KUTINGGALKAN tanah kelahiranku
di Sumatera di pertengahan tahun. Kuturuti kata hati. Merantau ke
tanah jawa demi cita-cita yang membuncah di jiwa. Bukan gelar dokter
atauinsinyur yang ingin kusandang. Atau atribut duniawi lainnya. Aku
hanya ingin menyambungcita-cita orangtua yang belum kesampaian. Mereka telah
lama ingin mendirikan pesantren. Tapi apalah daya. Keterbatasan
pemahaman agama membatasi gerak mereka.
Sebuah pesantren di jawa Tengah menjadi labuhan
harapan. Puluhan kitab berbahasa Arab mulai menjadi harian. Aku terbilang anak
yang menonjol di kelas. Setelah menamatkan satu kitab, kami menerima amalan
atau lelakon yang harus dijalani. Setiap kitab berbeda
amalannya. Ada yang harus puasa tiga hari. Ada yang satu minggu. Atau merapal
wirid dalam bilangan tertentu. Dan ada pula yang pantang menyantap makanan yang
bernyawa. Tiap hari mereka hanya mengkonsumsi makanan nabati. Baik dari
dedaunan atau yang lainnya. Dalam
setahun, setidaknya aku menamatkan tiga puluhan kitab. Sudah bisa dibayangkan
bagaimana kehidupan santri di sana. Ya, kuakui tujuh puluh lima persen santri
mengamalkan berbagai amalan-amalan itu.
Mulanya, aku termasuk orang yang malas amalan
puasa. Di tahun kedua, aku mulai bersemangat. Puasa mutih tujuh hari kulalap
begitu saja. Puasa mutih nemang terbilang berat, terlebih bila di hari ke tujuh
aku tidak makan dan minum dan tidak tidur selama dua puluh empat jam. Sejak itu, berbagai jenis amalan dan lelakon mulai kulahap.
Keinginan yang kuat agar pulang dengan membawa hasil membuatku pantang
menyerah. Lulus dari satu ujian kuikuti ujian berikutnya. Tetap dengan
keyakinan yang sama. Aku tidak ingin mengecewakan orangtua. Sampa! pada titik
ini, aku merasa telah berbuat maksimal. Baik di kelas maupun di luar kelas. Berbagai jenis tempaan batinpun tak
lepas dari incaranku. Aku pernah tirakat tidak makan nasi putih selama setahun.
Bukan karena mengidap penyakit tertentu dan dilarang oleh dokter. Tapi lebih
karena nasi putih adalah pantangan dari tirakat yang sedang kulakoni. Setiap
hari aku hanya makan gorengan atau mie instant. Tak lagi
kupertanyakan mengapa tidak boleh makan nasi saat menjalani lelakon tertentu.
Karena kudapatkan ilmu tersebut di pesantren.
Merambah tahun kedua, kusingsingkan lengan
baju. Kuberlari dan terus berlari menggapai harapan. Larangan santri Sekolah
Tsanawiyah bergabung dengan perguruan silat pun tidak berlaku bagiku.
Kedekatanku dengan guru besar perguruan silat membuatku memperoleh tempat
tersendiri. Saat itu usiaku memang masih muda. Tapi usia bukanlah hambatan
bagi seseorang meretas pulau Jawa, kerinduanku akan kampung halaman tak
terbendung. Bayang-bayang permainan dengan teman serta keluarga kembali
berkelebat. Sudah tiga tahun lebih kutinggalkan
mereka. Sudah saatnya aku memuaskan dahaga kerinduan ini. Kesempatan itu
tiba di bulan Ramadhan. Aku pulang.Masalahnya,
gambaran masyarakat tentang pesantren sudah sedemikian
mengakar. Bahwa orang yang nyantri
di tanah Jawa itu hebat. Hebat dalam artian yang luas. Dia memiliki
pemahaman agama yang bagus dan olah batin yang tidak kalah kuatnya.
Citra ini merupakan peluang sekaligus tantangan
bagiku. Di usia yang masih muda. Kulewatkan Ramadhan dengan ceramah keliling.
Aku berpindah dari satu desa ke desa yang lain. Dengan satu tujuan, mengamalkan
Hmu yang kupelajari di pesantren selarna ini. Ramadhan, menjadi sentuhan
dakwahku yang pertama dengan masyarakat. Merekapun tanpa ragu menerima
kehadiranku dengan tangan terbuka. Meski usiaku masih muda. Terkadang mereka
umumkan keliling desa bahwa aku yang akan menjadi penceramah Jum'at di masjid
mereka. Sebuah kenangan yang manis untuk dikenang. Aku
mulai dikenal kebersinggunganku dengan mereka semakin luas. Ladang warga di
desaku dikelilingi oleh hutan yang masih perawan. Sekawanan babi, kera maupun
binatang buas lainnya masih berdiam di sana.Keberadaan ladang di pinggir hutan
seperti ini menjadi masalah tersendiri. Hasil perkebunan mereka sering dijarah
hewan liar. Tidak ketinggalan pula dengan ladang bibi. Letaknya yang persis di
pinggir hutan menjadi santapan empuk hewan liar. Mengetahui aku ada di
rumah, bibi segera menemuiku. Selain menghilangkan kerinduan, bibi ingin aku
melakukan sesuatu agar ladangnya terbebas dari serangan hewan
liar. Kuturuti kemauan bibi. Meski aku tahu bahwa itu bukan hal yang
mudah. Aku harus begadang dan membaca wirid tertentu pada sejumput garam.
Selain itu, kutulis lafadz basmalah pada selembar kertas
sebanyak 4000 kali, Bacaan dan tulisan ini masih diperkuat dengan beberapa
wiridan yang kutulis pada daun
Sejumput garam itu kuberikan pada bibi. Kusuruh
memasukkan ke dalam plastik lalu mengikatnya dengan kain putlh. Semcsntata akti
sendiri, memasukkan tulisan ke
dalam sepotong bambu. Selanjutnya sepotong bambu itu harus ditanam
dengan cara tertentu. Hasilnya cukup memuaskan. Ladang bibi terbebas dari
jarahan babi hutan, justru ladang orang lain yang lebih jauh dari hutan menjadi
sasaran yang empuk. Orang-orang pada
keheranan. Mereka kasak-kusuk. Ada apa dengan ladang
bibi. Sejumput garam dalam balutan plastik menggantung di ranting pohon di
pojokan ladang ditemukan. Sejumput garam yang membuat mereka penasaran lalu
mendatangi bibi. Akibatnya, di malam berikutnya terkumpul empat kilo gram garam
dari warga yang harus kubacakan wiridan. Meski kali itu, aku tidak perlu
repot-repot lagi menulis basmalah. Aku tinggal memfotokopi
yang telah ada sebelumnya. Ramadhan
telah berlalu. Menyisakan kenangan baru. Keberadaanku sebagai santri di tanah
Jawa mulai diperhitungkan. Apa yang kulakukan di Ramadhan itu meningkatkan
semangat juangku. Bahwa apa yang kupelajari di tanah Jawa tidaklah sia-sia. Aku
telah mulai meretas harapan dengan menebar jala dakwah di sana. Meski hanya
sebulan. Aku kembali ke pesantren dengan semangat
baru.
MELUMPUHKAN KEKUATAN DUKUN BOLA
DENGAN ILMU ASMA'UL HUSNA
Kujalani rutinitas pesantren seperti biasa.
Belajar dan terus belajar. Tentu dengan amalan baru, wiridan baru serta tingkat
kemampuan beladiri yang kian hari semakin tinggi. Gerakan silat dasar sudah
kukuasai. llmu pernafasan pun kulahap dengan cepat. Hingga pada akhirnya
berbagai jenis ilmu guru dapat kuwarisi dengan baik. Ilmu karamah dan ilmu Asma'ul
Husna pun perlahan mendarah daging di tubuhku. Hanya dengan tarikan
nafas aku sudah bisa melakukan gerakan-gerakan silat tanpa harus banyak
belajar. Selain itu, tingkatanku di perguruan beladiri mulai menanjak hingga
akhirnya aku diangkat sebagai pelatih.
Saat melakukan latihan beladiri dengan
menggunakan kekuatan tenaga dalam, aku sering membentengi tempat latihan dengan
pagar ghaib. Kala itu, aku tidak lagi membutuhkan tulisan di janur kuning,
garam atau basmalah 4000 kali. Aku hanya menerapkan
jurus Asmaul Husna dan sedikit tarikan nafas, urusan
pemagaran ghaib pun beres. Waktu terus bergulir. Tanpa terasa bulan
Ramadhan kembali hadir. Tiba saatnya aku kembali ke kampung halaman. Tentu
dengan semangat dakwah yang tidak surut termakan usia. Aku pulang. Kebetulan
di kampung sedang digelar pertandingan sepakbola. Enam kesebelasan
memperebutkan hadiah seekor kambing. Hadiah yang cukup menggiurkan bag! warga
desa. Di antara enam kesebelasan itu ada satu kesebelasan yang terbilang unik.
Ya, kesebelasan yang beranggotakan para perantau
yang pulang mudik. Unik, karena kebanyakan mereka jarang atau tidak pernah
bermain bola. Aktifitas mereka di perantauan sudah disibukkan dengan rutinitas
kerja. Aku pun tergabung dengan kesebelasan ini.Sebagai kesebelasan gado-gado
yang tidak pernah latihan, wajar bila keberadaan kesebelasanku tidak
diperhitungkan. Lima kesebelasan yang lain sudah terbiasa latihan. Setidaknya
dua kali seminggu hingga mereka tidak lagi asing si kulit bundar yang menjadi
rebutan. Pada sisi lain, aku sadar bahwa permainan bola di kampung
halamanku tidak terlepas dari mistik. Tidak sedikit dari dukun yang terlibat di
sana sebagai backing. Meski kesebelasanku menghadapi dua jenis
lawan yang tidak bisa diremehkan, tap! aku tidak patah arang. Sebagai
seseorang yang mengenyam pendidikan di pesantren, aku yakin seratus persen
bahwa aku dapat mengalahkan dukun. Kekuatan jampi dan mantra mereka masih kalah
dengan ilmu yang kupelajari selama ini. Waktu itu, aku meyakini bahwa ilmu yang
kupelajari adalah ilmu putih.
Tinggal menyisakan satu masalah lagi. Bagaimana
membangun kesebelasan yang tangguh dalam waktu yang singkat. Dalam beberapa
kali latihan, kegamangan terpancar kuat di muka teman-teman. Kubakar semangat
mereka bahwa kami harus menunjukkan kemampuan. Kami harus berjuang agar tidak
dipandang sebelah mata. Lalu dilecehkan begitu saja. Kutunjukkan kekuatan
jiwaku meski aku bukan yang terbaik. Di kesebelasan, aku tercatat sebagai
pemain cadangan. Lawan
pertama kesebelasan perantauan adalah kesebelasan RT satu dan dua. Mereka lawan
yang tangguh. Buktinya, lima belas menit pertama, kesebelasanku kelimpungan.
Mereka nampak tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sehingga menjadi
bulan-bulanan kesebelasan lawan. Aku miris. Teman-teman pontang-panting. Mereka
berlarian kesana kemari tanpa kordinasi.
Dari pinggir lapangan, kusaksikan semua itu
dengan dada bergetar. Kami tidak boleh kalah. Kami tidak boleh kalah. Dorongan
dalam jiwa itu pada akhirnya menyadarkanku apa yang seharusnya kulakukan. Dari
pinggir lapangan aku merapal ilmu Asmaul Husna. Aku rapal
jurus yang sering kujadikan sebagai ajian sirep dengan sekali tarikan nafas.
Setidaknya dengan itu aku merasa sedikit tenang. Setelah
lima betas menit, teman-teman memutuskan aku harus masuk ke dalam lapangan. Untuk
mengisi kebuntuan di lini depan. Dalam beberapa kali latihan, aku memang
lebih memilih sebagai pemain depan. Kurapal
kembali ilmu Asmaul Husna. Karena ilmu ini seakan sudah
mendarah daging, aku hanya menarik nafas dan menahannya sebentar, ilmu ini
sudah merasuk. Energi mistiknya sudah otomatis tersalurkan. Ketika lawan
menguasai bola, aku bisa mengarahkan bola dengan nafas. Dan membuat tendangan
mereka melenceng. Bola yang seharusnya masuk ke dalam gawang pun menyamping ke
kiri atau ke kanan. Lima menit berada di lapangan, terjadilah keanehan.
Pemain belakang lawan melakukan gol bunuh diri. Kejadiannya memang di
luar nalar. Pemain lawan bernomor punggung tujuh melempar bola kepada
temannya yang bernomor punggung
empat. Bola itu diterima dengan baik. Seorang temanku menghadang.
la berusaha merebut bola dari pemain bernomor
punggung empat. Pemain melawan mengoper bolanya ke pemain
belakang bernomor punggung tiga. Pemain
itu lima meter berada di depanku. Hanya aku yang dekat dengannya. Tapi tanpa
diduga. Pemain bernomor punggung tiga yang menerima bola tanpa perlawanan itu
membalik badan. la yang semula membelakangi
gawangnya, secara tak terduga menendang bola dengan keras ke arah
gawangnya sendiri. Goool. Penjaga gawang hanya bisa melongo. la membiarkan
bola menembus gawangnya.
Heboh. Penonton ternganga. Mereka tidak percaya
dengan apa yang terjadi. Tapi begitulah kejadiannya. Tanpa ayal pemain bernomor
punggung tiga itu mendapat makian dari pendukungnya. Sebaliknya, penonton yang
berpihak kepada kamf pun bersorak kegirangan.Pertandirigan
sore itu bertahan hingga babak kedua berakhir dengan skor I -0. Kesebelasanku
yang memenangkan pertandingan, meski tidak diunggulkan. Keesokan harinya, aku
mendengar bahwa pemain bernomor punggung tiga itu tidak sadar bahwa dia menendang bola ke gawangnya sendiri.
la mengira bahwa ia menendang bola ke lapangan tengah dan diberikan kepada
temannya yang berdiri bebas di sana. Pertandingan dengan sistim kompetisi
penuh ini mempertemukan dua kesebelasan terbaik di final. Dan tanpa diduga
kesebelasanku yang diremehkan orang, pada akhirnya menembus final. Tapi sayang,
partai final yang digelar empat hari setelah lebaran itu tidak dapat kuikuti,
karena aku harus segera kembali pesantren. Aku tidak bisa membantu mereka
memenangkan pertandingan dengan ilmu dan ketrampilan yang kumiliki.
Bagi warga kampung di tempat kelahiranku,
lumrah bila dalam suatu pertandingan antar kampung mereka menggunakan jasa
dukun. Rata-rata mereka adalah dukun murni. Biasanya dukun itu meniup bola atau
menanam sesuatu di gawang lawan. Media yang biasa mereka tanam adalah daun
lidah buaya atau daun pacar. Kedua jenis daun itu membuat lemas. Dengan itu
diharapkan stamina lawan mereka akan cepat terkuras hingga tidak dapat
mengembangkan permainan. Untuk
mengetahui keberadaan mereka bagiku tidaklah sulit. Karena aku bisa merasakan
kekuatan mereka. Bila bola itu memancarkan selubung tipis seperti air yang
menguap tersengat terik matahari, maka itu adalah pertanda ada dukun di
antara penonton. Selain
itu, degup jantungku juga menjadi sinyal keberadaan mereka. Bila jantungku
berdetak lebih kencang dari biasanya, maka itu adalah suatu pertanda. Karena
itu untuk mengalahkan kekuatan magic dukun itu, aku menyuruh
salah seorang seorang pemain untuk kencing di gawang lawan atau di salah satu
sudut lapangan. Sulit kehadiran mereka tidak dapat kurasakan, maka aku cukup
melakukan pemagaran dengan ilmu Asmaul
Husna. Pemagaran ini berpengaruh
seperti ajian strep yang membelokkan arah bola. Atau membuat mata mereka salah
pandang. Kaki seakan mengarahkan bola ke gawang, tapi yang terjadi kemudian,
bola itu ditendang jauh dari gawang. Bisa ke atas atau menyamping. Atau bisa
juga pemain lawan merasakan berat bola bertambah. Mereka seakan menendang benda
keras dan bukan bola yang terbuat dari kulit. Pernyataan seperti beberapa kali
aku dengar dari lawan main kesebelasan kampungku dimana aku sering membantu
pemagaran ghaib mereka.
DIHANTUI BAYANGAN KEMATIAN
Bermain sepakbola atau menjadi backing pertandingan
itu hanya kulakukan selama berada di kampung halaman. Yang pada hakekatnya
hanya di bulan Ramadhan. Selebihnya kuhabiskan waktu di pesantren. Setelah enam
tahun belajar, akhirnya aku mengabdi di pesantren selama dua tahun. Dalam kurun
waktu itu, aku terus mengasah kemampuan dan keahlian dalam berbagai bentuknya. Namun, tanpa kusadari seiring dengan semakin banyaknya
amalan yang kulakoni dan wiridan yang kurapal dari jam sembilan malam hingga
jam tiga pagi, membawa dampak tersendiri bagi
diriku. Aku
pernah mengalami ketakutan yang luar biasa. Dalam perjalanan ke Semarang naik
bus, aku mendapat firasat yang tidak baik. Badanku gemetar. Dalam hati aku
merasa bis yang kutumpangi akan mengamali kecelakaan. Semua
penumpangnya meninggal. Karena itu aku turun di Solo. Dari sana, aku naik
ojek ke rumah teman. Di rumah teman, keadaanku makin parah, Ketakutan
pada sesuatu yang belum terjadi membuat aku jatuh sakit. Kondisiku
mengkhawatirkan, Aku berpikir bahwa nyawaku sudah berada di ujung tanduk.
Dalam kondisi ketakutan itu aku segera mengganti baju dengan yang
bersih. Aku shalat sampai rnenangis. Orang-orang pun terkejut mendengar
suara tangisanku. Mereka tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar. Melihat kehadiran
mereka, aku justru merasakan ajalku semakin dekat. Dengan terbata-bata
kuminta mereka menyaksikan syahadatku kembali.
Yang ada dalam bayanganku
hanyalah kematian. Sampai akhirnya aku berwasiat kepada mereka. Meski
tidak banyak harta yang kumiliki selain dari kitab-kitab yang
selama kupelajari. Kitab-kitab itulah yang pada akhirnya aku wasiatkan
selain sedikit hutang yang belum terbayar. Beberapa bulan kemudian,
kutinggalkan kehidupan pesantren. Masa pengabdianku selama dua tahun telah
habis. Aku pikir, aku membutuhkan suasana baru untuk menempa kejiwaanku
sebelum kembali ke kampung halaman. Selain itu, aku ingin melanjutkan kuliah di
perguruan tinggi. Saat kuliah itu, bayangan kematian kembali hadir. Setiap
sore pikiranku mengatakan bahwa aku tidak akan bertahan sampai pagi. Malam hari
mau tidur aku takut, ketika diajak teman berziarah ke pemakaman, aku tidak
berani masuk. Aku takut pada kematian. Ketakutan yang luar biasa. Ketika hal ini kuceritakan
kepada seorang teman, ia mengatakan bahwa apa yang kualami itu adalah gangguan
syetan. Aku tidak percaya mendengarnya. Bagaimana mungkin bisa terjadi.
Bukankah selama tiga tahun kuliah, aku sudah tidak mengamalkan ilmu Asma'ul
Husna atau wiridan lainnya? Selama ini yang aku pahami bahwa ilmu
asmaul husna itu akan luntur dengan sendirinya bila tidak diamalkan minimal
empat puluh hari sekali.
Aku masih tidak mengerti. Sampai pada akhirnya
aku menemukan beberapa kesalahan fatal yang selama ini aku lakukan. Wirid Asmaul
Husna yang selama ini kuulang dan mendarah daging di dalam hatiku
ternyata tidak semuanya merupakan bagian dari sifat-sifat Allah. Selain itu
beberapa wirid dari ayat Al-Qur'an ternyata juga tidak lengkap. Ada sebagian
ayat yang dipotong di tengahnya. Seperti firman Allah, “Afahasibtum annama
khalaqnakum ‘abatsan.” Dalam wirid yang selalu kubaca ternyata
lafadznya adalah ‘Afahasibtum khalaqa abatsan…”. Padahal selama ini
aku menyakini bahwa lafadz ini adalah bagian dari Al-Quran.
Dari sini, aku mulai sadar. Terlebih bila
kurenungkan perjalanan hidupku akhir-akhir ini. Emosional tinggi dan seakan
selalu sial. Akibatnya, badanku kurus. Aku bersyukur pada akhirnya dipertemukan
dengan ruqyah. Hingga pada akhirnya secara bertahap aku temukan ketenangan
hidupku kembali. Kini, setelah menjalani terapi ruqyah lebih dari dua belas
kali, aku merasa tenang. Lepas dari pesantren bukan berarti aku melarikan diri
dari cita-cita semula. Aku tetap dalam jalur yang kugariskan selama ini.
Mengabdikan diri dalam dakwah dengan gaya yang berbeda, meski tidak lagi di
pesantren. Tapi sekarang aku jadi praktisi ruqyah. Aku ingin menebus kesalahan
yang dulu dengan memberikan bantuan kepada orang lain. Memang, kuakui
masyarakat sangat membutuhkan seorang juru dakwah yang selalu komitmen
menyampaikan kebenaran. Walau itu terasa pahit. Meski pada akhirnya kebenaran
itu bertentangan dengan apa yang selama ini dilakoninya. Dan diamalkan selama
bertahun-tahun.
Ruqyah Majalah Ghoib dan Bekam 021-70374645, 0815 11311 554
http://ruqyahmajalahghoib.blogspot.com/p/blog-page.html
Majalah GHOIB, Edisi 68 Thn 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar