Minggu, 25 November 2018

DITANAM RAJAH, TIBA-TIBA RUMAHKU PENUH ULAT


Pada mulanya aktifitas kehidupan saya normal saja. Walaupun harus ditinggal suami yang hanya pulang seminggu sekali. Saya bersama penduduk sudah biasa mengadakan pengajian dan ngaji bersama.  Alhamdulillah, mungkin karena profesi sebagai guru, saya sangat mudah diterima penduduk sekitar.
Hingga datang lah peristiwa itu.  Ketika bulan Desember 1999, orang-orang Nasrani yang hanya berjumlah 7 KK bersikeras mendiri­kan gereja diatas tanah milik Bapak Suyitno (75 tahun).  Lokasi itu hanya berjarak 300 meter dari rumah yang saya tempati. 
Kontan masyarakat Plumbon, Suruh yang sebagian besar adalah muslim resah.  Namun mereka tidak berani berbuat apa-apa dengan aparat pemerintah. Masyarakat menumpahkan kegundahan hatinya pada saya lewat pengajian dan perkumpulan yang biasa saya lakukan. Melihat kondisi itu, saya bersama suami mengambil inisiatif mengumpulkan seluruh masyarakat dan mengkoordinasi demontrasi pada aparat setempat.  Dan alhamdulllah, akhirnya gereja itu tidak jadi dibangun.
Namun, setelah peristiwa itu berlalu. Tiba-tiba, setiap kali membaca Al Qur’an, saya terasa ngantuk yang amat sangat.  Kondisi itu disertai dengan pegal-pegal di pundak kanan, dan bengkak di bagian leher.  Dan, tiba-tiba saya mempunyai kebiasaan aneh. Saya sangat gembira kalau memandang salib.  Sehingga setiap berangkat dan pulang mengajar, saya selalu menyempatkan diri melewati bangunan gereja di sepanjang perjalanan pulang.  Dan ketika melihat jurang, hati ini terasa enak dan sejuk, dan seperti ada yang mendorong saya untuk terjun ke dalamnya.  Namun alhamdulil­lah, hal itu masih bisa saya lawan dengan mengucapkan kalimah toyyibah: Laa ilaaha illallah.  Peristiwa seperti ini saya alami hingga 1 tahun.
 Hingga tahun 2000, muncul sebuah benjolan aneh sebesar bola pimpong di leher sebelah kanan.  Benjolan itu terasa sakit.  Dan tangan saya seringkali bergerak sendiri tanpa kontrol.  Bahkan seringkali tangan saya tiba-tiba mau memukul teman-teman guru yang sholeh.  Kalau saya membaca kalimat tauhid, baru tangan bisa saya kontrol kembali.  
Namun bersamaan dengan itu, muncul sebuah peristiwa lain, ada seorang gadis yang dibawa lari pemuda desa. Orang tua gadis itu meminta suami saya untuk ikut bersama mencarinya.  Dan akhirnya diketahui bahwa gadis tersebut dibawa sopir angkot yang biasa ditumpangin­ya.  Alhasil, mereka ditangkap dan disidang ramai-ramai oleh ketua RT dan RW.  Dan mereka mengakui kalau sering malakukan perzinaan.  Setelah kita minta taubat dan meninggalkan dosa, mereka pun dilepaskan.  Tapi anehnya, orang tua pemuda dan gadis itu justru marah kepada suami saya. Karena suami saya dianggap telah mencemarkan nama baik keluarganya.
Tak lama setelah peristiwa itu berselang.  Santri saya di TPA Masjid Al Hakim, melihat orang tua gadis yang suka kabur itu memasukkan bungkusan dalam lubang galian tanah di bawah pohon kol Banda yang terletak di halaman rumah saya.  Dan karena dikiranya menanam uang, begitu bapak gadis itu pergi, santri saya itu buru-buru mengambil dan membukanya.  Ternyata isinya rajah dengan tulisan Arab terbalik (diacak).  Maka segera rajah itu kami bakar.
Keesokan harinya, tiba-tiba seluruh tembok rumah kami dipenuhi ulat jaran (ulat besar berbulu).  Ulat itu memenuhi seluruh tembok sehingga tak ada celah sedikit pun.  Padahal saat itu belum musim ulat.  Dengan terus beristighfar kami berdua kemudian membersihkan dan membakar ulat-ulat itu

Setelah peristiwa itu  benjolan di leher saya semakin membe­sar.  Saya minta suami untuk mengantarkan ke dokter terdekat.  Namun, dokter menyuruh saya rontsen ke RSU Salatiga.  Dan akhirn­ya dokter itu memvonis saya untuk operasi.  Tapi saya ragu, dan akhirnya tak memenuhi saran dokter tersebut.
Akhirnya saya memilih pengobatan cara sinse di Ambarawa. Selama 2 bulan (8 kali) saya bolak-balik berobat ke sana.  Namun tak menunjukkan hasil.  Kemudian ada yang menawarkan pijat refle­ksi, di belakang  kolam renang Tamansari Salatiga. Tapi ia malah menyarankan berobat ke seorang dukun di Tutang, Jelok Bringin, Jawa Tengah.  Dan saat saya ke sana,  kok justru disuruh membawa bunga-bunga sesaji.  Maka saya membatalkan  keinginan kesana, karena takut terkena syirik.  Dan akhirnya saya hanya shalat tahajud dan pasrah mohon petunjuk pada Allah.
Hingga suatu malam, saya bermimpi seakan-akan ada banjir dan airnya meluap sampai setinggi rumah.  Saya naik sajadah dan di depan saya ada kitab tua dan Al-Qur’an.  Malam berikutnya saya bermimpi lagi dikeroyok ular yang banyak sekali.  Dan malam lainnya saya seperti melewati sebuah lorong jalan yang asing dan aneh.  Maka segera saya berkonsultasi dengan KH. Zainal Mahmud di Butuh, Tengaran, Semarang.  Dan beliau menyarankan untuk shalat hajat dua rekaat kemudian membaca Al-Quran.  Namun  yang terjadi justru serangan yang saya alami semakin hebat.
Untunglah  adik saya Tri Joko Susanto (Totok)  yang sedang kuliah di ITN Malang kebetulan pulang.  Karena ia punya pengala­man melakukan terapi ruqyah bersama seorang Ustadz bernama Ustadz Ibrahim.  Ia meminta saya untuk mau diruqyah.  Saya pun bersedia. Tapi baru saja ia membacakan ruqyah, tiba-tiba kaki saya naik-naik dan gerak-gerak sendiri.  Esok harinya ketika  ketika saya diruqyah lagi, tiba-tiba saya mela­kukan gerakan-gerakan silat untuk menyerang adik saya itu.  Dan kadangkala saya menari, bergerak seperti ular  untuk menyerang.  Namun serangan, cekikan dan gerakan ular yang saya arahkan ke adik saya tidak satupun yang menyentuh tubuhnya. Padahal seran­gan itu telah mengarah beberapa daerah mematikan seperti leher, jantung.  Bahkan terkadang kedua jari telunjuk saya menyi­lang seperti membentuk sebuah salib.  Di saat lain, kadang saya sangat lancar menirukan bacaan Alquran yang sedang di bacakan adik saya.  Sekan-akan telah hafal diluar kepala.
Pada malam berikutnya, saya mendengar rombongan pasukan berkuda dari arah timur ke barat dan berhenti di masjid Al Hikmah Kemiri.  Saya langsung membangunkan suami saya karena terlihat kain gorden di jendela bergerak-gerak.  Padahal jendela masih tertutup rapat.  Sementara saya melihat anak saya Ziyad (4,5 th) dan Firdaus (1,5 th) tampak kedua wajahnya memerah.  Maka saya segera berdoa: “Ya Allah, jangan timpakan musibah kepada anak saya.”  Lalu tiba-tiba tangan saya sakit tak terkira.  Sepertiya setiap ruas sel-sel rasanya ditarik-tarik jin yang ada dalam tubuh saya.  Saya sempat bicara ngacau, kadang ngomong jumlahnya seratus, seribu, sepuluh ribu.  Bahkan jin itu telah mengaku menzinahi dan menghadiahi saya sperma saat perzi­naan di kamar mandi sambil menginjak-injak Al Qur’an. (Naudzubil­lahi mindzalik).  Tapi menjelang maghrib, anak saya, Ziyad meli­hat tubuh hitam keluar dari tubuh saya.
Pada pertengahan 2001 anak menantu KH Zainal Mahmud mem­perkenalkan saya dengan seorang sahabat dakwahnya yang tinggal di Pondok Pesantren Al-Hikmah, Karanggede, Boyoali, Jawa Tengah.  Namanya Ustadz Fadhlan Abu Yasir, yang katanya biasa melalukan terapi ruqyah. Namun saat saat saya kesana, Allah belum bisa mempertemukan kami.  Nah, ketika ustadz itu mengisi penga­jian di Pesantren Sabilul Khairat, Butuh, Tengaran, milik KH Zainal Mahmud, maka saya bersama adik menuju kesana dan meminta waktu untuk diterapi.
Sambil menunggu Ustadz Fadlan selesai memberikan ceramah, saya membaca wirid Al Ma’tsurat yang ditulis Hasan Al Banna.  Tapi anehn­ya, ketika lagi membaca ayat kursi, buku itu tepental sejauh setengah meter ke depan saya. 
Akhirnya, begitu selesai ceramah Ustadz Fadhlan menterapi saya di masjid.  Waktu itu ustadz membacakan ayat kursi dan do’a dengan bahasa arab.  Kemudian ustadz memukul punggung saya dengan hardikan juga pakai bahasa arab.  Anehnya dari mulut saya waktu itu juga ngomong bahasa Arab yang saya tidak tahu.  Setelah itu bekas pukulan ustadz itu menjadi merah kehitam-hita­man.  Bahkan merata seluruh tubuh, layaknya seperti terkena demam berdarah, padahal saya tak merasakan apapun.  Dan saat adzan berkumandang rasanya takut, dan tubuh terasa hangat, tetapi mulut saya berteriak,  “panas-panas.”
Pada ruqyah kedua, saya datang ke pondok Pesantren Al Hikmah Karanggede, Boyolali.  Waktu itu ustadz Fadhlan memberikan  saya minum air yang sudah dibacakan do’a dan dengan pukulan sekali lagi.  Dan sesampainya di rumah, saya putarkan kaset Terapi Serangan Sihir dari utadz dengan keras.  Lalu saya diare banyak sekali, sampai nggak bisa ditahan, sudah keluar sebelum masuk kamar mandi.  Padahal tak ada penyebab umumnya orang diare.  Kemudian adik dan suami saya  melanjutkan ruqyah.  Jika capek dilanjutkan dengan memperdengarkan kaset.
Suatu kali saat mereka berdua meruqyah, jin sempat menipu melalui mulut saya. Saya bilang, “Itu ada ustadz Fadlan naik motor mau ke sini, tapi nggak tahu rumah sini, maka lewat saja dia di depan rumah.” Maka ruqyah distop dan keduanya memperhati­kan ke luar. Memang saat itu terdengar motor melintas di depan rumah. Dan ketika ruqyah diteruskan, jin berkata lagi lewat mulut saya, “Ini ustadz Fadlan balik lagi ke Masjid untuk shalat dan mau ke sini lagi. Tapi di terus ke sana, mungkin bingung.” Dan barusan itu memang  ada motor lewat lagi.  Dan setelah suami saya bertanya ke ustadz Fadhlan di kemudian hari,  ternyata itu adalah tipuan jin.
Pada malam berikutnya, tepatnya malam Kamis, saya bermimpi melihat keranda hitam dengan bunga-bungaan yang biasa dipakai untuk orang mati. Keranda itu diangkat empat orang hitam dan badannya berlumpur. Lalu mereka berhenti di depan rumah tepat di tempat ditanamkannya rajah itu. 
Ustadz Fadlan kemudian melakukan ruqyah kembali. Waktu itu ia memberikan air sirih dan daun bidakara (daun kelor) yang dibaca­kan ayat dan do’a untuk diminum dan mandi.  Dan ketika hari Jumat pagi, mulai jam 08.00 saya melihat keranda di pintu masuk.  Seakan saya sedang menghadapi sakaratul maut.  Mulai dari kaki terasa roh sedang berjalan keluar ke atas.  Setelah sampai teng­gorokan terasa ada beton yang keras, sehingga rahang saya kaku. 
Namun setelah saya bacakan laa ilaha illallah baru terasa lemas.  Proses seperti ini saya rasakan sampai tujuh kali.  Bahkan saya sudah sampai berwasiat kepada suami untuk segera menikah lagi dengan wanita shalihah agar anak-anak saya nanti diasuh oleh ummi yang baru.  Namun mas Rohib malah bicara: “Saya tidak memperdulikan omonganmu.  Urusan mati bukan urusan kamu.  Urusan mati itu urusan Allah.  Tak akan mati seseorang tanpa kehendak Allah.”
Seketika itu keranda hitam menghilang berganti dengan kabut hitam.  Namun, ketika terdengar adzan Jum’at dari masjid berkumandang, tiba-tiba sebelah kabut itu manghilang.
Saat itu saya sempat berdialog dengan jin yang ada dalam tubuh saya tentang Nabi Muhammad dan Ketuhanan.  Tapi karena saya dulu pernah kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, maka saya tahu kelemahan mereka dan saya jelaskan dengan ayat-ayat Al Qur’an.
Begitu mendapat ruqyah yang keempat kali dari ustadz Fadlan  rasa takut-takut saya semakin hilang.  Tetapi tiba-tiba di depan rumah saya ada ular besar berwarna hijau.  Saat itu pukul 16.00.  Ular itu bisa dilihat orang yang sedang lewat dengan warna hijau, sedang anak saya yang sudah masuk TK dan sudah mengenal warna, bilang warnanya hitam.
Kemudian ular itu naik pohon kol Banda tempat ditanamnya rajah dulu.  Saya mengamati terus gerakan ular itu, namun tiba-tiba ia menghilang entah ke mana.  Untuk lebih menyakinkan saya menunggui pohon kol Banda itu, hingga pohon itu ditebang, dipo­tong-potong sampai habis, namun ular itu tak kami dapati.
Benjolan dileher saya pun sudah mulai mengecil dan saya sudah bisa bicara normal.  Bisa lancar wirid al matsurat setiap pagi dan sore.  Saya bisa tidur nyenyak dan tidak mimpi buruk lagi.  Shalat bisa khusu’, tilawah Al Qur’an pun lancar kembali.  Sebe­narnya saya didorong mas Rohib untuk dapat memenuhi satu juz sebagai muwashafat (target pencapaian amal) kader dakwah.  Tapi tajwid saya masih perlu dibenahi.  Paling tidak sekarang bisa lancar dulu.
Namun, pada suatu malam Ahad, saya bermimpi seperti mengguna­kan jubah putih yang besar, kerudung besar.  Kemudian diserang seekor ular yang besar.  Tapi, ia hanya bisa lewat di depan saya.  Tapi ada lagi yang menyerang wajah saya.  Sehingga begitu pagi keesokan harinya saya nggak bisa apa-apa.  Kemudian setelah di ruqyah oleh mas Rohib dengan ditotok-totok kepala saya dan mendengarkan kaset ustadz Fdhlan saya lalu berkeringat dan terasa ringan kembali.
Walaupun saya tahu orang yang membuat saya sengsara,  namun sikap saya dengan orang yang menanam rajah baik-baik saja.  Saya berusaha menegur duluan jika bertemu di jalan.  Apalagi selama saya diruqyah, penanam rajam itu sakit-sakitan terus.  Sampai muntah darah dan suaranya terdengar hingga di rumah saya bagian belakang. Kebetulan, rumahnya memang di belakang rumah saya. Akhirnya dia minta obat ke sini.  Dan karena nggak ada dendam dan benci, dengan senang hati kami melayani permintaannya, untuk menjaga hubungan tetangga.
Lain halnya dengan Bapak Suyitno, pemilik tanah yang mau dibangun gereja itu mengalami sakit berat dan aneh selama masa-masa saya diruqyah. Ia mengalami kelumpuhan, stroke dan lama dirawat di rumah sakit   Namun selama itu pula para dokter belum menemukan jenis penyakit yang dideritanya.  Bahkan anak perempuannya, Bu Nanik (50) juga sakit berat hingga meninggal.
Lalu pihak keluarga Bapak Suyitno menyarankan untuk minta maaf pada kaum muslimin sekitar dan pada keluarga saya.  Alhamdu­lilah mereka minta maaf dan saya bersama mas Rohib malah pergi ke sana untuk menjenguk dan mendoakan kesembuhannya.  Begitu ia minta maaf dan saya bersama mas Rohib memaafkan, saat itu juga ia langsung sembuh dan dapat berbicara dan berjalan sebagaimana semula.  Kami pun langsung mohon pamit untuk mangajar.  Karena Mas Rohib kini telah mengajar di SMU I Suruh Salatiga sejak Mei 2002. Alhamdulillah jadi lebih dekat.
Atas peristiwa yang menimpa saya itu ada suatu yang sangat berkesan pada diri saya dari pengakuan jin. “Kami tidak bisa mencelakai kamu, karena kamu selalu menutup auratmu dengan mema­kai jilbab besar.”
Bagi saya, semua ini adalah perjalan rohani yang sangat mahal.`
kesaksian majalah Ghoib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar