Selasa, 05 Mei 2020

Keghaiban Nuzulul Qur’an




شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْ أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang bathil)…
(QS. al-Baqarah: 185).

Ternyata al-Qur’an sebagai kitab suci yang selama ini telah menjadi pedoman hidup kita turunnya pada bulan Ramadhan, tepatnya pada malam keagungan atau malam lailatul qadr. Bukankah lailatul qadr itu adanya di sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan? Sebagaimana yang banyak diberitakan oleh Rasulullah dalam banyak haditsnya yang shahih. Lalu kenapa kita selalu memperingati peringatan turunnya al-Qur’an pada tanggal 17 Ramadhan? Apakah ada kesalahan referensi sehingga antara keduanya itu terjadi tulalit? Inilah salah satu permasalahan yang akan kita urai pada tema ini.

Tahapan Proses Penurunan al-Qur’an

Selama ini kita memahami bahwa turunnya al-Qur’an dari Allah kepada Rasulullah terjadi hanya dengan satu proses. Yaitu Allah menurunkan al-Qur’an secara bertahap kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril. Padahal sebenarnya tidaklah seperti itu. Al-Qur’an diturunkan melalui dua kali proses penurunan.
Pertama, Al-Qur’an diturunkan oleh Allah dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah (di langit dunia) secara keseluruhan dan sekaligus, dan itu terjadi pada waktu lailatul qadr. Kedua, Malaikat Jibril atas perintah Allah menurunkan al-Qur’an dari Baitul ‘Izzah kepada Rasulullah secara berangsur dan dalam jangka waktu yang cukup lama, yaitu 23 tahun. 13 tahun di Makkah dan sekitarnya, dan 10 tahun lagi di Madinah dan sekitarnya.


Salah seorang pemuka shahabat Rasulullah yang dikenal sebagai ahli tafsir al-Qur’an yang bernama Ibnu Abbas. Ia telah menyatakan hal itu sebagai informasi yang valid dan akurat bagi kita untuk mengurai keruwetan pemahaman kita selama ini tentang turunnya al-Qur’an.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما- قَالَ: أُنْزِلَ الْقُرْآنُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ إِلَى السَّماَءِ جُمْلَةً وَاحِدَةً، ثُمَّ أُنْزِلَ نُجُوْمًا. (رواه الطبراني)

Ibnu Abbas berkata, “Al-Qur’an diturunkan pada malam keagungan (lailatul qadr) di bulan Ramadhan ke langit dunia secara keseluruhan dan sekaligus, lalu diturunkan secara bertahap.” (HR. at-Thabrani, dan al-Haitsami menyatakan bahwa para perawinya terpercaya).
Dalam riwayat lainnya,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما- قَالَ: أُنْزِلَ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً حَتَّى وُضِعَ فِيْ بَيْتِ اْلعِزَّةِ فِي السَّماَءِ الدُّنْيَا، وَنَزَّلَهُ جِبْرِيْلُ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم-  بِجَوَابِ كَلاَمِ اْلعِبَادِ وَأَعْمَالِهِمْ. (رواه البزار)

Ibnu Abbas berkata, “Mulanya al-Qur’an diturunkan keseluruhan sekaligus, dan diletakkan di Baitul ‘Izzah (langit dunia). Selanjutnya, diturunkan Allah melalui Malaikat Jibril kepada Rasulullah untuk menjawab pernyataan para hamba dan aktifitas-aktifitas mereka.” (HR. al-Bazzar dan para perawinya dinyatakan terpercaya oleh al-Haitsami. Lihat Kitab Majma’uz Zawaid: 7/ 140).
Jadi, kitab suci al-Qur’an itu turun dalam dua tahap. Yang pertama turun secara lengkap (30 juz) sekaligus dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah (langit dunia), dan itu terjadi pada bulan Ramadhan, tepatnya pada malam keagungan (Lailatul Qadr). Lalu tahap kedua, yaitu turunnya al-Qur’an itu dari langit dunia ke Rasulullah melalui malaikat Jibril secara bertahap, yang dimulai penurunannya pada malam keagungan atau Lailatul Qadr, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam asy-Sya’biy.

Kebingungan Seputar Turunnya al-Qur’an?
Banyak masyarakat Islam yang kebingungan saat memahami dua ayat di atas. Al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan, atau tepatnya pada malam keagungan (lailatul qadr) sebagaimana yang dijelaskan oleh dua ayat tersebut.
Sementara itu kita mengetahui bahwa al-Qur’an turunnya kepada Rasulullah secara bertahap, alias tidak sekaligus dalam waktu itu juga turun 30 juz sebagaimana yang tertulis dalam mushhaf yang kita miliki sekarang ini. Dan tidak semua ayat turun dalam bulan Ramadhan, banyak sekali ayat-ayat yang kalau kita baca dalam banyak referensi, turunnya tidak dalam bulan Ramadhan. Lalu bagaimana cara memahami dua hal yang sekilas merupakan hal yang paradok atau berlawanan.
Allah telah berfirman.

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْ أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)… (QS. al-Baqarah: 185).
Dalam ayat lainnya Allah menyebutkan bahwa al-Qur’an itu diturunkan pada lailatul Qadr, malam keagungan dan kemuliaan yang nilainya lebih baik daripada seribu bulan.

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ ﴿١﴾ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ ﴿٢﴾ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ ﴿٣﴾

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. al-Qadr: 1-3).
Sebetulnya tidak ada pertentangan antara keterangan yang termuat dalam ayat-ayat tersebut dengan turunnya al-Qur’an kepada Rasulullah secara bertahap. Karena proses turunnya al-Qur’an itu ada dua tahap. Tahap pertama, al-Qur’an turun dari Lauhul Mahfuzh sekaligus (secara keseluruhan) ke Baitul ‘Izzah (di langit dunia). Tahap kedua, al-Qur’an turun dari langit dunia ke Rasulullah secara bertahap dalam kurun waktu sekitar 23 tahun.
Kebingungan seperti itu pernah dialami oleh seseorang yang bernama Athiyyah bin al-Aswad. Lalu ia bertanya kepada seorang shahabat Rasulullah yang bernama Ibnu Abbas. “Ada keraguan dalam hatiku, yaitu antara informasi yang ada dalam surat al-Baqarah ayat 185 dengan firman Allah yang ada dalam surat al-Qadr. Padahal ada ayat yang diturunkan dalam Bulan Syawwal, Bulan Dzul Qa’dah, Bulan Dzul Hijjah, Bulan Muharram, Bulan Shafar atau Bulan Rabi’ul Awwal dan Rabi’uts Tsani? Ibnu Abbas menjawab, “Sesungguhnya al-Qur’an itu diturunkan dalam bulan Ramadhan pada waktu Lailatul Qadr keseluruhan dan sekaligus. Lalu diturunkan ke Rasulullah secara bertahap sebagaimana waktu-waktu turunnya dalam bilangan bulan dan hari.” (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Mardawaih).

Polemik Seputar Tanggal Turunnya al-Qur’an

Pada malam kemuliaan (lailatul qadr), al-Qur’an diturunkan Allah dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah secara keseluruhan dan sekaligus. Hanya saja, waktu itu kapan hal itu terjadi. Apakah di awal Ramadhan, di pertengahan Ramadhan, atau di akhir Ramadhan?
Ada sebuah riwayat yang menjelaskan hal tersebut.

عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ اْلأَسْقَعِ رضي الله عنه- أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قَالَ: أُنْزِلَتْ صُحُفُ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلاَم فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ، وَأُنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لِسِتٍّ مَضَيْنَ مِنْ رَمَضَانَ، وَاْلإِنْجِيلُ لِثَلاَثَ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ، وَأُنْزِلَ الْزبور ِلثَمَانَ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ، وَأُنْزِلَ الْفُرْقَانُ ِلأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ. (رواه أحمد)

Watsilah bin al-Asqa’ berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Shuhuf Ibrahim diturunkan pada permulaan malam bulan Ramadhan. Kitab Taurat diturunkan setelah berlalu hari keenam bulan Ramadhan. Kitab Injil diturunkan setelah berlalu hari ke tiga belas bulan Ramadhan. Kitab Zabur diturunkan setelah berlalu hari kedelapan belas bulan Ramadhan. Dan kitab al-Qur’an diturunkan setelah berlalu hari kedua puluh empat bulan Ramadhan.” (HR. Ahmad, no. 16370. Dan dihasankan Imam al-Albani).
Itulah tanggal turunnya al-Qur’an dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah. Yaitu setelah berlalu hari ke-24 bulan Ramadhan, berarti pada malam ke-25 dari bulan Ramadhan. Malam yang ganjil, yang mana malam itu termasuk malam datangnya Lailatu Qadr sebagaimana yang diberitakan Rasulullah dalam hadits-hadits yang shahih. Lailatul qadr itu datangnya pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan dan pada malam-malam ganjil. Yaitu malam ke-21, ke-23, ke-25, ke-27, dan ke-29.
Sedangkan awal turunnya al-Qur’an ke Rasulullah sebagai wahyu baginya, para ulama’ banyak yang berselisih tentang kapan waktunya. Ada yang mengatakan bahwa Rasulullah mulai menerima wahyu dari Malaikat Jibril pada bulan Rabiu’ul Awwal. Dan ada yang mengatakan pada bulan Rajab. Dan ada juga yang berpendapat bahwa turunnya wahyu yang pertama pada bulan Ramadhan.
Dan Syekh Shafiyurahman al-Mubarakfury memilih pendapat yang terakhir inilah yang paling kuat dan paling akurat. Dia mempunyai landasan yang sangat kuat untuk menyandarkan pilihannya tersebut. Yaitu berdasarkan ayat 185 dari surat al-Baqarah, ayat pertama dari surat al-Qadr, ayat ke-3 dari surat ad-Dukhan.
Lalu tanggal berapa tepatnya turun wahyu yang pertama tersebut. Para ulama’ juga berbeda pendapat dalam penentuan tanggalnya. Ada yang mengatakan tanggal 7 Ramadhan, ada yang mengatakan pada tanggal 17 Ramadhan, ada yang berpendapat pada tanggal 18 Ramadhan, dan ada juga yang berpendapat pada tanggal 21 Ramadhan.
Karena mayoritas para ahli sejarah bersepakat bahwa Rasulullah pertama kali menerima wahyu dari malaikat Jibril dalam kondisi terjaga (bukan tidur) itu pada hari Senin. Dan mereka mendasarkan kesepakatannya itu pada beberapa riwayat hadits yang shahih. Di antaranya.

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ اْلأَنْصَارِيِّ -رَضِي اللَّه عَنْه- أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ... وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ اْلاِثْنَيْنِ، قَالَ: ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيْهِ... (رواه مسلم)

Abu Qatadah berkata, “…Rasulullah pernah ditanya tentang puasa pada hari Senin?’ Beliau menjawab, ‘Itu adalah hari aku dilahirkan, dan hari aku diutus (sebagai rasul) atau hari diturunkannya wahyu kepadaku…”. (HR. Muslim, no. 1977).

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ -رَضِي اللَّه عَنْه- قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- عَنْ صَوْمِ يَوْمِ اْلاِثْنَيْنِ، فَقَالَ: فِيهِ وُلِدْتُ وَفِيهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ. (رواه أحمد)

Abu Qatadah berkata, “Rasulullah pernah ditanya tentang puasa pada hari Senin?’ Beliau menjawab, ‘Pada hari itu aku dilahirkan, dan pada hari itu wahyu diturunkan kepadaku”. (HR. Ahmad, no. 21504).
            Dan menurut para ahli sejarah, hari Senin pada bulan Ramadhan di tahun itu adalah hari ke-7, hari ke-14, hari ke-21, hari ke-28. Sedangkan dalam hadits-hadits yang shahih, banyak disebutkan bahwa Lailatul Qadr itu biasanya datang pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.
            Apabila kita gabungkan antara berita dari Allah bahwa al-Qur’an diturunbkan pada malam keagungan (lailatul qadr), dan hadits Abu Qatadah bahwa pada hari Senin Rasulullah menerima wahyu pertamanya, dan penelusuran para ahli Sejarah berdasarkan hitungan kalender (al-manak), bahwa jatuhnya hari Senin pada waktu itu pada hari ke-7, ke-14, ke-21 dan ke-28. Maka pendapat yang paling kuat tentang kapan turunnya al-Qur’an kepada Rasulullah adalah malam ke-21 Ramadhan.
Lalu kenapa negara kita (Indonesia) menetapkan tanggal 17 Ramadhan sebagai hari turunnya al-Qur’an (Nuzulul Qur’an)? Tentu jawabannya adalah dengan menelusuri alas an orang-orang atau tokoh-tokoh yang wajtu itu menetapkan 17 Ramadhan sebagai hari turunnya al-Qur’an. Merekalah yang paling tahu tentang alas an ditetapkannya tanggal tersebut sebagai hari turunnya al-Qur’an.
Mungkin saja pada waktu itu mereka menemukan refernsi yang menyatakan bahwa tanggal 17 Ramadhan adalah hari diturunkannya al-Qur’an pertama kali kepada Rasulullah. Dan memang ada pendapat yang menyatakan hal itu, meskipun setelah dikaji kembali ternyata pendapat itu kurang kuat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dalam kitabnya. (Lihat Kitab ar-Rakhiqul Makhtum: 66). 
Penulis menemukan dalil yang menyatakan bahwa tanggal 17 Ramadhan adalah hari datangnya lailatul qadr, dalil itu ada di salah satu kitab tafsir yang cukup terkenal. Dan itu bukanlah hadits nabi, tapi merupakan pernyataan dari salah seorang shahabat Rasulullah yang bernama Zaid bin al-Arqam.
Dalam kitab tersebut tertulis bahwa Zaid bin Arqam pernah ditanya tentang waktu datangnya Lailatul Qadr. Dia menjawab, “Itu adalah pada malam 17 Ramadhan, ia tidak ragu menyatakan hal itu. Ia menambahakan, 'Waktu itu diturunkannya al-Qur'an, hari pembeda dan hari bertemunya dua pasukan (Pasukan Islam dan Kafir di Perang Badar." (Kitab Tafsir ad-Durrul Mantsur: 8/ 580).

Al-Qur’an Turun Ke Rasulullah Secara Bertahap

Al-Qur’an turun ke Rasulullah melalui malaikat Jibril secara bertahap. Ada yang turun karena sebab atau peristiwa tertentu, dan ada juga yang turun dengan sendirinya tanpa sebab yang melatarbelakanginya. Peristiwa atau kejadian yang menjadi penyebab turunnya ayat-ayat al-Qur’an itu kebanyakan dialami sendiri ole Rasulullah, atau berkaitan dengan kehidupannya secara langsung. Dan ada juga peristiwa yang dialami oleh shahabat-shahabatnya lalu disampaikan atau diketahui oleh Rasulullah, kemudian turunlah ayat yang berkaitan dengannya.
Ada surat atay ayat yang turun di Mekkah atau turun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, sehingga dikategorikan sebagai surat-surat Makkiyyah. Dan ada juga surat atau ayat yang turun di Madinah, atau turun sesudah Rasulullah hijrah ke Madinah, sehingga dikategorikan sebagai surat-surat Madaniyyah.
Allah telah menjelaskan dalam beberapa ayat-Nya bahwa al-Qur’an itu diturunkan kepada Rasulullah secara bertahap dan berangsur-angsur. Di antaranya adalah sebagai berikut.

وَقُرْآناً فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيْلاً


“Dan al-Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. al-Isra’: 106).
Orang-orang kafir pada waktu itu sempat protes dan berdemo tentang turunnya al-Qur’an secara bertahap. Karena kitab-kitab suci sebelumnya; Zabur, Taurat, Injil dan lainnya turunnya sekaligus atau tidak berangsur-angsur. Dan inilah salah satu keistimewaan yang dimilik al-Qur’an disbanding kitab-kitab suci lainnya.
Dalam al-Qur’an Allah menceritakan keberatan orang-orang kafir atas turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur.

وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْ لاَ نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيْلاً

“Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa al-Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?" Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. al-Furqan: 32).

Hikmah Diturunkannya al-Qur'an Secara Bertahap

Ada banyak hikmah yang terkandung dalam proses turunnya al-Qur’an secara bertahap, karena setiap apa saja yang dilakukan Allah pasti mengandung banyak hikmah di dalamnya, baik hikmah itu kita ketahui langsung di dunia ini maupun yang belum kita ketahuo. Termasuk dalam penurunan al-Qur’an secara bertahap, tidak sekaligus turun 30 juz kepada Rasulullah, sebagaimana kitab-kitab suci sebelumnya. Padahal kalau Allah menghendaki cara seperti itu, bukanlah hal yang sulit bagi Keagungan dan Kekuasan-Nya.
Di antara hikmah-hikmah tersebut adalah sebagai berikut. 
1.     Menguatkan dan meneguhkan hati Rasulullah

وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْ لاَ نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيْلاً

“Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa al-Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?" Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. al-Furqan: 32).
2.     Mu’jizat bagi Rasulullah dan tantangan bagi orang kafir
 
أَمْ يَقُوْلُوْنَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُواْ بِعَشْرِ سُوَرٍ مِّثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُواْ مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّهِ إِنْ كُنتُمْ صَادِقِيْنَ

“Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al Qur'an itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar". (QS. Hud: 13).

3.     Mempermudaah hafalan dan pemahaman

هُوَ الَّذِيْ بَعَثَ فِي اْلأُمِّيِّيْنَ رَسُوْلاً مِّنْهُمْ يَتْلُوْ عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلاَلٍ مُّبِيْنٍ

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. al-Jumuah: 2).

4.     Kesesuaian dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi atau fenomena yang ada

وَإِذْ تَقُوْلُ لِلَّذِيْ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِيْ فِيْ نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيْهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَراً زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لاَ يَكُوْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ حَرَجٌ فِيْ أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَراً وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُوْلاً

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan ni`mat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi ni`mat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu'min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (QS. al-Ahzab: 37).

5.     Sebagai bukti adanya tahapan dalam penetapan hukum
Contoh paling populer untuk masalah ini adalah penetapan hukum pengharaman khamr atau minuman keras. Awalnya turun ayat 67 dari Surat an-Nahl. Lalu turun ayat 219 dari Surat al-Baqarah. Di susul ayat 43 dari Surat an-Nisa’. Kemudian turun ayat 90-91 dari Surat al-Maidah sebagai pamungkasnya.

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنْصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. إِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُمْ مُّنْتَهُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. al-Maidah: 90-91).

6.     Bukti nyata bahwa al-Qur'an itu datangnya dari Allah, bukan produk Rasulullah.

الَر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِن لَّدُنْ حَكِيْمٍ خَبِيْرٍ

“Alif Laam Raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.” (QS. Hud: 1).

Keghaiban Turunnya al-Qur’an (Nuzulul Qur’an)
Kita tahu bagaimana cara Allah menurunkan al-Qur’an dari Lauhul mahfuzh ke Baitul ‘Izzah (di langit dunia). Apakah al-Qur’an itu diturunkan sendiri oleh Allah atau melalui malaikat-malaikat utusan-Nya? Apakah al-Qur’an itu berbentuk tulisan atau bukan? Berbentuk mushhaf seperti yang kita miliki sekarang ini atau bukan? Dan masih banyak hal lagi yang bersifat ghaib seputar proses turunnya al-Qur’an, dan keghaiban itu harus kita imani adanya, meskipun secara lahiriah mata kepala kita tidak pernah melihat proses sebenarnya. Itulah bagian dari keimanan terhadap yang ghaib.
Sedangkan proses turunnya al-Qur’an kepada Rasulullah secara bertahap, adalah informasi yang bisa kita akses melalui kitab-kitab hadits dan penjelasan para shahabat dan para ulama’ yang pakar di bidangnya. Sebagaimana kita juga bisa mendapatkan informasi tersebut melalui kitab-kitab yang membahas tentang ilmu-ilmu al-Qur’an.
Di antara proses turunnya wahyu kepada rasulullah adalah. Pertama, malaikat Jibril datang seperti gemerincing suara lonceng, suaranya cukup keras yang sangat mengagetkan orang yang dituju, dan menjadikannya serius untuk menyimak apa yang akan datang. Dan cara ini terasa sangat berat bagi Rasulullah. Kedua, malaikat Jibril datang dengan menampakkan diri sebagai sosok manusia atau seorang laki-laki. Dan cara ini lebih nyaman bagi Rasulullah daripada yang pertama.

Keagungan Allah di Balik Proses Turunnya al-Qur’an

Banyak terdapat keagungan Allah dan kebesaran-Nya dibalik proses turunnya al-Qur’an. Dia Maha Mengetahui dan Maha Pandai. Setelah al-Qur’an yang terdiri dari 30 juz atau 114 surat itu secara keseluruhan diturunkan ke Baitul ‘Izzah (di langit dunia), kemudian baru diturunkan secara berangsur-angsur selama 23 tahun.
Kurun waktu yang cukup lama. Tapi justru dalam kurun waktu itu, kita bisa merasakan betapa luasnya ilmu Allah dan betapa agungnya kekuasaan-Nya. Apalagi jika kita perhatikan kejadian dan peristiwa yang melatarbelakangi turunnya sebagian ayat-ayat al-Qur’an. Misalnya:

  1. Sebab turunnya surat al-Lahab.
Ibnu Abbas berkata, "Pada suatu hari Rasulullah naik ke bukit Shafa, lalu beliau berteriak, "Wahai Kaum! Maka kaum Quraisy berkumpul memenuhi seruan tersebut. Mereka berkata, 'Ada apa denganmu?' Beliau berkata, 'Apa pendapat kalian, jika aku beritahu bahwa sekarang ada musuh yang akan siap siaga menyerang kalian di waktu pagi atau sore, apakah kalian mempercayainya?' Mereka menyahut, 'Ya, kami akan mempercaayainya'. Lalu beliau bersabda, 'Sesungguhnya aku datang sebagai pemberi peringatan bagi kalian, ada adzab yang pedih bagi (yang mengingkarinya). Maka Abu Lahab berkata, 'Celaka kau wahai Muhammad, apakah hanya untuk ini kamu mengumpulkan kami semua?' Maka Allah menurunkan surat al-Lahab, ". (HR. Bukhari, no. 4427).
Allah berfirman.

تَبَّتْ يَدَا أَبِيْ لَهَبٍ وَتَبَّ ﴿١﴾ مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ ﴿٢﴾ سَيَصْلَى نَاراً ذَاتَ لَهَبٍ ﴿٣﴾ وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ ﴿٤﴾ فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ ﴿٥﴾

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut.” (QS. al-Masad: 1-5).

Surat al-Lahab adalah bagian dari al-Qur’an yang telah diturunkan Allah pada proses pertama, yaitu dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah. Tapi diturunkan Allah ke Rasulullah setelah ada reaksi Abu Lahab yang cukup keras terhadap dakwah yang disampaikan Rasulullah pertama kali secara terang-terangan. Maha Suci Allah yang telah mengetahui bahwa pada perjalanan dakwah Rasulullah, akan ada pertentangan kuat dari Abu Lahab, sehingga Dia telah menyediakan surat al-Lahab untuk membela Rasul-Nya dan mengutuk sikap Abu Lahab.

  1. Sebab turunnya surat al-Kafirun
Ada sekelompok orang kafir Quraisy datang ke Rasulullah, mereka berkata, "Wahai Muhammad, ikutilah agaama kami, kami akan mengikuti agamamu. Kami akan menyembah Tuhanmu setahun, dan kamu juga harus menyembah Tuhan kami setahun. Kalau apa yaang kamu bawa ada kebaikan di dalamnya, maka kami akan ikut serta merasakan kebaikan tersebut, dan kami akan mendapat balasannya. Dan jika yang kami miliki ternyata lebih baik daripaada apa yang kamu baawa, maka kamu akan ikut serta di dalamnya, dan kamu akan mendapatkan balasannya. Lalu Rasulullah bersabda, 'Aku berlindung kepada Allah dari sesuatu yang bisa membuatku menyekutukan-Nya dengan yang lain. Kemudian turunlah surat al-Kafirun. Kemudian Rasulullah pergi ke Masjidil Haram yang mana saat itu telah berkumpul orang-orang Quraisy. Beliau pun membacakan surat al-Kafirun kepada mereka sampai selesai. (Kitab Asbabun Nuzul: 307).
Allah berfirman.

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ ﴿١﴾ لاَ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَ ﴿٢﴾ وَلاَ أَنتُمْ عَابِدُوْنَ مَا أَعْبُدُ ﴿٣﴾ وَلاَ أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ ﴿٤﴾ وَلاَ أَنتُمْ عَابِدُوْنَ مَا أَعْبُدُ ﴿٥﴾ لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ ﴿٦﴾

“Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku". (QS. al-Kafirun: 1-6).
Kalau kita mengamati sebab turunnya surat al-Kafirun ini, kita akan bertambah ta’jub terhadap luasnya pengetahuan Allah. Allah Maha Mengetahui kalau nantinya akan ada propaganda dari orang-orang Quraisy yang menawarkan bentuk toleransi beragama yang kebablasan. Dengan menawarkan opsi konyol, bergantian menyembah tuhan masing-masing. Dan dengan adanya surat al-Kafirun dalam jajaran surat-surat al-Qur’an, akhirnya Rasulullah mengetahui bahwa beliau harus tegas dalam masalah praktik ideologi dalam beragama.

  1. Sebab turunnya ayat ke-12 dari Surat Yasin
Abu Sai'd al-Khudri berkata, "Adalah Banu Salamah tinggal di daerah yang agak jauh dari Masjid. Lalu suatu saat mereka ingin pindah ke tempat yang posisinya dekatdengan Masjid. Maka turunkah ayat ke-12 dari surat Yasin. Maka Rasulullah berkata, "Sesungguhnya langkah-langkah kaki kalian dihitung dan diberi pahala, lalu kenaapa kalian akan pindah?” (Kitab Asbabun Nuzul: 245).
Allah berfirman.

إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوْا وَآثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِيْ إِمَامٍ مُبِيْنٍ
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12).
Satu lagi, peristiwa yang bisa menambah keimanan kita kepada Allah. Setelah Muhammad diutus sebagai seorang rasul, akan ada sekelompok shahabatnya yang akan berpindah dari tempat yang agak jauh dengan masjid, ke tempat yang dekat dengan masjid. Sehingga dalam ayat al-Qur’an sudah ada pengajaran bagi mereka dan kita semuanya, bahwa langkah demi langkah kaki kita ke masjid itu dihitung oleh Allah. Semakin jauh jaraknya maka semakin banyak pahala dan keutamaan pelakunya.
Itukan hal yang sepele? Justru itulah, yang sepele bagi kita ternyata ada tuntunannya dalam al-Qur’an, apalagi yang tidak sepele. Dan apa yang menurut kita sepele, belum tentu akan sepele nilainya di sisi Allah. Seperti masalah langkah kaki ke masjid, ternyata nilainya di sisi Allah sangat tingga. Maka dari itu janganlah kita menyepelekan kebaikan, sekecil apapun. Termasuk melangkahkan kai ke masjid, agar kita termotifasi untuk meramaikan masjid yang ada di sekitar kita dengan berbagai macam ibadah dan ketaatan.
Dalam suatu hadits shahih disebutkan.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ -رَضِي اللَّه عَنْه- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- مَنْ تَطَهَّرَ فِيْ بَيْتِهِ، ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللَّهِ، لِيَقْضِيَ فَرِيْضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ، كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَة،ً وَاْلأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً. (رواه مسلم)

Abu Hurairah berkata, “Rasulullah telah bersabda, ‘Barangsiapa bersuci (berwudhu) di rumahnya, lalu berjalan menuju ke salah satu rumah Allah (masjid) untuk melaksanakan kewajiban yang telah diperintahkan Allah (shalat), maka langkahnya yang pertama berarti melebur dosanya, dan langkah-langkah selanjutnya berarti mengangkat derajatnya’.” (HR. Muslim, no. 1070).  

  1. Sebab turunnya ayat ke-30 dari Surat Fushshilat
Ibnu Abbas berkata, "Orang-orang musyrik berkata, 'Tuhan kami adalah Allah, dan para malaikat adalah anak-anak perempuan-Nya. Mereka adalah para perantara kami untuk memohon kepada Allah. Dan keyakinan atau pendirian itu pun tidak benar. Lalu datanglah orang-orang Yahudi, mereka berkata, 'Allah Tuhan kami, dan 'Uzair adalah anak-Nya, dan Muhammad bukanlah seorang nabi. Dan keyakinan atau pendirian itupun tidak benar. Lalu Abu Bakar menyahut, ia berkata, 'Tuhan kami adalah Allah, yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan Muhammad adalah nabi dan rasul-Nya. Itulah keyakinan yang benar. Lalu turunlah ayat ke-30 dari surat Fushshilat. (Kitab Asbabun Nuzul: 251).
Allah berfirman.

إِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلاَئِكَةُ أَلاَّ تَخَافُوْا وَلاَ تَحْزَنُوْا وَأَبْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ الَّتِيْ كُنتُمْ تُوْعَدُوْنَ

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu". (QS. Fushshilat: 30).
Orang-orang yang mengagungkan malaikat ternyata sudah ada sejak zaman Rasulullah. Dan Allah telah menyiapkan jawabannya jauh sebelum gerakan penyembahan malaikat itu berkembang. Sehingga saat gerakan itu muncul, Allah menurunkan wahyu-Nya kepada rasul-Nya. Dan yang menyebabkan turunnya wahyu kali ini adalah keteguhan iman Abu Bakar terhadap keesaan Allah. Malaikat adalah makhluk Allah seperti kita, kita tidak boleh menjadikannya sebagai perantara ibadah kita kepada Allah, apalagi menganggapnya sebagai anak-anak Allah. Itu adalah bentuk pelecehan dan penghinaan kepada Allah yang harus kita jauhi.

  1. Sebab turunnya ayat ke-100 dari surat al-An’am
Ulama’ tafsir yang bernama Al-Kalbi berkata, "tersebut turun kepada orang-orang Zindiq yang waktu itu mereka mengaatakan, 'Sesungguhnya Allah dan Iblis itu dua bersaudara. Allah adalah Pencipta manusia dan binatang ternak. Sedangkan Iblis adalah pencipta ular, srigala dan kalajengking. Maka Allah pun menurunkan ayat tersebut. (Kitab Asbabun Nuzul: 148).
Allah berfirman.

وَجَعَلُواْ لِلَّهِ شُرَكَاءَ الْجِنَّ وَخَلَقَهُمْ وَخَرَقُواْ لَهُ بَنِيْنَ وَبَنَاتٍ بِغَيْرِ عِلْمٍ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يَصِفُونَ

“Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan): "Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan", tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan.” (QS. al-An’am: 100).
Satu lagi sebagai bagian kecil dari ilmu Allah yang sangat luas. Allah telah menyiapkan jawaban bagi kita untuk menghadapi gerakan pemuja syetan atau jin yang akan muncul. Jawaban itu sudah ada sebelum gerakan itu muncul ke permukaan. Dan begitu gerakan itu menampakkan diri, Allah menurunkan ayat tersebut di atas kepada Rasul-Nya. Gerakan pemuja syetan atau jin ini menyamakan kemampuan Iblis yang terbatas dengan Kekuasaan Allah yang tidak Maha Luas. Mereka menjadikan Iblis sebagai sekutu Allah. Sungguh merupakan kesesatan yang nyata. Dan Allah telah menyediakan ayat-Nya sebagai bekal kita untuk meluruskan gerakan pemuja syetan atau jin seperti itu. Subhanallah wal hamdulillah wala ilaha illallah wallahu akbar.

Ya Allah, La ‘Ilma Lana illa Ma ‘Allamtana

Kalau kita simak, beberapa sebab yang menjadi latar belakang turunnya ayat-ayat Allah tersebut, maka kita akan mejumpai betapa tunduknya makhluk ciptaan Allah kepada-Nya. Apa yang telah menjadi ketetapan Allah pasti akan terjadi sesuai dengan apa yang telah Dia tetapkan.
Kisah kehidupan Abu Lahab dan Istrinya yang dipanggil Ummu Jamil misalnya, keduanya telah ditetapkan Allah sebagai penghuni neraka di akhirat kelak. Dan berita ini sebetulnya merupakan rahasia kehidupan akhirat yang ghaib, dan Allah telah memobocorkannya kepada kita. Sehingga masyarakat yang hidup pada waktu itu mengetahui bahwa Abu Lahab dan istrinya kelak akan celaka dan masuk neraka.
Padahal waktu itu Abu Lahab yang nama aslinya Abdul ‘Uzza bin ‘Abdul Mutthalib masih hidup. Dan sebetulnya menjadi peluang besar baginya untuk melakukan intrik guna mempropagandakan kepada kaum Quraisy dan yang lainnya, bahwa yang disampaikan Rasulullah adalah kebohongan dan dusta. Yaitu dengan ia berpura-pura masuk Islam, lalu dengan lantang berkata kepada semua orang yang ditemuinya, “Surat al-Lahab tidak benar, buktinya sekarang saya masuk Islam. Berarti saya tidak akan celaka atau masuk neraka sebagaimana yang dikatakan dalam surat al-Lahab”.
Tapi apa kenyataannya, sejak turun ayat tersebut (sebelum hijrahnya Rasulullah ke Madinah) sampai meninggalnya Abu Lahab, tak terbersit di hatinya sedikit pun untuk masuk Islam. Bahkan sebaliknya, kebencian dan permusuhannya kepada Rasulullah dan shahabat-shahabat yang telah mengikutinya semakin memuncak dan membara, sampai akhir hayatnya.
Begitu juga Ummu Jamil yang nama aslinya Urwa binti Harb binti Umayyah, ia juga tak jauh berbeda dengan perjalanan hidup suaminya. Sepertinya ia merupakan sejoli yang setali dua uang dengan suaminya, dalam rangka memusuhi Rasulullah dan orang-orang mukmin pada saat itu. Sampai akhir hayatnya, ia tidak tersentuh cahaya petunjuk yang dipancarkan Allah melalui rasul-Nya. Sehingga ia mati dalam keadaan kafir. Dengan demikian terbuktilah kebenaran yang disampaikan Allah dalam surat al-Lahab tersebut.
Menyimak fenomena seperti itu, kita hanya bisa berucap, “Subhanakallahumm, la ‘ilma lana illa ma ‘allamtana, innaka antal ‘alimul hakim”. (Maha Suci Engka ya Allah! Tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkau Dzat yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana).”
           
Apa yang Terjadi, Telah ada Dalam Catatan-Nya
Semua kejadian yang terjadi di bumi ini, yang baik atau yang buruk, terjadi atas kehendak Allah, bukan kehendak sosok-sosok misterius yang diyakini sebagai penguasa setempat. Gempa dan tsunami yang telah terjadi di negeri ini, atau yang akan terjadi (jika Allah menghendakinya) adalah merupakan kehendak Allah dan ketetapan yang digariskannya sejak dahulu kala. Begitu juga bencana dan mushibah yang lainnya.
Allah berfirman.

وَمَا تَكُوْنُ فِيْ شَأْنٍ وَمَا تَتْلُوْ مِنْهُ مِنْ قُرْآنٍ وَلاَ تَعْمَلُوْنَ مِنْ عَمَلٍ إِلاَّ كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُوْداً إِذْ تُفِيْضُوْنَ فِيْهِ وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَّبِّكَ مِنْ مِّثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاء وَلاَ أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلاَ أَكْبَرَ إِلاَّ فِيْ كِتَابٍ مُّبِيْنٍ

“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan, dan tidak membaca suatu ayat dari Al Qur'an, dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi atau pun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yunus: 61).
Oleh karena itu, kalau kita merasa takut dan ngeri, “Jangan-jangan bencana seperti suatu saat akan menimpa kita?”, maka mohonlah perlindungan kepada Allah dari bencana yang kita takutkan. Dan jangan memohon kepada yang lain-Nya dengan mengelar ritual ruatan dan yang sejenisnya.     
Kalau bencana itu telah menimpa diri kita atau kingkungan yang ada di sekitar kita, maka berdo’alah kepada Allah, agar Allah melimpahkan pahala kepada kita atas kesabaran kita dalam menghadapi takdir buruknya, dan semoga Allah mengganti apa yang hilang dari kita karena bencana tersebut dengan yang lebih baik. Semoga bencana yang telah terjadi itu menjadi pelebur dosa dan kesalahan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar