Sosok anak kecil (8
thn) berkaca mata yang tinggal di Bekasi itu terkesan tenang dan pendiam. Tapi
siapa sangka di balik ketenangannya itu ia menyimpan sebuah kisah penuh
misteri. Awal mula keanehan itu seakan merupakan suatu kelebihan, karena si
anak bisa melihat jin yang tidak terlihat oleh orang yang bersamanya. Namun,
perjalanan selanjutnya ternyata melahirkan suatu penderitaan yang beruntun yang
harus ditanggung oleh “si anak ajaib” itu.
Dirumah orangtuanya yang asri, merangkap
sebagai tempat pembelajaran anak-anak, Majalah Ghoib berbincang
santai dengan kedua orangtuanya. Inilah penuturannya.
Terus terang keluarga saya secara turun temurun, senang mempelajari
ilmu kanuragan. Mulai dari buyut, kakek, hingga ayah. Bedanya, ayah tidak suka
menggunakan kepandaiannya dan tidak mau mendalaminya. Setiap orang yang
mempelajari ilmu semacam ini suka ataupun tidak, tentu sadar bahwa ilmunya itu
bisa turun kepada anak-anaknya. Dan itulah yang terjadi pada keluarga saya.
Hingga sekarang. Saat ini saudara saya masih ada yang memperdalam kemampuannya,
sampai bisa menghilang dair pandangan orang lain. Hal ini sangat disadari ayah
dan beliau tidak ingin saya mewarisi ilmunya ini, sehingga beliau berusaha
keras melindungi saya yang kebetulan adalah anak yang paling disayanginya.
Disamping itu, saya merupakan satu-satunya anak perempuan di keluarga.
Meskipun saya tidak mewarisi ilmu itu, bukan berarti saya bisa
bernafas dengan lega. Sebab saya juga khawatir ilmu itu akan terwarisi oleh
anak saya, karena menurut hitungan uwak saya, ilmu itu akan
diwarisi oleh Andi (nama samaran), anak saya yang kedua. Saya masih belum
menyadarinya hingga suatu hari saya menderita sakit. Temperatur panas badan
saya sangat tinggi. Dan keesokan harinya saya langsung berobat ke dokter. Saya
terperangah, seakan tidak percaya ketika mendengar penjelasan dokter. “Ibu
mengidap penyakit kelenjar getah bening dalam taraf yang sudah akut. Ibu harus
menjalani operasi”. Demikian dokter menjelaskan hasil pemeriksaan laboratorium
kepada saya dan suami. Seakan tersambar Guntur di siang hari, saya tidak
percaya. Bagaimana mungkin demam yang baru saya derita satu hari dinyatakan
sudah akut dan harus dioperasi. Padahal sebelumnya saya tidak merasakan
gejala orang sakit kelenjar getah bening. Saya hanya pasrah, “Kalau sakit
itu merupakan ujian, saya harus bersabar.” ltu saja yang membuat saya terus
semangat beribadah.
Namun, untuk menjalani operasi kelenjar getah bening terus terang
saia saya masih belum siap, dan secara kebetulan ada beberapa teman yang
memberikan informasi bahwa di Sukabumi ada pengobatan alternatif yang terkenal.
Akhirnya dengan ditemani suami saya berobat ke sana. Sepulang berobat saya
dikasih rajah yang harus direbus dengan cara-cara tertentu dan diminum selama
empat puluh hari. Terus terang, saya tidak tahu apakah ada kaitan antara sakit
yang diderita Andi dengan peristiwa yang saya alami ini, sebab kejadiannya
memang susul menyusul.
Muncul keanehan-keanehan
Andi mulai mengalami perubahan yang diluar nalar. Bagaimana tidak.
la mulai bisa melihat sesuatu yang ghoib, sesuatu yang tidak dilihat oleh
orang-orang yang bersamanya, meski orang itu adalah
kami, orangtuanya sendiri. “Bapak jangan duduk di kursi itu, karena
sudah ada yang duduk di sana nanti bapak menyakitinya,” kata Andi kepada
ayahnya yang hendak duduk di sebuah kursi. Kejadian seperti ini seringkali
berulang. Bukan hanya di rumah tapi juga di sekolah. Andi sering melihat
makhluk lain yang menakutkan di sekolah. Sehingga guru-gurunya di sebuah
sekolah TK saat itu heran, mengapa Andi tidak mau bermain dengan teman-temannya,
tapi sering mengikuti gurunya kemana pun dia pergi.
“Pak, Bu. Sekarang apa yang dialami Andi sehingga ia harus
mengikuti gurunya kemana-mana?” tanya seorang gurunya kepada kami. Ketika hal
itu saya tanyakan kepada Andi, ia menjawab, “Soalnya di sekolah itu banyak
ninja. Kalau Andi di ayunan, ia ikut di ayunan. Kalau Andi di perosotan ia ikut
di perosotan. Saya takut. Orang-orang asing itu juga terkadang ada di antara
teman-teman Andi”, katanya. Terus saya meminta Andi mendiskripsikan “Pokoknya
seperti ninja. Hitam-hitam,” lanjut Andi. “Aku tidak mau lagi sekolah, sebab
orangnya terlalu banyak. Dan orang itu tidak Andi kenal”. Peristiwa ini terjadi
pada tahun 2000, saat Andi masih sekolah TK kelas B.
Andi semakin sering melihat anak kecil berkepala botak dan berkulit
hitam. Bahkan saat selanjutnya, ia juga melihat wanita tua. Setelah tiba di
rumah dia langsung berteriak, “Tuh kan, ia sekarang sudah menunggu.” “Siapa
yang menunggu?” Tanya saya. Sebab saya tidak melihat siapapun di rumah. “ltu,
nenek tua yang sering Andi lihat di sekolah,” jawab Andi. “Bagaimana rupanya?”
saya merasa penasaran juga. “Nenek berambut panjang,” Andi mencoba
menjelaskannya.
Andi tidak mau main dengan teman-temannya ketika di sekolah.
Padahal selama ini, dia anak yang biasa-biasa saja. Di rumah, dia mulai
mempunyai kebiasaan aneh. Dia sibuk dengan tembok, kelihatan asyik ngobrol
sendiri di tembok. Kadang-kadang, kalau sedang bermain dia banyak bebicara,
seperti ada temannya. Padahal dia cuma sendirian. Apa yang diobrolkannya pun
tidak jelas. Terkadang tanpa bicara hanya dengan bahasa isyarat, seakan di
depannya memang ada anak seusianya dan mereka kelihatan asyik sekali
bermainnya. Kalau kita menemaninya. Dia akan diam, lalu memandang kita dengan
raut wajah ketakutan. Setelah kita pergi, dia kembali asyik dengan mainannya.
Suatu ketika saya bilang, “Andi, kalau mama lagi ngajar, kamu main
ya, sama teman-teman”. Dia malah tidak mau, “Tidak usah, suruh pulang saja,
Andi berani kok main di rumah sendiri”, kata Andi.
lntensitas gangguan yang dialami Andi juga semakin sering, bahkan
wujud yang dilihatnya juga semakin aneh. Wujud yang tidak lazim. Kali ini, yang
dilihat orang bertanduk, sangat menakutkannya. Hingga suatu saat, ketika Andi
sedeang di kamar, dia meloncat kepada ayahnya sambil berteriak, “Dia meloncat
lewat jendela dan sekarang ia mengganggu Andi”. Hal itu sudah keterlaluan dan
mengganggu Andi.
Ternyata, apa yang diderita Andi itu semakin kuat seiring dengan
semakin seringnya saya berobat ke Sukabumi hingga empat kali. Saya berpikir,
“Kok Andi begini, kok saya begini?” Saya juga sering bermimpi melihat dua orang
jelek, persis seperti yang diceritakan Andi. Dari mimpi itu saya membayangkan
wajah orang yang sering dilihat Andi. Memang menakutkan.
Masalah bertambah
Setelah kondisi Andi semakin mengkhawatirkan, ibu menyuruh saya
untuk membawanya ke uwak, karena ia juga bisa melihat sesuatu yang
tidak terlihat orang lain. Agar Andi diobati. Sepulang dari uwak,
kemampuan Andi tidak berkurang, bahkan semakin tajam.Uwak pernah memandikannya
dengan air kembang tujuh rupa dan meminta kain hitam. Kemudian uwak membacakan
do’a-do’a pada kain hitam yang dicelupkan di air. Setelah itu Andi disuruh
meminumnya.
Ternyata, uwak semakin mengasah ketajaman
penglihatan Andi. Misalnya ketika ada orang yang punya masalah, uwak minta
Andi untuk menyebutkan berapa jin yang mengganggu orang itu. lstilahnya, Andi
menjadi penyambung antara uwak dengan jin. Ya, kalau ada
pasien yang datang, uwak menyuruh Andi untuk melihatnya.
Demikian juga ketika uwak menjenguk saya, pada
saat sakit saya kambuh kembali, “Andi, coba lihat pada mama itu ada siapa?”
kata uwak dengan tenang. Akhirnya Andi yang menyebutkannya.
Peristiwa ini menyadarkan saya bahwa apa yang dilakukan uwak itu
tidak benar. Saya ingin Andi sembuh dari gangguan yang menyakitkan ini. Saya
ingin Andi menjadi normal seperti anak-anak lain yang menikmati dunianya. Tapi
yang terjadi justru sebaliknya. Kemampuan Andi semakin dipertajam. Sehingga
Andi bisa melihat makhluk yang lain, bukan hanya anak kecil berkepala botak dan
kedua orang tuanya. Dia juga melihat ada dua monyet di dalam rumah neneknya,
atau ada sesuatu yang ditaruh di bawah pohon kelapa. Andi tahu
semuanya. Terus terang, uwak saya itu memang punya khadam dari
jin.
Secara diam-diam, uwak memberi kalung kepada Andi.
Setelah saya tahu bahwa ada sesuatu yang dibungkus di dalam bandul kalung itu,
dan saya yakin itu adalah rajah. Segera, saya cabut kalungnya dan saya buang.
Terang saja uwak marah melihat barang titipannya saya buang.
“ltu pendamping anakmu” alasan uwak. “Kalau uwak bilang
itu sebagai pendamping, sayatidak setuju”, jawab saya dengan tidak kalah
sengitnya.
Waktu kalung itu saya buang, Andi kelihatan mulai berubah. Dia bisa
menghabiskan makanan yang secara logika tidak mungkin anak seumur Andi sanggup
menghabiskannya. Karena makanan yang berupa kue itu, saya siapkan untuk kami
berlima, seluruh anggota keluarga. Selain itu, cara makannya juga tidak wajar,
misalnya dengan membuka lebar jari-jarinya dan mengambil nasi yang cukup banyak
untuk ukuran mulutnya. la juga makan dengan tangan kiri. Sampai akhirnya saya
bertanya-tanya. “lni anakku atau bukan, ya?” Bukan hanya itu, Andi juga bisa
menghabiskan daging ayam separuh. Makannya juga aneh. Dengan mengeluarkan suara
dan matanya kelihatan beringas. Selesai makan, saya bertanya, “Andi, maaf ya.
Mama mau tanya. Andi tadi makan ayamnya kok banyak sekali?” “Tidak, Andi tidak
makan”. Jawabnya, la tidak sadar bahwa makanan itu ia yang menghabiskan
semuanya. la menyangkalnya dengan ngotot. Padahal saya meihat sendiri cara dia
makan tadi.
Ucapannya juga sudah aneh-aneh, “Ma, tadi ada bapaknya ke sini”,
katanya “Anaknya itu di sini, ma. Sekarang ibunya yang berambut panjang, sedang
mengejar-ngejar anaknya, disuruh pulang,” lanjut Andi. Rupanya ia diikuti oleh
anak jin yang berkulit hitam sejak dari sekolah. “Tapi anaknya tidak mau,”
katanya. Saya tanya lagi, “Kenapa tidak mau?” “Dia mau main sama Andi,” jawab
Andi.
Semakin lama keanehannya semakin bertambah. la makan dengan cara
tertentu. Bila sudah sampai hitungan ke sembilan ia berhenti makan, walau
makanan itu belum habis. Ketika makan pisang, misalnya. Setelah sampai hitungan
sembilan dia langsung berhenti. Makan apapun akan berhenti setelah sampai pada
hitungan sembilan. Hingga bapaknya pun terkadang menggoda, “Andi sudah sampai
sembilan, belum?” jadi malah kita jadikan gurauan.
Tapi saya semakin berpikir “Kok aneh ya”. Dalam kondisi seperti itu
Andi malah sering berani menggoda gurunya, “liiih, di belakangnya ibu ada
temannya, kan?” Sampai akhirnya saya lebih khawatir ketika dia mulai diajak
beberapa teman saya ke rumahnya dan disuruh untuk melihat apakah ada sesuatu
yang aneh atau tidak di rumahnya. “Andi, coba lihat. Apa di rumah ini kosong apa
nggak dari makhluk aneh?” pintanya.
Terapi Ruqyah Syar’iyyah
Sebulan kemudian, ia berubah drastis. Sekarang menjadi penakut, dan
tidak pernah lagi menyebut melihat sesuatu. Tapi malah ketakutan,
“Ma, Andi takut, temanin Andi, ma!,” akhirnya saya tanya, “Kamu lihat yang
menyeramkan, ya?” Saat itu, Andi mulai tidak mau mendiskripsikan apa yang
dilihatnya. “Pokoknya, Andi takut. pokoknya, Andi takut”. Dari situ saya mulai
berpikir untuk mencari pengobatan buat Andi. Banyak orang yang menyarankan ke
sana kemari. Hingga akhirnya saya membaca Majalah Ghoib. di
samping itu saya juga mulai mengikuti kajian kelslaman di sebuah lembaga lslam.
Dari sini, Alhamdulillah saya menemukan jalan.
Singkat kata, saya langsung tertarik dengan pengobatan ruqyah ini.
Sebab saya tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti dulu. Akhirnya
saya, suami dan Andi pergi ke kantor Majalah Ghoib untuk
terapi ruqyah. Saya ingat, saat itu kami harus menunggu giliran, sambil
istirahat di halaman rumah. Ketika sedang menunggu giliran, Andi sudah mulai
gelisah dan menghabiskan semua bekal makanan yang saya bawa. Waktu disuruh
masuk Andi juga tidak mau. Akhirnya saya bujuk. Setelah diputarkan kaset
ruqyah, Andi berontak dan lari. Lalu ia ditenangkan oleh Ustadz Musyaffa. Tak
lama kemudian Andi ditangani oleh Ustadz Junaedi dan Ustadz Fadhlan. Saat
itulah Andi mulai tenang.
Kebetulan, saat itu ada seseorang yang sedang diruqyah dan
kelihatan ada reaksi dari jin yang di tubuhnya. Ustadz Fadhlan berkata. “Andi,
lihat! di depanmu ada apa?”. “Andi tidak melihat apa-apa. Andi cuma melihat
orang berbaring saja”. Jawab Andi. “Ya sudah, berarti jin yang bersama kamu
sudah hilang.” komentar ustadz Fadhlan. Saya bersyukur kepada Allah dan
berterima kasih atas pertolongan tim ruqyah Majalah Ghoib,
karena sejak saat itu, Alhamdulillah Andi sudah tidak bisa melihat jin.
Setelah proses ruqyah Andi selesai, saya juga minta diruqyah.
Barangkali saya juga mengalami gangguan yang sama. Ternyata benar, saya juga
kemasukan jin. Waktu itu, ustadz Fadhlan sempat bilang “Bu, mungkin ini
keturunan”. Saya memang belum sempat cerita tentang latar belakang keluarga
saya. Sebulan kemudian saya datang lagi. Saat itu saya melihat Andi sudah mulai
berubah. la bilang “Andi kan tidak sakit, Andi kan tidak seperti orang itu, Andi
kan tidak terganggu jin”. Saya pikir anak saya ini masih kecil dan tidak bisa
dibawa ke pengobatan masal seperti ini. Akhirnya saya bilang kepada ustadz
Junaedi bahwa saya ingin belajar ruqyah dengan tujuan saya bisa menangani anak
saya sendiri. Dalam perjalanan selanjutnya, Alhamdulillah, saya bisa meruqyah
dan bisa membantu orang lain yang merasakan derita gangguan jin.
Memperoleh wawasan baru
Untuk menghilangkan gangguan jin secara total pada usia belum
baligh, memang agak sulit. Oleh karena itu, saya berusaha membangun benteng
yang melindungi kami dari gangguan jin. Saya mencoba mengajak Andi ikut
berdzikir. Pada bulan pertama dia bisa ikut berdzikir, tapi pada bulan kedua
saya lihat reaksinya sudah berubah. Dia sudah mulai tidak mau shalat, saya suruh
berdzikir juga tidak mau. Akhirnya, saya mengajaknya menemui ustadz Junaedi.
Beliau bilang, “lbu, pertahanannya bukan di Andi, pertahanannya pada ibu dan
bapak. Karena Andi masih belum punya pertahanan apa-apa dan jangan dipaksa”.
Dari sini saya semakin rajin belajar agama dan rutin ibadah.
Saya juga tidak pernah menyerah menghadapi kasus Andi, akhirnya
saya memutuskan untuk berbicara terbuka kepada Andi, akan problem yang
dihadapinya. Saya mengajaknya bicara dengan bahasa anak-anak, “Andi kondisi
kamu itu sebenarnya begini lho, kamu itu diganggu, kamu itu harus punya
pertahanan seperti ini”. Dengan pendekatan seperti itu, Andi mulai mau
berdzikir kembali. Cuma memang prosesnya itu sangat memberatkannya. Kadangkala
saya menemani Andi berdzikir, saya bilang, “Andi berdzikir satu lingkaran saja,
tiga puluh tiga kali”. Dengan membaca ,"Tidak ada Tuhan (yang
berhak disembah) selain Allah. Tiada sekutu bagi-Nya. Dan bagi-Nya seluruh
kekuasaan dan segala puji. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Baru
berdzikir sekitar dua puluh kali, Andi sudah jatuh terjungkal. “Mama, Andi
tidak kuat”. Katanya. “ltu bukan Andi, Andi harus kuat, Andi harus melawan”.
Saya mencoba menguatkannya. Akhirnya ia berdzikir dengan terbata-bata. “Ya
Allah lindungilah anak saya,” saya berdoa dengan cucuran air mata membasahi
pipi. Kemudian saya menelpon Ustadz Junaedi. Kata beliau, “lbu jangan terlalu
memaksa, kalau Andi bisa berdzikir sepuluh kali, ya sepuluh kali saia. Kalau
bisa dua puluh, Ya puluh kali saja. Jangan terlalu dipaksa”.
Akhirnya, saya perlonggar lagi dan saya biarkan dia berdzikir
sendiri. Tapi yang terjadi justru diluar di luar perkiraan saya. Dzikirnya
sudah berubah. Dia berdzikir “Golajong ....”Lafadz dzikir itu aneh
dan tidak saya pahami, hampir semua kata-katanya itu tidak terlepas dari huruf
G. Akhirnya saya perhatikan kembali dan saya dengarkan dengan seksama. Eh, ia
berdzikir seperti yang saya ajarkan. Ketika tidak saya perhatikan, dia kembali
berdzikir dengan dzikir yang aneh. Akhirnya saya pikir ini hanya masalah tarik
ulur saja. Dan saya berpikir, “Saya harus memperkuat diri sendiri terlebih
dahulu, kemudian Andi”.
Di samping itu, saya memutar kaset ruqyah dua puluh empat jam tanpa
jeda. Awalnya Andi bilang, “Ma, matiin deh, kepala Andi pusing.” Saya tidak
menuruti kemauannya, kaset itu tetap saya putar sampai akhirnya Andi marah lalu
mematikan kaset. Saat selanjutnya, saya menangkap Andi menggendongnya, lalu
saya meruqyah-nya. Hingga Andi menangis. Saya membiarkannya menangis, asalkan
gangguan itu hilang. Tak terasa saya pun menangis tersedu-sedu, meskipun
demikian saya harus terus membacakan ayat ruqyah. Sungguh, saya tidak tega
melihat penderitaan yang dialami buah hati saya yang masih kecil. Rasanya
sungguh berat derita yang ditanggungya. Padahal dia tidak tahu masalah apa-apa.
Saya berharap ini adalah cobaan terakhir yang dialami keluarga saya. Dan tidak
ada orang lain yang mengalami nasib seperti anak saya ini.
Mungkin karena kaset itu sering diputar, sehingga Andi sendiri
sudah hafal bacaan ruqyah itu. Dan saat ruqyah berikutnya, karena memang
membiasakan meruqyahnya, setelah saya membaca beberapa ayat Andi langsung
meneruskannya sendiri. Lalu saya menelpon tim ruqyah, saya sampaikan apa yang
terjadi. “Nggak apa-apa ibu, semoga itu Andi sendiri yang membaca,” kata Ustadz
Junaedi. Sampai suatu ketika Andi bilang, “Mama, boleh nggak aku belajar sama
ustadz Fadhlan saya mau bisa ruqyah”. Lalu saya tanya “Apa kamu bisa hafal
bacaan-bacaan ruqyah?” Akhirnya dia membacanya dan memang dia hafal. Dia juga
sering melihat saya meruqyah.
Sebulan lalu saya sempat membawa Andi ke tim ruqyah Majalah Ghoib.
Karena sekarang serangan jin itu terjadi di waktu ashar atau maghrib. Saya
tidak tahu sebabnya, tiba-tiba Andi menangis, tapi tidak mengeluar-kan air
mata. Terkadang mengamuk dengan tanpa sebab. Setelah saya tanya, “lngatkah
kalau Andi tadi nangis?” “Nangis?” katanya dengan nada tidak percaya. “Tadi kan
Andi digendong mama”.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, sekarang, setelah
ashar Andi sudah tidak boleh keluar ia harus sudah ada di dalam. Dan kita
selalu memutar kaset muratal. Selain itu sehabis Maghrib saya berusaha meruqyah
Andi, ia gelisah dan mengeluarkan keringat sebesar jagung. Sungguh penderitaan
yang berat.
Alhamdulillah, pengaruhnya itu sangat baik, sekarang ini Andi kalau
dzikir sudah tidak harus disuruh lagi. Bahkan bilang, “Habis maghrib mama harus
mengetes hapalanku”. Begitu juga kalau akan pergi sekolah dia juga minta
dibacakan do’a, “Ma, tolong bacakan do’a untuk Andi”. Do’a-do’a yang sering
saya bacakan untuk Andi adalah “Aku berlindung dengan kalimat Allah
yang sempurna dari keburukan makhluk ciptan-Nya”. Sebenarnya dia sendiri
sudah hapal do’a-do’anya, tapi rupanya do’a saya itu terasa lebih
menenangkannya.
lnilah sepenggal cerita perjalanan saya dan buah hati saya. Semoga
hal ini bisa dijadikan pelajaran dan bahan renungan oleh siapapun. Terutama
saudara dan kerabat saya yang masih menekuni ilmu warisan tersebut. Teriring
do’a semoga Allah menjadikan kita orang yang mau mengikuti kebenaran walau pahit
rasanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar