‘Musibah membawa hidayah’ ungkapan yang tepat untuk menggambarkan perjalanan hidup Zulaihah. Penderita
kanker otak yang diperkirakan dokter hanya bertahan empat tahun.
Baying-bayang ketakutan menjemput ajal, menggiringnya menemukan
ketenangan batin. Suatu kenikmatan yang diperoleh setelah melewati jalan
berliku. Kini, setelah perkiraan dokter tinggal dalam hitungan hari,
Zulaihah sembuh dari derita kanker otak. Setelah mengikuti terapi ruqyah
yang islami. Dengan ditemani Ali, suaminya, ia menuturkan kisahnya
kepada Majalah Ghoib di Tanjung Priuk, Jakarta Utara. Berikut
petikannya.
Pada mulanya saya beranggapan bahwa sakit
kepala yang saya alami sejak tahun, 1998 adalah sakit kepala biasa.
Seperti layaknya orang kebanyakan sakit kepala yang bisa disembuhkan
dengan mudah setelah minum obat yang banyak dijual di toko. Tapi
kenyataannya, sakit kepala saya tidak kunjung sembuh. Meski sudah
berbagai obat saya coba.
Awalnya sama sekali saya tidak mengaitkan
sakit kepala yang sering terjadi menjelang Maghrib atau Shubuh itu
akibat gangguan jin. Semuanya masih saya anggap wajar-wajar saja. Meski,
dalam waktu yang sama, saya sering mengalami kesurupan. Seperti yang
terjadi pada suatu pagi ketika saya menemani anak saya, Riyana yang
berumur 2 tahun bermain di gang yang tidak jauh dari rumah. Kejadiannya
berlangsung cepat. Saya meraung-raung seperti macan. Tangan saya
mencakar-cakar, mulut saya pun berbusa. Saya benar-benar mengamuk.
Lima orang laki-laki yang menenangkan
saya, saya lemparkan hingga terpental. Saya terus meraung-raung. Satu
persatu orang pintar berusaha mengeluarkan iin yang merasuki saya. Tapi
semuanya sia-sia. Saya terus meronta-ronta sejak jam tujuh pagi hingga
malam hari.
Waktu itu ada orang pintar yang
mengatakan bahwa yang bisa menyadarkan saya hanya orang yang menguasai
ilmu macan Siliwangi. Mendengar penuturan itu, Mas Ali, suami saya,
teringat dengan Rani, seorang wanita yang juga memiliki ilmu macan
Siliwangi. Aneh. Hanya dengan sebutir telur ayam karnpung, Rani bisa
menyadarkan saya. Ia melemparkan sebutir telur ayam kampung dan langsung
saya telan mentah-mentah. Benar-benar aneh. Saya langsung sadarkan diri
begitu menelan telur pemberian Rani.
Setelah peristiwa itu, sakit kepala saya
sembuh. Dan saya pun diterima keria di Pabrik. Selang enam bulan
bekerja, sakit kepala saya kembali kambuh. Sampai saya pingsan di mana
saja. Entah di kamar mandi atau di ialan. Kalau dibilang karena lapar,
tidak iuga. Sebelum berangkat kerja saya sudah sarapan. Dokter hanya
mengatakan tekanan darah saya rendah.
Tiga bulan setelah sering sakit kepala,
saya hamil lagi. Dan pada saat yang sama Mas Ali, bergabung dengan
Perguruan beladiri Lentera (nama samaran). la ingin mengalahkan iin yang
sesekali merasuk ke dalam diri saya. Tapi lama kelamaan dia bisa
mengobati orang. Memang, Mas Ali sedikit banyak sudah membantu orang,
tapi justru pada kondisi seperti ini, kehidupan rumah tangga kami tetap
tidak mengalami banyak perubahan. Percekcokan dan perselisihan masih
sering terjadi. Walau hanya karena masalah yang sangat kecil.
Pada tahun 2000, lahirlah anak saya yang
kedua. Seorang bayi laki-laki mungil yang saya beri nama Sulaiman.
Kelahiran anak yang kedua disambut dengan sakit kepala yang semakin
menjadi-jadi. Sakit kepala belum reda, bila tidak memarahi suami. Memang
kalau Mas Ali sudah melewati pintu, saya marah-rnarah, tanpa sebab.
Muncul perasaan ingin melemparnya dengan apa saja. Padahal kalau, Mas
Ali tidak di rumah, ada perasaan kangen menunggu kepulangannya.
Vonis Dokter yang Menggelisahkan
Bulan Desember 2000, saya berobat ke
rumah sakit Koja. Saya berobat jalan sampai tiga kali, tapi tetap tidak
ada perubahan. Bahkan sakit di kepala makin menggila, hingga saya
pingsan. Akhirnya saya periksa darah dan dirontgen. Dari hasil check up itulah dokter mengbtakan bahwa suami saya harus datang ke rumah sakit.
Hati saya berdebar, jantung saya terpacu
lebih kencang. Ada apa sebenarnya dengan hasil check up, sehingga harus
memanggil suami. Padahal kedatangan saya ke rumah sakit ini pun tanpa
sepengetahuannya. Akhirnya saya mengaku terus terang kepada dokter bahwa
saya tidak ingin Mas Ali mengetahui penyakit saya. Seberat apapun itu.
“Apakah ibu kuat menerima kenyataannya?”
tanya dokter. “Ya sepahit apa pun. Sedari kecil, saya sudah siap
menderita,” jawab saya menghilangkan keraguan dokter. “lbu mengidap
kanker otak,” jawab dokter setelah terdiam agak lama. Lalu ia
menyodorkan hasil foto rontgennya.
Saya berusaha bersikap tenang di hadapan
dokter. “Kalau penyakit begini diobatinya bagaimana dok?” Tanya saya
ingin tahu lebih banyak tentang kanker otak. “Kalau kankernya belum
menyebar, bisa dioperasi Bu. Tapi penyakit kanker akan berkembang biak.
Dalam jangka empat tahun itu mungkin akan lebih parah. Menggerogoti otak
bagian belakang sampai bagian atas. Kalau sesudah empat tahun itu
jarang yang kuat,” kata dokter panjang lebar.
“Jadi dokter memvonis usia saya tinggal
empat tahun lagi?” tanya saya, “Ya kurang lebih seperti itu. Tapi saya
tidak mastikan lho Bu. Lebih baik ibu mengikuti terapi. Selain itu ibu
harus berobat rutin.” Saya cemas. Sepulang dari rumah sakit, saya
menangis seharian. Mas Ali yang keheranan melihat saya menangis terus
bertanya, “Kenapa sih? Ada apa? Ribut sama siapa?” ia mencecar saya
dengan pertanyaan.
“Nggak ada apa-apa,” jawab saya. Saya
masih tidak ingin membuka rahasia ini. Saya terombang-ambing dalam
kebimbangan. Apakah harus berterus terang atau tidak. Semalam suntuk
saya berfikir. Sampai akhirnya malam itu saya shalat. Saya memohon
keputusan yang terbaik kepada Allah. “Beban Mas Ali sudah berat. Dengan
gaji tujuh ribu rupiah sehari, jelas bukan hal yang ringan untuk
pendengarkan penyakit saya. Saya takut, semakin membebani pikirannya.
Bila ia kuat, mungkin tidak masalah. Tapi bila tidak kuat, maka
keadaannya akan semakin gawat. Dia harus mencari uang. Anak saya butuh
makan. Nanti kalau sampai dia sakit bagaimana?”
Pikiran-pikiran semacam itu terus
berkecamuk dalam benak saya. akhirnya saya sampai pada keputusan untuk
merahasiakannya. Yang bisa saya lakukan hanyalah menyisi h kan beberapa
lembar uang ribuan untuk membeli obat. Terus terang uang belanja 30 - 40
ribu seminggu untuk empat orang, itu tidak terlalu banyak.
Dalam seminggu saya hanya mampu membeli
dua tablet seharga 4.500 per butir. Rahasia penyakit ini masih terjaga.
Saya hanya mengatakan sakit kepala biasa, meski rasa pening dan panas di
kepala memaksa saya bergulingan di tanah, karena saking sakitnya.
Tahun 2002, saya pindah kontrakan ke
tempat yang agak jauh dari orangtua. Dari sini mulai muncul perubahan
dalam diri saya. Ada semangat baru dalam menghadapi kehidupan ini. Saya
mulai berpikir bagaimana caranya bisa membantu suami. Saya mencoba
berjualan nasi uduk tiap pagi dan sore. Meski tidak ada yang membantu.
Semuanya saya kerjakan sendiri, di tengah kerepotan mengasuh dua anak
yangmasih kecil-kecil. Sampai tetangga keheranan, “Kok bisa bu. Jualan
begini tiap hari.” Berat memang, tapi saya tidak boleh mengeluh.
Saya menemukan kebahagiaan baru.
Ketentraman jiwa karena dapat membantu suami dan membeli obat setiap
hari. Bila dulu, saya hanya minum obat seminggu dua kali, kinisaya bisa
mengkonsumsinya tiap hari.
Hingga pada suatu hari, ketika Mas Ali
sedang menemani saya berjualan, ia bertemu dengan teman lamanya. Dari
obrolan singkat itu akhinya Mas Ali tertarik untuk belajar di perguruan
Sanggar Bestari (nama samaran). Hampir setiap hari Minggu saya dan
anak-anakdiajak Mas Ali melihatnyi berlatih di pantai Jakarta Utara
Mereka berendam di air laut untuk menarik tenaga inti air.
Setelah sekian lama melihat latihan
mereka, saya tertarik untuk menjadi anggota apalagi persyaratannya tidak
berat. Beragama lslam, percaya kepada Allah dan Rasul-Nya serta harus
mendapat izin dari suami. Setahun lamanya saya bergabung. Semenjak itu,
bila mendengar suara kendang ditabuh, maka tanpa sadar badan saya
bergoyang-goyang saya berjoged dan lama-lama mengamuk. Katanya saya
sempat menirukan gerakan-gerakan macan. Dan hanya berhenti bila saya
sudah minun telur ayam kampung.
Dari pen jelasan ketua perguruan Sanggar
Bestari, saya baru tahu bahwa selama ini ada ilmu macan Siliwangi yang
merasuk ke dalam diri saya. Itu adalah ilmu warisan dari kakek. sakit
kepala saya juga masih sring kambuh. Akhirnya saya sampaikan keluhan itu
kepada salah seorang guru. “Kenapa kamu tidak memanfaatkan tenaga dalam
yang kamu punya?” jawabnya.
Waktu itu, saya masih merahasiakan
penyakit saya dari Mas Ali. Baru pada awal tahun 2003, saya tidak bisa
menutupinya lagi. Ketika kami harus pindah kontrakan lagi. Semua barang
harus dirapikan dan dibawa ke tempat baru. Resep yang saya sembunyikan
di amplop hijau, hilang. Saya takut bila resep itu telah dibuang.
Salah saya memang, mengapa dari dulu saya
tidak menghafal nama obat sakit kepala itu sehingga tidak kalang kabut
bila kehilangan resepnya. Siang itu, saya hanya bisa menangis. Memegangi
kepala yang kian sakit. Waktu saya menangis seperti itu, Mas Ali pulang
dari kerja, “Ada apa?” “Lihat amplop coklat nggak?” Saya balik
bertanya. “Kan, sudah diacak-acak tikus sama kecoak. Saya buang ke tong
sampah,” jawabnya.
Waktu itu saya mengontrak di lantai dua.
Saya turun. Saya aduk-aduk tong sampah tapi resep itu tidak ketemu. Saya
khawatir bila sewaktu-waktu sakit kepala saya kambuh. Di mana obat
simpanan saya sudah habis. Sengaja resep itu saya sembunyikan. Agar
tidak ketahuan.
Benar. Malam harinya saya kambuh. Semalam
suntuk sakitnya tidak kunjung henti. saya menangis. Dan bergulingan di
tanah. Dalam keadaan demikian, Mas Ali ndedes (mencecar), “Kamu punya
sakit apa sih. Kok sepertinya sudah parah.”
Biasanya kalau sudah sakit seperti itu,
sedikit membaik bila diminumkan obat. Tapi sekarang, obatnya sudah
habis. Mau beli, tidak tahu, karena resepnya sudah hilang. Akhirnya saya
beeterus terang bahwa saya nengidap kanker otak sejak tahun 2000. Saya
divonis dokter hanya bisa bertahan empat tahun.
Kasih Sayang dibalik Bencana
Plong. Rasa sesak di dada sedikit
berkurang setelah bercerita apa adanya. Mas Ali hanya bisa terdiam
terpaku. Dis tidak sadar bahwa selama ini daya sedang berjuang melawan
penyakit yang ganas. Sejak itu saya merasakan kasih sayang Mas Ali
kepada saya mulai tumbuh.
Meski, tidak bisa saya pungkiri bahwa
semenjak tidak lagi mengkonsumsi obat mulai muncul bayang-bayang
kematian. Kalau saya meninggal siapa nanti yang merawat anak. anak saya
yang masih kecil-kecil?
Saya bersyukur, tingkah laku Mas Ali
sedikit demi sedikit berubah. ia mulai memperhatikan saya dan anak-anak.
Secercah harapan kebahagian telah menanti di pelupuk mata. “Ya Allah,
kalau memang saya harus mendapatkan perhatian suami dengan penyakit
seperti ini, mungkin ini adalah jalan yang terbaik dari-Mu untuk menuup
umur saya.”
Kebetulan pada pertengahan tahun 2003,
kakak saya yang bernama Habibi, main ke rumah. la memberi masukan
tentang aqidah. la juga memberi saya Majalah Ghoib yang mengungkap kisah
aeorang ibu yang disantet dengan menggunakan ulat bulu.
Hati saya terenyuh. Ternyata al-Ma'tsurat
banyak manfaatnya. Saya terketuk Kenapa saya tidak mendekatkan diri
kepada Allah di usia saya yang hampir berakhir? Usia saya tinggal
sebentar.
Saya sering menangis bila teringat
anak-anak. Tiba-tiba saat sedang menangis di suatu malam, saya mendengar
bisikan, “Kenapa kamu menangis tidak mengaduh sama yang punya? Diri
kamu itu siapa yang menciptakan?” Bisikan itu mengejutkan saya.
Saya kembali menangis, “Kalau saya
meninggal dengan cara seperti ini, saya ingin dikenang anak-anak. Bahwa
ibunya tidak jelek. Ibunya pantas untuk dijadikan panutan,” itulah yang
sering saya lantunkan setiap malam.
Seminggu kemudian Kak Habibi datang lagi
sambil membawa Majalah Ghoib dan al-Ma’tsurat. Kembali saya tersentuh
dengan kisah seorang ibu yang meninggal karena tabrakan. Saya menangis.
Kenapa saya tidak bisa menjadi perempuan seperti itu? Saya merasa jauh
berbeda dengan wanita itu. Saya banyak berdosa kepada suami dan
anak-anak. Saya kurang mengurus mereka. Semenjak itu, timbul semangat
dalam diri saya. Jangan sampai sisa umur yang tinggal setahun ini harus
berakhir dengan sia-sia. Saya harus mengabdi kepada suami dan anak-anak,
selain pengabdian kepada Allah.
Alhamdulillah, sejak itu saya tidak
pernah meninggalkan shalat. Saya pikir, kalau memang saya harus tutup
umur, semoga saya bisa menebus dosa-dosa yang lalu. Saya biasakan
membaca al-Ma’tsurat setiap ada waktu luang. Kalau Mas Ali sudah
berangkat kerja, anak-anak selesai sarapan dan berangkat ke sekolah,
saya tidak berani keluar rumah. Saya shalat Dhuha dan membaca
al-Ma’tsurat.
Saya mengurung diri di kamar. Saya pikir,
saya sudah mendekati kematian. Yang ada dalam diri saya jangan sampai
saya mati dengan sia-sia. Saya belum paham yang macammacam. Sampai kak
Habibi memberi saya Majalah Ghoib tentang orang yang mengendarai mobil
dengan mata tertutup. Ternyata itu adalah atas bantuan jin. Dari sini,
saya mulai curiga bahwa saya juga seperti mereka. Untuk itu saya ingin
ikut terapi ruqyah. Karena saya takut telah melakukan syirik atas apa
yangterjadi pada masa lalu. Saya ingin benar-benar bersih di akhir hidup
saya.
Pada bulan Mei 2004, saat usia kehamilan
saya berjalan enam bulan saya mengikuti terapi ruqyah di kantor Maialah
Ghoib. Waktu diterapi, kepala saya sakitnya bukan main. Saya sampai
tidak tahu banyak apa yang terjadi. Sewaktu dalam perjalanan pulang,
tiba-tiba kak Habibi bertanya, “Kamu mengidap kanker otak sudah berapa
tahun? Cuma tadi menurut pengakuan Ustadz Sadzali sakit di kepala insya
Allah bisa sembuh. Karena sakit itu akibat perbuatan jin.”
Sepulang dari Majalah Ghoib, saya
tumpahkan segala perasaan. Saya mengadu kepada Allah. “Kalau bisa
disembuhkan dengan cara ini, yaAllah ini adalah hidayah dari-Mu. Saya
akan terus meningkatkan ibadah kepada-Mu dan berbakti kepada suami serta
mengurus anak-anak dengan baik” Saya masih bisa panjang umur. Saya
masih bisa lebih lama lagi mengurus anak-anak. Apalagi saya dalam
keadaan hamil, yang sebelumnya disarankan dokter untuk digugurkan.
Karena sakit kepala saya yang sering kambuh.
Sebulan kemudian, saya ruqyah lagi dengan
ditemani ibu dan Mas Ali. Tapi ruqyah kali ini berbeda dengan yang
lalu. Perasaan saya tidak tenang dan ingin kabur. “Mendingan kabur saja,
daripada nanti kamu dipermalukan disini. Ntar, saya
dipermalukan di sini. Dipegang orang kayak begitu.” Terus lihat lagi
yang dipukul. “Ntar kamu dipukuli kayak begitu, emang tidak sakit. Emang
tidak malu. Mendingan pulang.”
Saya langsung lari keluar. “Pulang saja,
bu”. Saya bilang begitu sama ibu sambil menangis. Tapi karena kekuatan
seorang ibu. Saya dituntun lagi ke dalam. Dipegangi biar tidak bangun.
Di dalam saya tidak bisa tenang. Saya menangis saja, karena ingin
pulang. Akhirnya saya disemprot pakai air bidara. Saya mengamuk. Tapi
saya masih setengah sadan Kata Mas Ali, sewaktu diruqyah saya sempat
meludahi ustadz yang menterapi. Saya sama sekali tidak menyadari apa
yang terjadi. Saya merasa malu setelah mendengar cerita dari Mas Ali.
Memang, seminggu menjelang ruqyah, saya selalu diganggu bisikan dalam
pikiran saya, “Nggak usah ruqyah”.
Seakan-akan ada pertentangan dalam
dirisaya. Saya ingin sembuh tapi pada saat lain, ada bisikan yang
melarang. Bahkan mengancam, “Kalau sampai ruqyah, saya ludahi itu
ustadznya.” Setiap malam saya tidak bisa tidur. Karena bisikan-bisikan
itu selalu mengganggu saya. “Lihat saja, saya bikin malu kamu di sana.
Ntor yang ada sama kamu akan dimalu-maluin.” Terus timbul lagi dalam
diri saya, “Ah siapa sih yang bisa mengalahkan kekuasaan Allah?”
pertentangan )ang ada semakin membuat hati sa;a tergoncang. Saya
menangis. Kemudian saya kembali shalat malam lagi. Ltu yang selalu saya
alami selama seminggu.
Saya menangis bukan karena takut mati,
tapi saya tidak mau dikalahkan syetan. “lni syetan nih.” Saya kembali
menangis. Takut. Sampai waktu diruqyah memang betul terjadi. Sebelum
pulang, Ustadz Syadzali berpesan agar saya datang lagi sebelum tiba
waktu melahirkan. Karena jin yang berada di kepala mengaku masih
mengancam. Jin itu ingin membawa janin saya pergi.
Saya dikasih daun bidara, dipakai untuk
mandi dan minum. Waktu shalat Dhuhur, sehabis wudhu, badan menggigil.
Dalam keadaan shalat tiba-tiba saya menangis. Waktu shalat Ashar
terulang lagi. Saya menangis. Mungkin karena saya wudhu dengan air daun
bidara. Disamping saya selalu membaca al-Ma’tsurat. Akhirnya saya
diruqyah Kak Habibi.
Selang beberapa hari saya diruqyah
kembali. Jin yang merasuk ke dalam diri saya, sudah kepayahan. Karena
saya selalu membaca al-Ma’tsurat, dzikir dan shalat. Selain, itu saya
tidak melupakan tugas sebagai seorang istri dan ibu. Jin yang ada di
kaki, katanya keluar dengan membawa luka terbakar. Sementara jin yang
selama ini berada di kepala akhirnya menyerah dan keluar setelah terjadi
dialog dan diajari taubat oleh Kak Habibi.
Alhamdulillah setelah jin yang di kepala
keluar, kepala saya enteng. Saya tidak lagi merasakan sakit, apalagi
sampai pingsan. Penyakit kanker otak yang menakutkan itu pun sembuh
tanpa harus dioperasi. Sembuh tanpa menggunakan obat. Sampai akhirnya
saya berpikir, dengan sakit kanker ini bukannya saya mengeluh, tapi
malah bersyukur. Justru dari penyakit kanker yang divonis dokter empat
tahun, terbit hidayah. Sampai anak saya ketiga yang lahir beberapa hari
setelah ruqyah terakhir, saya beri nama Siti Shalihah Nur Hidayah.
Dengan nama itu saya berharap dia menjadi anak shalihah yang mendapat
hidayah dari. Allah.
Padahal sebelumnya, saya sempat berpikir
bahwa usia saya akan berakhir dengan berlalunya tahun 2004. Saya sampai
membuat buku harian Saya ingin membuat hari-har saya yang terakhir dapat
menyenangkan hati suami dan anak-anak. Sayatidak mau, saya meninggal
dalam keadaan sia-sia. Belum bisa menyenangkan suami. Karena selama ini
selalu menyusahkan. Sampai saya sering menangis. “Ya Mas, maafkan
kesalahan-kesalahan saya. lkhlaskan ya.”
Semoga kisah ini menjadi pelajaran
berharga bagi setiap ibu dari anak-anak dan dalam waktu yang sama
menjadi istri dari seorang suami. Di balik musibah tersimpan anugerah
yang tidak ternilai. Tinggal terserah masi ng-masing bagaimana menggali
dan menjadikannya sebagai bagian dari hidup.
Sumber : Kesaksian Majalah Ghoib Edisi 31/2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar