanya ustadz, namanya
Zuhron. Bapak menuruti saran itu dan Zuhron dipanggil ke rumah.
Dengan disaksikan
kerabat saya, Zuhron membaca al-Fatihah dan komat-kamit. Tak lama kemudian,
salah seorang temannya kerasukan jin. Katanya, jin dari dalam diri saya
dimasukkan ke dalam diri temannya agar bisa diajak dialog. Wajah pemuda yang
telah kerasukan jin itu menegang. Matanya melotot dan urat-uratnya mengejang.
"Nih, dia
jahat," katanya sambil menunjuk-nunjuk bapak. Bapak terkejut. la tidak
menduga akan menjadi kambing hitam. "Sampai kapan pun anaknya harus kawin
dengan cucu saya," laki-laki yang kerasukan jin itu tetap saja melotot.
Dia mengaku selama ini berdiam diri diri di tengkuk saya. "Saya ada di
tengkuknya. Biar dia sakit terus. Terus saya suka ngaling-ngalingin mukanya,
agar tidak ada yang suka sama dia."
"Memang
kenapa?" tanya Zuhron. "Cucu saya disakiti sama syetan ini,"
katanya sambil tangannya menunjuk-nunjuk bapak. Ketakutan bapak semakin kuat,
ketika laki-laki yang menjadi media jin mengamuk. Setelah kerasukan beberapa
saat, laki-laki itu pun disadarkan kembali. Saya sendiri kemudian disuruh
berobat ke tempat Zuhron secara rutin. Katanya, akar masalah sudah ditemukan,
karena selama ini keluarga bapak tidak bermusuhan dengan siapapun. Satu-satunya
masalah yang ada hanya dengan Hanafi, dan itu sudah berlangsung dua tahun yang
lalu.
Tujuh Pemuda
Mengundurkan Diri
Satu tahun lamanya,
saya berobat ke Zuhron, namun tidak ada perubahan yang berarti. Saya tetap
dalam kebengongan tak ubahnya orang 'bloon'. Akhirnya bapak membawa saya ke
orang pintar lainnya. Ki Prana dari Cirebon, Ki Darjo dan beberapa orang pintar
lainnya. Semuanya mengatakan bahwa ada sesuatu yang menghalangi saya sehingga
tidak ada pemuda yang suka dengan saya. Bahkan ada di antara mereka yang
mengatakan bahwa sampai lima puluh tahun pun saya tidak akan bisa
menikah.
Mendengar terawangan
mereka yang mengarah pada satu titik itu, orangtua menjadi gelisah. Sementara
saya adalah anak yang pertama. Bila kemudian saya terlambat menikah, maka
adik-adik saya akan menanggung akibamya. Akhirnya ketika saya berusia 18 tahun,
orang tua sudah mulai mengizinkan saya untuk dikenalkan dengan pemuda yang
ingin menikah dengan saya.
Sejak itu ada
beberapa pemuda yang mencoba dikenalkan. Paman saya memperkenalkan saya dengan
temannya. Sebut saja namanya, Redi, tinggal di Jakarta Utara. Redi, sudah
berjanji untuk main ke rumah. Alamat saya di Bekasi juga sudah dikantonginya.
Namun, pada hari dan jam yang telah dijanjikan, Redi tidak kunjung tiba. Saya
tunggu dan terus menunggu, tapi tetap tidak muncul. Selang beberapa jam
kemudian terdengar dering telpon. Rupanya Redi yang berbicara dari balik
telpon. Katanya, dia tersesat dan tidak menemukan jalan ke rumah saya. Padahal
alamat saya mudah ditemukan karena terletak di pinggir jalan.
Redi menyerah. Ada
lagi pemuda yang diperkenalkan. Kali ini namanya, Sapto, teman adiknya ibu yang
masih kuliah di sebuah PT ternama. Sapto memang tidak tersesat dan dia sempat
main beberapa kali ke rumah. Namun aneh, setiap kali bertemu dengan saya,
katanya dia selalu sakit-sakitan. Katanya, kepalanya seperti ada yang
memukulinya dengan keras. Sampai akhirnya melihat saya saja sudah ketakutan.
Keringat dingin sebesar jagung membasahi keningnya. Dan Sapto pun kembali
menyerah. Dia tidak lagi nongol ke rumah.
Meski sudah dua
pemuda yang mengurungkan niatnya, tapi ibu tetap optimis. Dia berusaha untuk
menutupi kekecewaannya, "Sabar Hera, hilang satu tumbuh seribu." Saya
tahu ibu mengkhawatirkan keadaan saya, semua ucapannya itu hanya untuk
menguatkan jiwa saya agar tidak semakin terpuruk.
Sebenarnya, ketika
menerima telpon saya sering tertawa cekikikan 'hi hi hi hi' tanpa saya sadari.
Ibu yang selalu memperhatikan ketidakwajaran dalam diri saya itu pun
mengingatkannya. Tapi tak lama kemudian saya cekikikan lagi. Mungkin hal ini
jugalah yang membuat empat pemuda yang dikenalkan dengan saya di kemudian hari,
akhirnya menyerah. Enam orang sudah gagal. Di tengah kebingungan itu, bapak
membaca Majalah Ghoib yang menulis kesaksian seorang janda yang tujuh kali
dilamar tujuh kali gagal. Setelah membaca majalah itu, ibu menyuruh bapak untuk
segera mencari alamat Majalah Ghoib. Karena kisahnya sama dengan kisah saya.
Bapak mencari ke alamat di jalan Kebon Manggis, tapi katanya sudah pindah.
Sementara orang yang ditanya bapak tidak tahu kemana pindahnya. Tinggallah
orangtua memendam rasa penasaran dimana kiranya Majalah Ghoib berkantor.
Sewaktu sakit
pinggang dan pijat ke Pak Diman, bapak membawa serta foto saya dan minta
diterawang. "Oh, ada yang nutup mukanya. Lima puluh tahun tidak bakalan
kawin,' kata Pak Diman. Akhirnya saya disuruh ke sana. Di bawah betis saya,
katanya dikeluarkan benda-benda seperti beling. Saya juga dikasih jimat
macam-macam, tapi tidak pernah saya pakai. Karena saya sudah tidak lagi percaya
dengan jimat-jimat itu. Sudah banyak orang pintar yang mengobati saya, tapi
semuanya tidak banyak membawa perubahan.
Setelah itu,
orangtua saya berpindah meminta doa kepada seorang habib. "Anak ini memang
kurang cesan. la harus segera dinikahkan. Karena dia gampang dikerjain
orang," kata habib.
Mendengar penuturan
habib seperti itu, orangtua kembali semangat mengenalkan saya dengan pemuda
lain, namanya Fikri. la anak seorang kyai. Janji pertemuan telah ditentukan,
tapi ketika saya mulai mendekat ke Fikri, saya merasakan sakit kepala yang luar
biasa. Sampai saya bentur-benturkan kepala ke tembok. Aneh, memang. Tidak
biasanya saya bertingkah laku seperti itu.
Ibu kembali
mendorong bapak untuk mencari alamat Majalah Ghoib. Beruntung ketika bapak
shalat di Masjid Istiqlal, bapak menemukan Majalah Ghoib. Bapak segera
mendaftarkan saya. Ketika giliran terapi, seperti ada saja yang menghalangi
saya. Terlambat bangun atau kemalasan yang tiada terkira. Sehingga dua kali
saya gagal terapi, karena terlambat datang. Pas, kesempatan yang ketiga, ibu
memaksa saya untuk berangkat pagi.
Saat diterapi,
sampai pada ayat-ayat sihir, saya berteriak. Saya berontak, hingga Ustadz Aris
Fathoni kewalahan. Kelima ustadz yang lain segera menangani saya, meninggalkan
pasien masing-masing. Heboh sekali, katanya ibu sampai menangis melihat reaksi
saya yang tidak seperti pasien lainnya.
"Hi hi hi
hi" saya tertawa seperti dulu. Tertawa ngikik yang tidak akan berhenti
sebelum dipukul dengan sapu. Kata ibu, saat diterapi itu, saya berubah menjadi
wanita yang genit, seperti gaya bintang film. Karena kondisi saya yang sudah
lemas, akhirnya hari itu dihentikan. Jin yang cekikikan itu masih belum mau
keluar.
Alhasil, dia kembali
berulah saat saya bersama teman-teman berlibur ke puncak. Di tengah perjalanan
ke air terjun, tiba-tiba saja saya kembali cekikikan saat melihat ke sebuah
pohon besar. Terang saja, teman-teman pada ketakutan. Untunglah salah seorang
teman saya segera mengingatkan saya untuk segera beristighfar.
Satu minggu
berikutnya, saya ruqyah kedua, reaksi saya masih keras seperti ruqyah
sebelumnya. Jin tidak mau mengaku siapa yang mengirimnya. Jin itu hanya
menunjuk-nunjuk ustadz yang menterapi sambil mengatakan syetan. Dan selanjutnya,
saya ngoceh macam-macam: tidak mau pakai jimat yang dari dukun, tidak mau mandi
kembang bahkan ketika shalat, katanya saya juga tidak membaca doa. Saya juga
menceritakan bahwa sudah sekian banyak pemuda yang mendekati saya pada mundur,
sementara orang pintar mengatakan bahwa ada yang menghalangi saya untuk
menikah.
"Masalah jodoh
itu di tangan Allah. Bila Allah berkehendak, tidak lama Hera juga nikah. Tidak
perlu menghiraukan ocehan orang pintar. Bikin kita stress saja" ujar
Ustadz Aris. Ustadz-ustadz yang lain juga menimpali, "Besok juga
kawin." Kalimat yang memberikan ketenangan seperti itu, saya anggap
sebagai bagian dari doa. Semoga Allah mengabulkan permohonan kami.
Setelah ruqyah kedua
ini, saya tidak lagi bermimpi yang aneh-aneh. Sakit kepala yang sudah menahun
itu pun sembuh. Semua keluarga di rumah terheran-heran dengan perubahan yang
begitu cepat. Keceriaan kembali hadir dalam diri saya. Meski demikian, secara
berkala saya mengikuti terapi ruqyah hingga enam kali. Dipandu dengan terapi
mandiri di rumah melalui kaset, serta menjalankan shalat dengan baik.
Calon Suami pun Tak
Luput Dari Gangguannya
Bersamaan dengan
proses terapi ruqyah itu, di bulan Agustus ada seorang pemuda yang mengantarkan
undangan pengajian ke rumah. Namanya Syahril. Pemuda yang satu ini berbeda
dengan tujuh pemuda yang sempat dikenalkan kepada saya. Dia tidak merasakan ada
kejanggalan dalam diri saya. Saya pun demikian, tidak merasa sakit seperti saat
bertemu dengan Fikri.
Sejak pertemuan
bulan Agustus itu, Syahril tidak lagi main ke rumah. Paling sesekali kami
berpapasan di jalan. Namun di bulan Januari dia membuat kejutan melalui telpon.
"Her, mau nggak saya kenalkan dengan orangtua?" katanya dari balik
telpon. "Ah kenalan. Siapa takut," jawab saya. Waktu itu ibu sedang
berangkat haji. Nah, sepulang dari ibadah haji, gantian keluarga Syahril yang
main ke rumah. Dari pertemuan yang singkat tersebut, mengalir keinginan untuk
menjodohkan kami berdua.
Tak lama kemudian,
orangtua Syahril menelpon kembali. Katanya, kalau mereka sudah melamar, maka
seminggu atau dua minggu kemudian segera dilangsungkan pernikahan. Ketika hal
itu disampaikan ibu, saya sempat terkejut, "Kawin, sebelumnya susah
banget. Kok sekarang tiba-tiba mau nikah," gumam saya. Saya pun meminta
waktu tiga bulan.
Hari-hari saya
berlalu biasa saja. Rasa sakit di kepala, punggung maupun uluhati sudah tidak
lagi terasa. Saya jalani keseharian saya dengan penuh keceriaan. Terlebih
harapan untuk segera menikah tinggal menunggu hari. Persiapan-persiapan kecil
sudah mulai terasa.
Namun, hal berbeda
menimpa Syahril. Sebenarnya setelah proses lamaran disepakati, Syahril
mengalami kejadian yang tidak jauh berbeda dengan saya dulu. Sesekali muncul
kebencian dalam dirinya. Orang sering menyebutnya dengan istilah 'gedhek'.
Namun, semua gangguan itu tidak menghentikan proses pernikahan yang sudah
disepakati.
Suatu hari Syahril
menyampaikan masalah kepada saya melalui telepon. "Katanya kalau mau jadi
pengantin, pasti salah satu ada yang gedhek" kata Syahril dari balik
telepon. "Kok Hera nggak, kamu kali yang gedhek" jawab saya.
"Maklum deh. Itu sih kata yang sudah-sudah," ujar Syahril.
"Sudahlah, jangan diturutin. Itukan syetan. Lawan, apa yang mengganggu
pikiran kamu biar kita tidak jadi ...," jawab saya.
Saya berusaha
menenangkan perasaan Syahril, agar tidak banyak terpengaruh dengan gangguan
yang dialaminya. Karena bagi saya semua gangguan itu bukan hal yang asing.
Sudah sekian lama saya mengalaminya bahkan yang lebih berat dari itupun sudah
saya alami.
Beberapa hari
menjelang pernikahan, Syahril bahkan rada bingung. la seakan belum sadar bila
akan menikah. Kebingungan itu terus berlanjut hingga saat resepsi pernikahan
berlangsung. Pernikahan saya diselenggarakan pada hari Jum'at. Menurut cerita
yang saya dengar kemudian, pada Jum'at pagi itu Syahril masih saja bingung dan
tidak menyadari bahwa hari itu adalah hari pernikahannya. Waktu itu Syahril
masih saja main ke pasar sehingga ditegur ibunya. "Syahril, kamu itu nanti
nikah." "Nikah?" katanya rada bingung.
Hal yang sama masih
terjadi ketika Syahril harus mengenakan pakaian pengantin. Dia memang menurut
saja, ketika didandani. Dari sorot matanya masih tersirat kebingungannya.
Untunglah kesadarannya pulih kembali sesaat menjelang ijab qabul. "Kok
sekarang sudah nikah, perasaan kemarin masih jadi pacar," tanyanya rada
bingung.
Alhamdulillah ijab
qabul terlaksana dengan baik. Kami telah resmi menjadi sepasang suami istri.
Dan yang membahagiakan saya, Abang Syahril kembali menemukan jati dirinya. la
tidak lagi kebingungan seperti sebelumnya. Kami menyalami tamu dan undangan
dengan riang. Ocehan 'orang pintar' yang mengatakan saya tidak akan menikah
sampai lima puluh tahun ternyata tidaklah demikian. Allah telah mengabulkan
permohonan dan usaha kami.
Sehari setelah
resepsi, saya perhatikan Abang Syahril sepertinya kelelahan. Badannya panas
dingin. Saya membiarkannya istirahat dengan tenang. Setelah maghrib, Abang
muntah-muntah. Sedemikian parahnya, hingga ia sampai terjatuh. Akhirnya kami
membawanya ke rumah sakit. Di rumah sakit, keadaannya semakin parah. Kalau lagi
kepanasan tempat tidurnya sampai bergoyang-goyang.
Belajar dari
pengalaman masa lalu, akhirnya saya mengusulkan untuk menjauh dari Bekasi.
"Bang kalau memang begitu keadaannya, mendingan kita harus ngumpet dulu.
Katanya kalau jauh, Kayaknya tidak kena." "Kemana?" tanya Abang.
"Abang kan punya kakak di Bogor."
Sesekali, Abang
memang masih bingung, satu hal yang mengantarkannya ruqyah ke Majalah Ghoib
seperti yang saya lakukan dulu. Setelah terapi yang pertama, alhamdulillah
gangguan yang dialaminya tidak separah dulu. Terlebih Abang tergolong orang
yang rajin membaca al-Qur'an. Sehabis shalat Maghrib dan Isya' selalu
dimanfaatkannya untuk membaca al-Qur'an. Kebiasaan yang terus berlangsung
hingga kini.
Ruqyah Majalah Ghoib Dan Bekam 021-70374645
Tidak ada komentar:
Posting Komentar