Selasa, 03 Juni 2014

Diajak jin jalan-jalan ke mall

Remaja yang kehilangan kasih sayang orang tua sejak kecil, tak ubahnya anak ayam yang kehilangan induknya. Bingung, bimbang, tak tahu kepada siapa harus mengaduh. Sementara ia masih sangat membutuhkan tuntunan dan bimbingan dalam mengarungi samudra kehidupan ini. Bila celah tersebut tidak segera diisi oleh orang lain yang menggantikan peran orang tuanya, maka syetan menemukan kesempatan yang luas untuk mempengaruhi dan menyetir kehidupannya. Begitulah perjalanan hidup Yanti yang kini beranjak dewasa, seperti dituturkan Rozali, pamannya Yanti, kepada Majalah Al-Iman di Jakarta. Berikut petikannya.

Yanti, keponakanku, sudah ditinggal bapaknya sejak masih kecil. Usianya masih tiga tahun ketika bapaknya pergi tanpa kabar berita. Ia menghilang seperti ditelan bumi, meninggalkan anak dan istri yang sedang membutuhkan perhatian dan kasih sayangnya.
Tinggallah Yanti dengan ibunya, Mbak Kusminah, yang harus menanggung beban hidup yang tidak ringan di belantara kota Jakarta. Laksana burung, Yanti telah kehilangan satu sayap. Untuk terbang, sudah tidak lagi mampu, sementara jalan pun tertatih-tatih.
Begitulah kehidupan Yanti bersama ibunya. Mereka memang tidak dilahirkan dalam keluarga yang serba berkecukupan. Sehingga Mbak Kusminah dapat mencurahkan perhatian untuk membesarkan anaknya. Mereka berasal dari keluarga yang biasa saja secara ekonomi.
Ketika orang yang diharapkan menjadi penopang ekonomi keluarga pergi tanpa jejak, tak ada pilihan lain, Mbak Kusminah harus mengambil alih peran itu. Pada satu sisi, ia dituntut menjadi seorang ibu yang penuh perhatian kepada anaknya, tapi pada sisi lain, ia harus mencari nafkah demi masa depan anaknya.
Pilihan yang sulit bagi Mbak Kusminah. Pekerjaan yang bisa dilakoninya hanyalah pekerjaan kasar. Ya, sebatas pembantu rumah tangga dengan gaji yang juga pas-pasan.
Konsekuensinya, ia menitipkan Yanti kepada orang tuanya. Yanti pun tumbuh dalam asuhan neneknya. Sedih, katanya, ketika menggendong anak majikannya sementara anaknya di rumah dirawat neneknya. Sudah seharusnya Yanti tumbuh dalam dekapannya. Dalam kasih sayangnya. Namun keadaan memaksa mereka terpisah untuk sementara waktu. Perkembangan Yanti, ia serahkan kepada neneknya yang juga ibu kandungnya sendiri.

Yanti tumbuh menjadi anak yang nakal

Minggu berganti bulan. Bulan berganti tahun, tanpa terasa Yanti telah tumbuh menjadi gadis remaja. Pergaulannya semakin luas.  Ia tidak lagi terkungkung dalam rumah neneknya. Laksana burung yang menikmati kebebasan, ia terbang ke mana saja, sesuka hatinya.
Gadis remaja yang telah berseragam putih abu-abu itu pun merasakan sensasi yang sama. Pergaulan dengan teman sebaya memberikan apa yang selama ini hilang dari kehidupannya. Kasih sayang dan perhatian. Ya, kini ia mendapatkan semua itu di tengah teman-temannya.
Tapi sayang, lingkungan baru itu kurang mendukung masa depannya. Ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-temannya di mall daripada ‘memelototi’ mata pelajaran. Ia lebih memilih berkumpul dengan teman gengnya daripada dengan keluarganya.
Semalam suntuk tidak pulang pun, katanya, sudah biasa. Mbak Kusminah berulang kali mengingatkan Yanti. Tapi peringatan itu dianggap seperti angin lalu saja. Yanti seakan sudah kebal dengan segala macam nasehat. Yang terjadi, Yanti berani melawan wanita yang telah melahirkannya. Mbak Kusminah hanya bisa mengelus dada, melihat perkembangan anaknya yang di luar harapannya itu. Setiap orang tua, tentu menginginkan anaknya tumbuh menjadi remaja yang baik, sopan, patuh dan taat kepada orang tua.
Alhasil, nilai raport Yanti terbakar. Banyak angka bertuliskan tinta merah yang menghiasi raportnya. Hingga Yanti dinyatakan tidak naik kelas.
Nilai raport yang merah dan tidak naik kelas tidak banyak membantu untuk menyadarkan Yanti dari kesalahannya. Tidak juga mampu membangunkannya dari ‘tidur' panjangnya. Lalu melakukan introspeksi diri dan mengejar ketinggalan.
Yang terjadi justru sebaliknya. Yanti lebih memilih ‘kelayapan’ bersama teman-teman gengnya semasa SMP. Ia merasa lebih bebas. Tidak mengapa tinggal kelas, yang penting masih bersama teman-teman.

Berminggu-minggu makan dengan menu yang sama

Ketika keadaan Yanti semakin memburuk, aku dan istriku mengambil inisiatif untuk menyelamatkan masa depannya. Kubujuk Yanti dan Mbak Kusminah agar mau tinggal bersama kami.
Meski boleh dibilang, aku bukan sedarah dengan mereka, tapi mereka tidak lagi kuanggap orang lain. Mbak Kusminah adalah kakak istriku, berarti ia kakakku juga. Yanti adalah keponakanku. Jadi, mereka bukan lagi orang lain.
Kuakui, memang tidak mudah membujuk Yanti agar mau tinggal bersama kami. Karena Yanti tahu konsekuensinya. Kebebasan yang didapatkan selama ini, akan sedikit berkurang. Setidaknya dengan pengawasan yang bisa dibilang agak ketat.
Aku paham, kebebasan Yanti harus dikendalikan sedikit demi sedikit. Ibarat orang bermain layang-layang, kadang ditarik, lain kali diulur. Teori itulah yang coba kuterapkan.
Aku mengawasi dengan siapa Yanti bergaul selama ini. Sesekali kularang dia bepergian dengan teman-temannya bila kulihat mereka hanya melahirkan masalah baru. Keluyuran malam, sebisa mungkin mulai dikurangi secara bertahap. Meski hal itu tidaklah semudah yang kubayangkan. Yanti masih suka melawan, meski kini kami sekeluarga telah berusaha menjelaskannya. Tak jarang, cara yang sedikit keras, kuterapkan untuk menyadarkannya.
Lain kali kuturuti keinginannya. Kutemani dia jalan-jalan ke tempat kesukaannya. Namun, di sinilah aku mulai menemukan kejanggalan dalam tingkah lakunya. Ada sesuatu yang tidak wajar dalam perilakunya.
Wataknya keras, dan bila menginginkan sesuatu harus dipenuhi. Mungkin selama ini, ia merasa kebutuhannya tidak bisa tercukupi oleh orang tuanya. Kesempatan tinggal bersamaku dimanfaatkannya untuk melampiaskan dendam.
Ia suka makan kentucky atau hamburger. Nah bila suatu malam, ia kubelikan kentucky, maka malam-malam berikutnya bisa dipastikan dia terus meminta kentucky. Hal itu bisa dilakukan sampai seminggu lebih.
  Di lain waktu dia meminta hamburger, maka seminggu lebih ia terus minta dibelikan hamburger. Aku yang tidak ikut makan saja sampai merasa bosan. Karena tiap malam, melihat menu makan yang sama.
Kentucky atau hamburger itu biasanya dinikmati Yanti di dapur sambil duduk di kursi. Kakinya diangkat memangku kotak kentucky atau hamburger. Tatapan matanya kosong, meski mulutnya terus mengunyah. Ia seakan berada di alam lain. Yanti agak terkejut bila ada yang menegurnya dengan keras atau menepuk pundaknya. Sesaat ia tersadar dari lamunannya, tapi tak lama kemudian kembali tenggelam dalam dunianya.
Kita yang melihatnya hanya bisa geleng-geleng kepala. Sekotak hamburger atau kentucky itu habis dilahapnya sendiri. Tak ada orang lain yang kebagian barang secuil pun, meski makanan yang sama selalu disantapnya tiap malam.
Hal yang sama terjadi pula pada minuman. Es degan, misalnya, ia bisa berhari-hari minta dibelikan es degan. Sebelum berganti pada jenis minuman yang lain. Entahlah, mengapa bisa terjadi, aku tidak tahu jawabannya.  Kutanyakan pada Mbak Kusminah dan istriku, mereka hanya menghela nafas sambil mengangkat bahu. Ya, mereka juga sepertiku, tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi pada Yanti.
Yang lebih menghebohkan bila sudah mengajak belanja ke mall. Begitu aku pulang dari kantor, ia langsung nangkring di belakang motor. “Ke mall, belanja,” katanya.
Ucapannya bernada perintah. Untuk urusan yang satu ini, aku tidak boleh sembarangan. Kalau tidak ada uang sejuta lebih di kantong, aku tidak berani menuruti keinginannya. Karena begitu sudah berada di mall, tangannya segera meraih barang apa saja yang diinginkannya.
Ia tidak lagi melihat harga yang tertera di bandrol barang tersebut. Ambil sana, ambil sini. Yanti kemudian tinggal memerintah. “Bayar!,” katanya kepadaku yang terbengong-bengong dengan banyaknya barang yang diambil.
Uang enam ratus ribu bisa habis dalam sekali belanja. Padahal apa yang dibeli, seringkali bukanlah kebutuhan pokok. Atau harganya di luar jangkauan kemampuanku.

‘Kuntilanak’ di kamar Yanti

Itulah yang terjadi. Kejanggalan demi kejanggalan membuat kami sekeluarga mulai bertanya-tanya. Ada apa di balik keanehan itu. Pertanyaan yang menggiring kami pada satu kesimpulan bahwa apa yang dilakukan Yanti selama ini di luar kendalinya.
Untuk mendapatkan jawaban yang pasti dari pertanyaan itu, aku mengundang guruku dari Banten, Jawa Barat. Aku meminta kesediaannya untuk melihat rumah Mbak Kusminah, apakah memang ada sesuatu yang aneh di sana.
Guruku datang. Menurut guruku, kamar yang selama ini dihuni Mbak Kusminah dan Yanti tidak layak dihuni. Karena di kamar itu, katanya, ada kuntilanaknya. Tapi Mbak Kusminah yang telah menempati kamar tersebut bertahun-tahun tidak merasakan adanya keanehan. Ia tidak pernah melihat adanya penampakan di kamarnya seperti yang dilihat oleh guruku.
Yanti juga tidak merasakan hawa angker. Ia tenang-tenang saja berada di rumah. Tapi ketika aku memperhatikan kondisi keluarga di sekitar rumah Mbak Kusminah, aku melihat adanya kejanggalan. Setidaknya ada lima rumah yang letaknya tidak berjauhan beberapa anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa. Meski dengan tingkat gangguan yang berbeda-beda. Ada juga yang idiot.
Kucoba menggali informasi lebih jauh, mengapa hal itu bisa terjadi. Titik temu yang nampak adalah kabar bahwa beberapa rumah di kawasan tersebut, dulunya, area pemakaman.
Aku tidak berani mengatakan bahwa gangguan yang dialami Yanti selama ini karena faktor tempat tinggalnya yang dulunya lokasi kuburan. Karena antara manusia dan jin memiliki alam yang berbeda. Rumah yang menempati lokasi bekas kuburan tidak bisa dijadikan alasan. Jin bisa mengganggu siapa saja, kapan saja dan di mana saja, tanpa harus menempati rumah bekas kuburan. Kenyataannya memang demikian. Berapa banyak orang yang berobat ke terapi ruqyah dan diindikasikan mengalami gangguan jin? Dari sekian banyak orang tersebut, bisa dihitung dengan jari berapa orang yang menempati rumah yang dulunya kuburan.

Detik-detik menjelang ruqyah

Kami sekeluarga semakin yakin bahwa Yanti mengalami gangguan jin, ketika ia tidak senang mendengarkan ceramah agama di televisi. Waktu itu, sehabis shalat Shubuh Mbak Kusminah memutar TV. Kebetulan, ia menonton ceramah di salah satu stasiun TV. Tiba-tiba Yanti berkomentar, “Apaan tuh, berisik. Matiin dong!” katanya sedikit keras kepada ibunya.
Aku sendiri sampai terkejut mendengar perkataan Yanti. Logikanya, orang yang mendengarkan ceramah agama hatinya menjadi tenang. Tapi tingkah polah Yanti menunjukkan kebalikannya. Telinganya lebih senang mendengar hingar bingar musik daripada ceramah agama.
Dari kejadian itu, kami mencoba menelusuri ke belakang. Ternyata, sudah tiga tahun, Yanti suka menunda-nunda shalat. Ia sudah seringkali diingatkan ibunya, tapi Yanti tetap enggan melakukannya.
Terkadang, ia sampai mengobrak-abrik pakaian ibunya. Ia menghamburkannya ke lantai hanya karena disuruh shalat.
Kejadian demi kejadian itu mencapai puncaknya pasca lebaran tahun 2007. Ketika kami mengajaknya silaturrahmi ke tetangga, Yanti seperti orang kebingungan. Ia mondar-mandir saja di rumah. Disuruh berjabatan tangan juga enggan. Ia seperti kebingungan.
Ketika, kami sedikit memaksa mengajaknya bersilaturahmi ke tetangga, Yanti kesurupan di rumah tetangga. Mulanya dia termenung dengan tatapan mata kosong. Tiba-tiba saja dia tertawa sendiri. Enak sekali mendengar suara tawanya. Sejurus kemudian, ia menangis. Tak lama kemudian, tertawa lagi lalu berganti dengan tangisan. Kami tidak tahu, mengapa ia menangis dan tertawa.
Kurangkul Yanti dan segera kami larikan ke rumah. Beberapa tetangga dekat berdatangan. Kami pun membacakan ayat-ayat al-Qur'an hingga akhirnya Yanti tersadar dengan sendirinya.
Esok harinya, kami membawa Yanti ke Ghoib Ruqyah Syar’iyyah. Ia diterapi Ustadz Nur Arif. Ternyata dugaan kami selama ini benar, bahwa tingkah laku Yanti yang serba aneh dan menyimpang tersebut bukan murni berasal dari dirinya. Tapi atas desakan dari jin yang merasuk ke dalam dirinya.
Dua jam lamanya, Ustadz Nur Arif menterapi Yanti. Jin yang merasuk dalam diri Yanti tidak mau keluar begitu saja. Jin tersebut harus dipaksa keluar dengan lantunan ayat-ayat al-Qur'an.
Setelah diterapi selama dua jam, Yanti lemas. Katanya, badannya kepanasan ketika mendengarkan ayat-ayat al-Qur'an. Hari Kamis itu, kami pulang dengan tenang. Jawaban atas berbagai pertanyaan selama ini telah kami temukan. Bahwa kelakuan aneh tersebut bersumber dari gangguan jin dalam dirinya.
Dua hari setelah mengikuti terapi ruqyah, aku bertanya ke Yanti. “Sekarang, apa keinginanmu?” “Tidak ada,” katanya. Padahal dulu, ia segera nangkring di belakang motor, ketika aku baru pulang dari kantor. “Paman, beliin motor!, paman ke mall.”
Yang lebih mengherankan lagi, Yanti tidak ingat dengan apa yang telah dilakukannya sebelum ruqyah. Ketika kutunjukkan beberapa plastik pembungkus kentucky dan hamburger, Yanti justru bertanya. “Apa ini?” katanya.

Kami terkejut mendengar pertanyaannya. Sudah tidak terhitung berapa banyak kentucky dan hamburger yang dimakannya, tapi ia tidak ingat plastik pembungkusnya.
Kan kamu sudah sering memakannya. Apa kamu tidak ingat?” tanya ibunya. “Nggak, aku nggak merasa telah memakannya,” jawab Yanti. Katanya, meski telah berkali-kali makan kentucky dan hamburger, tapi ia tidak merasakan kelezatannya.
Ketika ditanya kemana saja, ketika keluyuran bersama teman-temannya, Yanti juga tidak bisa menjelaskan dengan detail. Ia jadi bingung mengingatnya. Yang bisa diingat dengan jelas hanyalah bepergian ke beberapa tempat yang dikunjunginya setelah mengikuti terapi ruqyah. Misalnya ke Taman Mini atau Ancol.
Ketika ditanya mengapa masih bermalas-malasan ketika disuruh ibunya untuk shalat, Yanti mengatakan bahwa saat itu ada bisikan dalam hatinya yang melarangnya untuk shalat.
Bila keinginan itu tidak dituruti, maka ia akan marah. Dialah yang mengendalikan tangannya ketika menghambur-hamburkan baju ibunya ke lantai hanya karena disuruh shalat.
Setelah mengikuti terapi ruqyah dua kali sudah banyak perubahan dalam diri Yanti. Ia tidak lagi mudah marah dan sikapnya kalem. Hanya saja, dari tatapan matanya, sesekali masih nampak menerawang. Tatapan matanya kosong. Kami sadar, butuh waktu dan perhatian yang lebih agar Yanti bisa menikmati masa mudanya dengan tenang. Tidak seperti kemarin yang hidup dibawah bayang-bayang jin yang mengatur kehidupannya.
Semoga Allah memberikan kekuatan kepada kami untuk membimbing dan memberikan kasih sayang yang selama ini terasa hilang dalam kehidupannya.
Ruqyah majalah Ghoib Dan Bekam 021-70374645, 0815 11311 554
 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar