“Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak” Ungkapan yang tepat untuk menggambarkan derita Mulyadi (nama samara). Seorang Wakil Manager Perusahaan Jepang di Bekasi yang berasal dari Medan.
Bagaimana tidak, harapan dan impian menjadi milyuner kandas di tengah
jalan. Berganti dengan derita. Hidup tertatih-tatih delapan bulan
lamanya. Dan, harus menjual rumahnya senilai tujuh puluh juta untuk
membayar hutang setelah tertipu mentah-mentah melakoni drama peminjaman
uang di bank ghoib. Berikut petikan kisah nyata yang disampaikan
langsung ke Majalah Ghoib di rumahnya, di Bekasi.
Perkenalan saya dengan Bustari (nama samaran) terjadi pada tahun 1998 ketika sama-sama mengobati orang yang kena santet. Saat itu, saya mengenalnya sebagai “orang pinter” yang baik hati dan suka membantu sesama.
Itulah kesan pertama yang saya rasakan. Semenjak itu saya sudah tidak
berhubungan lagi. Tapi kira-kira pada bulan Juli tahun 2001 adik saya, Anton
(bukan nama sebenarnya), datang dari Medan untuk mencari kerja. Setelah
saya perhatikan nampaknya Adik saya juga punya ilmu yang cukup keras “ilmu preman”. Ia cepat naik darah. Lalu, saya sarankan agar ilmunya dibuang saja dan ia setuju.
Akhirnya saya ajak dia ke Bustari. Kata Bustari proses pembuangan
ilmu itu memakan waktu dua minggu sampai satu bulan. Namun, rencana itu
dibatalkan karena ia harus kembali ke Medan untuk menjaga bapak yang
sedang sakit.
Selain itu, Bustari sempat mengajarkan ilmu nyedot pusaka dari alam
ghoib dan memberinya bambu kuning yang ruasnya ketemu, atau lebih
terkenal dengan bambu pethuk. Ternyata harga bambu pethuk sangatlah
mahal, bisa mencapai tiga ratus juta rupiah.
Hal ini membuat saya semakin terpikat dengan kebaikannya. Dia itu
orang miskin, tapi mau memberikan sesuatu yang nilainya besar. Akhirnya
saya dan adik berniat mengangkat saudara kepada Bustari. “Kalau bapak
butuh bantuan, bilang saja. Insya Allah akan saya bantu. Begitu juga
kalau saya perlu bantun bapak, saya akan bilang.” Kata saya kepada Bustari. Selang beberapa hari kemudian, adik saya pulang ke Medan.
Akhir bulan Agustus itu, Bustari menelpon dan bilang mau minta
tolong. Waktu itu, saya pikir dia mau pinjam uang. Tapi ketika saya ke
rumahnya, ternyata tidak. Dia bahkan cerita blak-blakan bahwa sebenarnya
dia punya uang sekitar seratus milyar, yang disirnpan di bank.
Uang itu cair setahun sekali, sekitar awal November. Katanya, uang
tersebut adalah hasil penggandaan uang antara gurunya dan anak seorang
mantan penguasa negeri ini melalui bantuan jin. Waktu itu modalnya
sekitar 68 juta. Digandakan menjadi 68 milyar, yang kalau dalam kurs
rupiah sekarang bisa mencapai seratus milyar karena sudah didepositokan
selama lima tahun.
Katanya, dia akan membeli perkebunan senilai lima milyar yang harus
dibayar pada pertengahan September. Selain itu, katanya dia juga bekerja
sama dengan sebuah pabrik semen di Cibinong untuk pengadaan 40 truk.
Dan, pada akhir Oktober, dia harus bayar 3 milyar. Dia memang punya
uang tapi baru bisa dicairkan pada bulan November. Oleh karena itu, dia
punya ide untuk meminjam uang di “bank ghoib”, istilah bagi bank yang dikelola bangsa Jin.
Saya tidak tahu mengapa saat itu saya percaya begitu saja, hingga dia
menerangkan cara peminjamannya. Saya juga disuruh mencari orang yang
kuat begadang, kuat wirid dan puasa tiga hari tiga malam. Selang
beberapa hari kemudian saya datang kembali ditemani Yasto, yang sanggup tirakat tiga hari tiga malam, dan lima orang lainnya.
Waktu itu, Bustari menghitung unsur nama, tanggal dan hari lahir. Misalnya, Yasto. Huruf ‘Y’ itu menyamai angka berapa, ‘A’
itu angka berapa dan seterusnya. Setelah itu hari lahirnya apa,
misalnya Jumat pon. Jumat itu menyamai angka berapa, Pon itu berapa.
Serta tanggal lahir. Dari kesemuanya itu lalu dijumlah. Dari sini
diketahui berapa kekuatan Yasto untuk meminjam uang dari bank ghoib.
Total jendral, kata Bustari, Yasto mampu meminjam uang senilai tujuh
milyar.
Setelah sepakat semua, kemudian dibicarakan berapa modal yang harus dikeluarkan. Setelah ditotal, untuk membeli minyak
wijaya kusuma, candu jenis lima tengkorak, hio, bunga tujuh rupa,
kemenyan, kelapa hijau, minyak wangi dan tasbih, dibutuhkan dana lima
juta. Jumlah yang tidak sedikit sehingga tidak ada yang sanggup.
Akhirnya saya yang menyanggupi walau sebenarnya saat itu saya tidak
punya uang. Terpaksa saya meminjam kesana kemari. Kebetulan saat itu,
saya sudah tidak kuat kerja di kantor karena saya melihat
kecurangan-kecurangan yang ada. Mendapat tawaran menjadi pengelola
perusahaan yang akan didirikan Bustari dengan uang yang bernilai
milyaran itu, akhirnya saya tertarik dan memutuskan untuk mengundurkan
diri dari kantor.
Untuk memperlancar pekerjaan itu, Bustari mengajarkan “ilmu kebal”
kepada seluruh anggota rombongan. Setelah membaca surat Yasin puluhan
kali tangan saya bergerak sendiri dan menunjuk ke salah satu Asmaul
Husna.
Selanjutnya Bustari memberi kita minuman yang telah dibacakan doa-doa
tertentu. Kemudian dengan hanya memakai celana dalam kita di uji dengan
beberapa alat dan ternyata kita benar-benar kebal. Terus terang,
setelah memiliki kekebalan tubuh ini rasa percaya diri saya semakin
tinggi dan yakin pasti berhasil.
Mencairkan Dana Pinjaman dari Bank Ghoib
Setelah semua persyaratan terpenuhi, mobil juga sudah disewa,
akhirnya rombongan yang beranggotakan sembilan orang itu berangkat ke Ujung Genteng daerah Jampang di pesisir selatan. Menuju goa bawah tanah. Setelah memeriksa keadaan goa, Bustari bilang “Goa ini tidak bisa dijadikan sebagai tempat peminjaman uang.”
Akhirnya kita berangkat lagi ke tempat lain, menuiu daerah Sumur Tujuh di Pelabuhan Ratu. Tepatnya, di sekitar hotel Marina Beach.
Di bawahnya ada goa bercabang tujuh dengan tiga pintu. Di dalam goa itu
terdapat sebuah makam dengan lebar dua meter dan tinggi satu setengah
meter.
Untuk sampai ke sana kita harus jalan jongkok saat melewati lorong
goa yang sempit sebelum akhirnya tiba di jembatan batu alami sepanjang
satu setengah meter dengan genangan air hijau di bawahnya.
Setelah maghrib, Yasto lalu duduk bersila di ruangan itu, setelah
terlebih dahulu seluruh persyaratan diletakkan di sana. Sementara
anggota rombongan yang lain membantunya dengan wiridan, yang diambil
dari buku mujarobat, di depan pintu goa.
Komunikasi antara Yasto dengan rombongan lain hanya menggunakan
kilatan lampu senter. Bila Yasto membutuhkan sesuatu, dia menyorotkan
senternya beberapa kali, maka seorang teman yang lain mendatanginya.
Yasto tidak boleh berkata apa-apa. Dia hanya menulis apa
keperluannya. Lalu, kitalah yang memenuhi apapun kebutuhannya. Setelah
semuanya siap dengan tugas masing-masing, Bustari minta uang satu juta
lalu pergi sepanjang malam. Katanya ke pesantren gurunya di Tasik untuk
minta bantuan. Dari sanalah, dia memonitor dan membantu menarik uang.
Hembusan angin dingin yang menusuk tulang ditambah dengan tingkah
polah binatang malam membikin bulu kuduk berdiri. Terlebih, setelah ada
kejadian aneh, wiridan saya terbolak-balik, sepertinya saya lupa.
Padahal sebelumnya sudah ngelontok. Demikian pula yang dialami
teman-teman. Secara batin, saya merasakan bahwa itu semua gangguan dari
jin, hingga bulu kuduk saya merinding, badan terasa panas dingin.
Pada jam 9 pagi, saat matahari mulai menghangatkan tubuh, Yasto sudah
tidak kuat lagi, dia keluar dengan wajah menghitam terkena asap hio.
Katanya, dia sulit wiridan. Seperti ada sesuatu yang menghalanginya
sehingga membaca basmalah saja harus tertatih-tatih “Bis ... mil ...lah”
begitu juga dengan wiridan lainnya, pikirannya galau. Tak lama
kemudian, saya tahu bahwa ada kelompok lain yang juga tirakat di sini,
sehingga wiridan kita berbenturan dengan mereka.
Dua jam kemudian Bustari datang. Lalu memutuskan untuk pindah ke
gunung Tumpang di Banten. Setelah melewati perkampungan terakhir kita
terus naik melalui jalan setapak yang berkelok mengitari jurang sejauh
lima ratus meter.
Di sana terdapat empat buah batu yang tersusun seperti tungku masak
dengan celah yang membiarkan cahaya masuk ke dalam. Di atasnya terdapat
batu besar yang menutupinya, batu itu bagaikan panci pemasak. Di dalam
ruangan seluas tiga kali empat meter dan tinggi satu setengah meter itu
kita menggelar sajadah dan meletakkan seluruh persyaratan di sebelahnya.
Di sini Yasto masih bertugas wiridan didalam karena ia belum
dinyatakan gagal. Saat Maghrib tiba dia mulai wiridan. Sementara, enam
orang yang lain membantunya dari jarak 200 meter, melewati jalan setapak
di antara semak belukar yang memutari lereng Pegunungan.
Suasana di sini tidak kalah menyeramkan dibandingkan di Pelabuhan
Ratu. Musik malam yang menakutkan itu terus ditimpali dengan suara jin
yang menggoda untuk membatalkan tirakat. Sungguh menegangkan.
Saya ingat, waktu itu Bustari menyuruh saya menanam segenggam tanah
yang katanya dihuni oleh jin Aji Karang, yang tidur di atas peti uang.
Bila kita berhasil membangunkannya, jin itu akan menuniukkan tempat
penyimpanan uang senilai tiga milyar. Pada malamnya, jin Aji Karang yang
menurut Bustari berbentuk manusia berambut api itu mendatangi Yasto dan
mengganggunya. Yasto berteriak ketakutan, tapi jin Aji Karang itu tidak
dapat masuk karena tempatnya sudah dipagari terlebih dahulu.
Malam itu, Yasto sukses melaksanakan tugas dengan baik, namun saat
pagi menjelang ia mendengar bunyi anak ayam dan kicauan burung, bagaikan
alunan musik yang merdu, suara alam itu membuatnya terlena dan tertidur
hingga memutuskan wiridannya. Akhirnya, kali ini ia dinyatakan gagal.
Tak lama kemudian Bustari datang. Saya tidak mengerti bagaimana ia
pulang secepat itu, padahal katanya tadi ia berangkat ke Tasik dengan
lama perjalanan enam jam. “Saya sudah pinjam uang dari bank ghoib dan
sudah serah-serahan. Tapi, ternyata baru ditarik sepertiga perjalanan.
Sayang sekali. Padahal, pinjaman itu harus tetap dilunasi.”
Kata Bustari. Bingung rasanya mendengar penuturan Bustari. Uang yang
sudah sepertiga perjalanan itu, apa harus hilang kembali? Akhirnya kita
berunding kembali, dan harus mencari orang baru yang menggantikan Yasto.
Orang itu harus lahir pada hari Rabu. Saya teringat ternyata adik saya
yang telah kembali ke Medan juga lahir pada hari Rabu.
Bustari setuju saya memanggil adik saya. Selain itu, ia juga minta
tambahan uang lima juta. Padahal setiba di sini saya sudah memberinya
tiga jutaan. Saya benar-benar terhipnotis total, apapun yang diinginkan
Bustari selalu saya turuti. Akhirnya saya turun gunung. Saya telpon adik
agar segera ke Jakarta. “Pokoknya kamu harus datang. Nanti saya jemput di bandara. Terus usahakan minta uang lima juta.”
Di Medan, orangtua kelimpungan mencari uang lima juta, tapi saya
tidak peduli. Ketika saya menelpon, ibu bilang sambil menangis, “ltu kan, sudah nggak benar. Sudah hentikan saja.” Saya sudah terlanjur putus kerja dan habis puluhan juta.
Sudah kepalang basah. Hingga saya bicara keras sama orangtua, “Kalau bapak dan ibu tidak mau bantu, ya lebih baik saya mati saja.” Tapi akhirnya saya melunak, “Ya sudah, carikan saja uang untuk biaya naik pesawat.” Akhirnya adik jadi berangkat dan saya tunggu di Bandara.
Sebenarrya, saya sudah tidak punya uang. Dan harus pinjam
kesana-kemari tapi anehnya ada saja yang meminjami. Setelah semua
persyaratan tersedia dan adik juga sudah tiba, rombongan segera
berangkat ke Bukit Tumpang.
Di sana, adik langsung tirakat di ruangan dan paling lama bertahan.
Bisa dikatakan dia sudah berhasil 99%. Tak lama setelah masuk ruangan
dan melaksanakan wiridan beberapa saat, adik saya merasa dikelilingi
tujuh khadam dari jin yang berpakaian wali.
Mereka memakai surban dan tasbih. Mereka membenarkan kesalahan
wiridan adik saya. Begitu pula ketika mengalami kesulitan dan butuh
bantuan, jin itu bilang, “ltu, yang di bawah sedang istirahat. Minta bantuan mereka!” Akhirnya adik saya memberikan kode dengan sorot senter. Lalu, seorang teman saya menemuinya. Lalu, adik saya menulis, “Tolong bantu wiridan. Pembuka jalannya bagaimana?”
Saat itu, kata adik saya, dia juga sempat diajak keliling taman bunga. Bahkan, salah satu jin mengatakan, “Kamu
tidak usah pinjam uang. Lebih baik ikut saya saja. Kalau kamu ikut,
saya siapkan pakaiannya. Keluarga kamu juga saya jamin kemuliaannya. Dan
saya jamin, kamu bisa membantu keluarga.”
Adik menolak tawaran itu, karena ia masih ingat pesan saya, “Tugas kamu cuma pinjam uang. Berhasil, ya diambil. Nggak ya, nggak apa-apa.” Merasa tidak berhasil membujuk adik saya, akhirnya jin itu menyerah, “Ya sudah, kalau tekad kamu sudah bulat, kita buat perjanjian di selembar kertas.”
Lalu ia menunjukkan peti kepada adik saya, “lni peti uangnya.
Terserah mau kamu angkat pakai apa. Tapi, uang ini hanya boleh dipakai
untuk hal-hal yang baik dan harus dikembalikan dalam jangka waktu 25
tahun. Kalau uang ini dimanfaatkan untuk yang tidak baik, maka kamu yang
mendapat teguran pertama kali. Dan, bila sampai pada teguran ketiga
masih tidak berubah maka kamu harus ikut kami, masuk ke dunia jin.” ujar jin itu. Adik saya setuju dan langsung tanda tangan.
Pada saat itu, kita menyaksikan peristiwa yang sangat luar biasa.
Dari jauh, segerombolan kabut datang menutupi bukit Tumpang. Dengan
pancaran cahaya merah, putih, biru, dan kuning silih berganti
berpencaran dari kanan kiri. Luar biasa, kita seperti menonton film di
TV saja.
Setelah peristiwa itu, kita yang membantu wiridan semakin yakin. Dan,
hilanglah kekhawatiran akan kegagalan seperti yang terjadi beberapa
saat lalu. lmpian menjadi milyuner seakan terbayang di pelupuk mata.
Terlebih setelah sore harinya Bustari datang.
Katanya sebentar lagi uang pinjaman itu sudah sampai. Kemudian dia
naik bersama yang lain, hanya saya yang tinggal di bawah. Karena saya
lahir pada hari Jumat. Bila orang seperti saya ini ikut naik ke atas,
lalu ketemu dengan khadam jin, khadamnya akan kabur semua.
Sesampainya di dalam ruangan, siapapun tidak boleh menyalakan senter
dan tidak boleh bicara. Namun, ketika mau masuk Bustari mengatakan, “Ton, sudah minggir?” “Ya” jawabnya. Selanjutnya adik saya yang masih dalam ruangan itu bahkan bertanya sambil menghidupkan senter, “Mana sandal saya?”
Adik saya melakukan tiga pelanggaran. Jadi peti uang yang tadinya sudah
ada itu hilang kembali. Sempat terjadi tarik menarik dengan jin yang
menjaga uang itu. Tapi mereka lebih kuat akhirnya peti itu hilang lagi.
Setelah kejadian itu, tekad semua rombongan semakin kuat. Akhirnya
tirakat diulang lagi. Dan, adik saya masih bertugas melakukan wiridan.
Pada jam satu malam adik saya metihat khadam jin itu sudah datang sambil
marah-marah, “Kamu sudah gagal. Ayo turun.”
Adik saya tetap tidak mau turun, sampai akhirnya badannya ditenteng
kemudian ditendang. la menuruni jalan setapak seperti melayang saja.
Sampai sepuluh meter di dekat kami, dia baru melangkahkan kaki dalam
keadaan sempoyongan. Dia langsung merangkul saya. “Mas, gagal. Mas.”
Setelah kegagalan itu saya mencari orang lain lagi. Namanya Seno.
Ketika ia mulai wiridan, awan gelap segera menyelimuti bukit Tumpang.
Tak lama kemudian kilatan petir yang menyambar-nyambar menerangi langit
yang hitam pekat. Disertai dengan suaranya yang memekakkan telinga
mengiringi turunnya hujan. Hujan itu seperti tercurah dari langit. Dalam
keadaan demikian, dia melihat kondisi istrinya yang sedang menangis.
Akhirnya wiridannya terputus.
Saya tidak tahu. Mengapa kegagalan demi kegagalan itu masih belum
menyadarkan saya, walau sebenarnya dana bukan saja sudah habis, tapi
sejak awal sudah pinjam kesana kemari. Seperti saat itu, saya terus saja
mencari pinjaman dan mencari pengganti Seno.
Akhirnya saya ketemu dengan Marto. Tapi kejadiannya sangat
diluar dugaan. Belum setengah jam, dia sudah kembali dalam keadaan takut
yang tidak terkira. Bicaranya, “u, a, u.” la pingsan dan baru
bisa ditanya keesokan harinya. Katanya, dia seakan dipaksa lihat ke
atas. Begitu melihat ke atas, ia langsung menjerit. Ternyata dia melihat
sebuah kepala dengan gigi taring yang tajam dan mulut terbuka siap
menerkamnya.
Setelah kegagalan yang kesekian kalinya ini, saya sulit mencari orang
yang lahir pada hari Rabu. Hingga akhirnya saya bertemu dengan seorang
penjual bunga. Saya tawari dan dia pun mau. Tapi hasilnya sama dengan
yang sebelumnya, baru beberapa jam dia sudah kembali dalam keadaan tidak
bisa bicara. Ia ketakutan sekali. Katanya ia sepertinya sudah mau mati
saja.
Sebenarnya, kita telah melakukan berbagai cara untuk mencegah
kembalinya peti ke buto ljo. Pernah, kita menguncinya dengan kepala
kambing. Hingga empat kambing yang sudah dipotong dan kepalanya
dipersembahkan ke buto ljo.
Namun, setelah kegagalan yang kelima, akhirnya kita mencoba cara
lain. Kita mengikat peti yang hanya bisa dilihat oleh Bustari itu dengan
tambang lalu ditarik ramai-ramai. Ketika ditarik, peti itu seperti
bergerak sedikit, tapi akhirnya tak bergerak lagi. Kita terus menariknya
hingga tali yang sebesar jari telunjuk itu putus jadi tiga potong.
Aneh, memang. Saya belum putus asa. Lalu saya cari tali sebesar ibu
jari. Waktu itu saya mulai curiga, jangan-jangan Bustari mengikatnya di
batu. Akhirnya tali yang kedua itu kita yang mengikatnya. Bustari hanya
memberikan aba-aba. Dan, kita tidak boleh menginjak tanah yang ada di
tengahnya. Setelah kita tarik, ternyata tetap saja tidak bisa.
Saya berpikir, dimana letak kesalahannya. Peti yang ditarik sepuluh
orang itu tidak bergerak sama sekali. Akhirnya Bustari mencoba
menghitung berat peti itu. Ternyata peti itu katanya seberat l6 ton,
sementara kita, yang menariknya setelah diisi tenaga dalam oleh Bustari,
hanya mencapai 10 ton. Kemudian kita mencari cara lain. Kita berencana
mengangkatnya dengan pengungkit kayu dan meletakkannya di atas
balok-balok kayu berjajar.
Tapi rencana ini tidak jadi, karena ketika saya ukur, lebar pintu
ruangan itu hanya 93 cm. Padahal peti itu kata Bustari panjangnya satu
meter, lebar satu meter dan tingginya juga satu meter. Akhirnya rencana
itu tidak jadi.
Tertipu Tujuh Puluh Juta
Dari sini nilai ketidakpercayaan saya pada Bustari mencapai
puncaknya. Akhirnya saya dan teman-teman berunding di rumah saya.
Sebenarnya di sela-sela aktifitas selama ini, setiap orang punya
kecurigaan dengan Bustari. Pertama, ketika mau berangkat ke pesantren di Tasik, ia pernah minta uang satu juta. Saya kasih.
Lalu, dia bilang uangnya hilang. Kemudian minta lagi. Kedua,
cerita dari pemuda kampung itu, bahwa ia pernah diajak Bustari ke
pelabuhan Ratu. Di sana, -diluar dugaan- dia minum-minum dan
bergandengan dengan wanita. Awalnya, kita tidak percaya karena dia
lulusan pesantren. Tapi setelah mengingat kembali bahwa kita tidak
pernah melihatnya shalat, akhirnya kepercayaan kita luntur semuanya.
Lemas rasanya badan ini. Setelah habis-habisan mencurahkan seluruh
tenaga, sana dan pikiran untuk mengejar impian menjadi milyuner,
ternyata gagal total. Apa daya, nasi sudah menjadi bubur. Tinggallah
penyesalan yang tersisa dan beban hutang yang menumpuk.
Dalam kondisi demikian saya teringat dengan bambu pethuk, yang dulu
diberikan Bustari kepada adik saya. Benda itu saya tawarkan ke para
pecinta benda keramat. Karena memang, saya sudah habis tujuh puluh
jutaan. Sampai rumah seisinya terjual untuk membayar hutang.
Sebenarnya, keberanian pinjam uang itu didasari oleh keberadaan bambu
pethuk itu. Tidak perlu jauh-jauh, misalnya laku seratus juta saja,
uang saya kembali. Tapi, ternyata bambu pethuk itu palsu. Kemarahan saya
tak tertahankan lagi. Saya dibohongi terang-terangan.
Terlebih lagi saat ini istri dan anak-anak sudah saya ungsikan ke
mertua di Ponorogo. Karena memang tidak ada pilihan lain. Saya ingat,
ketika anak dan istri masih di Bekasi, saya pernah hanya punya uang
sepuluh ribu. Sementara saya harus menanggung empat orang.
Saya bingung, mau dibelikan apa? Saya lihat ke dapur -alhamdulillah-
masih ada beras. Akhirnya saya belikan sayur. Sedih rasanya melihat anak
dan istri seharian hanya makan nasi tanpa ikan. Sedang esoknya tidak
tahu, mau makan apa.
Selain itu, di masyarakat saya sudah tidak punya muka. Saya sudah
menentang semua teman dekat saya. Masyarakat juga sudah tidak mau
perduli karena mungkin muak dengan keangkuhan saya, yang waktu itu
bermimpi jadi milyuner.
Sampai akhirnya, saya tidak tahan lagi di Bekasi. Saya pulang ke
Medan bersama adik berbekal uang penjualan almari yang laku 500 ribu
rupiah. Saya menangis dan meminta maaf pada orangtua. Namun, keberadaan
saya di pulau seberang tetap tidak bisa melupakan kenangan pahit itu.
Dendam saya tetap membara, hingga setiap hari saya mengasah pedang.
Yang terpikir hanya Bustari atau saya yang mati. Saya tidak lagi
memikirkan keluarga. ltulah yang terbayang dalam pikiran saya, karena
mau lapor ke polisi juga tidak menyelesaikan masalah.
Tidak ada bukti yang bisa menjeratnya. Walau rombongan saya
berjumlah enam orang dan mau menjadi saksi. Tapi, kasus ini tidak bisa
diselesaikan melalui jalur hukum. Hingga akhirnya saya bertemu dengan
guru saya yang telah lama tak bertemu.
Beliau mengatakan, “Kalau kamu bisa mengikhlaskan apa yang terjadi, -insyaAllah- Allah akan mengganti kerugianmu berlipat ganda.” Saat itu saya tetap tidak bisa memaafkannya. Dalam hati saya berpikir, “Bagaimana bisa ikhlas, wong saya sudah retak dengan istri.”
Di keheningan malam, saya terpekur merenung. Akhirnya saya sadar
bahwa syetan telah menghipnotis saya sampai lupa segalanya. Selain itu,
saya yakin dengan kuasa Allah bahwa semuanya itu sudah ada rizkinya.
Jangankan manusia, semut pun sudah ada rizkinya. Dengan demikian saya
mencoba melupakan masa lalu, walau awalnya terasa berat.
Setelah bertahan beberapa minggu di Medan, akhirnya orangtua memberi
saya uang tiga juta. Beliau ingin saya kumpul kembali dengan anak dan
istri. Kemudian, saya kembali ke Bekasi dan mencicil sebagian hutang.
Alhamdulillah, mereka mau memahami kondisi saya. Dan dengan
sisa uang itu saya pergi ke Ponorogo menemui istri saya. Saya tanyakan
apakah ia tinggal di sini dan saya kembali ke Bekasi. Tapi istri saya
dengan teguh mengatakan, “Kita makan nggak makan yang penting kumpul.” Akhirnya saya boyong kembali anak dan istri ke Bekasi.
Sebenarnya orangtua mengirimkan uang tiga ratus ribu setiap bulan.
Namun, uang itu tidak cukup untuk hidup di Bekasi. Padahal gaji saya,
sebelumnya sudah mencapai tiga juta setengah karena saya menjabat wakil
manajer di perusahaan asing Jepang.
Dalam kondisi seperti itu, apapun saya kerjakan. Melukis, membuat
kerajinan, atau jadi tukang bangunan. Akhirnya, banyak tetangga yang
simpati. Tapi untuk minta bantuan dicarikan kerja, saya tidak berani.
Saya sudah terlanjur malu. Yang saya lakukan selain membuat kerajinan
itu selalu mengirim surat lamaran kerja ke berbagai tempat.
Alhamdulillah, setelah sempat nganggur 8 bulan akhirnya saya
diterima kerja di Tangerang pada bulan Juli 2002. Minimal untuk makan
bulanan tidak lagi menggantungkan pada orangtua. Tak lama kemudian pada
bulan Oktober 2002 saya diterima keria di Cikampek, sebagai manajer di
sebuah perusahaan asing Jepang sampai sekarang.
Namun, rupanya derita itu tidak berhenti sampai di sini. Jin yang
dengan bebasrya merasuki tubuh saya menjadi derita tersendiri. Ya,
bagaikan rumah tak berpintu. Hal ini mulai terjadi sejak saya
mempelajari ilmu kebal, sebelum melakoni drama peminjaman uang di ‘bank ghoib’.
Meski sebenarnya jin itu hanya menguasai kepala hingga leher.
Sedangkan bagian jantung ke bawah semuanya masih dalam kendali saya,
tapi tak urung badan saya terasa berat, gerak badan tidak bisa saya
kendalikan total.
Gangguan itu terasa lengkap, bila jin yang masuk ke tubuh saya
termasuk jenis jin yang ganas. Tingkat emosi saya meninggi. Saat seperti
itu biasanya saya segera mencari tempat yang sunyi kemudian saya paksa
jin itu keluar dari tubuh saya dengan menggunakan tenaga dalam.
Saya ingin hidup normal seperti orang lain. Tidak menjadi media
keluar masuknya jin. Maka tak mau saya harus minta bantuan kepada orang
yang berkompeten dalam hal ini. Kebetulan saat itu ada teman yang cerita
bahwa di kantor Majalah Ghoib ada terapi gangguan jin. Akhirnya saya
memintanya untuk mendaftarkan saya.
Dan dengan ditemani seorang teman, saya pergi ke Majalah Ghoib.
Ketika masuk ke jalan Kebon Manggis saya merasakan masuknya khadam dari
jin itu ke dalam diri saya. Saya menahannya sekuat tenaga sehingga jin
itu tidak bisa menguasai diri saya seratus persen. Pas ketika sampai di
kantor Majalah Ghoib terjadilah sedikit kesalahpahaman.
Sementara jin itu begitu kuatnya ingin menguasai diri saya akhirnya
saya lepaskan begitu saja. Tidak saya tahan lagi. Hasilnya saya
benar-benar mengalami kesurupan jin. Peristiwa ini terjadi di depan
pintu pendaftaran. Saat selanjutnya saya tidak tahu apa yang terjadi.
Katanya saat itu saya terus mengeluarkan jurus-jurus.
Wah, gempar sekali suasananya. Tim ruqyah Majalah Ghoib Dan para pasien
segera menghambur keluar rumah. Saat selanjutnya, ustadz
menendang saya sambil bertakbir hingga saya terkapar. Padahal waktu itu
saya sedang mengeluarkan semua jurus yang saya pelajari. Heboh sekali.
Kemudian saya dibawa ke dalam ruangan dan terus diruqyah hingga
akhirnya saya sempat muntah. Badan terasa lemas tak bertenaga tapi
anehnya ketika saya dipukul saya tidak merasa sakit sama sekali. Setelah
di ruqyah itu saya merasa badan lebih enak dan tidak lagi ada jin yang
merasuk seperti dulu.
Hidup pun lebih tenang. Saya berharap kisah ini menjadi bahan
renungan bersama bahwa berhubungan dengan jin itu tidak ada manfaatnya,
yang terjadi justru sebaliknya. Kita yang terpedaya. Selain itu
pandai-pandailah mencari teman dan jangan mudah terkecoh oleh hal-hal
yang tidak masuk akal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar