Pacaran, di zaman sekarang dianggap sesuatu yang lumrah dan wajar saja.
Seorang anak yang tumbuh remaja dan belum mempunyai pacar dianggap sebagai anak
yang kurang bergaul dan tidak laku. Padahal keburukan yang tersembunyi di balik
racun asmara tersebut lebih mengerikan daripada manisnya. Disamping balasan
atas pelanggaran norma agama, kesengsaraan dan penderitaan akibat pacaran juga
tidak terhitung banyaknya. Seperti yang dialami Meilawati, seorang perawat yang
mengalami gangguan alergi kulit akibat putus pacaran di tengah jalan. Orang
yang selama ini diharapkan menjadi pendamping hidupnya justru telah mengirimnya
guna-guna. Meilawati menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib
di Cibubur. Berikut kisahnya.
Saya tumbuh dewasa menjadi seorang gadis tomboy. Dengan gaya yang
berbeda dengan anak gadis lainnya. Sedikit berangasan dan ceplas-ceplos.
Lantaran penampilan saya yang demikian itu, saya menjadi sandaran bagi
teman-teman saya yang lemah. Bila ada di antara mereka yang diganggu oleh anak
laki-laki, mereka mengadu kepada saya. Saya tidak terima melihat teman saya
diperlakukan semena-mena. Saya pun tidak tinggal diam. Saya labrak anak
laki-laki yang kurang ajar itu. Tidaklah mengherankan bila tidak ada anak
laki-laki pun yang berani mendekati saya.
Hingga suatu hari, saat saya masih duduk di bangku SMP kelas dua,
Ana, teman akrab saya menantang saya. “Ti, ada cowok cakep di kelas tiga.
Namanya Alex. Kamu bisa nggak dapatin dia?” Saya penasaran, seperti apa sih orang
yang dipanggil Alex itu. “Mana sih anaknya?” “Tuh lagi main bola,” seloroh Ana.
“Lumayan juga tuh cowok,” gumam saya. Merasa mendapat tantangan
dari Ana, rasa iseng saya muncul. “Jangan panggil Wati, kalau tidak bisa
dapatkan dia.” “Ayo kita buktikan,” timpal Ana sambil cengar-cengir. Melalui
Ana, saya mencoba memancing perhatian Alex dengan cara memberinya salam.
Beberapa hari berikutnya saya mendapat kabar dari Ana bila salam
saya sudah disampaikan, “i, salam kamu sudah saya sampaikan.” “Terus dia
ngomong apa?” tanya saya penasaran. “Alaaa Wati, kayak cowok saja kok. Gue
tidak suka sama dia,” tutur Ana menirukan jawaban Alex. Saya tidak terima
karena ini adalah penghinaan. Akhirnya saya mencari Alex dan mendampratnya
habis-habisan. “Loe
jangan menghina gue
ya. Jangan sok
ganteng. Yang lebih dari loe tuh, gue bisa dapet.”
Jadilah pertemuan pertama itu meniadi ajang pertengkaran, hingga
akhirnya berujung kepada suatu pertanyaan menggantung yang keluar begitu saja
dari bibir saya. “Jadi kamu maunya apal” “Ya, aku mau sama kamu. Kamunya
gimana?” tanya Alex.
Karena saya sudah taruhan dan tidak mau dilecehkan, akhirnya saya
menyambut uluran tangan Alex. Kisah cinta gaya anak SMP Yang selama ini hanya
menjadi tontonan saja bagi saya, sudah mulai saya rasakan. Satu hal yang terus
berlanjut hingga saya lulus SMP sementara Alex tidak melanjutkan sekolah ke
SMA.
Setamat SMP saya melanjutkan sekolah di Bandar Lampung. Jauh dari
rumah orangtua dengan Alex yang tinggal di Lampung Selatan. Hari-hari saya
jalani seperti biasa. Bertemu dengan teman-teman baru dan kegiatan yang sedikit
berbeda ketika di SMP. Surat dari Alex, sesekali mampir ke tempat kos-kosan.
Menghangatkan kembali kenangan masa lalu.
Benih cinta yang belum layu semakin mekar saat Alex menyempatkan
diri untuk sesekali berkunjung ke Bandar Lampung. Kisah cinta yang tidak selalu
berjalan mulus. Rasa cemburu sering menghantui diri Alex. la merasa bahwa ada
beberapa teman SMA Yang juga tertarik kepada saya, sementara ia sendiri tidak
setiap saat mengetahui apa yang saya lakukan. Sehingga perubahan potongan
rambut saja, Alex sudah blingsatan. la takut bila saya berpaling kepada lelaki
lain.
Pertengkaran pun tidak bisa dihindari. “Terserah, kalau masih tidak
percaya,” ujar saya emosional. Pertengkaran yang berujung pada ketidakmunculan
Alex di Bandar Lampung hingga setahun. la sama sekali tidak menampakkan batang
hidungnya. Surat yang biasanya sebulan sekali datang luga tidak pernah lagi
mampir.
Hingga suatu hari ada seorang teman yang menyampaikan kabar bahwa
ada surat untuk saya di kantor. Ketika saya mau mengambilnya, ternyata surat
itu sudah tidak ada. la bahkan sudah ada dalam genggaman Andi, kakak kelas yang
selama ini menunjukkan rasa simpatinya kepada sapa. Saya langsung merebutnya
dari belakang. Dari sini akhirnya Andi mengakui bahwa ia sudah lima kali
mengambil surat saya.
Tanpa terasa waktu tiga tahun telah berlalu. Masa-masa SMA telah
berakhir, dan berganti dengan dunia baru. Di sini, saya masih ingin meraih
cita-cita yang lebih tinggi. Saya tidak ingin sekadar menjadi ibu rumah tangga
tanpa membawa bekal yang cukup berarti untuk masa depan saya dan keluarga.
Saya diterima di Akper Padang angkatan 99. Satu hal yang harus
disyukuri, karena sebelumnya gagal ketika mendaftar di Yogya. Waktu yang tidak
terlalu lama di Yogya telah merubah perilaku saya. Dari anak tomboy bercelana
jeans dan berkaos ketat berganti dengan kaos lengan panjang dan berjilbab.
Perubahan drastis yang sempat menjadi gunjingan teman-teman SMA. Tapi saya
tidak peduli. Saya tetap tegar melangkah dengan perubahan yang terjadi.
Kuliah di Padang dan jilbab yang menghiasi kepala masih belum bisa
menghentikan kisah cinta saya dengan Alex. Surat maupun obrolan singkat via
telpon menjadi alternatif lain. Meski sebenarnya sebelum berangkat ke Padang,
ibu telah berpesan agar saya tidak berpacaran. “Kamu mau kuliah atau mau
pacaran. Kalau mau pacaran tidak boleh kuliah.”
Karena itu, saya tidak pernah mengajak Alex berkenalan dengan
orangtua saya. Selama ini semuanya masih menjadi rahasia kami berdua, hingga
pertemuan pun harus dilakukan di luar sepengetahuan keluarga. Kesempatan pulang
ke Lampung yang hanya setahun sekali, praktis saya habiskan bersama keluarga.
Tidak ada kesempatan untuk bertemu Alex. Di samping memang saya belum ingin
hubungan ini diketahui orangtua.
Untuk itu, pada tahun kedua Alex mengalah. la yang datang ke
Padang, meski pertemuan itu pun tidak terlalu lama. Di sela-sela jadwal kuliah
saya. Terakhir, setelah saya selesai kuliah, Alex menjemput saya. Dia ingin
membantu saya mengangkut barang-barang saya. Waktu itu, Alex menginap di rumah
sepupuh saya.
Awalnya saudara sepupu saya bertanya siapa dia. Saya ceritakan saja
apa adanya, bahwa Alex hanya lulus SMP dan masih belum kerja. Dia hanya
membantu orangtuanya berkebun di Lampung. “Pikir-pikirlah dulu, sebelum
terlanjur,” hanya itulah komentar saudara sepupu saya.
Awal Perubahan
Juni 2003, saya merantau ke Jakarta dan ikut menumpang di rumah
paman di Tangerang. Untunglah saya tidak harus menganggur terlalu lama. Surat
lamaran yang saya kirim ke berbagai instansi mendapat jawaban dari sebuah
klinik di Tangerang. Dari sini, saya mulai bersentuhan dengan dunia kerja dan
teman-teman yang berkarakter macam-macam.
Perbedaan pulau bukan halangan bagi hubungan saya dengan Alex. Alex
di Lampung dan saya di Tangerang, tapi hubungan kami masih lancer-lancar saja.
Surat serta telpon yang menjadi penyambung kesetiaan kami.
Sejujurnya, saya sendiri merasa aneh dengan perasaan cinta yang
seakan berlebihan. Siang malam wajah Alex selalu terbayang, terlebih bila
sedang tidak ada kerja. Kerinduan yang mencapai ubun-ubun hingga terkadang saya
menangis. Tangisan yang berganti dengan canda ria begitu telpon berdering atau
ada surat yang datang.
Bahkan perintah Alex yang menyuruh saya keluar dari klinik pun saya
turuti begitu saja. Hanya karena ada seorang karyawan yang tertarik kepada
saya. Sebut saja namanya Lesmana. Tapi entahlah bagaimana Alex bisa tahu
bila ada yang suka sama saya. Padahal saya tidak bercerita apa-apa tentang
Lesmana dan saya pun tidak jatuh cinta kepadanya. Dulu, sewaktu masih di Padang
Alex memang sempat mengancam biln saya berpaling darinya, “Siapapun tidak akan
bisa menikahi kamu. Mudah bagiku untuk membunuhmu. Dari jauh juga bisa.
Misalnya kamu di Jakarta atau di Padang. Ah, gampang bunuh orang. Darimana saja
juga bisa Foto kamu kan ada padaku. Adil kan. Aku nggak dapat. lbu kamu nggak
dapat. Suami kamu juga nggak dapat. Kamu mati masuk neraka.”
Lepas dari klinik di Tangerang, saya diterima bekerja sebagai
perawat di rumah sakit swasta di Jakara Timur. Dan hubungan kami kembali lancer
seperti biasa. Hingga pada suatu hari di bulan Januari abang saya datang ke
Jakarta- Abang menginap di rumah paman. Mungkin abang merasa saya sudah dewasa,
sehingga ia bertanya kepada paman siapa sebenarnya pacar saya. Dan tanpa
ditutup-tutupi paman bercerita siapa sebenarnya pacar saya.
Mendengar kabar bahwa saya sudah menjalin cinta dengan Alex
bertahun-tahun, abang naik pitam. la merasa telah dibohongi oleh adik yang
telah di besarkannya dengan keringat. Saya dianggap telah mencoreng arang
diwajah, terlebih bila yang menjadi pacar saya adalah Alex, orang yang dalam pandangan
abang kurang baik dan tidak layak menjadi suami saya.
Abang langsung menelpon Alex dan memintanya untuk menjauhi saya.
Hal ini saya ketahui setelah Alex menelpon saya. “Ti, abangmu di Jakarta ya?.
Dia nelpon saya agar menjauhimu.” Saya panik. Rahasia yang selama ini
terbungkus rapi, akhirnya terbongkar juga.
Terus terang, saya takut bertemu abang. Tapi jam 9 malam, abang
menelpon dan mengatakan bahwa ia langsung balik ke Lampung. “Ti, abang mau ke
Lampung.” Melalui telepon, abang kembali mengingatkan saya untuk segera
mengakhiri pacaran dengan Alex.
Bimbang, ragu, gundah bercampur aduk menjadi satu. Cukup lama saya
terdiam kaku memilih langkah yang harus diambil. Terus terang, ini bukan
keputusan mudah. Saya seperti memakan buah simalakama. Tapi salah satu harus
dikalahkan. Setelah menimbang cukup lama akhirnya saya memutuskan untuk
menuruti saran Abang. Dengan kata lain, saya harus segera mengakhiri
petualangan cinta bersama Alex.
Saya menelpon temannya Alex dan menitip pesan agar Alex segera ke
Jakarta. Setelah hilang rasa penat, barulah saya menceritakan semua yang
terjadi. Saya mengajaknya mengakhiri pacaran. “Saya tidak bisa menentang Abang
saya. Semenjak ibu meninggal, Abang yang membiayai kuliah saya. Dan saya juga
berencana untuk kuliah lagi.”
Alex nampak tidak terima dan tidak mau putus di jalan. Saya sadar
memang tidak mudah melupakan orang yang kita kenal selama ini. Untuk itu saya
berusaha memutus hubungan dengan Alex secara perlahan. Keinginan Alex untuk
datang pada hari ulang tahun saya di bulan April 2004, juga saya biarkan.
Terlebih memang pada saat itu juga ada teman-teman yang datang. Kebetulan pada
saat yang sama Yanto, teman kerja yang tertarik dengan saya juga hadir. Alex
semakin cemburu. la benar-benar merasa kisah cintanya segera berakhir. Dan
akhirnya pulang dengan membawa kepedihan.
Derita sakit kulit membawa saya berhubungan dengan paranormal
Bulan Mei 2004, tidak seperti biasanya saya merasakan ada keanehan
pada kulit di sekujur tubuh saya. Bentol-bentol berwarna merah menghiasi kulit
kuning langsat yang selama ini saya banggakan. Gatal. Dan semakin gatal bila
digaruk. Awalnya saya kira ini adalah sakit biasa. Teman-teman juga menganggap
saya alergi ikan laut.
Beberapa hari kemudian, perut saya sakit. Rasanya mual. Semakin
lama semakin parah. Awalnya sehari ke kamar kecil cuma sekali, esoknya sehari
tiga kali. Hari berikutnya empat kali. Rasa sakit di perut kian hari tambah
parah.
Hari-hari berikutnya setiap hari saya harus disuntik oleh teman
sesama perawat. Benjolan merah di sekujur badan sempat mengempis dan hilang.
Dua jam kemudian benjolan merah yang gatal itu datang lagi. Begitu seterusnya
sampai mulut saya jontor
karenanya. Dokter yang sempat merawat saya hanya mengatakan bahwa saya alergi
dingin. Dan untuk mengetahui penyakit yang sebenarnya dokter merekomendasikan
saya untuk check
up di RSCM. Setelah check up di RSCM hasilnya juga tidak banyak berubah.
Gatal-gatal di kulit tetap saia tidak mau hilang. Bahkan lebih parah hingga
saya sampai berteriak-teriak.
Melihat berbagai kejanggalan itu, salah seorang teman menyarankan
saya untuk berobat ke Chandra (nama samaran) seorang paranormal di Ciledug,
Tangerang. Malam Jum’at di bulan Juli, saya nekat ke Ciledug dengan
diantar seorang teman. Sebenarnya saya hanya ingin ahu, apakah penyakit saya
ini medis atau tidak. Tapi semua itu justru menjadi awal keterikatan saya
dengan paranormal. Dengan memegang telapak tangan saya, Chandra menerawang.
“Benar Ti, kamu sudah lama kena guna-guna.” “Sudah lama kamu dijerat ajian
putar giling,” lanjut Chandra. Saya langsung down dibilang begitu, meski tidak percaya sepenuhnya.
Untuk itu saya harus dimandikan dengan kembang. Memang, setelah
mandi kembang. badan saya menjadi lemas. Bayangan tentang Alex mendadak hilang.
Padahal biasanya saya selalu memikirkan tentang dia, sedetik pun hati saya
seakan tidak bisa terlepas dari bayangannya.
Tiga hari kemudian saya kambuh lagi. Akhirnya saya datang lagi ke
Ciledug. Begitu seterusnya setelah sembuh beberapa hari, lalu kambuh lagi.
Lantaran tidak punya pilihan lain, saya menceritakan semuanya kepada paman yang
tinggal di Tangerang. Dari cerita itu mereka membawa saya ke seorang
paranormal perempuan di Tangerang. Sebut saja namanya Widuri.
Entah apa yang dibaca oleh Bu Widuri sehingga tiba-tiba saja
suaranya berubah seperti suara nenek-nenek. “Oh… ini memang tidak benar.”
Sejurus kemudian ia menaruh daun sirih di lengan saya. Dan … terjadilah apa
yang harus teriadi. Dari balik daun sirih keluar tujuh buah silet yang sudah
karatan. Saya merasakan memang ada sesuatu yang mengalir di lengan saya. Pedih
rasanya. Bibi yang menemani saya, hanya bisa menangis. la tidak tega melihat
keponakannya diperlakukan sedemikian rupa Kemudian saya di bawah ke dalam
kamar. Menurut Bu Widuri untuk menangkal guna-guna itu di dalam kulit saya
harus ditanam emas.
Saya bilang saya tidak punya emas selain yang menempel di badan.
Akhirnya saya korbankan dua buah anting-anting saya untuk ditanam. Meski saya
ragu apakah memang anting-anting itu benar-benar dimasukkan ke dalam kulit
saya. Pasalnya waktu itu tidak boleh ada yang melihat. Saya hanya berdua dengan
Bu Widuri di dalam kamar. Selain itu saya masih harus menyerahkan uang 250 ribu
untuk beli kambing yang katanya dipakai untuk penjagaan rumah saya. Saya tidak
peduli apakah uang itu untuk beli kambing atau tidak.
Terus terang saya seperti kerbau dicocok hidungnya. Apapun
permintaan Bu Widuri selalu saya turuti. Bila memang membawa kesembuhan pada,
diri saya. Bila memang gatal-gatal di kulit akhirnya hilang dan tidak kumat
lagi. Tapi hasilnya jauh di luar harapan. Sakit kulit tetap mendera bahkan
semakin parah.
Sakit kulit yang menurut beberapa orang akibat guna-guna itu masih
belum bisa memalingkan saya dari bayangan Alex. Ketakutan akan kehilangan dia
membuat saya semakin tertekan luar dalam. Padahal kalau dipikir-pikir apa sih
yang dibanggakan dari dirinya? Dia hanya lulusan SMP dan belum kerja.
Sehari-hari dia hanya membantu orangtuanya mengurus kebon.
Seperti yang terjadi pada bulan Agustus, saya nekat menemui Alex
yang jauh-jauh datang dari Lampung ke Jakarta. Meski saya menangkap kesan dia
tidak lagi seperti dulu. Dingin dan kurang perhatian. “Mas, aku alergi Mas.
Bengkak semua. Kulit bentol-bentol semua. Merah. Mulutku juga jontor.
Terus gimana Mas?” saya mencoba meminta jalan keluar. “ltu salah cowok kamu.”
Seperti disambar halilintar, saya mendengarnya. Belum hilang keheranan saya,
saya kembali dibuatnya ternganga. “Diguna-guna kali kamu sama cowok kamu,”
ujarnya acuh tak acuh. “Kamu sadar nggak sih ngomong kayak gitu. Cowok saya itu
kan kamu?” “Ya cowok kamu yang lain,” sergahnya. Pertemuan yang berbuntut pada
pertengkaran sehingga saya memilih untuk pulang duluan.
Pertengkaran kembali berlanjut keesokan harinya, ketika dia
mengajak bertemu lagi. Juga karena keluhan yang saya sampaikan. “Mas aku
pusing.” “Minum saja inex, biar mati sekalian.” Saya heran dengan perubahan
yang terjadi. Alex benar-benar telah berubah. la tidak lagi seperti dulu.
Saat itu, saya kembali menegaskan bahwa hubungan antara kita tidak
bisa berlanjut. Saya tidak mau menjadi anak yang durhaka dengan melawan
orangtua. Terlebih bila Alex memang tidak bertanggung-jawab. Dia hanya mau
menang sendiri walau harus menyakiti orang lain.
Keputusan besar sudah dibuat dan tidak ada lagi alasan untuk surut
ke belakang, meski sebenarnya hati kecil saya masih belum rela. Tapi semuanya
harus diputuskan. Walau kulit terus gatal setiap hari.
Hingga pada suatu hari dokter Farid memberi saya kaset rugyah. Saat
saya memutarnya di rumah, saya muntah-muntah. Karena itulah maka saya
mendaftarkan diri untuk mengikuti terapi ruqyah di kantor Majalah Ghoib
hingga tiga kali. Saat terapi yang pertama saya sampai muntah darah. Saya juga
sempat teriak-teriak. Setelah ruqyah yang pertama saya merasakan kepala menjadi
ringan.
Sepulang dari ruqyah saya berusaha untuk selalu mengaji dan membaca
surat al-Baqarah. Beberapa minggu kemudian saya mengikuti terapi ruqyah yang
kedua. Dan Alhamdulillah, setelah mengikuti terapi yang kedua, saya tidak lagi
teringat bayangan Alex. Sakit kulit yang telah berbulan-bulan itu pun hilang
dengan sendirinya seiring dengan ketekunan saya untuk shalat malam dan membaca
al-Qur’an, selalu membaca basmalah sebelum makan serta membaca al-Ma’tsurat.
Selain itu, perasaan saya menjadi tenang ketika berada di rumah.
Padahal dulu, baru membuka pintu sala saya sudah merinding. Teman-teman yang
sering main ke rumah iuga merasakan hal yang sama. Bahkan antara sadar dan
tidak ada seorang teman yang merasa seperti dicekik saat tidur di ruang tamu.
“Uni, Uni bangun Uni,” saya membangunkannya. Sebelumnya memang terdengar suara
berdebum di atas genteng. Seperti ada benda yang jatuh, tapi entahlah. Kita
tidak berani mencarinya.
Saya bersyukur setelah mengikuti terapi ruqyah, gangguan yang saya
alami selama ini telah hilang. Bayang-bayang Alex iuga tidak lagi menghantui
saya. Meski saya akui bahwa ada saat-saat tertentu kenangan lama itu muncul
kembali.
Namun satu hal yang saya syukuri bahwa saya bisa keluar dari
masalah yang menyesakkan ini dengan lapang dada. Saya kembali menemukan keceriaan
dan ketenangan setelah sekian lama hidup di bawah bayang-bayang dan ketakutan
akan kehilangan seseorang. Padahal dia bukanlah siapa-siapa. Dia hanya masa
lalu yang mengisi lembaran kelabu masa remaja saya. Semoga Allah mempertemukan
saya dengan seorang laki-laki yang bertanggung iawab. Dan tentunya dengan
proses yang sesuai dengan ajaran lslam. Saya ingin jilbab yang melekat di badan
menjadi jembatan kebersihan hati dari debu-debu dosa.
Majalah Ghoib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar