Jin bisa dilihat dan dipegang layaknya manusia ketika mereka keluar
dari hakekat penciptaanya, lalu menyerupai sosok manusia. Bisa diajak bicara,
disuruh memijat atau dibonceng kemana saja. Seperti pengalaman Sri Handayani,
seorang mahasiswi perguruan tinggi swasta di Jakarta. Ia menuturkan kisah
pergaulannya dengan ‘Jin Cathy’ kepada Majalah Ghoib. Berikut petikannya.
“Brak…” dua sepeda motor beradu. Menimbulkan suara keras yang
memecah keheningan di pagi buta. Seorang lelaki dengan sepeda motornya
terpelanting. Nasi bungkus yang memenuhi jok motornya berceceran dan tak bisa
diselamatkan. Pada sudut lain, Lek Triono yang membonceng saya
juga terjerambab. Motornya terseret sepuluh meter dari tempat kejadian. Meninggalkan
saya yang terduduk di atas aspal, persis di tempat kejadian. Aneh, saya tak
mengalami luka, hanya sobekan kecil di celana. Itupun tidak sepadan dengan
kerasnya tabrakan tadi.
Heran, saya benar-benar heran atas apa yang terjadi. Tabrakan keras
itu tidak menimbulkan luka apa-apa. Hanya, kekuatan aneh yang mengangkat badan
saya bersamaan dengan detik-detik tabrakan itu yang saya rasakan. Lalu
meletakkan badan saya kembali dia atas aspal. Sementara Lek Triono yang
membonceng saya pingsan seketika. Tangannya lunglai dengan darah mengalir dari
wajahnya.
Saya cepat mengambil keputusan. Memanggul Lek Triono dan
menuntun sepeda motor ke sekolah tempat saya belajar. Saya tidak berpikir
membawanya ke rumah sakit karena yang terlintas dalam benak saya adalah takut
mendapat hukuman bila terlambat datang. Maklum waktu itu adalah minggu-minggu
awal mengikuti kegiatan wajib penerimaan siswa baru. Lagian,
sekolah itu hanya berjarak beberapa ratus meter dari tempat kejadian.
Saya terlambat setengah jam dan nyaris dihukum merayap di jalan
sepanjang enam meter. Akhirnya saya katakan, “Saya tabrakan. Sekarang Lek saya
tidak sadarkan diri di depan.” Sanggahan ini membuat mereka terpana. Tabrakan
keras yang terjadi tidak menimbulkan luka pada diri saya, sementara motor laki-laki saya
patah rangka, tangki bensin juga goyang, meski tidak bocor.
Setelah tabrakan di pagi buta itu, saya sering sakit kepala
tiba-tiba. Hanya karena keinginan saya tidak dikabulkan orangtua misalnya,
kepala saya langsung berdenyut. Saya tidak bisa mendengar kata-kata jangan.
Karena kata itu mengundang reaksi di kepala saya.
Selain itu, saya sering pingsan di sekolah hanya karena mendengar
nama saya di panggil di pengeras suara. Panggilan yang biasanya diikuti dengan
membuat nyali menciut, saya merasa tidak bersalah, namun mengapa harus menerima
hukuman, bukankah itu kesalahan orang lain? Memang siswa yang bersalah masih
satu kelas dengan saya, tapi tidak seharusnya bilan hukumannya harus diterima
siswa yang tidak bersalah. Kekecewaan dan ketakutan itu membuat saya tidak
sadarkan diri. Kejadian seperti ini sering kali berulang, hingga akhirnya para
guru memahami dan tidak menghukum saya atas kesalahan orang lain.
Boleh dibilang kejiwaan saya memang labil dan sering tidak sadarkan
diri. Sperti yang terjadi pada pertengahan tahun 2001. Saya tidak sadarkan diri
selama 12 hari. Saya dibawa ke rumah sakit. Katanya, badan saya sudah dingin
sampai leher, tinggal kepala yang masih hangat. Infuse sudah tidak berfungsi,
tidak ada cairan yang menetes dan masuk ke dalam urat nadi. Grafik jantung di
layar monitor juga tidak bergerak. Akhirnya pihak rumah sakit menyerah dan saya
menjalani perawatan di rumah. Dalam perkiraan mereka, tidak berapa lama lagi
saya sudah meninggal.
Di rumah, kondisi saya tidak mengalami banyak kemajuan. Hari demi
hari berlalu dalam keadaan yang sama. Badan saya tergolek lemah di atas
pembaringan. Pihak keluarga juga sudah pasrah, menerima kemungkinan buruk yang
akan terjadi. Mbah yang tinggal di Yogya dan Medan juga sudah
datang. Mereka menunggui saya dengan harap-harap cemas.
Dalam keadaan yang kritis itu, saya merasa didatangi seorang kakek
yang mengaku sebagai Mbah saya yang sudah almarhum, “Kowe
iku putuku. Ojo loro-loro. (Kamu itu cucu saya. Jangan sakit-sakitan
terus). Pokoknya ntar kalau sakit mamanya sedih, bangun ayo bangun!” ujar kakek
itu sambil mengusap dahi saya.
Mata saya terbuka. Dan saya melihat Mbah dan keluarga lainnya sudah
berkumpul. Mereka menangis bahagia melihat keadaan saya yang membaik setelah
tidak sadarkan diri dua belas hari. Ini bukan waktu yang pendek. Di bawah
tempat tidur saya sudah bau kapur barus. Karena saya divonis dokter telah
meninggal, tapi bapak masih belum yakin. Ia bersikukuh bahwa saya masih belum
meninggal.
Sebenarnya, ketika tidak sadarkan diri itu saya dapat melihat apa
yang dilakukan orang-orang yang menjenguk saya. Apapun yang mereka katakana,
saya dengar. Hanya saya tidak bisa berbuat apa-apa.
Saat tidak sadarkan diri, saya seakan bermain-main di ruangan yang
seba ungu. Akhirnya setelah saya sehat, saya mengecat kamar dengan warna ungu.
Saya masih ingin mengenang saat-saat tidak sadarkan diri. Saat ketika keluarga
membaca surat Yasin, atau detik-detik ketika mereka menangis dan meratapi nasib
saya yang tergolek antara hidup dan mati.
Ketika tersadar dari pingsan itu saya menemukan sebuah batu kecil
persegi enam yang tranparan di bawah bantal. Tidak ada yang tahu darimana
asal-usul batu itu. Batu itu saya jadikan cincin karena ketika disimpan di
dompet terkadang hilang dan lain kesempatan datang lagi. Pendek kata batu itu
selalu hadir ketiak saya sedang gundah gulana, marah, sedih maupun kecewa.
Entah kenapa setelah memakai cincin, saya ingin jajan terus. Meski
saya baru membeli bakso misalnya, dan tak lama kemudian ada penjual lain yang lewat
di depan rumah, saya langsung ingin membelinya. Keinginan ini tidak bisa
dicegah, karena bila dilarang akibatnya bisa fatal. Sesak nafas dan saat-saat
berikutnya saya pingsan. Tabungan yang diberikan orang tua senilai enam juta
habis dalam waktu tiga bulan.
Berteman dengan ‘Jin Cathy’ dari Jerman
Tahun 2002, saya mengikuti Praktek Kerja Lapangan di kapal
pemerintah yang berlayar ke laut China Selatan dengan nomor lambung 543.
Pelayaran yang sangat berkesan bagi saya, karena ketinggian ombak laut China Selatan
bisa dipastikan di atas dua puluh meter. Ini adalah kesempatan yang langka dan
tidak sembarang orang bisa bergabung dengan kapal ini.
Ombak yang menggulung menjadi pemandangan harian, sesekali
diselingi angin-angin kencang yang menderu-deru. Pagi itu, saya berdiri
di dek lambung kiri, memperhatikan permukaan laut yang
bergerak-gerak tanpa henti. Ombak itu saling berkejaran sebelum akhirnya buyar
memercikkan biuh membentur lambung kapal.
Saya menegok ke kiri, mata saya tertumpu pada sosok wanita yang
berdiri di geladak kapal. “Ohh, cantik sekali,” gumam saya lirih. Rambutnya
memakai korses dengan hiasan bunga yang indah. Serasi dengan kulitnya yang
kuning dan blues panjang berwarna merah. Ia cantik sekali. Paras wajahnya
menandakan bahwa dia tidak berasal dari Indonesia.
Semakin saya perhatikan, saya semakin heran. Wanita itu tidak
tersentuh air. Pecahan ombak yang muntah ke geladak kapal tidak membuatnya
basah. Padahal anak buah kapal yang sat itu berada di geladak kapal yang sama
berlarian tidak ada yang menghiraukannya. Seakan mereka memang tidak melihat
wanita cantik itu.
Wanita itu memperhatikan saya yang berdiri mematung. Perlahan, ia
melangkah dengan anggun. Gaunnya berkibar di terpa angin kencang. Ia melangkah
tepat mengarah ke tempat saya berdiri. Jantunfg saya berdegup semakin kencang.
Wanita it uterus mendekat dan … … saya sudah berada di ruang perawatan begitu
mata saya terbuka.
Kata perawat, saya ditemukan di geladak kapal dalam keadaan
pingsan. Selam di ruang kesehatan wanita cantik yang misterius itujuga berada
di dalam. Dia duduk di ranjang sebelah, tetap dengan balutan blues panjang
warna merah. Ia duduk saja dan tidak mengusik perawat yang sesekali ke dalam
ruangan. Nampaknya mereka tidak ada yang melihat wanita bule ini. Mereka hanya
berbicara dengan saya dan tidak melihat atau ngobrol dengan wanita bule itu.
Selang beberapa lama kemudian, wanita cantik itu memecah kebuntuan.
Ia memperkenalkan diri dalam bahasa Inggris. “My name is Cathy. I am Germany (nama
saya Cathy. Saya berasal dari Jerman),” tuturnya lembut sambil melangkah ke
ranjang saya.
Wanita yang memperkenalkan diri dari Jerman itu pun duduk di
samping saya. Dan tanpa diminta, ia segera memijat badan saya. Saya diam saja,
menerima pijatannya, hingga kemudian saya menjawab perkenalannya juga dengan
bahasa Inggris yang entah bagaimana tiba-tiba saja saya lancar berbahasa
Inggris.
Singkat cerita jin Cathy ikut saya. Dia masuk ke tubuh saya. Dia
menempel di punggung, katanya. Memang, saya merasa ada sesuatu yang berbeda
ketika jin Cathy berada di tubuh saya. Rasanya badan saya lebih ringan, begitu
juga ketika dia keluar. Saya mengetahuinya dengan perubahan gerak saya yang
sedikit melambat. Kedua telapak tangan dan kaki saya menjadi basah. Bila saya
juntaikan telapak tangan saya, lama kelamaan jatuh tetesan air dari telapak
tangan.
Selepas PKL, jin Cathy tetap menemani saya dan tinggal di kamar
saya. Ia tidur di ranjang atas, bekas tumpukan kardus. Sementara saya tidur di
bagian bawah. Kardus-kardusnya saya singkirkan semua. Sehingga tempatnya
menjadi lega. Memang saya sadar sejak awal, bahwa Cathy bukanlah manusia. Ia
adalah jin tapi dalam benak saya saat itu Cathy merupakan jin yang baik. Ketika
dipijat Cathy, saya merasakan tangannya seperti ketika saya dipijit orang lain.
Tidak banyak perbedaan yang saya temukan. Kecuali, ia tidak bisa dilihat orang
lain.
Padahal sekian bulan saya menghabiskan waktu bersama Cathy. Dia
selalu ikut kemana saya pergi. Ketika saya naik motor, maka Cathy membonceng di
belakang, lain waktu ia mengiringi saya berjalan kaki. Ia menjadi teman
layaknya manusia biasa. Bisa diajak bercanda atu bicara serius.
Memang, sesekali kehadiran Cathy menarik perhatian orangtua. Karena
mereka merasakan kehadiran orang lain di rumah ini. Hingga ibu pun menegur,
“Suka ada yang masuk ke kamarmu. Siapa dia?” Tanya ibu suatu siang. “Nggak
apa-apa. Dia teman saya kok. Sekarang sudah pulang,” jawab saya dengan santai.
Saat bergaul dengan Cathy sakit kepala masih belum sembuh, meski
saya sudah berobat secara medis. Akhirnya saya menerima tawaran Pak Rodi, orang
pintar, yang katanya bisa mengobati. “Mau sembuh nggak?” Tanya Pak Rodi. Ia
kemudian shalat dua rakaat yang katanya bagian dari proses pengobatan. Lalu
memberi sebungkus garam. “Garam ini harus dijilat sebelum keluar dari pintu
kamar,” tuturnya meyakinkan.
Obat yang terkesan mudah itu pun saya terapkan. Garam yang asin itu
menjadi pemanis bibir saya. Bayangkan, dalam sehari berapa puluh kali saya
harus menjilat lidah, lidah saya akhirnya meradang. Bukan kesembuan yang saya
dapat, tapi justru tambahan penyakit baru. Akhirnya ritual menjilat lidah saya
hentikan. Sebagai gantinya, saya diminta untuk membeli empat butir telur ayam
Cemani seharga 240.000 rupiah dan harus ditanam di rumah.
Uang sejumlah itu tidaklah sedikit, sementara saya sendiri belum
bekerja. Konsekuensinya saya harus berbohong kepada orangtua dan meminta
tambahan uang. “Untuk beli pusa,” jawab saya, ketika ditanya ibu.
Meski telur ayam Cemani sudah saya tanam di rumah tanpa
sepengetahuan orangtua, tapi hasilnya masih tidak kelihatan. Lama kelamaan,
permintaan Pak Rodi makin meningkat. Kini ia menyuruh saya mandi dengan minyak
wangi yang harus dibeli dari pak Rodi sendiri senilai 600.000 rupiah. Saran
yang terkesan aneh itu saya turuti. Karena saya sudah tidak tahan lagi dengan
sakit kepada dan sesak nafas yang selama ini mendera.
Lepas dari Pak Rodi, saya kembali terjerat kepada ulah orang-orang
yang hanya mau untung sendiri. Ibu Diah yang mengaku mengetahui hal-hal ghaib
menerawang saya. “Mbak Sri memiliki tanda yang merugikan. Tanda itu harus
dibuang melalui jengger ayam yang berbentuk kecil,” ujar Ibu Diah.
Keesokan harinya, saya membeli ayam jago yang berjengger kecil.
Ayam itu kemudian dipotong dan saya disuruh menghabiskannya. Memang selama saya
rajin bermain ke rumah Ibu Diah, sakit kepala saya cenderung berkurang. Tapi
lama kelamaan saya dimanfaatkan Ibu Diah, saya diminta untuk membayar beberapa
barang yang dia beli. Ia sama saja dengan Pak Rodi yang hanya memanfaatkan
sakit saya.
Jin Chaty Menjauh dari Stand Majalah Ghoib
Atas saran kakak, saya konsultasi ke perwakilan Majalah Ghoib yang
saat itu mengikuti pameran di Islamic Book Fair dengan
ditemani Mbak Tias, teman dekat saya dan tentu saja jin Cathy yang masih terus
mengikuti saya. Sebenarnya jin Cathy mencoba menghalangi saya konsultasi di
stand Majalah Ghoib. Ia menarik-narik rambut saya. Tapi
saya bersikukuh untuk konsultasi. Akhirnya jin Cathy menunggu saya dan Mbak
Tias di perempatan yang berjarak dua puluhan meter dari stand Majalah Ghoib. Jin
Cathy tidak berani masuk bersama saya.
Setelah konsultasi bebarapa saat Ustadz Ilham yang saat itu
bertugas di stand MajalahGhoib memijat jari saya. Pijatan
yang membuat saya menangis sebelum pingsan. Heboh, kata Mbak Tias, saya menjadi
tontonan orang-orang yang saat itu berada tidak jauh dari stand Majalah Ghoib. Saya
menjadi contoh langsung bagaimana sebenarnya terapi ruqyah di kantor Majalah Ghoib.
Senin berikutnya, saat hendak berangkat untuk terapi di kantor
Majalah Ghoib, saya mengantuk luar biasa. Akhirnya mama
menarik selimut dan guling saya. Tanpa ampun saya terbangun. Dalam keadaan
setengah mengantuk, Cathy kembali mempengaruhi saya, “Tidur saja, masih capek
kan? Kemarin baru dari pameran, masak sekarang pergi lagi,” bujuk Cathy. Saya
bersyukur bila bujukan yang menghanyutkan itu tidak saya turuti. Karena dari
sinilah berawal kesembuhan saya secara bertahap.
Saat terapi yang pertama, tidak terjadi dialog. Saya hanya merasa
sakit ketika ustadz memijat jari kaki saya. Saya meronta-ronta ingin melepaskan
diri. Sepulang dari terapi ruqyah pertama, saya mulai tidak bisa melihat Cathy,
sehingga ketika di berbicara saya hanya mendegar suaranya. “Cathy, lu ada
dimana?” Tanya saya. “Saya ada disampinglu.” “Tapi saya tidak bisa
lihat. Yang terlihat bantal dan guling saja,” kata saya.
“Kok nggak kelihatan? Tuh matanya kealingan. Kemarin matanya
ditutup yah?” ujar Cathy sambil mengusapkan tangan ke mata saya. Tak lama
kemudian, saya kembali bisa melihat Cathy.
Ketika saya merintih kesakitan karena pijatan ustadz yang masih
terasa, jin Cathy langsun meledek, “Tuh, pada sakit kan?” “Emang begini yang
namanya diurut, lu ikut biar tahu,” jawab saya balik.
Jin Cathy memang tidak mau ikut terapi ruqyah, ida memilih untuk
tinggal di rumah. Waktu itu, saya masih belum tahu bahwa sesungguhnya jin kafir
takut mendengar lantunan al-Qur’an.
Sebelum berangkat terapi yang kedua seminggu kemudian, jin Cathy
kembali menghalangi saya. “Udah, jangan berangkat. Sekarang ada film bagus. Mendingan
di rumah saja,” bujuk Cathy. Bujukan Cathy itu hampir saja meluluhkan niat saya
untuk ruqyah, tapi berkat dorongan Mbak Tias akhirnya saya bisa mengalahkan
rayuan Cathy.
Saat terapi kedua, seperti biasa saya meronta layaknya orang yang
kepanasan. Beberapa saat kemudian, terjadi dialog, “Siapa kamu?” Tanya ustadz.
“Saya bukan orang sini. Saya dari Jerman,” aku jin melalui mulut saya. Tidak
seperti biasanya. Kali ini dari mulut saya terdengar jawaban.
Setiba dirumah, saya tidak lagi bisa melihat Cathy, saya mencoba
mencarinya , namun hanya suaranya yang terdengar. Cathy mencoba mengusap mata
saya kembali, tapi semuanya gagal. “Ya sudah kalau lu tidak percaya sama gue,
gue mau pergi,” ancam Cathy kemudian. “Ya udah, pergi saja! Sudah ada Mbak Tias
yang nganterin saya.” Akhirnya suar Cathy hanya sesekali terdengar.
Suara Chaty benar-benar hilang setelah mengikuti terapi ruqyah yang
ketiga. Masih menyisakan sakit kepala yang sudah tidak lagi separah dulu. Saya
tidak lagi mudah pingsan ketika menghadapi masalah baru. Bagi saya ini ada
perubahan yang sangat bagus.
Ruqyah Majalah Ghoib dan Beka 021-70374645
Sumber : Kesaksian Majalah Ghoib Edisi 45/3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar