Sungguh,
saya (Pitoko) tak pernah mengira pada akhirnya saya berurusan dengan dunia jin.
Meski saya adalah seorang pengacara, tetapi tetap saja tidak bisa menghindari
kenyataan bahwa manusia tidak hidup sendirian. Ada makhluk lain yang juga
menempati dunia ini sama dengan manusia.
Apa yang saya alami ini, tidak terlepas dari masa lalu saya.
Ketika itu saya tertarik mempelajari tenaga dalam dari seseorang yang katanya
tidak menggunakan unsur jin. Hal ini terlihat pada iklan mereka di sebuah surat
kabar terbitan Yogyakarta.
Saya
terpikat dengan slogan mereka yang katanya islami, dari kalimat ‘tauhid’ yang
tertera pada nama perguruan tersebut. Dalam ulasan berita itu disebutkan
berbagai kehebatan ilmu perguruan itu yang katanya di sarikan dari Al-Qur’an
dan mengajak untuk syiar islam serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Saya pikir, inilah yang saya cari selama ini.
Pendek kata, setelah memenuhi segala persyaratan termasuk juga membayar
‘mahar’, saya resmi jadi anggota perguruan beladiri tenaga dalam tersebut. Pada
hari pertama sebelum menjalani latihan yan sudah diprogramkan, semua murid
angkatan saya diisi dadanya. Selanjutnya diperagakan berbagai atraksi kehebatan
dan kesaktian ilmu dalam perguruan itu oleh murid-murid senior.
Menurut saya ilmu-ilmu yang diajarkan sangat banyak, dan
sepertinya ilmu sang guru tidak ada habis-habisnya. Hampir semua ilmu yang
dimiliki dan diperagakan oleh perguruan lain yang pernah saya lihat di TV dan
media cetak lain, serta terdapat di berbagai daerah, ternyata dikuasai oleh
sang guru dan diajarkan kepada murid-muridnya. Katanya sang guru telah belajar
57 guru (pendekar) yang terbesar diseluruh indonesia. Hebatnya, seluruh jurus
dapat diperagakan secara gerakan fisik maupun batin, mempunyai efek yang sama.
Untuk kesaktian maupun pengobatan. Ya pantas saja kehebatannya tidak ada habis-habisnya,
karena diambilkan dari Al-Qur,an, pikir waktu itu.
Katanya, ilmu-ilmu tersebut warisan dari seorang wali. Semua
murid wajib menjalankan agama islam, menjalankan segala perintah dan menjauhi
segala larangan-Nya agar menjadi orang bertaqwa. Semakin tebal ketaqwaannya,
maka akan semakin cepat tinggi pencapaian ilmunya. Jadi tidak mutlak di
tentukan berapa lama dan tingkat berapa dalam perguruan itu, semua tergantung
ketaqwaannya. Sangat ditekankan agar banyak bedzikir kalimat tauhid.
Sejak awal mengikuti latihan ibadah menjadi relatif lebih baik,
mungkin karena berdzikir sebagai bagian dari amalan agar memperoleh “kesaktian”
sehingga bisa mengobati diri sendiri maupun orang lain. Banyak pengalaman
spiritual yang saya alami ketika berdzikir seperti melihat sinar bergelombang
yang masuk ke dalam mata saya yang hampir selalu terjadi dalam setiap bedzikir.
Lain waktu, ketika membaca Al-Qur’an dan kebetulan lampunya mati
maka sinar biru keputih-putihan memancar dari Al-Qur’an dan menuntun saya
membaca ayat demi ayat. Pada saat membaca surat Yaa siin tiba-tiba seluruh
tubuh saya bergetar hebat. Saya sempat terjengkang tiga kali.
Dengan adanya “kelebihan-kelebihan” itu, maka saya pikir jauh
melebihi ilmu kebatinan dalam keyakinan kejawen seperti yang dipelajari bapak
dan saudara saya.
Bulan pertama, semuanya masih berjalan lancar. Tidak ada sesuatu
yang perlu di khawatirkan. Tapi selang beberapa minggu berikutnya ketenangan
saya mulai terusik. Bagaimana tidak, bila setiap berdzikir dalam hati maka yang
keluar adalah bisikan-bisikan yang menggelisahkan hati saya. “Anallah…Anallah…
(saya adalah Allah, Saya adalah Allah)”. Itulah bisikan yang selalu keluar.
Jika demikian, saya segera berkonsentrasi dan mengarahkan hati
untuk melafadzkan kalimat tauhid, “laa ilaaha illallah”. Tapi bisikan-bisikan
itu terus mencerca saya, “Anallah… Anallah”.
Awalnya saya berpikir bahwa hal ini disebabkan pengaruh buku
tentang Al-Hallaj yang sempat saya baca. Al-Hallaj adalah seorang sufi dari
Mesir yang dihukum pancung karena menyebarkan paham wihdatul wujud (Bersatunya
tuhan dengan hamba). Suatu keyakinan menyatunya hamba dengan Tuhan yang
terungkap dalam pernyataan, “Anallah…”. Tapi setelah bisikan “Anallah…Anallah”
selalu hadir saat berdzikir, saya pun semakin resah.
Meskipun hati saya gelisah, tapi kehebatan saya kian lama kian
meningkat. Hingga empat bulan tanpa terasa saya bergabung dengan mereka. Hanya
dengan melafalkan kalimat tauhid, lalu menerapkan jurus-jurus yang diajarkan
dalam perguruan, baik secara halus dalam batin, kesaktian atau ilmu itu muncul
begitu saja. Saya selalu berhasil. Sepertinya Allah selalu mengabulkan
permintaan saya atau permintaan setiap orang yang belajar di perguruan ini,
begitulah keyakinan saya saat itu.
Dari sinilah mulai muncul pertanyaan dalam hati, apakah
sedemikian tinggi kualitas ibadah saya sehingga Allah dekat dengan saya?
Jangan-jangan ada ‘oknum’ lain yang berperan mengabulkan doa saya?
a. Dipandang Menjadi Murid oleh Orang-Orang
‘Sakti’
Pertanyaan-pertanyaan itu, melahirkan keraguan. Saya mulai
curiga ketelibatan “oknum” lain, yaitu syetan yang menipu. Sejak itu batin saya
bergejolak. Saya gelisah. Akhirnya saya putuskan keluar dari perguruan dengan
diam-diam.
Waktu terus berjalan. Secara perlahan muncul rasa enggan
terhadap segala macam ilmu tersebut. Namun, ada peristiwa lain yang menyebabkan
saya harus berhubungan dengan orang linuwih. Suat ketika saya menemani seorang
teman bertemu Eyang Slamet di lereng gunung Merapi, yang dipandang sebagai
“orang pintar” oleh sebagian masyarakat.
Saya heran setengah mati, begitu mendengar pernyataannya bahwa
saya adalah cucunya. Padahal selama ini tidak ada seorang pun keluarga bapak
maupun ibu yang menyatakan bahwa mereka punya hubungan kerabat dengan Eyang
Slamet. Waktu itu saya tidak percaya begitu saja akan ucapnya. Saya hanya
menganggapnya sebagai orang biasa.
Apakah dia bisa membaca pikiran saya, saya tidak tahu. Tapi yang
jelas, tepat tengah malam saya disuruh berdzikir di area perkebunan yang sepi
di belakang rumahnya. Di sana saya melihat Eyang Slamet menunjukkan
kesaktiannya. Setiap ada yang bermaksud menyentuhnya, maka ia langsung
terjengkang. Seakan ada aliran listrik yang mengaliri tubuhnya. “Ini untuk
perlindungan dari serangan santet”, ujar Eyang Slamet, saat menangkap sinyal
keterkejutan dalam diri saya.
Selain itu, wajah Eyang Slamet pun berubah-ubah, matanya yang
semula hanya dua, kini bergerak-gerak, entah bagaimana caranya, hingga akhirnya
mata itu pun berjumlah lima, sejurus kemudian, kelima mata diraut mukanya
kembali bergerak sedemikian rupa dan menyatu membentuk satu mata yang besar.
‘Deg deg deg’ jantung saya seakan terpacu, keringat dingin pun
membasahi kulit saya. “Apalagi kamu, jin saja takut melihat saya”, ejek Eyang
Slamet, saat melihat muka saya pucat pasi.
Sedetik kemudian, lampu dimatikan. Hitam pekat diiringi deru
suara dedaunan tertiup angin. Bayangan mata satu yang besar belum hilang dari
benak saya, tiba-tiba dalam kegelapan dan keheningan itu keluar warna putih
yang terus membesar. ‘Woow’ jerit saya terpekik. Tubuh Eyang Slamet meninggi
dan tangannya yang berwarna putih seakan cahaya ditengah kegelapan.
“Ini untuk dakwah Islamiyah”, kata Eyang Slamet kemudian. Eyang Slamet memang
aneh, dia hanya bekerja diladang pada malam hari sampai pagi. Siangnya di
rumah. Ia pun menginginkan saya menjadi muridnya. Tapi keinginan itu saya tolak
dengan halus, cukup sudah kegelisahan yang terjadi kemarin. Saya tidak ingin
memperdalam sesuatu yang mendatangkan kegelisahan dan ketidaktenangan.
Pada kesempatan lain, saat KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Semarang
saya berkenalan dengan seorang kyai pemilik pondok pesantren. Dia tertarik pada
saya dan mengajak menemui gurunya di daerah temanggung. Saya sendiri juga
melihat keanehan-keanehan dari gurunya itu. Apa yang saya pikirkan seakan
diketahuinya.
Demikianlah, kesempatan-kesempatan untuk memperdalam kemampuan
spiritual dari beberapa pihak itupun saya tolak. Sebenarnya yang saya cari
sangat sederhana yaitu bisa beribadah dan punya sedikit pengetahuan agama. Itu
saja.
b. Memutuskan Perkara dengan Bisikan
Meski pada dasarnya saya menolak dan sudah meninggalkan
ilmu-ilmu linuwih, namun tanpa sadar, saya sering mendapatkan bisikan-bisikan
dalam hati. Bisikan yang mengantarkan saya dalam dunia penerawangan atau
mendapat firasat dalam bentuk mimpi atas apa yang belum terjadi.
Saat melamar menjadi dosen, misalnya. Saya seperti melihat
sendiri dalam mimpi dan membaca surat penerimaan atas lamaran saya tersebut.
Dan memang persis seperti apa yang saya baca saat di terima menjadi dosen
disebuah perguruan tinggi. Bahkan sampai detail suratnya pun sudah saya ketahui
sebelumnya. Demikian pula halnya ketika mengikuti seleksi menjadi pengacara,
saya sudah tahu lebih dahulu bahwa saya akan lulus. Hal ini tidak lain karena
adanya bisikan dalam hati.
Setelah menjadi pengacara bisikan dalam hati itu pun masih setia
mengiringi perjalanan saya. Padahal sebelum memutuskan untuk menerima atau
menolak menangani sebuah kasus, biasanya saya shalat istikharah terlebih
dahulu. Tapi disinilah justru syetan menunjukkan kelihaiannya. Dan muncullah
bisikan-bisikan yang seakan itu adalah petunjuk Allah.
Bisikan yang sering menyebabkan saya terjebak dalam keruwetan
yang berkepanjangan.
Ada sebuah kasus yang mulai saya tangani tahun 2000. seperti biasanya saya
shalat istikharah. Saya mohon petunjuk kepada Allah apakah sebaiknya kasus
tersebut saya tangani atau tidak. Ternyata setelah sholat istikharah, dari
dalam dada saya terdengar suara yang saya dengar cukup keras dan berulang-ulang
membisiki agar menangani kasus tersebut.
Akhirnya saya putuskan untuk menerima tawaran menangani kasus
tersebut. Kini setelah bertahun-tahun menanganinya saya justru terjebak dalam
keruwetan kasus itu sendiri, karena kasusnya menjadi melebar kemasalah lain
yang lebih rumit.
Anehnya, setiap saya bertemu dengan pihak lawan, keraguan muncul
dan lidah menjadi kelu, akibatnya saya sulit berbicara bila bertemu dengannya.
Sungguh sangat mendebarkan. Selanjunya munculah kecemasan yang luar biasa.
Bebarapa hari menjelang sidang pengadilan, bisa dipastikan saya dilanda kegelisahan
yang tidak kalah beratnya. Malam menjelang sidangpun saya tidak bisa tidur.
Bila sudah demikian, saya menenangkan diri dengan bedzikir
hingga berjam-jam lamanya. Barulah kemudian, saya memiliki keberanian untuk
melangkah ke pengadilan. Itu pun di bawah ancaman kecemasan yang luar biasa.
Hal semacam itu berlangsung terus menerus saat persidangan di tingkat
pengadilan Negeri. Padahal untuk kasus-kasus yang lain, hal seperti ini tidak
pernah terjadi.
Setelah perkara memperoleh putusan pengadilan yang memenangkan
kami, maka pihak lawan mengajukan banding ke pengadilan tinggi. Di sini mulai
lagi terjadi keanehan. Perkara yang sudah berlangsung empat tahun tidak juga
turun. Setiap saya cek, selalu saja belum di putuskan oleh pengadilan tinggi.
Jelas ini menyalahi peraturan yang berlaku. Perkara yang satu ini jelas seperti
hilang lenyap di telan bumi. Saya sendiri setiap melangkah mau mengurus dan
menyelesaikan perkara ini selalu saja merasa cemas dan gelisah.
Sejak perkara ini masuk ke pengadilan, klien saya menetap di
Singapura dan tidak berani kembali kembali ke Indonesia. Ia tidak berhubungan
dengan pengacara lain. Semua perkaranya hanya saya yang mengetahuinya. Kondisi
yang sangat aneh dan membuat pikiran saya selalu cemas dan gelisah. Hal ini
jelas sangat menguntungkan pihak lawan dan dia diuntungkan dengan menguasai
rumah berikut isinya senilai hampir satu milyar, padahal sebenarnya itu bukan
haknya.
Seiring dengan itu, kehidupan spiritual saya menjadi kacau,
bahkan saya mulai berani meninggalkan shalat. Waktu itu tidak ada rasa
bersalah. Semuanya masih saya anggap biasa saja. Apakah ini karena pengaruh
pergaulan saya selama ini ataukah faktor lainnya, saya tidak begitu peduli.
Yang jelas sedikit kesadaran yang menyeruak di dalam dada harus segera di jawab,
karena itu saya pun mulai mengikuti kajian keislaman di Jakarta pusat. Inilah
awal perkenalan saya dengan majalah Ghoib. Meski saya baru ikut terapi setahun
kemudain. Hal ini tidak terlepas dari perasaan yang sulit dijabarkan. Setiap
kali terbesit keinginan untuk terapi ruqyah ada saja alasan yang
menggagalkannya.
c. Perjuangan Melawan Syetan
Saya pertama kali di ruqyah di kantor ruqyah Majalah Ghoib. Pada
awal di bacakan doa-doa ruqyah, semula biasa saja tidak nampak reaksi. Namun
sekitar sepuluh menit, tiba-tiba tubuh saya gemetar. Saya menjerit. Ustadz yang
mendampingi segera bertindak dengan memijit telapak tangan saya sambil
membacakan doa ruqyah dan tak lama kemudian saya menjadi tenang kembali.
Selanjutnya saat giliran pasien di terapi satu persatu, saat
diterapi oleh ustadz Hasan Bisri. Begitu dibacakan doa di telinga, lagi-lagi
saya gemetar dan berteriak-teriak. Saat ustadz Hasan Bisri menekan dan memijat
bagian dada saya, kembali muncul reaksi dan ketika ustadz bertanya siapa jin
yang bersarang di dada, dan dengan susah payah sambil merasakan kesakitan jin
itu mengaku bernama Suryamo.
Dan ketika di tanya ada berapa dan dimana saja jin-jin yang lain
berada. Maka secara reflek dan diluar kendali, tangan saya bergerak menunjukkan
keberadaan jin dengan cara memegang bagian-bagian anggota tubuh saya sambil
gemetar. “di kepala ada lima, di tengkuk dan leher ada lima, di dada ada lima,
di kedua telapak tangan masing-masing ada lima, di perut ada lima, dikedua kaki
masing-masing ada lima”, kata jin Suryamo. Total jendral semuanya ada lebih
dari dua puluh lima jin. Masya Allah, tubuh saya menjadi sarang para jin.
Pada terapi yang pertama itu belum semua jin keluar dari tubuh
saya, karena saya kelelahan dan ruqyah di hentikan. Selesai ruqyah yang pertama
ini saya merasakan perubahan yang sangat nyata, dada saya terasa ringan sekali
sepertinya beban-beban jauh berkurang, perasaan jadi gembira, pikiran terasa
jernih dan bisa berkonsentrasi kerja. Namun, rupanya hal itu hanya saya rasakan
dalam waktu kira-kira seminggu, karena setelah itu saya merasakan ada sesuatu
yang masuk seperti hembusan angin menyelusup lewat kepala saya dan tiba-tiba
kembali saya merasakan beban hidup ini menjadi berat, susah konsentrasi, lemas
dan gelsiah lagi. Mungkin, jin itu masuk lagi.
Pada ruqyah kedua, jin-jin itu nampaknya semakin bandel dan agak
susah keluar. Bahkan selesai ruqyah kedua ini entah kenapa kepala saya terasa
berat dan pusing. Ketika pulang, saya merasa kebingungandan tidak tahu arah
pulang, padahal saya sudah sangat paham dan kenal dengan jalan pramuka tempat
kantor Majalah Ghoib. Berkali-kali saya tanya orang tentang arah yang akan saya
tuju. Meski sudah di kasih tahu, tapi tetap saja saya tidak tahu jalan meski
sudah berkali-kali di tunjukkan.
Namun, pada akhirnya alhamdulillah saya perlahan-lahan mulai
bisa mengenali arah jalan dan bisa pulang dengan selamat. Sedemikian beratnya
gangguan yang saya hadapi sehingga jin yang bersarang dalam diri saya itu pun
harus dikeluarkan secara perlahan. Saya tidak peduli berapa kali harus datang
dan ruqyah di kantor ruqyah. Bagi saya yang terpenting adalah terhindar dari
kemusyrikan pada saat mengalami cobaan. Saya memaknai semua ini bagian dari
penghapusan dosa atas kesalahan yang terjadi pada masa lalu. Dengan ini, Allah
menegur saya.
Kini setelah mengikuti ruqyah terapi yang kesepuluh kalinya,
saya merasakan diri saya jauh lebih baik. Rasa cemas yang biasa hadir kini jauh
berkurang, bila tidak boleh dikatakan hilang sama sekali. Karena itu, saya
mulai mengurus klien saya kembali setelah terkatung-katung selama empat tahun.
Bagi saya semuanya serba misteri dan saya tidak berani
menduga-duga ada ulah dukun di balik semua ini. Saya sudah merasa jauh lebih
baik, dan siap melakukan aktivitas kerja lagi sebagai seorang praktisi hukum.
Semoga kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi siapapun.
Terlebih seorang praktisi hukum seperti saya yang hampir setiap hari
‘bermusuhan’ dengan orang lain. Ini adalah risiko pekerjaan. Tidak semua orang
itu baik. Dengan kata lain, tidak sedikit diantara mereka yang akhirnya
memanfaatkan dunia lain untuk kepentingan dan keuntungan mereka.
d. Bedah Kesaksian
Pitoko sebenarnya berniat baik. Bahkan sebenarnya sudah berusaha
selektif memilih ilmu yang akan dipelajarinya. Pilihan dia jatuh kepada ilmu
yang berembel-embelkan tauhid. Memang ini label yang sangat menyesatkan
masyarakat Indonesia yang sangat tipis keilmuwan Islamnya. Untuk menggaet
masyarakat tipe Pitoko yang berhati-hati agar tidak terjerumus, para penyebar
kesyirikan memanfaatkan kata-kata sejenis. Seperti ilmu hikmah, karamah, tauhid
dan sebagainya.
Dari sinilah kita bisa menagmbil dua pelajaran penting. Pertama,
perkataan Ibnu Mas,ud radhiallahu, “Betapa banyak orang yang berniat mencari
kebenaran tetapi tidak sampai kepada kebenaran itu”.
Maka dari itu, niat baik saja tidak cukup. Dan kebenaran tidak
bisa diukur dengan perasaan belaka. Niat baik seperti yang dimiliki pitoko
dalam rangka mencari keilmuwan Islam yang benar ternyata terbentur dukun.
Awalnya ia sangat yakin dengan ilmu barunya itu. Apalagi banyak dzikir yang
harus di rapal dan ibadah yang menjadi semakin rajin. Ini menambah keyakinan
akan benarnya ilmu tersebut. Dia pun mulai mempunyai ilmu linuwih bisa
mengobati. Tetapi dengan hidayah Allah, Pitoko mulai terganggu dengan ilmunya itu.
Yang menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak benar, walaupun di awalnya nampak
sangat benar dan istimewa.
Kedua, pentingnya memperdalam ilmu aqidah. Aqidah adalah ilmu
terpenting dalam Islam. Karena ini berhubungan dengan masalah identitas
kemusliman yang bisa tanggal sewaktu-waktu. Berhubungan dengan kisah Pitoko,
masalah label tauhid bisa saja di catat para dukun. Demikian juga label positif
yang lainnya. Yang penting adalah isinya. Jika labelnya madu tetapi isinya
racun, maka tetap saja jangan di minum. Begitulah. Disinilah pentingnya ilmu
agar tidak sesat. Untuk itulah buat syetan lebih mudah menyesatkan orang yang
ahli ibadah tanpa ilmu daripada seorang ahli ilmu.
Penyesatan umat islam bisa sukses ketika umat ini bodoh.
Kesaktian sihir seperti yang dipertontonkan para guru Pitoko bisa dikemas dan
dipasarkan dengan label ilmu walisongo. Pitoko dan teman-temannya yang telah
terbius dengan kata-kata tauhid itu, tetap menuruti perintah tidak logis untuk
menelan pilor gir sepeda.
Pitoko mulai menyadari bahwa ilmu tersebut tidak benar, setelah
dia mulai mendapati bisikan-bisikan dalam hatinya. Hatinya mulai bergolak oleh
hidayah Allah yang mulai menyerapi setiap sisi hatinya. Bisikan yang selalu
muncul ketika dia mengesakan Allah dalam dzikirnya.
Maka bisikan syetan selalu bermunculan dua dampak berbahaya.
Kalau tidak menyesatkan pasti menyengsarakan. Atau menyesatkan dan sekaligus
menyengsarakan.
Bisikan dalam hati Pitoko, ‘Anallah.. Anallah…(saya Allah, saya
Allah)” adalah jelas-jelas bisikan syetan yang berusaha untuk meyakinkan akan
keberadaan tuhan dalam dirinya. Syetan itu telah mengaku sebagai Allah.
Pendusta besar itu berusaha menyeret Pitoko untuk meyakini sebuah kesesatan.
Bisa jadi apa yang diyakini Pitoko benar bahwa keyakinan
wihdatul wujud (bersatunya tuhan dengan hamba) dalam dirinya mulai menyeruak.
Dan ini didorong oleh jin yang telah bersarang dalam dirinya hasil pembelajaran
ilmu sesatnya. Selama ini.
Bentuk penyesatan lainnya adalah, ketika Pitoko memutuskan untuk
keluar dari kelompok ilmu tersebut dan menolak semua iming-iming kehebatan dari
berbagai guru kesesatan yang di jumpai berikutnya, jin yang ada dalam dirinya
mendorongnya kepada kesesatan yang lain. Yaitu berani meninggalkan perintah
wajib bagi setiap muslim shalat. Pitoko diseret agar keluar dari Islam dengan
cara membuatnya biasa ketika tidak melaksanakan perintah shalat wajib.
Dan memang begitulah, bisikan syetan membuat seseorang tersesat.
Dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Hibban dari Aisyah radhiallahuanha, Rasulullah
bersabda, “syetan tidak akan tinggal diam (untuk terus menganggu) salah seorang
diantara kalian. Maka dia akan membisikkan pertanyaan, ‘siapakah yang
menciptakan langit dan bumi?’ kemudian orang itu menjawab, ‘Allah’ syetan
bertanya lagi, ‘Siapakah yang mencitakan dirimu?’ ‘Allah’ maka syetan kemudian
bertanya, ‘siapakah yang menciptakan Allah?’. Maka jika salah seorang diantara
kalian merasakan bisikan itu katakan, ‘Aku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya’.
Bisikan syetan dimulai dari memunculkan keraguan dalam hati kita.
Kemudian menganggap dosa menjadi biasa dan akhirnya dengan sadar berani
mengucapkan atau melakukan perbuatan kufur. Bisikan syetan memang menyesatkan.
Selain menyesatkan, bisikan syetan juga menyengsarakan. Walaupun
awalnya bisikan-bisikan itu terkesan membantu. Bahkan seakan orang yang dibantu
jin dengan bisikan menjadi orang sakti yang tahu sebelum diberi tahu atau
terjadi. Tetapi dengarlah pengakuan jujur Pitoko, “Meski saya akui, saya sering
terkecoh oleh bisikan-bisikan itu saat menangani suatu kasus”.
Itulah sesungguhnya keadaan orang yang memelihara jin pertamanya terkesan
membantu, tetapi yakinlah kasus Pitoko akan selalu terulang pada diri setiap
orang yang mau mendengarkan bisikan jin. Pitoko yang biasanya mengambil
keputusan yang berhubungan dengan pekerjaan beratnya dengan berdasarka pada
bisikan itu. Kasus yang menurut bisikan baik untuk diambil, ternyata begitu
diambil kasusnya ruwet, menegangkan dan tidak putus-putus, hanya menguras
tenaga dan perasaannya saja.
Wajar saja hal itu terjadi, karena syetan itu seperti yang
digambarkan Nabi, “Dia adalah pendusta besar”. Adapun bisikan-bisikan diawal
yang selalu jitu adalah jebakan maut agar orang itu mau terus memakainya dan
mau tunduk kepada jin itu.
Untuk itulah dalam Islam tidak ada kata kerjasama dengan jin
(lihat QS. Al-Jin;06). Sangatlah lemah dalih boleh karena jinnya muslim. Karena
keislamannya sangat tidak bisa dibuktikan, apalagi jin adalah pendusta besar.
Jin yang bisa mengucap syahadat atau kalimat thayyibah sering di jadikan alasan
bahwa itu adalah tanda keislamannya. Padahal seperti halnya manusia, bandit
atau musuh Islam sekalipun bisa dengan mudah mengucapkan kalimat syahadat dan
kalimat thayyibah. Pengakuan jin banyak ketidak jelasan dan ketidakbenarannya,
yang jelas-jelas benar bahwa dia pendusta besar.
(Diambil
dari Majalah Ghoib Edisi 26 Th.2/19 Sya’ban 1425 H/4 Oktober 2004 M)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar