Anak melawan
orangtua? Nampaknya sulit dipercaya. Tapi demikianlah kenyataannya. Berbagai
media memberitakan kekerasan yang dilakukan seorang anak kepada orangtuanya.
Bahkan ada yang tega membunuh orang yang telah melahirkan dan membesarkannya.
Naudzubillah. Namun sayang, tidak banyak orang yang mengaitkan kenakalan anak
itu dengan jin. Hingga penyelesaiannya pun berlarut-larut. Padahal, sangat
dimungkinkan kenakalan anak itu akibat gangguan jin dalam dirinya. Meski dengan
alas an yang berbeda-beda. Seperti kisah Ibu Han. Bertahun-tahun ia harus
mengepel, mencuci, atau mengelap buku anaknya tanpa alas an yang jelas. Ibu Han
menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib di
rumahnya.
Di pinggiran Jakarta Selatan, saya memilih sebuah komplek perumahan
sebagai tempat melabuhkan harapan. Disebuah rumah yang sederhana tipe 50.
Halamannya rindang. Ditumbuhi bunga dan pohon mangga. Efektif untuk menahan
sinar matahari menembus rumahku. Komplek perumahan ini berada di lingkungan
yang asri, jauh dari polusi ibukota yang kian menyesakkan dada. Dari sini saya
ingin membangun surga bersama Mas Riko, pemuda pilihanku. Kami ingin mewujudkan
impian setiap insan yang telah menyempurnakan separuh agamanya.
Waktu terus merambat. Jalinan kasih kami melahirkan dua anak
lelaki. Rian dan Dino. Anak-anak yang manis dan lucu. Rian bermata bulat.
Sedang Dino berkulit kuning. Badannya lebih atletis dari kakaknya. Hari demi
hari kureguk kebersamaan dengan orang-orang yang kucintai. Kehadiran anak-anak
dalam dunia kami menambah kebahagiaan ini. Dunia terasa lengkap oleh celoteh
dan keluguan mereka.
Waktu terus merangkak tanpa bisa dihentikan. Anak pertama saya
telah duduk di bangku SMA. la memilih tinggal bersama neneknya yang tidak perlu
naik mobil untuk sampai ke sekolah. Saya bersyukur, Rian diterima di SMA
unggulan di Jakarta. Tinggallah Dino yang mengisi keseharianku.
Suatu siang di tahun I 998, ada sedikit kelucuan di tengah rumah
tangga saya. Dino yang menginjak usia sembilan tahun mengingatkanku pada
kenangan masa kecilnya. Saat ia merajuk atau merengek lantaran berebut mainan
dengan kakaknya. Siang itu, bukan mainan yang ia perebutkan. la melarang
bapaknya duduk di kursi yang bersandar di sudut ruang tamu. Tidak ada yang
istimewa di kursi itu. Itu hanya kursi biasa. Terbuat dari kayu jati. Tidak
berbeda dengan kursi-kursi lainnya. “Bapak jangan duduk di situ. Itu kursinya
Dino,” selanya kepada Mas Riko. Mas Riko mengalah demi memuaskan anaknya. la
beralih ke kursi di sebelahku. Memang, selama ini tidak ada larangan bagi
siapapun untuk duduk di sana. Tapi bagi Dino, hari itu adalah awal dari
perbedaan. Kursi di pojok ruang tamu itu hanya dia yang boleh menempatinya.
Awalnya, Saya dan Mas Riko menganggap itu sebuah lelucon. Tapi kian
hari, benda yang tidak boleh disentuh orang lain bertambah. Bantal, tempat
tidur, atau benda-benda lainnya. Naluri kewanitaanku berbicara. Ada sesuatu
yang terjadi pada anak bungsuku. Apakah itu? Mas Riko menggeleng saat kutanya.
la belum menemukan jawabannya. Kecemasan tergambar jelas di wajahnya yang lelah
seharian bekerja. Saya terdiam. Sampai detik itu, hanya kehampaan yang
kutemukan. Tidak ada jawaban yang pasti untuk masalah ini.
Selang tiga bulan dari kepulanganku dari tanah suci bersama Mas
Riko, Dino minta dikhitan. “Ma, Dino mau dikhitan dong! Teman-teman juga pada
khitan,” katanya sambil menggelendot manja di pundakku. Hatiku bergetar.
Kegembiraan menyelimuti relung hatiku. Laksana disiram air yang sejuk. “Boleh,
Dino maunya kapan?” tanyaku balik. “Nanti, pas liburan sekolah saja ma,”
jawabnya enteng.
Sehari sebelum acara khitanan, saya mengundang tetangga dalam acara
tasyakuran. Meski penghuni komplek berasal dari berbagai daerah, namun hubungan
kekeluargaan di antara kami cukup kuat. lbu-ibu sampai meluber ke halaman
depan. Kala undangan berpamitan, kupanggil Dino untuk menyalami mereka. Dino
tidak mau. la memilih ngumpet di kamar. Kubujuk Dino agar mau menemui ibu-ibu,
tapi ia bergeming. La malah lari ke kamar mandi dan mengunci diri. Cukup lama
Dino di sana. Saya dan Mas Riko bergantian membujuknya. Tapi sia-sia belaka.
Dino tidak mau keluar. Saya pun meminta maaf pada tetangga bahwa Dino sedang di
kamar mandi. Terus terang, saya merasa tidak enak kepada mereka, tapi apamau
dikata. Dino masih anak-anak.
Keesokan harinya, Dino kembaliberulah. Ia yang semula minta
dikhitan, kini enggan dibawa ke dokter. “Nggakmau. Nggak mau. Saya nggak mau
khitan,” katanya dengan nada keras dan mata memerah.
Kami heran, apa sebenar terjadi nyadengan anakbungsuku? Saya paham
sifat Dino. Namun kejadian beberapa hari itu membuatku bertanya-tanya. Adakah
yang salah dalam diriku? Mengapa anak bungsuku bisa berubah? Untunglah Dino
masih mendengarkan rayuan kakeknya, hingga acara khitanan tetap
dilangsungkan.Kami sekeluarga merasaa malu bila batalkan.Karena undangan sudah
tersebar kemana-mana.
Anakku Memintaku Melakukan Hal-hal yang Tidak Masuk Akal
Niat mulia untuk membangunrumah menjadi surge tak semudah yang
kubayangkan. Saya memang bukan tukang sulap. Bukan pula tukang sihir. Dengan
‘bim salabim’ lalu tercapailah keinginanku. Ujian demi ujian harus kulalui.
Apakah Saya memang layak menggapainya atau harus gugur di tengah jalan. Ujian
terberat justru datangdari darah dagingku sendiri.
Kian hari, sifat Dino makin berubah. Rasa hormat dan kepatuhannya
kepada orangtua yang selama ini kubanggakan perlahan berganti dengan caci maki.
Tidak boleh ada kesalahan kecil atau ditentang kata-katanya. Perubahan Dino
semakin mengkhawatirkan.
la mulai senang berlama-lama di kamar mandi. Awalnya cuma setengah
jam, lalu satu jam lama-lama bisa sampai tiga iam. Bukan karena berendam di bak
mandi, Dino membutuhkan waktu berjam-jam. la takut pada sesuatu yang tidak
jelas. la merasa semua benda yang ada di kamar mandi itu kotor, hingga tidak
boleh ada yang tersentuh kulitnya. Entahlah apa yang mempengaruhi pikirannya.
Saya belum tahu.
la tidak mau menyentuh kran air, karena menganggap kran itu kotor.
Sayalah yang harus mendampinginya. Mengalirkan dan mematikan kran itu. Sebagai
seorang ibu, Saya tidak kuasa melawan kemauan anakku. la masih kecil dan belum
mengerti. Meski ucapannya harus dipatuhi dan perintahnya harus dilaksanakan,
sampai detik itu saya masih sabar. Saya masih menuruti keinginannya.
Saya tidak tahu, darimana Dino mendapatkan ilmu yang menyesatkan
ini. Hingga ia merasa badannya najis. Kalau bukan karena anggapan seperti itu,
niscaya sabun mandi itu tidak harus dicuci dan dicuci sebelum dipakai
membersihkan anggota tubuh lainnya. la juga tidak perlu mandi kembali hanya
karena kesenggol bak atau pintu kamar mandi. Tapi itulah yang terjadi. Semuanya
tidak bisa dicerna dengan logika.
Bila telah selesai mandi, lalu badannya tersentuh bak mandi, pintu
atau benda lainnya, maka Dino akan mengulang dari awal. Tidak cukup hanya
dengan mencuci kulit yang tersentuh, tapi harus keramas lagi, pakai sabun
lagi. Begitu seterusnya, hingga sekali mandi, ia terkadang harus
mengulanginya tiga sampai empat kali. Keluar dari kamar mandi, ia seperti anak
yang ketakutan. Tangannya dilipat di dada. Badannya menggigil. Dino keluar
dengan sangat hati-hati. Kalau ia merasa tersentuh oleh pintu atau dinding, tak
ayal dia akan masuk lalu mandi kembali.
Sudah kucoba menjelaskan bahwa ia tidak usah berbuat begitu, tapi
sia-sia belaka. Teriakan dan makian yang menyesakkan dada menjadi jawaban atas
kesabaranku. Pipiku pun basah oleh lelehan air mata. Saya berusaha tegar di
depan anakku; namun kelopak mata ini tidak bisa menyembunyikan kepedihan hati.
Mandi berjam-jam itu berakibat fatal. la mulai ngompol lagi. Bila
sekadar ngompol mungkin tidak terlalu masalah, tapi Dino menyuruhku melakukan
perbuatan yang tidak masuk akal. Lantai, tempat tidur, meja atau lemari yang
dilewatinya harus dipel. Bahkan pakaian bersih yang tersimpan rapi di dalam
lemari tidak luput dari intaiannya. Semua pakaian itu harus dikeluarkan dan
dicuci kembali.
Padahal lemari, meja atau pakaian itu sama sekali tidak terkena
najis. Jaraknya dari tempat tidur pun jauh. Tapi bagi Dino itu bukan alasan.
Yang ada dalam benaknya hanya satu, bahwa saya harus membersihkannya.
Bertahun-tahun lamanya saya melakukan tugas ini setiap hari.
Bukan hanya lantai, meja atau benda-benda lainnya yang harus
dibersihkan. Siapapun orangnya yang melintas di ruangan yang baru dilewatinya
harus mandi keramas. Mas Riko dan pembantu hanya bisa menuruti permintaan Dino,
bila tidak ingin membuatnya semakin kalap. Dino akan berteriak dan memaki
dengan bahasa yang menyakitkan.
Kuperhatikan, Dino mudah marah dan ladi penakut bila cuaca berawan.
Entah apa hubungan antara mendung itu dengan kejiwaannya. Yang jelas tidurnya susah.
Sebentar sebentar cuci tangan. Ia nampak gelisah. Kudekati dan kudekap dia,
tapi tidak banyak berarti. Sebentarsebentar ia minta diantar ke kamar mandi.
Jam satu, dua atau tiga malam, ia selalu membangunkanku. Saya lelah fisik dan
pikiran setelah seharian harus menuruti kemauannya mencuci dan mengepel lantai.
Malam pun tidak bisa tidur nyenyak.
Dino tidak tidur-tidur. Perasaannya selalu gelisah. Ada cecak
merayap di tembok saja, ia ketakutan luar biasa. La merasa kotoran cecak itu
mengenai badannya. Dan harus segera dibersihkan dengan mandi keramas. Jam
berapapun, dalam kondisi hujan sekalipun. Untuk urusan seperti ini, saya tidak
banyak melibatkan Mas Riko, karena ia nampak lelah sepulang dari kantor.
Seharian ia harus berkutat dengan pekerjaannya. Biarlah, ia beristirahat dengan
tenang agar esok bisa bekerja kembali.
Saya sempat berdialog dengan guru agama Dino di sekolah. la biasa
dipanggil Pak Abdul Jalil. Saya ceritakan semuanya. Saya sampaikan kebingungan
dan kegalauanku. Kulihat dari sorotan matanya, guru agama itu heran. la sama
sekali tidak menduga bila Dino berperilaku yang aneh di rumah. Karena selama di
sekolah, tidak nampak keganjilan dalam dirinya. la tetap ceria seperti
teman-temannya. Bahkan ia tidak pernah terlempar dari sepuluh besar siswa
terbaik di sekolahnya.
Pak Abdul Jalil bertanya adakah buku-buku tertentu di rumah yang
mempengaruhi pemikiran Dino. Kukatakan, di rumah memang ada buku-buku agama
tapi tidak ada yang bermasalah. Hanya buku-buku yang ringan. Tidak ada yang
nyeleneh. Dino juga tidak ikut membaca. Waktu itu ia biasa membaca komik Conan,
yang berprofesi sebagai detektif cilik.
la juga bertanya, apakah ada guru ngaji yang mempengaruhi Dino.
Kurasa tidak ada. Memang saya pernah memanggil guru privat ngaji ke rumah, tapi
itu pun tidak berlangsung lama, karena Dino sulit dibangunkan dari tidur
siangnya.
Pernah suatu siang, sepulang sekolah Dino mengambil sebilah pisau
dan membawanya ke kamar. Saya khawatir bila terjadi sesuatu, setengah berlari
saya menyusulnya ke kamar. Di atas kasur, Dino menggesek-gesekkan pisau itu ke
tangannya. Gerakannya seperti sedang mengasah. Saya berusaha membujuk agar dia
mau memberikannya kepadaku. Tapi justru tanganku yang dipegangnya. Darahku
bergejolak. Saya takut bila ia menusukkan pisau itu. Kubujuk agar Dino mau
menyerahkan pisaunya “Mama mau pinjam pisau dong,” pintaku dengan lembut.
Saya bersyukur, anakku kemudian menyerahkan pisau yang dipegangnya,
meski dengan tatapan mata kosong la memang pernah mengatakan bahwa hidupnya
tidak bahagia. Dadaku berdesir mendengarnya. Nyeri, pedih terasa menyesakkan
dada, mengapa anak bungsuku berpandangan seperti itu. Padahal semua
keinginannya selalu kami usahakan sebisa mungkin. Apapun urusannya, saya dan
Mas Riko selalu mendahulukan anak. Kami pilihkan sekolah yang terbaik. Kami
belikan makanan atau baju yang terbaik, tapi mengapa ia merasa bahwa hidupnya
tidak bahagia. Mengapa ia selalu mengatakan bahwa semua karena saya. “lni semua
karena mama. Ini semua karena mama.” Saya tidak tahu kesalahan apa yang kulakukan.
Selain disuruh mencuci semua baju-bajunya, pulang sekolah saya
disuruh mengelap semua bukunya. Lembar perlembar. Padahal bukunya sangat
banyak. Memang Dino sekolah di tempat yang bagus dan ia juga suka belaiar.
Tidak hanya buku yang dari sekolahan, tapi juga buku-buku yang lain. Semuanya
disuruh ngelap. Sampai pulpennya itu tutupnya dibuka, dalamnya disuruh ngelap.
Setiap hari seperi itu. (Ibu Han menangis sesunggukan, red).
Suatu saat saya pernah tidak membukakan pintu ketika Dino pulang.
Waktu itu sudah tidak ada pembantu dan saya tidak mau ngambil pembantu lagi.
Saya tidak mau orang lain terbebani. Pulang dari sekolah ia tidak kubukakan
pintu. Karena setiap kali pulang sekolah siksaan selalu datang. Saya selalu
disuruh mengepel lantai yang dia lewati. Kemudian membersihkan bukunya.
Walaupun saya bisa mengakali walaupun bagaimana caranya, agar dia
yakin bahwa saya telah melakukannya. Tapi hal terberat yang kurasakan adalah
ketika berbohong. Padahal harta yang paling kusayang adalah kejujuran. Saya tersiksa.
Tapi kalau saya melakukan, apakah itu bukan perbuatan gila. Mengelap dan
mengepel karena alasan yang
tak jelas.
“Mama mau membukakan pintu, asal tidak disuruh membersihkan buku.
Tidak disuruh ngepel,” kataku dari ruang tamu dengan suara bergetar. Saya
berdiri mematung menunggu apa yang terjadi. Jantungku berdegup
keras. Sebenarnya, Saya tidak tega melakukannya. Tapi saya berharap
cara ini bisa menghentikannya. Selang beberapa detik kemudian, terdengar suara
benda tumpul menghantam kaca jendela. Rupanya Dino marah. La memukul kaca pintu
dengan kayu hingga berantakan. Akhirnya saya kembali mengalah. Kubukakan pintu
dan kupel lantai yang dilaluinya. Saya lap bukunya. Lembar perlembar. Kulakukan
itu seraya menahan kepedihan dalam hati.
Suatu saat, saya bermain sandiwara. Saya pura-pura sakit. Di dekat
tempat tidur kutaruh meja. Ada minuman, ada obat. Saya terbaring di tempat
tidur, dengan mata sembab karena air mata.
Mulanya, ia tidak percaya, tapi kuyakinkan bahwa Saya memang sakit.
Kali ini Saya tidak bisa ngepel. “Untuk berjalan saja sakit, bagaimana bisa
ngepel?” kataku sambil memegang pinggang pura-pura meringis. Saya berharap
dengan sandiwawa ini tidak ada lagi pekerjaan ngepel. Tapi perkiraanku salah.
Dino ngepel sendiri sambil marah-marah. Gelas di meja pun menjadi sasarannya.
Pecahannya berhamburan kemana-mana. Saya tidak tega melihatnya ngepel. Karena
seharusnya itu memang tidak perlu.
Tanam Kepala Kambing Di Ruang Tamu
Sebenarnya sudah berkali-kali kami membawa Dino berobat ke dokter
dan psikiater terkenal. Tapi hingga detik itu belum nampak hasilnya. Akhirnya
kuturuti saran keluarga untuk membawanya berobat ke dukun. Sudah lama mereka
menyarankan untuk mencari pengobatan alternatif, tapi saya selalu menolak.
Setelah setahun lebih perkembangan Dino justru makin
mengkhawatirkan, akhirnya saya iyakan saja ketika Juwita yang masih keponakanku
mengajak berobat ke orang pintar.
Berempat berangkat ke Bekasi. Saya, Juwita, Dino dan Mas Riko yang
menyetir mobil. Rumah Ki Srono yang menjadi tujuan kami. Menurut Ki Srono saraf
bagian kepala belakang Dino terganggu. Ia melakukan
ritual pengobatan. Sepulang dari rumah Bekasi, Dino justru makin
parah. Kakaknya, Rian yang kebetulan berada di rumah menjadi sasaran
kemarahannya. Rian yang tidak terbiasa dengan ulah adiknya mengalah. la balik
ke rumah neneknya.
Saya telpon Ki Srono. Katanya, anakku diganggu seseorang yang sudah
dekat dengan Dino. Untuk menyembuhkannya saya disuruh membeli minyak seharga
satu juta dua ratus ribu rupiah. Bukan jumlah sedikit memang. Tapi mengingat
keadaan Dino yang makin tidak terkendali, minyak itu kami beli juga. Saat
mengambil minyak itu, saya disuruh membawa sebutir kelapa hijau yang dipetik
langsung dari pohon dan tidak boleh menyentuh tanah. Kelapa itu harus dibungkus
kain putih dan kemenyan.
Kuturuti semua permintaan Ki Srono. Waktu itu kami belum tahu kalau
tergolong syirik. Selama ini ustadzah yang ngajar ngaji hanya menjelaskan bahwa
yang termasuk syirik itu adalah menyembah patung. Sementara yang kulakukan ini,
dalam benakku tidak termasuk penyembahan kepada patung.
Terapi kedua yang menelan biaya jutaan rupiah itu juga tidak
membawa hasil. Sepulang dari bekasi, saya kembali menjalani rutinitas harian.
Mengepel lantai dari pagar sampai ke dalam rumah. Dino, sama sekali tidak
berubah. Justru setiap pulang dari bepergian, tugasku semakin banyak. Mobilnya
juga harus dicuci.
Untuk terapi ketiga, Ki Srono mengatakan ia harus datang ke rumah.
Katanya, ia ingin membersihkan rumah. Sayapu n mempersilah kannya, meski
dibutuhkan sedikit trik agar Dino tidak tersinggung dengan kehadiran orang lain
di rumah. Tapi hasilnya tetap sama. Dino sama sekali tidak berubah. Langkah
terakhir, Ki Srono mbnyarankan kami agar mengganti nama Dino. Saya pun
mengiyakannya, meski untuk itu dibutuhkan persyaratan yang tidak ringan. Saya
harus menyediakan kambing kendit. Seekor kambing berbulu putih
dengan bulu hitam di bagian perutnya. Tidak mudah memang mendapatkannya. Tapi
semua persyaratan itu tetap kami usahakan.
Nama sudah diganti. Kepala kambing sudah ditanam di ruang tamu,
tapi hasilnya tetap sama. Akhirnya kami tinggalkan Ki Srono. Saya dan Mas Riko
sepakat untuk tidak memanggilnya kembali. Penanaman kepala kambing itu membuat
kami mulai meragukan cara pengobatannya.
Tiga tahun berlalu dalam rutinitas yang menyesakkan dada. Satu hal
yang membuat kejiwaanku sedikit tergoncang. Saya butuh ketenangan. Menghindar
dari rutinitas yang menyesakkan dada. Mengepel, mencuci, mengelap buku, dan
menerima teriakan serta umpatan dari anakku sendiri. Kutinggalkan rumah selama
dua hari dengan hanya meninggalkan pesan. Bahwa saya berada di rumah adikku.
Saya pesan, Mas Riko tidak perlu menyampaikan kepada Dini di mana saya berada.
Saya mulai berpikir negatif. Apakah anak ini kalau dibiarkan besar
akan menyesatkan satkan orangtuanya? Saya ingat kisah Nabi Khidhir. la membunuh
seorang anak tak berdosa di hadapan Nabi Musa. Nabi Khidhir mengatakan, bila
dibiarkan tumbuh dewasa maka anak itu akan menyesatkan orangtuanya.
Haruskan saya yang sudah membesarkannya dari kecil berakhir di
penjara. Tidak keren banget. Tapi bagaimana kalau Dino terus hidup tapi selalu
dalam dosa besar? Sementara saya punya andil membuatnya seperti itu. Walaupun
saya tidak tahu andilku di mana. Atau sebaliknya, saya yang mati ditangan
anakku sendiri. Karena beberapa kali Dino sudah memegang pisau dengan marah.
Beberapa kali ia mencekikku dengan keras.
Saya mengalami pergolakan Batin. Berbagai kejadian mengerikan
kembali berkelebatan. Terulang dan seakan Terpampang di layar lebar. Tapi
nurani keibuanku tidak dapat berbohong . Bahwa saya harus balik ke rumah. Saya
harus pulang. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan Dino tanpa
kehadiranku. Siapa yang harus me nyiapkan makanan, mencuci atau memandikannya.
Pembantu? Sudah tidak ada lagi. Mas Riko? la harus bekerja. Karena
dialah tumpuan ekonomi keluarga. Kasihan bila masih harus terbebani
dengan keruwetan Dino.
Setelah dua hari menginap di rumah adik, kuputuskan pulang. Meski
untuk itu saya harus cari alasan yang tepat. Agar anakku tidak semakin
marah. Agar ia merasa tidak lagi diperhatikan orangtuanya. Saya telpon Dino.
Saya berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Kepergianku hanyalah untuk mencari
obat buat dirinya. “Maaf ya mama pergi. Soalnya mama cari obat buat dino....”
Kataku dari seberang telpon. Saya tidak dapat menahan air mata saat membuka
pintu. Semuanya berantakan . Meja makan, Tempat tidur, dapur.
Allah Menyayangi Kami, Mempertemukan Kami Dengan Majalah
Ghoib
Setelah lulus SD, kami menyekolahkan Dino ke pesantren di Jawa
Tengah. Dari sini, sedikit mulai terjadi perubahan. Pergaulannya yang semakin
luas, serta jauh dari orangtua membuatnya harus bersikap mandiri. Sebulan
sekali belum tentu pulang. Meski demikian kebiasaan yang dulu kembali terulang
saat Dino kembali ke rumah. Walau tidak lagi separah dulu. Akhirnya ada seorang
teman yang menyarankan kami menghubungi seorang ustadz di sebuah kabupaten di
Jawa Tengah.
Setelah mengobati Dino, Ustadz tersebut menyarankan agar kami
merubah arah rumah. Selain itu, kami juga membawanya berobat ke tukang pijat
diJawa Tengah serta berobat ke psikeater. Hingga pada akhirnya, saya melihat
acara ‘Sentuhan Qalbu’ di sebuah stasiun TV swasta. Waktu itu yang menjadi
pembicara adalah Ustadz Fadhlan. Saya tertarik dengan terapi pengobatan
gangguan jin yang dipraktikkannya. Waktu itu bulan Ramadhan. Kuhubungi stasiun
TV itu dan saya disarankan menghubungi Majalah Ghoib.
Dibulan Syawal, Dino diterapi Ustadz Fadhlan. Setelah ruqyah itu
perubahannya drastis sekali. Ia tidak lagi menyuruhku untuk membersihkan lantai
atau melakukan hal-hal yang tidak perlu. Meski saya akui sesekali amarahnya
masih meledak-ledak. Terkadang kursi masih bisa melayang. Saya sadar bahwa
syetan telah menguasai pikirannya. Hingga dibutuhkan waktu yang lebih lama dan
perjuangan yang lebih gigih.
Setelah ruqyah itu, saya baru tersadar bahwa dulu, saya pernah
menantang jin. Waktu itu Juwita cerita bila jin itu ada di mana-mana. Akhirnya
dalam perjalanan panjang mencari kesembuhan Dino, saya pernah berbicara
sendiri. “Oh, iya barangkali karena saya dulu menantang jin.” lngatan itu
mendorong diriku untuk mengakhiri permusuhan ini. “Sudahlah, hiduplah di dunia
kalian. Dan biarkan saya hidup di duniaku. Dan jangan ganggu.” Beberapa kali
kalimat ini sempat kuucapkan. Meski saya akui bahwa ucapanku itu dibenarkan.
Permusuhan manusia dengan lblis dan bala tentaranya adalah permusuhan yang
abadi.
Yang kubutuhkan sekarang adalah mempertebal keimanan hingga
berhasil memenangkan pertempuran ini. AlhamduIillah sekarang semuanya sudah
berlalu. Mudah-mudahan Allah benar-benar membersihkan semua yang jahat dari
keluargaku. Dijauhkan dari rumahku surgaku. Semoga semuanya terlindungi dari
bahaya apapun. Yang lebih membahagiakan, kini Dino telah duduk di bangku SMA.
la tergolong siswa yang cerdas. Bahkan terpilih sebagai siswa teladan
disekolahnya.
Ruqyah Majalah Ghoib dan Bekam 021-70374645, 0815 11311 554
http://ruqyahmajalahghoib.blogspot.com/p/blog-page.html
Sumber : Majalah Ghoib Edisi
66/4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar