Jin memiliki
perasaan cinta? Ya, memang demikian. Karena mereka adalah makhluk yang
berkembang biak seperti halnya manusia. Kian hari jumlah mereka kian banyak.
Bila rasa cinta tersebut terjadi sesama mereka, tentu hal ini tidak menjadi
masalah. Tapi rasa cinta akan membawa bencana bila ada jin yang mencintai
manusia. Seperti yang dialami Siska (nama samaran). Ia pun pingsan sesaat
setelah mengetahui bahwa jin menyerupai suaminya. Dengan didampingi
suaminya, ia menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib di Bogor. Berikut petikan
kisahnya.
Mahligai rumah tangga saya seakan tidak pernah terpisah dari dunia
gaib. TLjuh tahun lalu, beberapa bulan sebelum melangsungkan pernikahan pun,
saya telah merasakan sakitnya cakar macan. Walau macan itu hanya hadir dalam
mimpi, tapi tak urung lima cakaran membekas di dada. Saya baru sadar, sesaat
setelah mandi. Saya pun keheranan bukan kepalang. Bagaimana mungkin itu
terjadi. Waktu itu, saya hanya cerita kepada Bambang (nama samaran),
seorang pemuda yang kini menjadi suami saya.
Siangnya, Bambang main ke rumah. Di sinilah, peristiwa yang
memalukan itu terjadi. Saya yang sedang kasmaran dengan Bambang, tanpa tedeng
aling-aling, langsung menariknya ke dalam kamar. Bambang pun terkejut. Tidak
biasanya saya berperilaku seperti ini. Apalagi, ia melihat sorot mata saya
berubah. Mata saya merah. Bambang dengan tegas menolak. Saya tetap merengek,
walau saat itu saya hanya minta dicium.
la pun berlari menghindar. Tapi saya terus mengejarnya. Katanya
bajunya sampai robek-robek. Barulah setelah terdengar adzan dzuhur ulah saya
terhenti. “Panaas. Panaaas. Hentikan suara itu,” teriak saya.
Dari sini, Bambang sadar bahwa itu bukanlah diri saya. Ada makhluk
gaib yang merasuk ke dalam diri saya. Maka ia pun segera mencari pertolongan
kepada tetangga yang kebetulan seorang haji dan katanya bisa mengusir gangguan
jin.
“Saya tidak tahu bagaimana cara perginya. Semoga Siska tidak
diganggu lagi,” ujar wak haji. Keesokan harinya, saya kerasukan lagi. Kali ini
lebih parah. Saya berlari kesana kemari, sambil terus berteriak “Mana Siska.
Mana Siska. Saya ingin membunuhnya. Dia merebut pacar saya.” Aneh, memang. Saya
berlarian kesana kemari mencari diri saya sendiri. Bahkan saya ingin membunuh
diri saya.
Waktu itu, orang pintar kembali dipanggil untuk menyadarkan saya.
“Segera nikah saja, karena ada orang yang ngganggu. Semoga setelah menikah
tidak ada lagi gangguan,” saran orang pintar itu kepada bapak saya.
Singkat cerita, kami pun melangsungkan pernikahan. Alhamdulillah
semuanya berjalan lancar. Orang yang tidak senang dengan hubungan kami pun
tidak membuat ulah di hari kebahagiaan kami.
Hari-hari berikutnya, semua berjalan normal. Saya bisa menikmati
peran yang baru, sebagai istri dari suami tercinta. Waktu terus berjalan. Anak
kami yang kedua pun lahir, bayi laki-laki yang montok. Anak yang pertama
kebetulan adalah perempuan. Lengkap sudah kebahagiaan kami.
Jin Menyerupai Wajah Mas Bambang
Hingga suatu malam, tidak seperti biasanya Rinto, anak saya yang
kedua menangis keras. la nangis sejadi-jadinya. Ah, Rinto lagi kehausan, pikir
saya. Saya pun segera membangunkan pembantu dan memintanya membuat susu. Tapi
entah kenapa, pembantu agak lama di belakang. Sementara Rinto yang baru berumur
satu bulan itu pun belum berhenti menangis.
Saya beranjak ke dapur untuk menyeduh susu sendiri. Dan begitu
kembali ke kamar saya lihat Mas Bambang sudah berada di kamar. Padahal,
seharusnya dia tidur di kamar sebelah bersama Ratih, anak saya yang pertama.
Saya segera meraih Rinto dan memberinya susu. Tapi Mas Bambang,
malah bikin ulah yang aneh. la merajuk dan meminta saya melayaninya. Saya
sendiri heran, tidak biasanya ia bersikap seperti itu. “Eh, ngapain sih. Jangan
kayak begini dong.”
Mas Bambang tetap tidak mau menyerah, dia terus membujuk saya.
Bahkan berusaha melepas baju saya. “Ntar dulu dong mas. Ngapain sih Mas Bambang
ini.” “Rinto lagi minum susu. Macam-macam saja,” saya sampai berteriak.
Rinto, tetap saja menangis. Susu yang saya berikan tetap tidak bisa
meredakan tangisnya. Tapi Mas Bambang tidak peduli. la sangat bernafsu malam
itu. “Mas ini, apaan sih,” teriak saya lagi.
Sedetik kemudian, saya langsung pingsan. Pasalnya, dari pintu yang
terbuka perlahan, muncul Mas Bambang yang lain. Saya bingung mana yang asli.
Bajunya sama-sama putih dan memakai sarung yang serupa. Mereka layaknya saudara
kembar saja.
Entah, berapa lama saya pingsan, saya tidak tahir. Begitu tersadar,
tinggal Mas Bambang yang asli, masih setia menemani saya. Barulah kemudian saya
ceritakan apa yang terjadi. Memang, sebelum kedatangan jin yang menyerupai Mas
Bambang, angin berhembus kencang. Korden jendela yang sedikit terbuka untuk
membiarkan udara masuk, sampai tersingkap ke atas. “lni angin kok kencang
begini,” pikir saya. Tapi, keanehan itu belum menyadarkan saya atas apa yang
terjadi. Terlebih tangis Rinto yang berlebihan telah menyita perhatian saya.
Saya tidak tahu apakah jin masuk bersamaan dengan hembusan angin
yang kencang. Tiba-tiba saja, jin yang menyerupai Mas Bambang sudah berada di
dalam kamar dan saya sedikit pun tidak menaruh curiga. Saya beruntung, pukul
02.30 malam itu tidak menjadi korban kebiadaban jin. Malam itu, Mas Bambang pun
shalat sambil terus membaca ayat kursi.
Apakah kedatangan jin itu terkait dengan rumah yang saya tinggali
sekarang? Saya tidak tahu. Saya menempati rumah ini sejak empat tahun lalu.
Tapi ini kejadian pertama yang saya alami di sini. Tahun-tahun pertama tidak
pernah teriadi apa-apa. Dari tetangga, saya pun tahu bahwa rumah ini dulunya
dihuni oleh orang China penganut Konghuchu yang terbilang taat. Di ruang tamu
ini dulunya ada patung Dewi Kwan ln yang sangat besar. Sorot matanya merah
menembus kaca jendela. Menakutkan warga yang lewat di malam hari.
Hari-hari berikutnya semuanya kembali normal. Aktifitas rutin
sebagai ibu dari kedua anak saya, menyita banyak perhatian. Apalagi Ratih sudah
mulai masuk TK. Biasanya saya mengajarinya bahasa Inggris. Ratih pun mampu
menjadi juara ll lomba bahasa lnggris se kabupaten Bogor.
Ketenangan yang masih dalam hitungan bulan itu pun terusik kembali,
sepulang Mas Bambang dari umrah. Yang saya rasakan adalah hawa panas bila
berada di rumah. Terkadang saya pun jengkel, “Kok, Mas Bambang sepulang dari
umrah, malah tidak benar sih. Kasar,” keluh saya suatu hari. Tapi Mas Bambang
tidak merasa berubah. la masih tetap seperti yang dulu.
Hingga suatu malam, kata Mas Bambang saya tidur sambil duduk.
Melihat itu, dia merasa ada kejanggalan dalam diri saya. “lni pasti ada yang
tidak beres,” Mas Bambang mulai curiga. Tangannya segera menarik dan
membangunkan saya. Tapi saya belum sadar seutuhnya. Katanya mata saya plerok-plerok.
Jelas ini bukanlah diri saya. Pasti ada jin yang merasuk ke dalam
diri saya kembali.
Dengan cepat, saya segera didekapnya, sambil terus dibacakan
al-Qur’an sebisanya Saya berontak. Ada kekuatan lain, yang menguasai saya.
Hingga saya tidak lagi dapat mengontrol diri. Yang terjadi kemudian adalah
pergumulan dan adu jotos yang tidak lagi terelakkan.
Kegaduhan itu berlangsung beberapa saat, sebelum
akhirnya saya terduduk lemas dan ... pingsan. Mungkin, saat itu jin yang
merasuk ke dalam diri saya keluar setelah tidak tahan dengan bacaan ayat-ayat
al-Qur’an.
Beberapa saat saya tidak sadarkan diri. Setelah sadar pun saya
masih setengah sadar setengah tidak. Yang saya rasakan waktu itu hanyalah
seperti orang yang tidur sebentar, kemudian terbangun lalu tertidur lagi.
Jam 6 pagi, keesokan harinya, saya seperti orang bengong. Diam
membisu Melihat hal itu, Mas Bambang langsung bertanya, “Eh, kamu siapa. Jangan
ganggu orang,” (sebagaimana dituturkan suaminya). Saya lari. Tapi Mas
Bambang, tidak membiarkan saya keluar dari rumah. Ia segera mengejar dan
menangkap saya kembali. Untung saat itu, pagar depan rumah masih terkunci,
sehingga dengan mudahnya saya ditangkap. Kembali bacaan ayat-ayat al-Qur’an
melemahkan jin yang merasuk ke dalam diri saya. Waktu itu sayatidak merasakan
apa-apa. Goresan kawat besi pagar rumah pun tidak terasa.
Baru setelah sadar saya merasakan nyeri dan letih. Pukul 8 pagi,
orangtua saya datang dari Jakarta. Saya ceritakan semua peristiwa yang terjadi
sejak semalam. Bapak hanya manggut-manggut saja, sebelum akhirnya menawarkan
untuk mengajak saya terapi ruqyah di kantor Majalah Ghoib. “Kalau begitu datang
saja ke kantor Maialah Ghoib. di sana ada ruqyah terapi gangguan jin dengan
cara yang benar karena tidak bertentangan dengan syariat lslam. Bawa ke sana
saja.”
Hari itu diputuskan untuk segera ke Jakarta. Waktu itu hari Ahad,
lalu Mas Bambang telpon ke kantor Majalah Ghoib, karena khawatir hari Ahad
libur. “Mas saya mau kesana, ditunggu sampai jam berapa?” “Oh, saya tunggu
sampai jam dua” kata suara di balik telpon. Akhirnya saya diajak Mas Bambang.
Tapi ketika sampai di sana ternyata hanya disuruh daftar saja. Dapatnya entah
berapa minggu lagi.
Waktu itu, Mas Bambang melobi, “Kalau ini sakit biasa mungkin tidak
apa-apa Tapi ini gangguan jin. Saya tidak bisa mengusir. Tolonglah bantu saya.”
Akhirnya Mas Bambang diberi nomor handphone Ustadz Aris.
Mas Bambang, mencoba menghubungi Ustadz Aris, tapi tidak
ada jawaban. Baru setelah dihubungi beberapa kali, handphone diangkat dan saya
disuruh datang ke masiid At-Taibin yang hanya berjarak 200 meter dari terminal
Senen. Terus terang, kami srek dengan Majalah Ghoib, karena mereka menterapinya
dengan cara islami. Kami merasa nyaman.
Setiba di masjid At-Taibin, saya langsung dibawa naik ke lantai
dua. Setelah beberapa saat dibacakan ayat-ayat al-Qur’an, terjadilah dialog.
“Siapa namamu?” Tanya Ustadz Aris. Jin menjawab“Jamal.”
“Mengapa kamu masuk ke tubuh ibu ini?”
“Saya suka sama Siska.”
”Berapa umurmu?”
“Dua genep (26 ) tahun.”
“Kamu masih perjaka?”
“Ya. Saya masih perjaka.”
“Kenapa senang?”
”Dia ditinggal terus sama suaminya. Padahal dia itu orangnya baik,
shalihah. Jadi sya kasihan sama dia.”
"Suaminya kerja untuk nyari duit,” jin Jamal itu pun tertawa
saja. Setelah dialog yang mengalami kebuntuan, Ustadz Aris kembali membaca
ayat-ayat al-Qur’an.Ketika disuruh keluar, jin Jamal tidak mau. Jin itu bahkan
minta diantar ke Bogor. “Ya sudah kamu ikut saja di mobil. Nanti kan sampai di
Bogor”. Setelah disuruh demikian, akhirnya jin Jamal keluar. (sebagaimana
dituturkan suaminya)
Setelah ruqyah itu, saya tidak langsung pulang ke Bogor, tapi
diantar Mas Bambang ke rumah orangtua di Jakarta Selatan. Sementara Mas Bambang
sendiri ada keperluan kantor dan harus menginap di hotel selama tiga hari di
daerah Sunter, Jakarta Utara. Otomatis, Mas Bambang membawa mobil ke hotel di
daerah Mangga Dua. Berputar-putar lewat Ancol.
Selesai acara, Mas Bambang langsung menjemput saya. “Dik, tolong
ambilkan baju yang ketinggalan di bagasi,” pinta Mas Bambang. Tapi begitu pintu
bagasi saya buka, saya merasakan ada jin yang merasuk lagi.
Tanpa pikir panjang, Mas Bambang segera menjemput Ustadz Aris dan
diajak ke rumah. “Kamu siapa?” “SayaJamal.” “Lho kenapa kamu masuk?” “Ya, katanya
saya mau dipulangkan ke Bogor, tapi tidak dipulangkan. Diputar-putar saja di
daerah laut-laut. Terus saya lihat ibu Siska, ya saya masuk lagi,” elak jin
Jamal. Ternyata selama tiga hari itu, iin Jamal masih menumpang di mobil. “Ya
sudah sekarang kamu pergi saja Tidak usah menumpang di mobil.” Jin Jamal pun
keluar.
Kebetulan di depan rumah ada pohon mangga di area pemakaman. Tidak
lama kemudian jin Jamal masuk ke tubuh saya lagi. “Lho kamu kok balik lagi.”
“Ya saya balik lagi. Karena di pohon mangga itu banyak syetannya. Saya dipukul.
Saya ditendang.” Setelah dibacakan ruqyah beberapa kali, akhirnya jin Jamal
keluar dan tidak masuk lagi.
Sebelum keluar, jin Jamal mengaku bahwa dia masuk ke tubuh saya
ketika saya bermain ke rumah saudara di daerah Batu Lampar. Katanya, dia masuk
begitu saja, karena melihat saya orangnya baik.
Saya tidak tahu, apa alasan jin Jamal mengatakan saya orangnya baik
dan harus dikasihani. Tapi bila dikatakan sering ditinggal suami, memang benar
adanya. Mas Bambang, sering pulang malam. Kadang-kadang ke luar kota tiga hari
atau bahkan seminggu. Sesekali juga ke China, Hongkong atau Singapura.
Saya sering telpon Mas Bambang di kantor bila jam sembilan belum
pulang, “Mas, kok belum pulang?” "Oh, ya Dik. Saya nanti pulangnya malam.”
Saya tidak tidur sebelum Mas Bambang pulang. Perasaan saya tidak tenang bila
suami belum di rumah. Biasanya, saya mondar-mandir di rumah, sampai Mas Bambang
pulang.
Pernah, saya menangis seharian. Waktu itu hari ketiga Mas Bambang
umrah. Biasanya ia selalu telpon setiap hari, bila bepergian kemana saja. Tapi
pada hari ketiga itu, Mas Bambang, tidak telpon seharian. Saya sampai
sesenggukan. “Ya Allah, yang namanya ibadah kok diberatin kayak gitu sih.
Didoain kan lebih baik. Doa semoga di sana lancar,” kata ibu menenangkan hati
saya.
Saya menangis sedemikian rupa, karena saya benar-benar kangen.
Biasanya tidak pernah kangen sampai begitu. Padahal suami pergi ke China atau
Hongkongtidak pernah kangen seperti ini.
Sakit migrain sembuh setelah ruqyah
Sudah bertahun-tahun saya sakit asma. Yang selalu saya kambuh bila
saya mengalami mimpi buruk, misalnya berenang di sungai yang tidak bertepi.
Bila sudah demikian, maka nafas saya sesaknya bukan main. Mata saya
melotot. Kepala sepertinya mau pecah. “Aduh mas, sakit-nya.” Kadang saya sampai
kehilangan akal, sehingga kepala saya, saya benturkan ke dinding sampai
berdarah-darah. Tapi rasa sakit itu masih saja belum hilang. "Ya Allah,
istighfar. Ke rumamah sakit yuk. Ke rumah sakit,” hanya kata-kata suami semacam
ini lah yang sedikit mengobati rasa sakit.
Mulanya saya tidak tahu bila sakit kepala yang datang seminggu dua
kali itu berasal dari gangguan jin, sampai saya bilang, “Aduh. Buntungin saja
nih.” Taruh dulu atau diapain dulu kepala ini.” Saya mulai kehilangan akal,
karena rasa sakit itu tidak bisa dihentikan. Mau dibawa tidur, kepala makin
pusing. Bila mata dipejamkan, berkunang-kunang .Tapi setelah diterapi ruqyah
alhamdulillah, saya sampai sekarang tidak migrain lagi. Kalau pun toh, asma
saya kambuh, tapi semuanya masih dalam batas yang wajar. Mata tidak sampai
melotot.
Jin kepala buntung menyatroni rumah saya
Akhir Agustus 2004, ketenangan saya kembali terusik. Rumah saya
disatroni jin. Kali ini, ia menakut-nakuti saya dengan menampakkan kepala
buntung. Apakah ini terkait dengan ocehan saya waktu sakit kepala dulu? Saya
tidak tahu.
Waktu itu, sekitar jam sepuluh malam, seperti biasanya saya, Mas
Bambang dan kedua anak saya bercanda di kamar. Tiba-tiba,’dooor’ lerdengar
suara keras membentur atap rumah. “Aduh. Suara apa itu. Kencang banget.” “Mas
suara apa itu mas?” Tanya saya.
Rinto langsung menangis dan digendong oleh pembantu. Sementara itu,
selang lima menit kemudian perasaan saya seperti antara sadar dan tidak. Saya
bingung, pikiran saya seakan-akan hilang. Seperti orang yang tidur sebentar
lalu bangun lagi. Kemudian tidur lagi.
Saya terdiam antara sadar dan tidak. Tak lama kemudian Mas Bambang
membuka pintu kamar. Dari balik pintu, “Oh, mas, mas itu apaan mas. Kok
nggantung begitu,” teriak saya. Seonggok kepala tergantung di atap-atap rumah.
Persis di depan pintu. Rambutnya hitam. Kepala buntung itu berputar perlahan,
menyeringai. Dan ... Ohh… wajah itu seperti mayat hidup. Matanya berlobang.
Darahnya menetes.
Tes. Tes. Tetesan darah seakan menetes ke lantai, tapi ... tidak
ada bekas darah setitik pun di lantai. Saya semakin bingung, astaghftrullahal
adzim saya bacakan ayat Kursi. Anak-anak, saya tutup matanya jangan
sampai melihat. Ratih berontak-berontak dan menangis keras. Saya keluar.
Sementara Mas Bambang, nampak kebingungan. Dia tidak melihat kepala buntung
atau tetesan darah.
Tetangga yang mendengar keributan di rumah segera berdatangan. Dan
tak lama kemudian, saya kembali linglung. Saya tidak ingat apa-apa, “Saya
dimana. Saya dimana.” Mas Bambang langsung menangkap saya. “Ayo kamu siapa.”
“Aku mau pulang. Aku pulang saja,” kata jin melalui mulut saya. Akhirnya mas
Bambang rnembaca al-Qur’an sebisanya. Saya berontak. Lima orang satpam pun
katanya segera memegang saya. “Saya pulang saja. Saya pulang saja.”
Mas Bambang terus membaca ayat-ayat al-Qur’an. Akhirnya badan saya
lemas dan tertidur. Bersamaan dengan itu, tetangga rumah yang katanya adalah
‘orang pintar’ juga datang. la sempat mengatakan bahwa jinnya sudah hilang.
Ketika dia melihat ke atas loteng tidak menemukan sumber suara kegaduhan tadi.
Saya tidak tahu apakah kejadian yang menimpa saya karena ada orang
yang tidak senang dengan kebahagiaan keluarga saya? Saya tidak berani
mereka-reka. Karena selama ini saya merasa tidak punya musuh. Tidak ada lawan.
Masih banyak hal yang harus saya benahi dalam kehidupan saya.
Mungkin banyak ‘lubang’ yang harus saya tutup sehingga jin tidak lagi keluar
masuk ke dalam raga saya seenaknya saja. Semoga kasus demi kasus ini semakin
mendewasakan kami dalam bersikap dan menatap kehidupan ini. Tidak ada kata
menyerah. Semoga kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi siapapun bahwa suami
adalah belahan jiwa sang istri. Mereka harus selalu seiring dan sejalan.
Bersatu dalam menghadapi cobaan dan tantangan kehidupan yang makin tidak
bersahabat.
Ruqyah majalah Ghoib dan Bekam 021-70374645
Sumber : Majalah Ghoib Edisi Khusus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar