Remaja yang
kehilangan kasih sayang orang tua sejak kecil, tak ubahnya anak ayam yang
kehilangan induknya. Bingung, bimbang, tak tahu kepada siapa harus mengaduh.
Sementara ia masih sangat membutuhkan tuntunan dan bimbingan dalam mengarungi
samudra kehidupan ini. Bila celah tersebut tidak segera diisi oleh orang lain
yang menggantikan peran orang tuanya, maka syetan menemukan kesempatan yang
luas untuk mempengaruhi dan menyetir kehidupannya. Begitulah perjalanan hidup
Yanti yang kini beranjak dewasa, seperti dituturkan Rozali, pamannya Yanti,
kepada Majalah Al-Iman di Jakarta. Berikut petikannya.
Yanti,
keponakanku, sudah ditinggal bapaknya sejak masih kecil. Usianya masih tiga
tahun ketika bapaknya pergi tanpa kabar berita. Ia menghilang seperti ditelan
bumi, meninggalkan anak dan istri yang sedang membutuhkan perhatian dan kasih
sayangnya.
Tinggallah
Yanti dengan ibunya, Mbak Kusminah, yang harus menanggung beban hidup yang
tidak ringan di belantara kota
Jakarta.
Laksana burung, Yanti telah kehilangan satu sayap. Untuk terbang, sudah tidak
lagi mampu, sementara jalan pun tertatih-tatih.
Begitulah
kehidupan Yanti bersama ibunya. Mereka memang tidak dilahirkan dalam keluarga
yang serba berkecukupan. Sehingga Mbak Kusminah dapat mencurahkan perhatian
untuk membesarkan anaknya. Mereka berasal dari keluarga yang biasa saja secara
ekonomi.
Ketika
orang yang diharapkan menjadi penopang ekonomi keluarga pergi tanpa jejak, tak
ada pilihan lain, Mbak Kusminah harus mengambil alih peran itu. Pada satu sisi,
ia dituntut menjadi seorang ibu yang penuh perhatian kepada anaknya, tapi pada
sisi lain, ia harus mencari nafkah demi masa depan anaknya.
Pilihan
yang sulit bagi Mbak Kusminah. Pekerjaan yang bisa dilakoninya hanyalah
pekerjaan kasar. Ya, sebatas pembantu rumah tangga dengan gaji yang juga
pas-pasan.
Konsekuensinya,
ia menitipkan Yanti kepada orang tuanya. Yanti pun tumbuh dalam asuhan
neneknya. Sedih, katanya, ketika menggendong anak majikannya sementara anaknya
di rumah dirawat neneknya. Sudah seharusnya Yanti tumbuh dalam dekapannya.
Dalam kasih sayangnya. Namun keadaan memaksa mereka terpisah untuk sementara
waktu. Perkembangan Yanti, ia serahkan kepada neneknya yang juga ibu
kandungnya sendiri.
Yanti tumbuh menjadi anak yang nakal
Minggu
berganti bulan. Bulan berganti tahun, tanpa terasa Yanti telah tumbuh menjadi
gadis remaja. Pergaulannya semakin luas.
Ia tidak lagi terkungkung dalam rumah neneknya. Laksana burung yang
menikmati kebebasan, ia terbang ke mana saja, sesuka hatinya.
Gadis
remaja yang telah berseragam putih abu-abu itu pun merasakan sensasi yang sama.
Pergaulan dengan teman sebaya memberikan apa yang selama ini hilang dari
kehidupannya. Kasih sayang dan perhatian. Ya, kini ia mendapatkan semua itu di
tengah teman-temannya.
Tapi
sayang, lingkungan baru itu kurang mendukung masa depannya. Ia lebih banyak
menghabiskan waktu bersama teman-temannya di mall daripada ‘memelototi’ mata
pelajaran. Ia lebih memilih berkumpul dengan teman gengnya daripada dengan
keluarganya.
Semalam
suntuk tidak pulang pun, katanya, sudah biasa. Mbak Kusminah berulang kali
mengingatkan Yanti. Tapi peringatan itu dianggap seperti angin lalu saja. Yanti
seakan sudah kebal dengan segala macam nasehat. Yang terjadi, Yanti berani
melawan wanita yang telah melahirkannya. Mbak Kusminah hanya bisa mengelus
dada, melihat perkembangan anaknya yang di luar harapannya itu. Setiap orang
tua, tentu menginginkan anaknya tumbuh menjadi remaja yang baik, sopan, patuh
dan taat kepada orang tua.
Alhasil,
nilai raport Yanti terbakar. Banyak angka bertuliskan tinta merah yang
menghiasi raportnya. Hingga Yanti dinyatakan tidak naik kelas.
Nilai
raport yang merah dan tidak naik kelas tidak banyak membantu untuk menyadarkan
Yanti dari kesalahannya. Tidak juga mampu membangunkannya dari ‘tidur'
panjangnya. Lalu melakukan introspeksi diri dan mengejar ketinggalan.
Yang
terjadi justru sebaliknya. Yanti lebih memilih ‘kelayapan’ bersama teman-teman
gengnya semasa SMP. Ia merasa lebih bebas. Tidak mengapa tinggal kelas, yang penting
masih bersama teman-teman.
Berminggu-minggu makan dengan menu yang sama
Ketika
keadaan Yanti semakin memburuk, aku dan istriku mengambil inisiatif untuk
menyelamatkan masa depannya. Kubujuk Yanti dan Mbak Kusminah agar mau tinggal
bersama kami.
Meski
boleh dibilang, aku bukan sedarah dengan mereka, tapi mereka tidak lagi
kuanggap orang lain. Mbak Kusminah adalah kakak istriku, berarti ia kakakku
juga. Yanti adalah keponakanku. Jadi, mereka bukan lagi orang lain.
Kuakui,
memang tidak mudah membujuk Yanti agar mau tinggal bersama kami. Karena Yanti
tahu konsekuensinya. Kebebasan yang didapatkan selama ini, akan sedikit
berkurang. Setidaknya dengan pengawasan yang bisa dibilang agak ketat.
Aku
paham, kebebasan Yanti harus dikendalikan sedikit demi sedikit. Ibarat orang
bermain layang-layang, kadang ditarik, lain kali diulur. Teori itulah yang coba
kuterapkan.
Aku
mengawasi dengan siapa Yanti bergaul selama ini. Sesekali kularang dia
bepergian dengan teman-temannya bila kulihat mereka hanya melahirkan masalah
baru. Keluyuran malam, sebisa mungkin mulai dikurangi secara bertahap. Meski
hal itu tidaklah semudah yang kubayangkan. Yanti masih suka melawan, meski kini
kami sekeluarga telah berusaha menjelaskannya. Tak jarang, cara yang sedikit
keras, kuterapkan untuk menyadarkannya.
Lain kali
kuturuti keinginannya. Kutemani dia jalan-jalan ke tempat kesukaannya. Namun,
di sinilah aku mulai menemukan kejanggalan dalam tingkah lakunya. Ada sesuatu yang tidak
wajar dalam perilakunya.
Wataknya
keras, dan bila menginginkan sesuatu harus dipenuhi. Mungkin selama ini, ia
merasa kebutuhannya tidak bisa tercukupi oleh orang tuanya. Kesempatan tinggal
bersamaku dimanfaatkannya untuk melampiaskan dendam.
Ia suka
makan kentucky
atau hamburger. Nah bila suatu malam, ia kubelikan kentucky, maka malam-malam berikutnya bisa
dipastikan dia terus meminta kentucky.
Hal itu bisa dilakukan sampai seminggu lebih.
Di lain waktu dia meminta hamburger, maka
seminggu lebih ia terus minta dibelikan hamburger. Aku yang tidak ikut makan saja
sampai merasa bosan. Karena tiap malam, melihat menu makan yang sama.
Kentucky atau hamburger itu biasanya dinikmati Yanti di dapur sambil duduk
di kursi. Kakinya diangkat memangku kotak kentucky atau hamburger. Tatapan matanya
kosong, meski mulutnya terus mengunyah. Ia seakan berada di alam lain. Yanti
agak terkejut bila ada yang menegurnya dengan keras atau menepuk pundaknya.
Sesaat ia tersadar dari lamunannya, tapi tak lama kemudian kembali tenggelam
dalam dunianya.
Kita yang
melihatnya hanya bisa geleng-geleng kepala. Sekotak hamburger atau kentucky itu habis
dilahapnya sendiri. Tak ada orang lain yang kebagian barang secuil pun, meski
makanan yang sama selalu disantapnya tiap malam.
Hal yang
sama terjadi pula pada minuman. Es degan, misalnya, ia bisa berhari-hari minta
dibelikan es degan. Sebelum berganti pada jenis minuman yang lain. Entahlah,
mengapa bisa terjadi, aku tidak tahu jawabannya. Kutanyakan pada Mbak Kusminah dan istriku,
mereka hanya menghela nafas sambil mengangkat bahu. Ya, mereka juga sepertiku,
tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi pada Yanti.
Yang
lebih menghebohkan bila sudah mengajak belanja ke mall. Begitu aku pulang dari
kantor, ia langsung nangkring di belakang motor. “Ke mall, belanja,”
katanya.
Ucapannya
bernada perintah. Untuk urusan yang satu ini, aku tidak boleh sembarangan.
Kalau tidak ada uang sejuta lebih di kantong, aku tidak berani menuruti
keinginannya. Karena begitu sudah berada di mall, tangannya segera meraih
barang apa saja yang diinginkannya.
Ia tidak
lagi melihat harga yang tertera di bandrol barang tersebut. Ambil sana, ambil sini. Yanti
kemudian tinggal memerintah. “Bayar!,” katanya kepadaku yang terbengong-bengong
dengan banyaknya barang yang diambil.
Uang enam
ratus ribu bisa habis dalam sekali belanja. Padahal apa yang dibeli, seringkali
bukanlah kebutuhan pokok. Atau harganya di luar jangkauan kemampuanku.
‘Kuntilanak’ di kamar Yanti
Itulah
yang terjadi. Kejanggalan demi kejanggalan membuat kami sekeluarga mulai
bertanya-tanya. Ada
apa di balik keanehan itu. Pertanyaan yang menggiring kami pada satu kesimpulan
bahwa apa yang dilakukan Yanti selama ini di luar kendalinya.
Untuk
mendapatkan jawaban yang pasti dari pertanyaan itu, aku mengundang guruku dari
Banten, Jawa Barat. Aku meminta kesediaannya untuk melihat rumah Mbak Kusminah,
apakah memang ada sesuatu yang aneh di sana.
Guruku
datang. Menurut guruku, kamar yang selama ini dihuni Mbak Kusminah dan Yanti
tidak layak dihuni. Karena di kamar itu, katanya, ada kuntilanaknya. Tapi Mbak
Kusminah yang telah menempati kamar tersebut bertahun-tahun tidak merasakan
adanya keanehan. Ia tidak pernah melihat adanya penampakan di kamarnya seperti
yang dilihat oleh guruku.
Yanti
juga tidak merasakan hawa angker. Ia tenang-tenang saja berada di rumah. Tapi
ketika aku memperhatikan kondisi keluarga di sekitar rumah Mbak Kusminah, aku
melihat adanya kejanggalan. Setidaknya ada lima rumah yang letaknya tidak berjauhan
beberapa anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa. Meski dengan tingkat
gangguan yang berbeda-beda. Ada
juga yang idiot.
Kucoba
menggali informasi lebih jauh, mengapa hal itu bisa terjadi. Titik temu yang
nampak adalah kabar bahwa beberapa rumah di kawasan tersebut, dulunya, area
pemakaman.
Aku tidak
berani mengatakan bahwa gangguan yang dialami Yanti selama ini karena faktor
tempat tinggalnya yang dulunya lokasi kuburan. Karena antara manusia dan jin
memiliki alam yang berbeda. Rumah yang menempati lokasi bekas kuburan tidak
bisa dijadikan alasan. Jin bisa mengganggu siapa saja, kapan saja dan di mana
saja, tanpa harus menempati rumah bekas kuburan. Kenyataannya memang demikian.
Berapa banyak orang yang berobat ke terapi ruqyah dan diindikasikan mengalami
gangguan jin? Dari sekian banyak orang tersebut, bisa dihitung dengan jari
berapa orang yang menempati rumah yang dulunya kuburan.
Detik-detik menjelang ruqyah
Kami
sekeluarga semakin yakin bahwa Yanti mengalami gangguan jin, ketika ia tidak
senang mendengarkan ceramah agama di televisi. Waktu itu, sehabis shalat Shubuh
Mbak Kusminah memutar TV. Kebetulan, ia menonton ceramah di salah satu stasiun
TV. Tiba-tiba Yanti berkomentar, “Apaan tuh, berisik. Matiin dong!”
katanya sedikit keras kepada ibunya.
Aku
sendiri sampai terkejut mendengar perkataan Yanti. Logikanya, orang yang
mendengarkan ceramah agama hatinya menjadi tenang. Tapi tingkah polah Yanti
menunjukkan kebalikannya. Telinganya lebih senang mendengar hingar bingar musik
daripada ceramah agama.
Dari
kejadian itu, kami mencoba menelusuri ke belakang. Ternyata, sudah tiga tahun,
Yanti suka menunda-nunda shalat. Ia sudah seringkali diingatkan ibunya, tapi
Yanti tetap enggan melakukannya.
Terkadang,
ia sampai mengobrak-abrik pakaian ibunya. Ia menghamburkannya ke lantai hanya
karena disuruh shalat.
Kejadian
demi kejadian itu mencapai puncaknya pasca lebaran tahun 2007. Ketika kami
mengajaknya silaturrahmi ke tetangga, Yanti seperti orang kebingungan. Ia
mondar-mandir saja di rumah. Disuruh berjabatan tangan juga enggan. Ia seperti
kebingungan.
Ketika,
kami sedikit memaksa mengajaknya bersilaturahmi ke tetangga, Yanti kesurupan di
rumah tetangga. Mulanya dia termenung dengan tatapan mata kosong. Tiba-tiba
saja dia tertawa sendiri. Enak sekali mendengar suara tawanya. Sejurus
kemudian, ia menangis. Tak lama kemudian, tertawa lagi lalu berganti dengan tangisan.
Kami tidak tahu, mengapa ia menangis dan tertawa.
Kurangkul
Yanti dan segera kami larikan ke rumah. Beberapa tetangga dekat berdatangan.
Kami pun membacakan ayat-ayat al-Qur'an hingga akhirnya Yanti tersadar dengan
sendirinya.
Esok
harinya, kami membawa Yanti ke Ghoib Ruqyah Syar’iyyah. Ia diterapi Ustadz Nur
Arif. Ternyata dugaan kami selama ini benar, bahwa tingkah laku Yanti yang
serba aneh dan menyimpang tersebut bukan murni berasal dari dirinya. Tapi atas
desakan dari jin yang merasuk ke dalam dirinya.
Dua jam
lamanya, Ustadz Nur Arif menterapi Yanti. Jin yang merasuk dalam diri Yanti
tidak mau keluar begitu saja. Jin tersebut harus dipaksa keluar dengan lantunan
ayat-ayat al-Qur'an.
Setelah
diterapi selama dua jam, Yanti lemas. Katanya, badannya kepanasan ketika
mendengarkan ayat-ayat al-Qur'an. Hari Kamis itu, kami pulang dengan tenang.
Jawaban atas berbagai pertanyaan selama ini telah kami temukan. Bahwa kelakuan
aneh tersebut bersumber dari gangguan jin dalam dirinya.
Dua hari
setelah mengikuti terapi ruqyah, aku bertanya ke Yanti. “Sekarang, apa
keinginanmu?” “Tidak ada,” katanya. Padahal dulu, ia segera nangkring di
belakang motor, ketika aku baru pulang dari kantor. “Paman, beliin
motor!, paman ke mall.”
Yang
lebih mengherankan lagi, Yanti tidak ingat dengan apa yang telah dilakukannya
sebelum ruqyah. Ketika kutunjukkan beberapa plastik pembungkus kentucky dan hamburger,
Yanti justru bertanya. “Apa ini?” katanya.
Kami
terkejut mendengar pertanyaannya. Sudah tidak terhitung berapa banyak kentucky dan hamburger
yang dimakannya, tapi ia tidak ingat plastik pembungkusnya.
“Kan kamu sudah
sering memakannya. Apa kamu tidak ingat?” tanya ibunya. “Nggak, aku nggak
merasa telah memakannya,” jawab Yanti. Katanya, meski telah berkali-kali makan kentucky dan hamburger,
tapi ia tidak merasakan kelezatannya.
Ketika
ditanya kemana saja, ketika keluyuran bersama teman-temannya, Yanti juga tidak
bisa menjelaskan dengan detail. Ia jadi bingung mengingatnya. Yang bisa diingat
dengan jelas hanyalah bepergian ke beberapa tempat yang dikunjunginya setelah
mengikuti terapi ruqyah. Misalnya ke Taman Mini atau Ancol.
Ketika
ditanya mengapa masih bermalas-malasan ketika disuruh ibunya untuk shalat,
Yanti mengatakan bahwa saat itu ada bisikan dalam hatinya yang melarangnya
untuk shalat.
Bila
keinginan itu tidak dituruti, maka ia akan marah. Dialah yang mengendalikan
tangannya ketika menghambur-hamburkan baju ibunya ke lantai hanya karena
disuruh shalat.
Setelah
mengikuti terapi ruqyah dua kali sudah banyak perubahan dalam diri Yanti. Ia
tidak lagi mudah marah dan sikapnya kalem. Hanya saja, dari tatapan matanya,
sesekali masih nampak menerawang. Tatapan matanya kosong. Kami sadar, butuh
waktu dan perhatian yang lebih agar Yanti bisa menikmati masa mudanya dengan
tenang. Tidak seperti kemarin yang hidup dibawah bayang-bayang jin yang
mengatur kehidupannya.
Semoga
Allah memberikan kekuatan kepada kami untuk membimbing dan memberikan kasih
sayang yang selama ini terasa hilang dalam kehidupannya.
Ruqyah majalah Ghoib Dan Bekam 021-70374645, 0815 11311 554
Tidak ada komentar:
Posting Komentar