Jangan melarikan
diri dari nadzar, saat kesempatan untuk melaksanakannya tela terbuka. Karena
nadzar itu hutang. Sekali hutang, tetaplah hutang sebelum terbayar. Sampai
kapanpun. Begitulah intisari kesaksian Dasiman (seorang pegawai negeri sipil)
kali ini. Dua bulan lamanya, ia menerima konsekuensi dari nadzar yang belum
dilaksanakannya sejak dua puluh tahun yang lalu. Berikut petikannya.
Jawa Tengah, Agustus 1986
Tahun 1986, aku baru lulus STM. Usiaku baru dua puluhan tahun.
Mungkin terbilang telat bagi anak-anak zaman sekarang, lulus sekolah menengah
pada usia sepertiku. Tapi bagiku dan teman-teman, itu sudah lumrah. Bukan hal
Yang aneh.
Saat itu, untuk mencari pekerjaan di kampung halamanku tidaklah
semudah sekarang. Tidak bany ak lapangan kerja yang terbuka bagi pencari kerja
di Solo, Jawa Tengah. Mau menggeluti pertanian seperti orangtua, dalam benakku
saat itu juga bukan sebuah pilihan awal.
ljazah SMA sudah dalam genggaman. Aku ingin mencari suasana baru.
Dunia kerja yang berbeda dengan yang kujalani selama ini, sebagai anak seorang
petani. Masalahnya, lapangan kerja yang tersedia tidak memberikan, ruang yang
cukup bagiku dan teman-teman.
Aku yang terbiasa pergi pagi pulang siang, menjadi jenuh di rumah
seharian. Aku rindu kembali dengan suasana pegunungan. Selama sekolah, aku
memang ikut bergabung dengan perguruan beladiri. Setidaknya sabuk hijau sudah
dalam genggaman.
Sesekali aku dan teman-teman juga melakukan latihan fisik dengan
cara yang berbeda. Ya, dengan mendaki gunung misalnya. Gunung Lawu bukan lagi
asing bagiku. Puncak Argodalem beberapa kali sudah kudaki. Gua Nyi Roro Kidul
juga pernah kudatangi.
Aku larut dalam kenangan indah di puncak Argodalem. Beratapkan
langit, berdinding hamparan pohon pinus. Gelegak darah mudaku kembali
menggelora. Hasrat dan keinginan untuk mendaki gunung muncul kembali. Ah,
mengapa tidak ke pertapaan Pringgondani saja, pikirku. Bukankah, tempat itu
diyakini sebagai tempat keramat? Banyak orang datang ke sana dengan berbagai
alasan. Konon, berdoa di pertapaan Pringgondani itu mudah terkabul.
Aku menerawang, jauh ke depan. Membayangkan puluhan tahun ke depan.
Masa-masa indah yang kuimpikan. Aku tidak memungkiri bila dalam hati terbesit
keinginan yang kuat untuk menjadi pegawai negeri. Entah, mengapa keinginan itu
begitu kuat. Rasanya, senang berseragam rapi dan tiap hari ke kantor. Tidak
lagi berkubang dengan tanah dan lumpur.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar,” adzan Dzuhur yang berkumandang dari
mushalla menyadarkanku dari lamunan. Aku pun bergegas mengambil air wudhu,
membiarkan lamunan pergi sesuka hatinya. Hatiku sudah mantap. Esok aku akan
mendaki gunung Lawu kembali. Kali ini tidak sampai jauh menembus ke puncak.
Cukup di kaki gunung saja. Tepatnya di pertapaan Pringgondani.
Berbekal dengan sedikit makanan untuk satu dua hari, aku idzin
kepada orangtuaku. Seperti biasanya, bapak dan ibu tidak mencegahku mendaki
gunung. Mereka hanya berpesan, agar aku lebih berhati-hati.
Aku mendaki dari Grojogan Sewu, menyusuri jalanan setapak yang
membawaku ke pertapaan. Sunyi, hening. Hanya kicauan burung dan binatang hutan
yang menemani Perialananku. Tiga jam lamanya, kususuri jalanan yang sesekali
berlumpur itu. Menyibak perdu yang kadang menghalangi jalan. Kubiarkan
duri-duri kecil menyapa lengan, meninggalkan goresan merah di kulit. Hingga
akhirnya aku sampai di pertapaan Pringgondani.
Sebuah hamparan tanah lapang. Di sana, berdiri kokoh bangunan
pendopo tua. Dikelilingi jajaran pohon pinus. Aku melemaskan otot dengan
bersimpuh di atas tanah. Ternyata aku tidak sendirian di tempat itu. Ada
sepuluhan orang lain yang juga menjejaki pertapaan Pringgondani. Siang itu, aku
hanya berdiam diri di pendopo seluas tiga kali empat meter itu. Aku berbagi
tempat dengan para pendaki lainnya.
Malam harinya aku menginap di sana. Karena aku masih ingin
menikmati suasana pegunungan yang damai. Jauh dari suasana kebisingan. Meski
ada sepuluhan orang di sana, tapi masing-masing tahu diri. Tidak ada yang
mengganggu ketenangan. Ada yang duduk bersila dengan tasbih di tangan. Ada juga
yang mengelilingi api unggun.
Aku memilih tetap berada di dalam pendopo. Aku ingat bahwa tempat
ini memang diyakini sebagai tempat yang mustajab. Artinya, kebanyakan orang
yang datang ke sini, rata-rata mencari keberkahan dari pertapaan Pringgondani
ini. Saat itu, aku masih sependapat dengan pandangan masyarakat secara umum.
Karena itulah, aku memanfaatkan waktu-waktu malam untuk berdoa kepada Allah.
Aku memohon, agar dimudahkan mendapat pekerjaan. Secara khusus aku memang
berharap ingin menjadi pegawai negeri. “Ya Allah, kalau nanti aku menjadi
pegawai negeri, aku akan potong kambing.”
Aku memperkuat doa di malam itu dengan, bernadzar. Aku akan
menyembelih kambing, sebagai tanda sukur bila keinginanku itu terkabul.
Merantau ke Jakarta
Sepulang dari pertapaan Pringgondani, aku merantau ke Jakarta
berbekal Ijazah SMA dan keyakinan di dada. Aku yakin peluang kerja di Jakarta
lebih luas daripada di daerah. Walau tidak mudah, tapi aku yakin peluang itu
masih ada. Mungkin ada yang berpendapat, aku nekat. Karena hanya bermodalkan keyakinan
pada keagungan Allah.
Hari-hari pertama, aku memang sempat kebingungan, kemana harus
melangkah. Tapi aku tidak mau menyerah. Aku bertanya kepada orang-orang yang
kutemui, apakah ada yang membutuhkan tenaga. Berkali-kali aku ditolak, tapi
tidak membuat nyaliku menciut. Aku tetap yakin bahwa Allah akan menolong
hamba-Nya yang sedang dalam kesulitan.
Bagiku saat itu kerja apa saja, tidak masalah. Yang penting halal.
Puluhan orang yang sudah kutanya, rata-rata jawaban mereka sama. “Tidak ada
lowongan keria, dik.” Hingga aku sampai di sebuah rumah yang lumayan bagus. Aku
berharap pemilik rumah itu sedang membutuhkan tenaga kerja.
Allah mengabulkan permintaanku. Aku dipertemukan dengan keluarga
seorang pejabat tinggi pemerintahan. Pak Surya namanya. Kebetulan ia sedang
menjalani dinas pendidikan. Aku diminta untuk menjaga rumahnya. Dua bulan
lamanya, kujalani profesi penjaga rumah yang tak ubahnya seperti seorang
satpam. Posturku yang mendukung serta bekal pengalaman sabuk hijau di salah
satu perguruan beladiri membuat Pak Surya senang dengan dedikasiku. La pun
menawariku mengikuti seleksi pegawai negeri. Dan aku pun diterima.
Dalam hitungan bulan, cita-cita untuk menjadi pegawai negeri itu
pun terkabul. Saat itu, aku masih ingat nadzar yang kuucapkan saat di pertapaan
Pringgondani. Aku ingat bahwa aku telah berjanji untuk menyembelih kambing.
Hanya saja, nadiar itu belum bisa aku tunaikan, karena keterbatasan dana yang
kumiliki. Meminta dana ke orangtua juga tidak mungkin. Alhasil, aku berpikir,
ah nanti saja potong kambingnya, kalau uang sudah terkumpul.
Menunda-nunda Pelaksanaan Nadzar
Waktu terus merambat. Aku lupa akan janji di pertapaan
Pringgondani. Masalah nadzar kambing sudah, hilang dari ingatanku. Terdepak
oleh rutinitas kerja yang menyita waktu dan perhatian. Dari yang semula
membujang, hingga menikah pada tahun 1992, nadzar itu tetap belum aku
laksanakan. Sesekali memang terlintas dalam benakku, bahwa aku pernah bernadzar
tapi ingatan itu kemudian kutepis sendiri, ‘ah nanti sajalah kalau
sudah pensiun’.
Selama bertahun-tahun aku hidup dengan tenang bersama istriku
sebelum akhirnya pindah ke rumah kontrakan di Jakarta Timur. Rumah yang
kutempati itu, kata tetangga, memang angker. Letaknya saja berdampingan dengan
kuburan Cina.
Merinding juga mendengarkan cerita mereka. Tapi Pilihanku saat itu
tetap mengontrak di sana. Selain ongkos sewanya yang agak miring, kontrakan itu
juga lebih dekat dengan tempat keria. Aku sadar bahwa pilihan ini memang
mengandung resiko. Bila kemudian, aku mengalami peristiwa yang berbau mistis,
maka itu adalah konsekuensi yang kusadari sejak awal. Nyaris tiap malam, selama
dua tahun, selalu ada gangguan. Seringkali aku melihat penampakan sosok tinggi
berkulit hitam. Makhluk itu ingin menguasaiku, tapi selalu berhasil kukalahkan.
Seuatu saat, ada penampakan yang menyerupai istriku. Dalam
pandanganku makhluk itu persis seperti dirinya. Wajahnya, bentuk rambutnya
tidak berbeda. Pakaian yang dikenakannya pu sama. Bagai pinang dibelah dua.
Keduanya di pinggir ranjang. Bedanya, satu dari kedua wanita itu menyusui
anakku. ltu yang membuatku yakin bahwa yang hanya memandangiku dan anakku
secara bergantian itu hanyalah penampakan dari jin.
Kuusap mataku berulang-ulang. Tapi kedua wanita itu tetap di
tempatnya. Awalnya, aku khawatir bila itu hanya halusinasi semata. Kucubit
lenganku, ternyata aku tidak juga bermimpi. lni nyata. Aku yakin satu di antara
mereka ada yang penjelmaan jin. Karena itulah kudekati pelan-pelan wanita yang
tidak menyusui anakku. Dan, … bag-bug, bag-bug … kulayangkan
tangan menghantam wanita itu. “Mas, Mas, ada apa Mas …” teriak wanita yang
menyusui anakku. Ia terkejut melihat apa yang kulakukan, karena ia memang tidak
melihat wanita selain dirinya. Aku hanya memukul tempat kosong, tapi dalam
benakku aku memukul penjelmaan jin yang langsung menghilang.
“Mas, ada apa Mas?” Tanya istriku lagi. Sedari tadi aku belum
menjawab pertanyaannya. “Ada yang menyerupai adik,” jawabku. “Kupukul saja biar
dia tidak berani mengganggu lagi.”
Kuceritakan apa bang baru saja kulihat serta penampakan-penampakan
lainnya di dalam rumah ini. lstriku hanya mengangguk pelan. la percaya, bila
ada yang menyerupai dirinya. Sebab pengalaman di rumah kontrakan itu telah
menyadarkan kami bahwa dunia jin memang nyata. Mereka juga sering menampakkan
diri dalam bentuk yang bermacam-macam.
Meski demikian, aku bersyukur. Kedua anakku tidak mengalami
kejadian yang aneh. Selama ini mereka hidup tenang, seperti anak-anak tetangga.
Selain dari gangguan di rumah kontrakan itu, selama ini aku tidak merasakan adanya
keanehan lain. Di kantor atau dimanapun aku bertugas. Lantaran itu aku
mengambil kesimpulan bahwa rumah kontrakan itu yang angker. Bukan diriku.
Logikanya, siapapun yang menempati rumah itu kemungkinan besar akan melihat
berbagai penampakan jin.
Ditagih Jin Pertapaan Pringgondani
Tahun 2005, aku ditugaskan ke Bekasi. Kuajak sitri serta kedua
anakku. Disanalah, kemudian aku membangun rumah. Usiaku sudah semakin senja,
tidak bijaksana bila bolak-balik pindah kontrakan. Setahun setelah menempati
rumah baru, ada orang pintar yang menawarkan jasa untuk memagari rumah dari
gangguan makhluk halus. Usianya sudah separuh baya dengan gaya bicara yang
menarik. Ia mengungkapkan kelebihan-kelebihan ghaibnya.
Setelah berpikir sejenak kupersilahkan orang pintar itu membuktikan
ucapannya. Karena aku tidak ingin pengalaman di rumah kontrakan dulu terulang
di rumah sendiri. Tiga paku emas dipasang di atas pintu, sementara apel jin dan
beberapa sesajen lain ditanam di halaman rumah. Setelah pemagaran rumah itu,
aku merasakan ada yang berubah. Nuansanya tidak sesejuk dulu. Perselisihan
kecil dalam rumah tangga mulai muncul serta dagangan yang biasa laris, mulai
menyusut pelanggannya.
Empat hari setelah Idul Fitri, aku sakit. Suhu badanku menembus 40
derajat celcius. Waktu itu aku berpikir, karena kecapekan saja. Menjelang
lebaran kemarin, banyak tugas kantor yang harus diselesaiakan.
Waktu itu aku berobat ke dokter. Namun, kata dokter, tidak ada
penyakit berat yang menimpaku. Itu hanya panas biasa. Hatiku tenang mendengar hasil
diagnose dokter tersebut. Tapi ketika suhu badan itu tidak jiga turun meski
telah berlangsung seminggu, aku mulai khawatir. Siang malam, aku gelisah. Aku
seperti orang yang kebingungan. Duduk menetap tiga menit saja, sudah tidak
betah. Pindah sini. Pindah sana. Suhu badanku tetap dalam kisaran empat
puluhan. Tiap hari aku harus bolak-balik gabnti baju yang basah oleh keringat.
Memasuki hari kesepuluh, mulai terlihat kejanggalan. Aku tidak bisa
tidur. Bila hanya karena panas, mungkin hal serupa juga dialami orang lain. Aku
tidak kuasa memejamkan mata, karena setiap memejamkan mata, aku melihat
berpuluh-puluh binatang hendak menyerangku.
Saat terpejam itu, aku melihat terowongan panjang. Terowongan itu
jauh menembus ke hutan. Tepatnya ke pertapaan Pringgondani. Lewat terowongan
itulah berpuluh-puluh binatang rebutan masuk ke dalam diriku. Aku terkesima.
Spontan kuteriakkan takbir untuk menangkan diri. Kekuatannya sungguh
mencengangkan. Seketika binatang-binatang itu terhenti menghilang, sebelum
akhirnya aku terbangun dengan geragapan.
Aku teringat film Jumanji yang beberapa saat lalu diputar di salah
satu TY swasta. Visualisasinya tidak jauh berbeda denga yang kualami.
Berpuluh-puluh binatang itu mendatangi rumahku. Ada gajah, harimau, anjing,
kera dan masih banyak lagi yang lainnya. Hanya aku yang melihat semua bintang
itu. Istri dan anak-anakku tidak merasakan kehadiran mereka. Dalam pandanganku,
binatang-binatang itu tidak pergi. Mereka masih berada di sekeliling rumahku.
Ada yang di pohon cery di halaman rumah, ada pula yang memilih runpun bambu di
samping rumah, sebagai tempat pengintaian.
Bila menemukan celah, mereka akan masuk ke dalam diriku. Pintu
terbuka sedikit saja, angin kencang menerobos ke dalam. Selanjutnya angin itu
merambat dari kaki dan menjalar ke seluruh tubuh.
lni adalah pertanda kehadiran makhluk tak diundang itu. Bila sudah
demikian, aku biasa menjerit. Terkadang sampai, bergulingan di tanah. Beberapa
tetangga yang mendengar keributan di dalam rumah itu pun berdatangan. Mereka
meringkus dan berusaha menyadarkanku. Anehnya begitu ada yang mendekat, tangan
dan kakiku langsung menghadang mereka tanpa dapat kukendalikan.
Sewaktu bergulingan di tanah itu, tiba-tiba saja aku teringat,
dengan nadzarku dulu di pertapaan Pringgondani. Sampai terucap di dalam hati.
“Ya Allah, aku sanggup melaksanakan janjiku. Aku akan potong kambing ya Allah.
Kumohon hentikan siksaan ini.” Setelah mengucapkan kesanggupan itu di dalam
hati, perlahan siksaan mulai mereda. Aku mulai bisa menguasai diri. Tapi
binatang-binatang itu tidak pergi, Mereka tinggal di pohon ceri dan bambu untuk
menunggu pelaksanaan nadzar.
Keesokan harinya, ada angin kencang menerpa rumahku. lstriku juga
merasakan angin itu. Anginnya kencang sekali. lstriku sampai tidak berani
membuka pintu depan. Tapi anehnya, tidak ada dedaunan yang rontok. Beberapa
saat berikutnya, aku kembali bergulingan di tanah. Saat itu, kondisiku semakin
parah. Kata tetangga, aku sudah setengah mati. Aku terus bergulingan di lantai.
Katanya, ada beberapa orang yang mencoba menyadarkanku, tapi mereka tidak
berhasil. Akhirnya, ada yang menyarankan keluargaku untuk membawaku ke Ghoib
Ruqyah Syar’iyyah cabang Cikarang untuk mehjalanlani terapi ruqyah.
Aku pun dibawa ke cabang Cikarang dalam keadaan masih belum
sadarkan diri. Di sana, aku diterapi Ustadz Arif. Empat orang yang memegangku
terpental. Aku bahkan memukul dan menendang mereka. Katanya, bila punggungku
menyentuh lantai, maka badankuberputar seperti gasing.
Alhamdulillah, setelah beberapa lama diruqyah ustadz Arif, badanku
melemas. Kekuatan yang merasuk ke dalam diriku, semakin mengendurkan
cengkeramannya hingga aku tersadar kembali. Perlahan, satu persatu jin yang
menasuk ke dalam diriku itu keluar. Aku bisa merasakannya. Seperti ada sesuatu
yang merambat di badan lalu keluar melalui nafas. Selanjutnya di mana saya
merasakan panas, disitulah dipegang Ustadz Arif sambil dibacakan ayat
al-Qur’an. Dan jin pun keluar lagi.
Sehari setelah ruqyah itu, aku segera memenuhi nadzarku. Aku
menyembelih dua ekor kambing. Dagingnya dibagikan kepada warga
sekitar. Uangnya memang tidak milikku semua. Ada tiga ratusan ribu yang masih
pinjam teman. Waktu itu aku berpikir tak apalah nanti juga akan aku ganti.
Memang setelah penyembelihan kambing itu badanku berangsur membaik.
Tapi bukan berarti sudah terbebas sama sekali. Justru setelah pemotongan
kambing itu, jin-jin yang telah dikeluarkan saat ruqyah berusaha masuk kembali.
Mereka menggunakan berbagai cara untuk menguasai diriku. Ketika shalat
misalnya, jin-jin itu selalu mengganggu konsentrasiku. Aku dibuatnya sulit
membaca. Dan bila melakukan kesalahan, maka badanku langsung panas. Sesekali
seperti ada kekuatan yang mendorong tubuhku saat shalat. Tapi semua itu tidak
membuatku surut ke belakang.
Aku semakin memperbanyak ibadah. Tiap malam, aku terus melaksanakan
shalat tahajud. Siang malam, aku juga selalu berdzikir. Semua itu kulakukan
untuk memperlemah gangguan yang menerpaku ini. Tidak mungkin aku bergantung
kepada orang lain untuk menyelesaikan masalahku. Pertemuanku dengan Ustadz Arif
misalnya, tidak bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Karena itulah aku
harus bisa membentengi diriku sendiri. Tentunya, dengan semakin meningkatkan
kualitas ibadah dan membaca al-Qur’an.
Siang malam, saya selalu membaca doa, sambil membawa tasbih.
Sebelum tidur, selalu membaca do’a. Kalau tidak begitu, saya diganggu. Badan
kesemutan seperti digerumuti semut. Saya bacakan astaghfirullahal
‘adhiim, jin itu keluar.
Suatu malam, aku merasakan kembali kehadiran binatang-binatang. Ada
dua anjing yang masuk ke kamar mandi. Seketika, aku teringat bahwa aku masih
punya hutang tiga ratus yang kupakai untuk membeli kambing. Aku katakan, “Aku
akan membayar tiga ratus ribu itu. Jangan tunggu di dalam rumah. Keluar sana.”
Akhirnya dua ekor anjing itu pun kulihat keluar dari kamar mandi. la menunggu
di pohon ceri.
Keesokan harinya, aku membayar hutang tiga ratus ribu kepada
temanku. Ia orang kaya. Tiga ratus ribu itu tidaklah seberapa. Karena itu
begitu aku ceritakan apa yang terjadi, uang tiga ratus ribu itu diserahkan
kembali kepadaku. “Uangnya saya terima. Mudah-mudahan Allah mengizinkan dan
bapak tidak dapat gangguan lagi. Bapak tidak punya hutang lagi sama saya,”
katanya. Uang itu kemudian diberikan kembali kepada anakku. Katanya uang itu
sudah diterimanya, mau diberikan kepada siapa saja terserah dia.
Setelah aku membayar hutangku, alhamdulillah aku tidak lagi
mendapat gangguan. Semoga dengan terbebasnya diriku dari nadzar dan segala hal
yang bersangkutan dengannya, gangguan yang telah menderaku dua bulan ini hilang
untuk selamanya. Aku kembali menapak hidup ini dengan tenang.
Ruqyah Majalah Ghoib Dan Bekam 021-70374645
Tidak ada komentar:
Posting Komentar