Sebelum
membahas apakah darah manusia termasuk sesuatu yang najis, terlebih
dahulu kita perlu mengetahui definisi dari Najis itu.
Menurut istilah syar’i,
benda najis adalah benda yang haram disentuh secara mutlak, kecuali
jika dalam keadaan terpaksa, bukan karena benda tersebut haram atau
kotor dan bukan pula karena benda tersebut berbahaya untuk badan dan
akal.(Ensiklopedi Tarjih Masalah Thaharah dan Shalat, hal. 26)
Tidak semua yang haram itu najis. Contohnya, emas dan sutra haram dipakai oleh kaum lelaki, tapi emas dan sutra itu tidak najis. Dan juga tidak semua yang kotor itu najis, misalnya ingus dan ludah itu kotor, tapi tidak najis.
Pada
asalnya, segala sesuatu adalah mubah dan suci, oleh karena itu untuk
menghukumi najis atau tidaknya sesuatu, maka haruslah membawa dalil yang
kuat. Maka, tidak boleh mengatakan najis untuk sesuatu kecuali dengan
mengemukakan hujjah. Dan inilah pendapat yang kuat. (Al-Wajiiz, hal. 57 dan Ensiklopedi Tarjih, hal. 32)
Macam-macam najis
- Tinja (Tahi) Manusia
Kotoran yang keluar dari tubuh seorang manusia melalui duburnya. Kotoran ini harus dibersihkan dengan cara istinja’ (cebok). Jika mengenai sandal atau sepatu, maka dibersihkan.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
إِذَا وَطَئَ أَحَدُكُمْ بِنَعْلِهِ الأَذَى فَإِنَّ التُّرَابَ لَهُ طَهُوْرٌ
“Jika
salah seorang di antara kalian menginjakkan sandal pada kotoran (tahi),
maka sesungguhnya tanah merupakan pembersih baginya” [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (381). Dishahihkan Syaikh Al-Albaniy dalam Shahih As-Sunan (no. 385)]
- Kencing Manusia
Kencing manusia atau hewan yang tidak halal dimakan termasuk barang-barang najis yang harus dibersihkan oleh seseorang.
Anas -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
َأنَّ
أَعْرَابِيًّا بَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَقَامَ إِلَيْهِ بَعْضُ الْقَوْمِ
فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : دَعُوْهُ وَلاَ تُزْرِمُوْهُ قَالَ فَلَمَّا فَرَغَ دَعَا بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَصَبَّهُ عَلَيْهِ
“Ada
seorang Arab Badui pernah kencing di masjid, maka sebagian orangpun
bangkit dan menuju kepadanya. Lalu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-
bersabda, “Biarkan (ia kencing), janganlah kalian memotongnya”.
Anas berkata, “Tatkala
orang itu selesai kencing, maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-
meminta seember air, lalu menuangkannya pada kencing tersebut. [HR. Al-Bukhariy dalam Shahih-nya (6025) dan Muslim dalam Shahih-nya (284)]
Di antara dalil-dalil yang menunjukkan najisnya tinja dan kencing manusia, yaitu hadits-hadits yang memerintahkan untuk istinja’ (cebok) dari keduanya.
Syaikh Muhammad Al-Hisniy Asy-Syafi’iy-rahimahullah- berkata dalam Kifayah Al-Akhyar (1/98), “Adapun najisnya tinja, maka hujjahnya -disambping adanya ijma’- adalah sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-.
Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman Al-Bassam-rahimahullah- berkata dalam Taudhih Al-Ahkam min Bulugh Al-Maram (1/112), “Kencing merupakan najis. Wajib membersihkan tempat yang terkena kencing, baik di badan, pakaian, tanah, atau yang lainnya”.
- Madzi, dan Wadi
Madzi adalah cairan yang keluar dari manusia ketika syahwatnya memuncak. Lebih jelasnya, An-Nawawi berkata, “Cairan yang halus lagi kental, keluar ketika bersyahwat”. [Lihat Al-Minhaj (3/204)]
Sedangkan wadi adalah
cairan najis yang keluar dari kemaluan seseorang ketika ia buang air,
karena mengalami sakit, atau lelah, tanpa disertai oleh syahwat.
Adapun keluarnya madzi ini menyebabkan seseorang harus bersuci, karena madzi adalah najis seperti halnya dengan kencing yang keluar dari kemaluan manusia.
Ali bin Abi Tahlib -radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata,
كُنْتُ رَجُلًا مَذّاَءً فَكُنْتُ أَسْتَحْيِي أَنْ أَسْأَلُ النَّبِيًّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ . فَأَمَرْتُ المِقْدَادَ بْنَ الأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ: يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ
“Dulu
aku adalah seorang laki-laki yang banyak madzinya, aku malu bertanya
kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- karena keberadaan putrinya.
Kemudian aku memerintahkan Al-Miqdadbin Al-Aswad (untuk bertanya), maka
ia pun bertanya kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Dia mencuci kemaluannya dan
berwudhu”. [HR. Al-Bukhariy dalam Shahih-nya (132), Muslim dalam Shahih-nya (693), dan An-Nasa`iy dalam Sunan-nya (157)]
Ibnu Abbas-radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Mani,
wadiy, dan madzi; adapun mani, maka ia adalah sesuatu yang
(mangharuskan) mandi karenanya. Adapun wadiy dan madzi, maka ia berkata,
“Cucilah kemaluanmu, dan wudhu seperti wudhu untuk shalat”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (190) dan Al-Baihaqiy dalam Sunan-nya (1/115)]
An-Nawawiy-rahimahullah- berkata dalam Al-Minhaj (2/204), “Dalam
hadits ini terdapat beberapa faedah: (di antaranya) madzi tidak
mangharuskan mandi, dan (hanya) mengharuskan wudhu, dan bahwa madzi
adalah najis, oleh karena ini Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-
mewajibkan mencuci kemaluan”.
Ibnu Qudamah-rahimahullah- berkata, “Sungguh
kami telah sebutkan bahwa madzi membatalkan wudhu’. Madzi keluar dalam
keadaan kental, keluar perlahan-lahan ketika timbul syahwat pada ujung
dzakar”. [Al-Mughni (1/232)]
- Darah Haidh
Darah
haidh merupakan barang najis yang harus dibersihkan dari badan atau
pakaian kita yang terkena, utamanya ketika hendak melakukan ibadah di
saat darah haidh terputus, atau saat ingin berhubungan dengan suami.
Asma’ bintu Abu Bakr berkata, “Seorang
wanita pernah datang kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, seraya
berkata, “Wahai Rasulullah, seseorang di antara kami bajunya terkena
darah haidh, apa yang harus kami lakukan”. Beliau menjawab,
تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضِحُهُ ثُمَّ تُصَلِّيْ فِيْهِ
“Keriklah, lalu gosok bersama air, kemudian siramlah; lalu shalatlah dengan menggunakan pakaian itu”. [HR. Al-Bukhariy (227) dan Muslim (291)]
Adanya perintah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk mencuci pakaian yang terkena darah haidh menunjukkan najisnya darah haidh, dan perkara ini telah disepakati para ulama.
Syaikh Husain bin Audah Al-’Awayisyah-hafizhahullah- berkata dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah (1/28), “An-Nawawiy sungguh telah menukil ijma’ tentang najisnya darah haidh dalam Syarah Shahih Muslim (3/200)”.
- Kotoran (Tahi) Binatang yang Tidak Dimakan Dagingnya
Binatang
yang tidak dimakan dagingnya, seperti; anjing, kucing, babi, monyet,
dan lain-lain, maka kotoran (tahi) dan kencingnya merupakan najis.
Abdullah berkata, “Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- ingin buang air, lalu berkata, “Berikan
aku tiga buah batu”. Kemudian aku dapatkan dua buah batu dan kotoran
(tahi) himar, maka beliau mengambil dua buah batu tersebut dan membuang
kotoran (tahi) seraya bersabda,
هِيَ رِجْسٌ
“Dia (kotoran) ini najis”. [HR. Al-Bukhariy dalam Shahih-nya(155), dan Ibnu Khuzimah dalam Shahih-nya (70)]
- Anjing, Liurnya, dan Sisa Minumannya.
Di antara barang-barang najis adalah anjing, liurnyan dan sisa minumannya. Kenajisannya telah dijelaskan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam sabdanya,
طُهُوْرُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُوْلَاهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Cara menyucikan bejana salah seorang di antara kalian yang dijilat anjing, dicuci sebanyak tujuh kali, awalnya dengan tanah”. [HR. Muslim dalam Shahih-nya (279)]
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
إِذَا شَرِبَ الْكَلْبُ فِيْ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُغْسِلْهُ سَبْعًا
“Jika Seekor anjing minum pada bejana salah seorang di antara kalian, maka hendaknya ia mencucinya sebanyak tujuh kali”. [HR. Al-Bukhariy dalam Shahih-nya (172), dan Muslim dalam Shahih-nya (279)]
- Bangkai
Bangkai
adalah hewan yang mati secara tidak wajar, tanpa melalui penyembelihan
yang syar’iy, seperti; dicekik, dipukul, disetrum, dijepit, atau
ditabrak. Bangkai merupakan najis, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
إِذَا دُبْغَ اْلإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
“Apabila kulit bangkai disamak, maka ia sungguh telah suci”. [HR. Muslim dalam Shahih-nya (366) dan Abu Dawud dalam Sunan-nya (4105)]
Ini
menunjukkan tentang najisnya bangkai, termasuk kulitnya, kecuali
kulitnya telah disamak, maka kulit tersebut suci, dan boleh
dimanfaatkan. Adapun jika belum disamak, maka kulit tersebut tetap
najis.
- Daging Keledai Kampung
Keledai
ada dua macam, yaitu keledai liar, dan keledai kampung (peliharaan).
jenis pertama, halal. Adapun jenis yang kedua, maka haram dan najis.
Anas-radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Sesungguhnya
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah didatangi oleh
seseorang seraya berkata, “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian
beliau didatangi lagi oleh seseorang seraya berkata, “Keledai-keledai
telah dihabiskan”. Maka beliau pun memerintahkan seorang, lalu orang itu
berteriak di tengah manusia,
إِنَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُوْمِ الْحِمَرِ الأَهْلِيَّةِ , فَإِنَّهَا رِجْسٌ
“Sesungguhnya
Allah, dan Rasul-Nya telah melarang kalian dari daging keledai kampung
(peliharaan), karena sesungguhnya ia itu najis”. Lalu belanga-belanga
pun ditumpahkan, padahal sungguh belanga-belanga itu penuh dengan
daging”. [HR. Al-Bukhariy dalam Shahih-nya (5528), dan Muslim dalam Shahih-nya (194)]
Asy-Syaukaniy -rahimahullah- berkata, “Sungguh
Penulis telah membawakan dua hadits ini untuk berdalil tentang najisnya
daging hewan yang tidak boleh dimakan. Karena, pertama: adanya perintah
untuk memecahkan bejana (belanga). Kedua: perintah untuk mencuci
(bejana). Ketiga: adanya sabda beliau, “…karena ia (daging keledai kampung) itu kotoran atau najis”
yang menunjukkan najisnya. Tapi ini nash khusus tentang keledai
kampung, dan analogi bagi yang lainnya di antara hewan-hewan yang tidak
boleh dimakan, karena adanya alasan sama, yaitu tidak bolehnya dimakan”. [Lihat Nail Al-Authar (1/121), cet. Dar Al-Kitab Al-Arabiy, 1420 H]
Inilah
sebagian barang-barang najis yang harus dijauhi dan dibersihkan oleh
seseorang dari pakaian, bejana dan airnya, agar termasuk orang-orang
yang suka bersuci.
Namun ada suatu perkara yang perlu diingat, bahwa ada beberapa bangkai yang tidak najis.
- Bangkai ikan dan belalang
Dalam sebuah hadits, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
أُحِلَّتْ
لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَّمَانِ. أَمَّاالْمَيْتَتَانِ فَالْحُوْتُ
وَالْجَرَادُ. وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
“Telah
dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai
tersebut, maka ia adalah ikan dan belalang. Adapun dua darah, maka ia
adalah hati dan limpa”. [HR. Ahmad dalam Musnad-nya (2/97) dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (3314). Lihat Shahih Al-Jami’ (210)]
- Bangkai hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir
Bangkai
hewan ini juga bukan merupakan najis yang harus disucikan, walaupun ada
sedikit darahnya, seperti nyamuk, lalat, semut, laba-laba,
kalajengking, dan lain-lain.
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِيْ شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ وَلْيَطْرَحْهُ فَإِنَّ فِيْ أَحَدِ جَنَاحَيْهِ دَاءً وَ فِيْ الآخَرِ شِفَاءً
“Jika
lalat jatuh pada minuman salah seorang di antara kalian, maka hendaknya
ia menenggelamkan lalat itu seluruhnya, lalu ia membuangnya, karena
pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap yang lainnya
ada penawarnya”. [HR. Al-Bukhariy dalam Shahih-nya (3320)]
YANG TIDAK TERKATEGORI NAJIS
Kesalah pahaman tentang ini najis, dan itu bukan najis banyak kita jumpai di masyarakat. Misalnya,
sebagian orang ketika kakinya terluka karena jatuh atau tertusuk paku,
maka serta-merta tak mau sholat, karena alasan bahwa ia harus bersihkan
dulu darahnya yang ia yakini sebagai najis, padahal bukan najis!! Darah
(selain darah haidh, dan nifas), seperti luka yang keluar dari tubuh kita, tidaklah membatalkan wudhu’, dan bukan pula najis.
Selain itu
, ada orang yang tak mau bersentuhan dengan orang yang junub (orang
yang habis mimpi basah atau habis jimak), dengan dalih orang junub itu
najis. Benarkah?? Ikuti pembahasan manis berikut ini:
- Darah selain Haidh, dan Nifas
Darah yang keluar dari tubuh seseorang bukanlah najis, selain darah haidh, dan nifas. Dahulu kaum muslimin di zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sering melakukan jihad fi sabilillah,
dan terluka oleh sabetan pedang, tusukan panah, dan tombak. Namun
mereka tetap sholat dengan memakai pakaian mereka yang berlumuran darah.
Ini juga menunjukkan bahwa darah yang keluar tersebut tidaklah
membatalkan wudhu’ dan shalat kita.
Jabir bin Abdillah Al-Anshoriy-radhiyallahu ‘anhu- berkata,
خَرَجْنَا
مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -يَعْنِيْ فِيْ
غَزْوَةِ ذَاتِ الرِّقَاعِ- فَأَصَابَ رَجُلٌ امْرَأَةَ رَجُلٍ مِنَ
الْمُشْرِكِيْنَ فَحَلَفَ: أَنْ لاَ أَنْتَهِيَ حَتَّى أُهْرِيْقَ دَمًا
فِيْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ, فَخَرَجَ يَتْبَعُ أَثَرَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, فَنَزَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْزِلاً فَقَالَ: مَنْ رَجُلٌ يَكْلَؤُنَا؟ فَانْتَدَبَ رَجُلٌ
مِنَ الْمُهَاجِرِيْنَ وَرَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ, فَقَالَ: كُوْنَا
بِفَمِ الشِّعْبِ. قال: فَلَمَّا خَرَجَ الرَّجُلاَنِ إِلَى فَمِ الشِّعْبِ
اضْطَجَعَ الْمُهَاجِرِيُّ وَقَامَ اْلأَنْصَارِيُّ يُصَلِّيْ وَأَتَى
الرَّجُلُ فَلَمَّا رَأَى شَخْصَهُ عَرَفَ أَنَّهُ رَبِيْئَةٌ لِلْقَوْمِ
فَرَمَاهُ بِسَهْمٍ فَوَضَعَهُ فِيْهِ فَنَزَعَهُ حَتَّى رَمَاهُ
بِثَلاَثَةِ أَسْهُمٍ ثُمَّ رَكَعَ وَسَجَدَ ثُمَّ انْتَبَهَ صَاحِبُهُ, فَلَمَّا
عَرَفَ أَنَّهُمْ قَدْ نَذَرُوْا بِهِ هَرَبَ, فَلَمَّا رَأَى
الْمُهَاجِرِيُّ مَا بِاْلأَنْصَارِيِّ مِنَ الدَّمِ قَالَ: سُبْحَانَ
اللهِ أَلاَ أَنْبَهْتَنِيْ أَوَّلَ مَا رَمَى, قال: كُنْتُ فِيْ سُوْرَةٍ
أَقْرَؤُهَا فَلَمْ أُحِبَّ أَنْ أَقْطَعَهَا .
"Kami
pernah keluar bersama Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, yakni
waktu Perang Dzatur Riqo. Maka ada seorang sahabat yang membunuh istri
seorang musyrikin. Kemudian sang suami bersumpah, "Aku tak akan berhenti
(melawan) sampai aku menumpahkan darah sebagian sahabat-sahabat
Muhammad". Maka ia pun keluar mengikuti jejak Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wa sallam-. Lalu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- (waktu itu)
berhenti pada suatu tempat seraya bersabda, "Siapakah yang mau menjaga
kita?. Maka bangkitlah seorang laki-laki dari kalangan Muhajirin, dan
seorang dari kalangan Anshor. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
bersabda, "Tetaplah kalian di mulut (gerbang) lembah. Tatkala dua orang
itu keluar ke mulut lembah, maka berbaringlah laki-laki muhajirin itu,
sedang laki-laki Anshor berdiri melaksanakan sholat. Kemudian datanglah
orang musyrik tersebut. Tatkala ia melihat sosok tubuhnya sang Anshor,
maka si musyrik tahu bahwa sang Anshor adalah penjaga pasukan. Kemudian
si musyrik pun membidiknya dengan panah, dan mengenai sasaran dengan
tepat. Sang Anshor mencabut anak panah itu sampai ia dibidik dengan 3
anak panah, lalu bersujud. Kemudian temannya (sang Muhajirin) tersadar.
Tatkala si musyrik tahu bahwa mereka telah mencium keberadaannya, maka
ia pun lari. Ketika sang Muhajirin melihat darah pada tubuh sahabat
Anshor, maka ia berkata, "Subhanallah, Kenapa engkau tidak mengingatkan
aku awal kali ia memanah?" Sang Anshor menjawab, "Aku sedang berada
dalam sebuah surat yang sedang kubaca. Maka aku tak senang jika aku
memutuskannya". [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (198). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (1/1/606)]
Al-Allamah Abu Ath-Thoyyib Syamsul Haq Al-Azhim Abadiy-rahimahullah- berkata dalam Aunul Ma’bud (1/231-232), "Hadits ini menunjukkan dengan jelas tentang dua perkara. Pertama,
keluarnya darah dari selain dua lubang (dubur & kemaluan) tidaklah
membatalkan wudhu’, baik ia mengalir atau tidak. Itu adalah pendapat
kebanyakan ulama’, sedang itulah yang benar…Kedua, darah luka
adalah suci, dimaafkan bagi orang yang terluka. Ini adalah madzhab
Malikiyyah, sedang inilah pendapat yang benar. Hadits-hadits telah
datang secara mutawatir bahwa para mujahidin fi sabilillah mereka dahulu
berjihad, dan merasakan sakitnya luka-luka lebih dari yang tergambar.
Tak seorang yang bisa mengingkari adanya aliran darah dari luka-luka
mereka, dan terlumurinya pakaian mereka. Sekalipun demikian, mereka
tetap sholat dalam kondisi begini, dan tidak ternukil (suatu hadits)
dari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau
memerintahkan mereka untuk melepas baju mereka yang berlumuran darah
dalam kondisi sholat. Sungguh Sa’d -radhiyallahu ‘anhu- telah terkena
musibah pada waktu perang Khondaq. Kemudian dibuatkan kemah baginya
dalam masjid. Jadi, ia berada dalam masjid, sedang darahnya mengalir
dalam masjid. Senantiasa darahnya mengalir sampai ia meninggal".
Diantara dalil yang menunjukkan bahwa darah luka bukan najis, atsar tentang kondisi Umar bin Al-Khoththob -radhiyallahu ‘anhu- saat menjelang wafat.
Al-Miswar bin Makhromah -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
دَخَلْتُ
أَنَا وَابْنُ عَبَّاسٍ عَلىَ عُمَرَ حِيْنَ طُعِنَ, فَقُلْنَا
الصَّلاَةَ, فَقَالَ: إِنَّهُ لاَ حَظَّ لأَحَدٍ فِي اْلإِسْلاَمِ أَضَاعَ
الصَّلاَةَ فَصَلَّى وَجُرْحُهُ يَثْعَبُ دَمًا
"Aku
pernah masuk masuk bersama Ibnu Abbas menemui Umar ketika beliau
ditikam. Maka kami berkata, "Waktu sholat telah tiba". Umar berkata,
"Sesungguhnya tak ada bagian dalam Islam untuk orang yang menyia-nyiakan
sholat". Maka beliau sholat, sedang lukanya mengucurkan darah". [HR. Abdur Rozzaq dalam Al-Mushonnaf (579), Ad-Daruquthniy dalam As-Sunan (1), dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (37067) dengan sanad yang shohih]
Sudah dimaklumi bahwa luka yang mengalir pasti akan melumuri pakaian, dan mustahil Umar -radhiyallahu ‘anhu-
melakukan sesuatu yang tidak boleh menurut syari’at, lalu para sahabat
mendiamkan hal itu, tanpa ada pengingkaran. Ini tiada lain, kecuali
karena sucinya darah yang keluar pada luka. [Lihat Aunul Ma'bud (1/232)]
Qotadahbin Di’amah As-Sadusiy-rahimahullah- berkata,
إِذَا
رَعَفَ اْلاِنْسَانُ فَلَمْ يَقْلَعْ فَإِنَّهُ يَسُدُّ مِنْخَرَهُ
وَيُصَلِّيْ وَإِنْ خَافَ أَنْ يَدْخُلَ جَوْفَه فَلْيُصَلِّ وَإِنْ سَالَ
فَإِنَّ عُمَرَ قَدْ صَلَّى وَجُرْحُهُ يَثْعَبُ دَمًا
"Jika
seorang mimisan, lalu belum berhenti, maka ia menutup hidungnya, dan
sholat. Jika ia khawatir kalau darahnya masuk ke dalam rongga tubuhnya,
maka hendaknya ia (tetap) sholat, walaupun darahnya mengalir, karena
Umar sungguh telah sholat, sedang ia mengucurkan darah". [HR. Abdur Rozzaq dalam Al-Mushonnaf (574)]
- Muntah Manusia
Muntah
yang kita keluarkan juga bukan najis, karena tak ada dalil yang
menjelaskan bahwa ia adalah najis. Sedangkan hukum asalnya sesuatu
adalah suci.
Ahli Fiqih Negeri Syam, Syaikh Al-Albaniy-rahimahullah- berkata dalam kitabnya Tamamul Minnah (hal.53) saat membantah Sayyid Sabiq, "Penulis
(Sayyid Sabiq) tidak menyebutkan dalil tentang hal itu (yakni, najisnya
muntah), kecuali ucapannya yang berbunyi, "disepakati kenajisannya".
Ini adalah pengakuan yang terbatalkan. Sungguh Ibnu Hazm telah
menyelisihi dalam hal itu ketika beliau menyatakan sucinya muntah
seorang muslim. Silakan rujuk Al-Muhalla (1/183). Ini adalah madzhab Al-Imam Asy-Syaukaniy dalam Ad-Duror Al-Bahiyyah, dan Siddiq Hasan Khan dalam syarahnya
terhadap terhadap kitab ini (1/18-20) ketika keduanya tidak menyebutkan
muntah manusia dalam golongan najis secara muthlaq. Inilah pendapat
yang benar".
Jadi,
muntah manusia bukanlah najis yang membatalkan sholat atau wudhu’ kita,
sebab tak ada dalil yang jelas menunjukkan kenajisannya. Andai ada,
maka akan dinukil oleh para ulama’.
- Keringat Orang Junub, atau Wanita Haidh
Orang
yang junub dan wanita haidh bukanlah orang yang najis sehingga harus
menjauh atau dijauhi sebagaimana keyakinan orang-orang Yahudi. Adapun
dalam agama kita, maka Allah dan Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menjelaskan bahwa mereka suci badannya, sekalipun memang mereka diwajibkan mandi junub saat hendak sholat.
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-,
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقِيَهُ فِيْ بَعْضِ
طَرِيْقِ الْمَدِيْنَةِ وَهُوَ جُنُبٌ فَانْخَنَسْتُ مِنْهُ, فَذَهَبَ
فَاغْتَسَلَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ: أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟
قَالَ: كُنْتُ جُنُبًا, فَكَرِهْتُ أَنْ أُجَالِسَكَ وَأَنَا عَلَى غَيْرِ
طَهَارَةٍ, فَقَالَ : سُبْحَانَ اللهِ إِنَّ الْمُسْلِمَ لاَ يَنْجُسُ
"Bahwa
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah menemuinya pada sebagian
jalan-jalan kota Madinah, sedang ia (Abu Hurairah) junub. Maka aku
mundur dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Abu Hurairah
pergi mandi, lalu ia datang. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
bersabda, "Dimana engkau tadi, wahai Abu Hurairah?" Ujar Abu Hurairah,
"Aku tadi junub, maka aku benci kalau aku menemani Anda duduk, sedang
aku tidak suci". Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
"Subhanallah, sesungguhnya seorang muslim tidak najis". [HR. Al-Bukhoriy (283), dan Muslim (372)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar-rahimahullah- berkata, "Al-Bukhoriy
berdalil dengan hadits ini tentang sucinya keringat orang yang junub,
karena badannya tidak najis disebabkan oleh junub". [Lihat Al-Fath (1/391)]
Para ulama’ telah menjelaskan bahwa keringat, dan ludah orang yang junub, haidh, dan nifas adalah suci. Al-Imam Ibnu Abdil Barr-rahimahullah- berkata dalam Al-Istidzkar (1/299), "Adapun
ludah, dan keringat, maka ia jelas permasalahannya dari semua ulama’
(bahwa ia suci), baik dari segi penukilan, dan amaliah".
Bahkan dalam permasalahan ini sebagian ulama’ telah menukil adanya ijma’ dari seluruh ulama’ kaum muslimin. Al-Imam Al-Ainiy-rahimahullah- berkata, "Diantara
konsekuensi kesucian seorang manusia adalah kesucian keringatnya. Tapi
tidak khusus keringat seorang muslim. Kondisi yang ada bahwa keringat
seorang kafir juga suci". [Lihat Umdah Al-Qori (3/237)]
Al-Imam Al-Ainiy-rahimahullah- berkata, "Semua
ahlul ilmi (ulama’) sepakat bahwa keringat orang junub adalah suci. Hal
itu (kesucian keringat) telah nyata dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan
A’isyah bahwa mereka menyatakan hal itu (suci)".[Lihat Umdah Al-Qori (3/240)]
Muhaddits Negeri India, Al-Imam Al-Mubarokfuri y -rahimahullah- berkata, "Mereka
sepakat tentang kesucian keringat orang junub, dan keringat wanita
haidh. Dalam hadits ini terdapat dalil tentang bolehnya menangguhkan
mandi bagi orang yang junub, dan menyelesaikan hajatnya".[Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (1/325)]
Ruqyah Majalah Ghoib 021-70374645
http://ruqyahmajalahghoib.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar