Sodomi adalah kejahatan yang sangat kejam dipandang dari sudut
apapun. Terlebih bila yang menjadi korban adalah anak-anak.
Kemungkinan mengalami penyimpangan seksual di kemudian hari sangatlah besar.
Seperti yang dialami Nanang (Nama Samaran), lelaki yang baru melangsungkan
pernikahan 6 bulan yang lalu menceritakan kisah Ahad kelabu kepada Majalah
Ghoib. Berikut petikan kisahnya.
Nanang, begitulah biasanya saya dipanggil. Saya lahir di Rembang,
Jawa Tengah 28 tahun yang lalu dari keluarga tentara. Seperti karakter orang
Jawa kebanyakan, bapak itu orangnya pendiam, wataknya lembut. Sangat bertolak
belakang dengan anggapan sebagian orang bahwa tentara itu keras. Saya sendiri
sebagai anak tentara tidak bisa menyalahkan bayangan mereka yang demikian.
Sedangkan ibu adalah tipe orang yang suka mengalah tidak ingin membuat
keributan dengan orang lain.
Sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, watak saya sangat jauh
berbeda dengan kedua kakak saya. Kebetulan kakak yang pertama adalah seorang
Perempuan yang tomboy. Mungkin ia terbawa dengan keseharian kami yang tidak
terlepas dari dunia ketentaraan. Sedangkan kakak yang kedua, sama seperti saya,
laki-laki. Bedanya kakak laki-laki saya orangnya itu tidak sabaran kurang
telaten. Diantara kedua orang tua, saya lebih dekat kepada ibu. Mengapa
demikian saya tidak tahu.
Mungkin karena sedari kecil, Ibu mendidik saya menguasai pekerjaan
wanita. Saya sudah terbiasa memasak atau belanja keperluan dapur ke pasar. Ibu
memang lebih senang menyuruh saya daripada kedua kakak yang lebih suka dengan
dunia mereka, dunia anak-anak.
Saya tidak tahu apakah kebiasaan melakukan pekerjaan wanita pada
akhirnya akan mempengaruhi kejiwaan saya. Yang jelas, saya pernah menladi
korban kebrutalan seks seorang laki-laki yang masih satu asrama dengan saya.
Peristiwa kelabu yang sangat membekas dalam jiwa saya hingga sekarang.
Kejadiannya terjadi belasan tahun yang lalu, tepatnya saat saya masih kelas 5
SD.
Suatu siang pada hari Ahad, saya bermain ke rumah Narto yang hanya
berselang dua rumah dari tempat saya. Waktu itu di rumah Narto, yang masih
kelas 3 SMA, sudah banyak teman-teman saya yang datang. Memang, orangtua Narto
itu baik sehingga mereka disenangi anak-anak. Mereka pun tidak marah bila
teman-temannya Narto datang rame-rome. Setelah dari pagi bermain akhirnya
teman-teman ketiduran di ruang tamu.
"Sini, tidur di samping saya," ajak Narto ketika melihat
saya datang. Waktu itu saya nurut saja ketika dibujuk tiduran di tempat gelap
yang agak menjorok ke dalam. Sebenarnya di ruang tamu itu ada beberapa orang
yang tidur berpencar. Hanya saja Narto mengajak saya mencari sudut yang gelap.
Saya tidak punya pikiran macam-macam. Namanya juga anak-anak. Apalagi saya
sudah kenal dekat dengannya dan teman-teman lain juga pada tidur di lantai.
Saya biarkan saja ketika Narto mulai meraba-raba tubuh saya. Saya
hanya diam dan tidak melawan. Entahlah, apa yang sebenarnya teriadi sehingga
saya diam saia. Saya benar-benar telah disodomi, Dia benar-benar tidak
mempedulikan kejiwaan saya yang masih kanak-kanak.
Adegan seronok itu baru terhenti saat pintu berderit. Dan satu dua
langkah kaki terdengar semakin dekat. "Hei, lagi ngapain itu," suara
ibu Narto mengejutkan saya. Saya panik dan tidak bisa menyernbunyikan perasaan
takut bercampur malu. Jiwa polos saya tidak bisa berbohong.
Terus terang, saya sendiri tidak berani cerita kepada orangtua.
Peristiwa kelabu di Ahad siang itu hanya saya rekam dan simpan dalam memori
hingga kini. Tapi entahlah darimana awalnya, sehingga ada beberapa tetangga
yang pada akhirnya meledek saya. "Eh, katanya kamu ditidurin Narto."
Saya diam saja dan tidak banyak berkomentar. Akhirnya desas-desus itu hilang
begitu saja dan tidak sampai terdengar orangtua saya. Seandainya bapak
mendengar peristiwa itu, entahlah apa yang terladi. Saya sendiri tidak berani
membayangkannya.
Saya Tidak Tertarik Lawan Jenis
Dari sini kegalauan jiwa saya muncul. Ketertarikan kepada lawan
jenis tidak tumbuh beriringan dengan pertambahan usia saya yang telah masuk
SMP. Tiga tahun di SMP saya tidak tertarik kepada lawan jenis. Hal ini masih
terus berlanjut hingga SMA. Anak-anak seusia SMA yang mulai mendekati lawan
jenis pun tidak saya alami. Yang terjadi justru kebalikannya. Saya lebih
tertarik dengan laki-laki yang tampan dan berkulit bersih. Tidak jarang
laki-laki yang saya sukai itu hadir dalam mimpi saya. la hadir bukan sebagai
teman main biasa. Tapi kali ini ia menjadi pemuas nafsu. la memeluk saya
layaknya suami istri yang sedang bercumbu. Dan ketika terbangun tidak jarang
saya menjumpai celana saya telah basah.
Saat SMA saya lebih akrab dengan seorang teman laki-laki yang masih
satu kelas. Heru namanya. Kulitnya putih bersih dengan bentuk tubuh yang
atletis. la memang layak mendapat simpati dari wanita. Apalagi didukung dengan
pembawaannya yang kalem dan Nampak dewasa. Tapi entah kenapa, saat itu saya
tidak melihatnya menjalin cinta dengan seorang wanita. Padahal dengan modal
ketampanan yang dimilikinya, banyak wanita yang mau menjadi pacarnya.
Sebagian besar waktunya sering dihabiskan dengan saya. Saat libur
sekolah misalnya. Saya dan Heru sering pergi berdua. Demikian juga bila ada
tugas kelompok maka kita sering kali mengerjakannya berdua. Bila duduk berduaan
dengan Heru dada saya berdegup kencang. Terlebih bila tanpa sengaja saya
bersentuhan kulit dengan Heru. Pikiran saya mulai galau. Dan kembali bayangan
Ahad kelabu hadir. lngin rasanya saya tidur bersamanya. Seperti yang dilakukan
Narto dahulu.
Pikiran kotor itu segera saya tepis. Keringat dingin segera
mengalir perlahan membasahi kulit. “Jangan. Jangan teruskan pikiran kotor itu,”
saya berusaha menenangkan diri agar tidak terjerumus semakin jauh. Memang
selama sekolah SMA, Heru adalah satu-satunya teman laki-laki yang sempat mampir
di dalam hati saya.
Namun, bukan berarti saya tidak tertarik kepada wanita cantik.
Hanya saja hasrat kelaki-lakian saya cenderung hilang. Belum terbetik keinginan
untuk menikahi seorang wanita, secantik apapun ia.
Terlebih selepas SMA tahun 1997, ibu saya menderita sakit yang
cukup parah. Beliau sudah tidak bisa jalan. Otomatis tidak bisa melakukan tugas
sebagai seorang wanita. Memang, kakak pertama saya adalah wanita. Tapi saat ibu
menderita sakit, kakak sudah menikah dan menetap di kota Semarang. Sementara
kakak kedua saya temperamennya tinggi, la suka marah-marah dan tidak telaten
merawat orangtua. Bila ibu tidak mau makan, omelan kakak dan suara keras
langsung menggema. lbu sampai menangis dibuatnya. lbu menangis bukan karena
kelaparan, tapi lebih disebabkan tingkah laku kakak yang tidak berbakti kepada
orangtua.
Di sinilah saya tidak punya pilihan lain. Saya harus berdiam diri
di rumah dan mengurus semua urusan rumah tangga. Mulai dari urusan
masak-memasak sampai mencuci pakaian. Pendek kata, saya layaknya seorang wanita
saja di rumah. Untuk menghilangkan kejenuhan sesekali saya bermain ke Semarang
menemui kakak perempuan saya. Saya bermaksud mencari kerja. Namun tidak berapa
lama kemudian ibu memanggil saya pulang.
Ketika ibu sudah baikan saya balik lagi ke Semarang. Waktu pamit
kepada ibu, saya lihat matanya memerah dan berkaca-kaca. Bola mata itu semakin
sayu. lbu tidak tahan lagi menyembunyikan perasaannya. Hingga airmatanya
mengalir. Sepertinya ibu tidak rela saya pergi. Selang beberapa minggu kemudian
ibu sakit lagi dan saya disuruh pulang. Saya bingung menentukan pilihan antara
pulang dan tidak. Pulang berarti harus menebalkan telinga dari cibiraan
tetangga, "Masak, anak laki-laki kerjanya hanya di rumah” cibiran semacam
ini sering saya dengar dari tetangga.
Di Semarang ini saya masih beruntung, karena ada orang yang mau
mendengarkan keluhan saya. "Kalau berbakti sama orangtua, Allah akan
meridhai segala langkah kita. Sementara kalau kerjaan bisa dicari lagi. Kalau
ibu tidak ada dan adik belum berbakti terus bagaimana," ujar seorang
ustadz masehati saya. Akhirnya saya pulang dan dua bulan kemudian Ibu
meninggal.
Saya bisa mendampingi Ibu pada detik-detik terakhir kehidupannya.
Saya bersyukur karena apa yang saya lakukan selama ini lelas tidak akan bisa
membalas jasanya. Tapi setidaknya saya sudah menunjukkan diri sebagai anak yang
berbakti kepada orangtua. Beberapa minggu kemudian saya kembali ke Sernarang.
Numpang kembali di rumah kakak sambil mencari kerja.
Sulit Melupakan Peristiwa Ahad Kelabu
Setahun lamanya saya hidup dalam pengangguran. Walau sebenarnya
saya tidak menganggur total. Saya harus tahu diri bahwa saya ikut orang lain.
Maka mau tidak mau saya harus membantu kakak. Walau untuk itu saya mengerjakan
pekeriaan wanita. Sama seperti di rumah, di Semarang ini saya kembali memasak,
mencuci atau menyapu. Kebetulan anak-anaknya yang perempuan juga Pemalas.
Jujur, sebagai seorang laki-laki saya merasa tidak enak hanya
sekedar di rumah. Maka saya mengirimkan lamaran ke berbagai tempat.
Alhamdulillah akhirnya saya diterima keria di sebuah restoran. Di sinilah saya
menemukan hikmah bahwa di balik kesulitan pasti ada kemudahan. Kebetulan
restoran tersebut merniliki cabang di Bali, Yogya, Malang, Jakarta dan beberapa
kota besar lainnya. Dari sini saya punya kesempatan menimba Pengalaman.
Pada tahun 2001 saya dipindah tugaskan ke Bali dan ditempatkan
sebagai iuru masak. Kebetulan saat bekerja di Bali, saya berteman dengan
seorang wanita cantik, namanya Leni. la seorang gadis yang sangat simpatik.
Kebetulan Leni juga kebagian tugas sebagai juru masak. Waktu itu saya masih
termasuk orang baru. Jadi perasaan malu masih sangat besar. Apalagi mengingat
Leni adalah primadona di restoran. Dengan kulltnya yang putih bersih setinggi
160 cm. la menjadi daya tarik tersendiri. Dituniang dengan pembawaannya yang
sangat simpatik.
Biasanya saya dan Leni sering mojok di sudut dapur, tempat
pemotongan kangkung dan menanak nasi. Di sinilah Leni sering curhat kepada
saya. La dengan terus terang menceritakan segala masalah yang dihadapinya.
Bahkan percekcokan dengan pacarnya iuga tidak lepas dari ceritanya. Memang
pacarnya Leni berbadan tegap, kulitnya bersih dan berhidung mancung. la tipe pria
macho. Hanya saja ia orangnya mau menang sendiri dan terkesan kurang dewasa.
Hampir setiap mengalami salah paham dengan pacarnya, Leni selalu
cerita kepada saya. Bila sudah demikian ia mulai membicarakan kriteria
laki-laki pujaannya yang mengarah kepada saya. lbarat tanaman yang selalu
disiram rutin, maka akar-akar yang mati akan tumbuh lagi. Perasaan cinta di
hati saya pun tumbuh seiring dengan semakin seringnya saling berbagi cerita.
Demikian pula halnya dengan Leni, hatinya mulai berpaling kepada saya. la
pernah mengirim kartu valentine dengan embel-embel di bawahnya, "Tolong
jangan ada yang tahu. jadi ini hanya rahasia kita berdua.” Tak lain karena
kisah cinta dengan pacarnya masih belum putus. lstilahnya ia mengambil langkah
back street dengan saya. Ini adalah kisah cinta yang pertama dalam hidup saya.
Pada saat yang bersamaan dengan tumbuhnya rasa cinta kepada wanita,
perasaan suka pada laki-laki tetap tidak hilang. Kebetulan saya tinggal di mess
dengan kasur tunggal. Pada waktu saya tidur sendirian selaiu ada seseorang
yangmasuk kamar tanpa saya ketahui. Tiba-tiba saja ia sudah tidur di samping
saya dan dengan seenaknya saja kakinya jelalatan. la menggesek-gesekkan kakinya
ke alat kelamin saya. Diperlakukan seperti itu akhirnya saya terangsang. Dan tanpa
dapat saya cegah saya pun memberikan respon.
Saya mengikuti keinginannya walau itu terkadang melewati batas.
Entahlah, mengapa waktu itu saya sama sekali tidak menolak atau merasa jijik.
Yang jelas bayangan Ahad kelabu belasan tahun yang lalu kembali hadir. Terbetik
kembali keinginan untuk mengulang sensasi yang telah lama berlalu.
Saya heran terhadap diri sendiri. Mengapa perasaan cinta pada Leni
tidak menghilangkan sensasi Ahad kelabu. Sensasi itu selalu membayangi kemana
pun saya pergi. Untungnya, kedekatan dengan Leni, mulai mencairkan hati. Saya
lebih focus untuk menjalin kasih dengannya. Walau akhirnya cinta pertama ini
juga berakhir dengan tragis. Kenangan manis itu kandas setelah saya pindah
tugas ke Surabaya. Disini, saya tidak bertahan lama. Sekitar tiga bulan sebelum
akhirnya saya pindah ke Yogya. Karena tidak betah dengan gaya teman-teman yang
terkesan berangasan dan nada bicaranya kasar-kasar.
Di Yogya saya hanya sempat kerja selama tiga bulan sebelum akhirnya
di PHK karena menentang keputusan manajemen yang mengurangi gaji karyawan
hingga empat puluh persen. Akhirnya saya merantau ke )akarta mengikuti seorang
teman lama yang menawari kerja. Jakarta dengan segala keramaiannya membawa
perubahan dramatis dalam kehidupan saya. Di sinilah saya begabung dengan
aktifis remaja masjid. Walaupun pada awalnya sempat tertarik dengan seorang
aktifis remaja masjid. Rasanya ingin selalu mendekati dan menyentuh kulitnya.
Keinginan itu sebisa mungkin saya tahan. Saya berusaha untuk menjauhinya
sehingga perasaan aneh itu sedikit demi sedikit luntur.
Selain itu, jiwa kelelakian saya secara berangsur-angsur mulai
normal. Mulai ada desiran aneh saat melihat wanita berjilbab, walau hanya
selintas. Hati saya tergerak untuk memperhatikannya. "Ya Allah, cantik
amat," gumam saya dalam hati. "Coba kalau dia jadi istri saya. Mau
nggak ya?" Tanya saya dalam hati. Sebaliknya saya mulai antipati terhadap
wanita yang tidak berjilbab walaupun secantik Madonna. “Ah bodoh amat,"
pikir saya.
Bak gayung bersambut, keinganan untuk menikah itu akhirnya
terkabul. Teman-teman saya yang memberikan motivasi agar saya cepat mengakhiri
masa penantian yang melelahkan ini, membantu saya menemukan wanita idaman.
Akhirnya saya bulatkan tekad. “Ya Allah kalau memang jodoh saya,
mudahkan urusannya. Semoga dengan pernikahan ini saya sembuh dari penyakit
saya.” Kadang saya berdoa sambil menangis, “Ya Allah, saya ingin berumah
tangga. Saya ingin membahagiakan istri. Saya ingin punya anak.” Tapi kadang
saya protes, "Ya Allah, mengapa saya diberikan begini.”
Jin-jin Homo Diusir Diusi dari Tubuh Saya
Masa-masa menanti tibanya hari pernikahan secara tak sengaja saya
membaca Majalah Ghoib yang menulis kesaksian seorang wanita yang kerasukan jin
hingga membuatnya menjadi lesbi. Dari sini saya mulai mempernpertanyakan
jangan-jangan saya juga kena gangguan jin. Mengapa sejak peristiwa Ahad kelabu
itu saya selalu dihantui bayangan laki-laki. Bayangan yang belum hilang sampai
sekarang.
Berbekal keyakinan tersebut saya mengikuti ruqyah di kantor Majalah
Ghoib. Jin yang pertama keluar bukan jin yang membuat saya homo. Tapi yang
lainnya. Ada jin kakek-kakek, yang mengaku berada di mata. Sementara empat jin
lainnya katanya tinggal di perut dan dada.
Barulah kemudian suara saya berubah menjadi seperti suara waria,
"Eh, siapa sih ini. Ngganggu-ngganggu saja. Sebel deh," suara saya
berubah seperti wanita. Saya kaget. Karena waktu diruqyah itu saya sadar tapi
saya tidak bisa menguasai diri. Saya masih bisa mengingat dialog yang terjadi.
“Keluar nggak. Jangan mengganggu," bentak ustadz. “ya. Saya keluar,” ujar
jin waria itu sebelum akhirnya keluar. Badan saya langsung lemas tak bertenaga.
Setelah ruqyah yang pertama, mulai ada perubahan. Saya yang
biasanya malas membaca al-Qur'an sekarang saya malah ketagihan. Saya juga ingin
shalat berlama-lama. Rasanya nikmat sekali. YaAllah saya ingin begini setiap
hari.
Seminggu kemudian saya ruqyah yang kedua kalinya. Jin waria kembali
bereaksi setelah kaki saya dipijat.
“Eh, siapa sih ini. Nganggu-nganggu saya lagi.”
"Kamu namanya siapa?"
“Susi"
"Kamu di sini sama siapa?"
"Sama teman-teman. ada Yuni ada Sara .... ,” jin
Susi menyebut beberapa nama perempuan.
"Mengapa kamu di sini. lni kan bukan tempatmu"
"Habis saya suka sama masnya sih. Masnya cakep sih,"
suara saya seperti suara bencong.
“Lho kamu jin waria ya?"
"Iya."
“Kamu keluar nggak?"
"lya, iya. Saya kasian sama masnya. Habis saya sering lihat
kalau dia berdoa nangis. lya, iya saya mau keluar."
Jin susi keluar ketakutan sambil mengajak teman-temannya.
Terus saya dipijat lagi, saya sampai muntah. Ketika dada saya
ditekan, masih ada jinnya, “Eh kamu masih di sini.” “lya." Kali ini suara
saya menyerupai suara laki-laki. "Kenapa kamu suka sama masnya ini"
"Saya suka sama dia. Habis orangnya cakep."
"Tapi itu bukan alam kamu. Ayo keluar bila tidak ingin
terbakar." Setelah itu saya muntah lagi. Memang proses
pengeluaran jin itu cukup lama. Leher saya sarnpai terasa dijerat.
Dada, punggung dan perut kesakitan. Saya sampai kelojoton dan menangis.
Ruqyah yang kedua hanya ber selang satu minggu dari hari
pernikahan. Dan Alhamdulillah sejak saat itu pikiran saya tidak aneh-aneh.
Tidak ada lagi keinginan untuk masturbasi. Sekarang berganti dengan gejolak
syahwat pada wanita. Semakin malam gejolak syahwat itu semakin kuat.
"YaAllah. Kok tiba-tiba begini ya. Apa ini
karena jawaban dari-Mu? Kau sembuhkan sakit saya."
Dengan perasaan yang baru saya benar-benar merasa siap menyambut
akad nikah. Saya akui, waktu sebelum akad memang dag dig dug dalam hati tidak
dapat saya tahan. Dan resepsi pun berjalan dengan lancar. Ya, Januari adalah
bulan bersejarah dalam hidup. Tantangan hidup yang tidak hanya saya jalani
sendirian. Kini ada orang lain yang berada di samping saya. Membantu menapaki
hidup ini dengan lebih semangat. Dan melupakan masa lalu yang kelabu.
Malam pertama pun berlalu dengan sukses. Bisa dikata tidak ada
hambatan yang berarti. Dua insan yang terikat dalam jalinan cinta yang kuat
bersatu menjadi satu. Menghilangkan perbedaan yang ada sebisa mungkin.
Alhamdulillah, saya benar-benar menjadi laki-laki normal. Ketika berduaan di
kamar pun apa yang saya takutkan dulu tidak terjadi. Tugas sebagai suami dalam
satu sisi terlaksana dengan baik.
"Ya Allah. lnilah jawaban dari-Mu, atas doa saya selama
ini." Penyakit yang katanya tidak mungkin disembuhkan, ternyata sembuh.
Dari sini saya merasakan bahwa doa adalah kunci utama. Doa pengubah takdir.
Kita tidak boleh putus asa.
lni adalah sepenggal kisah kelabu masa lalu saya. Semoga kisah ini
menjadi jalan keluar bagi teman-teman yang masih bergelut dengan dunia homo.
Yakinlah selama ada usaha pasti ada jalan. Yakinlah dengan kekuatan doa dan tak
lupa bakti kepada orangtua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar