
Nanang, begitulah biasanya saya dipanggil. Saya lahir di Rembang,
Jawa Tengah 28 tahun yang lalu dari keluarga tentara. Seperti karakter orang
Jawa kebanyakan, bapak itu orangnya pendiam, wataknya lembut. Sangat bertolak
belakang dengan anggapan sebagian orang bahwa tentara itu keras. Saya sendiri
sebagai anak tentara tidak bisa menyalahkan bayangan mereka yang demikian.
Sedangkan ibu adalah tipe orang yang suka mengalah tidak ingin membuat
keributan dengan orang lain.
Sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, watak saya sangat jauh
berbeda dengan kedua kakak saya. Kebetulan kakak yang pertama adalah seorang
Perempuan yang tomboy. Mungkin ia terbawa dengan keseharian kami yang tidak
terlepas dari dunia ketentaraan. Sedangkan kakak yang kedua, sama seperti saya,
laki-laki. Bedanya kakak laki-laki saya orangnya itu tidak sabaran kurang
telaten. Diantara kedua orang tua, saya lebih dekat kepada ibu. Mengapa
demikian saya tidak tahu.
Mungkin karena sedari kecil, Ibu mendidik saya menguasai pekerjaan
wanita. Saya sudah terbiasa memasak atau belanja keperluan dapur ke pasar. Ibu
memang lebih senang menyuruh saya daripada kedua kakak yang lebih suka dengan
dunia mereka, dunia anak-anak.
Saya tidak tahu apakah kebiasaan melakukan pekerjaan wanita pada
akhirnya akan mempengaruhi kejiwaan saya. Yang jelas, saya pernah menladi
korban kebrutalan seks seorang laki-laki yang masih satu asrama dengan saya.
Peristiwa kelabu yang sangat membekas dalam jiwa saya hingga sekarang.
Kejadiannya terjadi belasan tahun yang lalu, tepatnya saat saya masih kelas 5
SD.