Gerbang
pernikahan begitu sakral. Selayaknya disikapi dengan dewasa. Bukan hanya mau
menang sendiri, tanpa sudi mengindahkan hak pasangannya. Bila demikian, maka
kebahagiaan rumah tangga hanya diangan-angan. Seperti kisah Sari, seorang ibu
beranak dua. Ia menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib. Berikut
petikannya.
Sebagai
wanita, saya ingin mengurangi beban orangtua yang tinggal sebatang kara. Bapak
telah meninggal sekian tahun yang lalu. Sementara ibu terbilang sudah tidak muda lagi. Umurnya sudah
berkepala lima.
Tahun 2000, saya memutuskan melamar kerja di sebuah perusahaan swasta. Meski saat itu sudah ada seorang
pemuda yang berniat menyunting saya. Namanya Rian.
Lamaran saya untuk bekerja diterima. Dunia baru yang
memang berbeda. Saya bertemu dan berinteraksi dengan orang dengan latar
belakang yang beragam.
Sementara
itu Rian, yang telah bertemu dengan ibu dan bibi, berniat untuk meminta restu kepada kedua
orangtuanya di Pekalongan, Jawa Tengah. Selama ini, saya memang tidak pernah
bertemu dengan Rian secara langsung. Saya hanya mengenalnya sebatas informasi
dari orang lain. Meski demikian, sejujurnya saya yakin bahwa ia pemuda yang
baik dan mampu menuntun istrinya.
Ketika
dia main ke rumah, saya tidak ikut serta menemaninya. Niatannya untuk menikah,
itu pun diutarakannya langsung di hadapan ibu dan bibi. Sementara saya hanya
mendengarnya dari balik pintu.
Memang,
saat itu Rian belum memberikan kepastian. Dia menggantung niatan nikah itu
dengan restu orangtuanya. Hanya batasan waktu tiga bulan yang ia berikan. Bila
tidak ada berita apapun darinya, maka saya bebas menikah dengan orang lain.
Karena itu berarti ia tidak mendapatkan restu dari orangtuanya.
Waktu berlalu begitu
cepat. Sementara kabar dari Rian belum juga datang. Dalam kondisi yang tidak
menentu itu, salah seorang teman kantor menemukan celah untuk mendekati saya.
Teman-teman biasa memanggilnya dengan Rizal, asal Sumatra. Nama lengkapnya Syahrizal. Selama ini
Syahrizal diam-diam memperhatikan saya. Hal itu saya ketahui dari teman-teman. Meski sebenarnya
kami satu kantor, tapi di gedung yang berbeda.
Entah darimana
asalnya, Syahrizal mengetahui rencana pernikahan saya dengan Rian. Hingga dalam suatu
kesempatan dia memojokkan saya, "Sudah mau nikah ya?" tanyanya. Saya yang masih belum
tahu ada apa di balik pertanyaan itu, menjawab apa adanya. "Iya, tapi nanti setelah
lebaran."
Mendengar jawaban yang
tegas itu, Syahrizal potong kompas. Dia mendatangi ibu dan bibi tanpa
sepengetahuan saya. Entahlah mantra apa yang dikatakannya kepada ibu dan bibi.
Hingga mereka berbunga-bunga. Dengan tangan terbuka mereka menerima kehadiran
Syahrizal menggantikan Rian. Kata bibi, siapa yang melamar duluan itulah yang
akan diterimanya.
Selama ini, Rian
memang belum pernah menghubungi ibu maupun bibi, bahwa ia mendapat restu dari
orangtuanya. Meski tenggat waktu tiga bulan telah berlalu. Meski ia juga telah
menelpon saya di kantor. Hanya memang, saya tidak menceritakan hal itu kepada
ibu maupun bibi, karena saya pikir, Rian sendiri yang akan menghubungi mereka.
Secara berkala Syahrizal
mendatangi ibu dan bibi. Seiring itu pula perasaan cinta saya kepadanya mulai
tumbuh. Perlahan namun pasti, saya melupakan Rian dan tidak lagi banyak
berharap. Sebaliknya, bayangan Syahrizal selalu hadir di hati. la memang lebih tua sepuluh tahun. Satu hal
yang saya harapkan lahirnya sikap kebapakan dan arif bijaksana.
Namun, ada yang tidak wajar.
Perasaan cinta saya semakin tidak terkendali. Bayang-bayang Syahrizal selalu
hadir di hati. Saat makan, sendirian, atau bercengkerama dengan teman-teman.
Syahrizal
memang tampan. la
menjadi idola banyak wanita di kantor. Bila kemudian ada teman wanita yang
ngobrol berdua dengannya, hati saya berdesir. Rona-rona kecemburuan yang
seharusnya tidak merasuk ke dalam jiwa, tidak lagi terhindarkan. Bila hal itu
sudah tidak lagi tertahankan dada rasanya ingin meledak. Saya ingin mendatangi
wanita itu dan memarahinya.
Uci,
teman karib saya yang melihat perubahan saya dari hari ke hari geleng-geleng
kepala. "Kok begitu banget sih kamu," katanya suatu siang. Memang,
bila dalam sehari
saya tidak bertemu dengan Syahrizal, seakan ada sesuatu yang hilang. Rindu saya
ingin melihat wajahnya tidak lagi tertahankan. Hingga terkadang saya
marah-marah tanpa alasan yang jelas.
Dari
sinilah kemudian, saya mulai mendesak orangtua untuk segera melamar. Saya tidak
lagi mempedulikan adat. Pihak laki-laki yang seharusnya datang ke rumah wanita, bukan sebaliknya. Tapi
bagi saya saat itu, adat ini bukanlah harga mati. Saya tidak ingin kehilangan Syahrizal.
Saya tidak ingin melihatnya dinikahi wanita lain. Karena itu pilihan yang ada
di mata saya adalah melamar. Ya, pihak wanita yang melamar. Meski hal itu
sempat ditentang oleh paman. Namun akhirnya mereka meluluskan juga. Karena saya
sering uring-uringan.
Resepsi
pernikahan pun digelar. Harapan bersanding dengan Syahrizal di kursi pengantin
pun terlaksana, meski ada sedikit keterlambatan dari pihak mempelai lakilaki, alhamdulillah
acara resepsi berjalan lancar. Setidaknya harapan menjadi raja dan ratu sehari
telah tercapai.
Diperlihatkan jin oleh suami
Setelah
resepsi pernikahan selesai. Rombongan tamu dan undangan pun sudah ke rumah
masing-masing, menyisakan makanan, minuman dan piring-piring yang masih berserakan. Hari itu juga, kami pindah ke rumah
kontrakan yang tidak jauh dari rumah ibu.
Hanya berjarak seratusan meter. Hanya ada antara saya dan Syahrizal, yang telah
sah dan resmi menjadi suami saya.
Namun,
justru di hari dan malam pertama itu, bayang-bayang kebahagiaan sedikit redup.
Padahal itu di malam pertama kami. Suasana pesta siang tadi juga masih tercium.
Pasalnya, pada malam itu Mas Rizal, begitu saya biasa memanggilnya, memberikan
hadiah yang tidak terduga oleh seorang istri manapun. Mas Rizal memberi saya seorang penjaga dari bangsa jin. Ya, dia
mengharapkan bantuan dari mereka untuk
menjaga saya bila saya seorang diri, tanpa kehadirannya di samping saya.
Mulanya,
kami bercanda dan Mas Rizal mengungkapkan tawaran yang saya kira hanya gurauan semata. "Dik,
sudah pernah lihat hantu belum?" candanya. "Belum," kata saya. "Emang
kenapa?" tanya saya lagi.
Selang beberapa lama kemudian, di depan rumah, dari balik
jendela biasanya tukang sate keliling sering lewat. Malam itu, saya melihat
sosok penjual sate mendekat. Dari jauh, sorot lampunya terlihat terang.
"Eh, ada tukang sate," seru saya. Semakin lama bayangan itu semakin
mendekat. Tapi mulut saya ternganga menyaksikan pemandangan itu. "Apa itu mas, kok besar
sekali?" saya mulai ketakutan.
"Tidak apa-apa. Itu kan cuma
teman," jawab Mas Rizal acuh tak acuh. "Teman?" saya tidak bisa menghilangkan
keterkejutan saya. apa benar Mas Rizal berteman dengan hantu? Beragam pertanyaan mulai terlintas
dalam benak saya. "Iya tidak apa-apa. Baca an-Naas, al-Falaq sama al-Fatihah, nanti juga
hilang. Dia cuma ingin kenalan kok. Ingin bersahabat," jawabnya
menghilangkan keterkejutan saya. Ketika saya desak lebih jauh darimana ia
dapatkan temannya. Mas Rizal menceritakan bahwa dulu, dia pernah belajar dari
seseorang yang dianggap tokoh agama di kampungnya. la kemudian diajari wiridan-wiridan
yang mendatangkan jin. Saya bingung, hingga malam itu saya tidur dengan galau.
Malam-malam berikutnya
kejanggalan demi kejanggalan bermunculan. Suara tikus di atap rumah berisik
sekali. sementara bunyi-bunyian di depan rumah juga tidak kalah serunya. Klotek...
klotek.... Saya penasaran, dengan perlahan saya mengintip dari balik jendela suara apakah
itu sebenarnya. Rupanya, tempat sampah dari plastik di depan rumah, terbuka dan
tertutup sendiri. Tidak ada tikus atau hewan lain di dalamnya.
Saya
penasaran. Saya keluar dan saya lihat, ternyata kosong. Di dalam tempat sampah itu tidak ada binatang
apapun. Tak urung bulu kuduk saya merinding dibuatnya. "Ini rumah banyak hantunya ya?" kata
saya ke Mas Rizal. Namun, Mas Rizal biasa saja. la tidak merasa terusik atau terganggu. la
masih menganggap suara-suara aneh itu adalah bagian dari kesehariannya.
Kejadian seperti ini berlangsung beberapa hari, bahkan sesekali terdengar suara
orang melempar batu ke atap rumah. Untuk menghilangkan gangguan-gangguan itu
saya memutar kaset murattal sehabis shubuh.
Sewaktu
sendirian di rumah kebetulan lampu listrik padam. Saya nyalakan lilin, saat
itulah nyala lilin itu memanjang lebih dari sepuluh senti. Ketika Mas Rizal,
saya ceritakan
perihal nyala lilin itu. "Mas, tadi waktu saya nyalakan lilin, kan mati lampu, kok
nyalanya bisa memanjang sampai ke atas ya?" "Nggak apa-apa. Adik
kalau di rumah kan ada yang jagain. Adik sudah saya kasih jin satu," kata Mas Rizal terus terang. Astaghfirullah, saya merinding
bercampur takut. "Tidak apa-apa. Kalau nanti ada yang jahatin sama adik, dia
yang jagain," katanya. "Nggak mas, yang jagain itu Allah. Mas Rizal tidak boleh begitu. Itu
dosa." Saya mencoba meminta untuk mencabut
kembali jin itu. Saya tidak mau hidup bersama jin. Tapi Mas Rizal tetap kekeh. Dia tidak mau mencabutnya, karena ilmu itu didapatkannya dari seseorang yang dianggap paham agama. la yakin bahwa apa yang dilakukannya itu
tidak salah.
Dibakar api cemburu
Seminggu
setelah menikah, kami masuk kantor lagi. Berangkat bersama, pulang pun demikian. Mas Rizal biasanya
sudah menelpon saya jam lima agar saya segera bersiap-siap. Saat keluar dari ruangan kantor, ia
selalu menengok dan memperhatikan cukup lama seorang karyawati bank swasta yang kantornya
di samping kanan pintu ruang kantor kami. Pada mulanya, saya menganggap biasa
sehingga saya ikut-ikutan menyapa karyawati tersebut. "Mbak, pulang duluan ya?" "Oh
iya," katanya sambil tersenyum.
Tapi
hal itu terus berlanjut setiap hari. Bahkan terkadang Mas Rizal menunjukkan kesan bahwa banyak wanita yang
jatuh hati kepadanya. Di antaranya adalah karyawati tersebut. Itu berita yang saya
dengar dari teman-teman. Lama kelamaan, jiwa kewanitaan saya berontak. Saya tersulut api
cemburu. Ketika Mas Rizal ngeloyor ke tempat karyawati
tersebut saya langsung pergi. Tanpa pamitan seperti biasanya.
Saya
menegurnya di jalan. "Mas Rizal nggak boleh seperti itu. Sudah punya istri masih suka tengak-tengok." Nggak, cuma lihat saja," elaknya.
"Iya, tapi tidak boleh sampai lama-lama begitu," tukas saya lagi.
Kejadian
yang sama selalu saja terulang. Mas Rizal tetap saja ngobrol dengan karyawati tersebut. Akhirnya
daripada ribut di jalan, saya mengambil keputusan untuk pulang duluan. Dan rasanya lebih
nyaman. Setelah itu biasanya di rumah, kami bertengkar. Saya diam saja di rumah. Saya sediakan makanan
begitu saja, tanpa banyak
bicara. Tidak seperti biasanya. "Kenapa sih diam saja?" "Nggak
apa-apa," kata saya. Terkadang saya diamkan
saja sampai pagi, lalu saya berangkat ke kantor sedirian. Yang penting saya sudah menyiapkan sepatu
dan bajunya.
Saya
berpamitan melalui tulisan di kertas. Karena Mas Rizal belum bangun. Mas, diminum airnya, makannya jangan
lupa. Saya berangkat duluan. Mas
Rizal marahnya luar biasa, padahal saya hanya
diam dan tidak menegur dengan keras. Kepalanya dibentur-benturkan ke tembok. Tangannya mukul-mukul tembok. Mas Rizal
kesal.
Pertengkaran
kecil, selalu mengisi keseharian kami. Mas Rizal bukan seperti yang saya bayangkan sebelumnya.
Kebapakan dan bijaksana, seperti kesan yang ditunjukkannya sebelum menikah. Tapi, semuanya telah
terjadi. Saya tidak boleh menyerah dan berputus asa. Semoga dari sini, saya dapat meraih ridha
Allah.
Saat
hamil tujuh bulan, saya mengalami pendarahan. Dan dokter menyarankan saya untuk banyak istirahat. Saya
tidak boleh terlalu capek, bila tidak ingin semakin parah. Akhirnya saya memutuskan
untuk mengundurkan diri dari tempat kerja. Sejak saat itu, saya tidak diperkenankan Mas Rizal pergi
kemana-mana. Juga tidak boleh banyak ngobrol dengan tetangga.
Setelah
kelahiran anak pertama, saya berharap Mas Rizal mulai berubah. Kebiasaannya yang baru untuk
pulang malam, bisa dikurangi. Saya berharap anak yang baru lahir ini menjadi pelita dalam rumah
tangga. Menjadi perekat antara kami, yang tidak begitu harmonis dalam menjalankan bahtera rumah
tangga ini.
Namun,
semua itu ternyata tidak banyak berarti. Tangisan Putri, anak pertama saya
tidak banyak meluluhkan hati Mas Rizal. Ia tetap pulang malam dan enggan bergurau dengan anaknya sendiri.
Sepertinya
tidak ada rasa kangen bertemu dengan anaknya. Putri pernah sakit panas. Tensinya di atas 35
derajat celcius. Sepanjang malam Putri yang masih berumur 8 bulan itu menangis. la
sama sekali tidak mau ditidurkan. Tapi anehnya, Mas Rizal enak saja tidur, tanpa terusik dengan
tangisan anaknya. Atau membantu saya menggendongnya. Awalnya saya kira ia
lelah, namun setelah hal itu berlanjut hingga tujuh hari saya paham bahwa Mas Rizal memang tidak
mau direpotkan dengan anak-anak.
Saya
sedih, mengapa harus begini jadinya. Tapi saya tidak ingin banyak mengeluh. Sampai detik itu tidak
seorang pun keluarga yang mengetahui perilaku Mas Rizal. Karena saya tidak pernah bercerita
kepada siapapun. Sampai akhirnya terjadilah peristiwa mengerikan yang terjadi di malam
Idul Fitri. Waktu Putri berumur 1.5 tahun. Jelang lebaran itu, saya tidak sempat melipat
jemuran karena harus membantu
ibu memasak. Ibu sedang sakit, sehingga tidak bisa menyelesaikan tugas masak untuk persiapan esok hari.
Kemarahan yang
terus memuncak
Saat
Mas Rizal pulang dari kantor, ia mendapatkan jemuran masih tergeletak di lantai dan belum dilipat. Saat
itulah kemarahannya memuncak. "Ini jemuran masih berantakan. Belum diberesin," bentaknya dengan keras. Saya tidak
mau bertengkar. Saya
minta maaf. Saya jelaskan bahwa sore itu saya membantu ibu masak dan belum sempat menyelesaikan tugas rumah.
"Sekarang sudah tidak nurut lagi ya, sama
suami," katanya. Untuk meredam kemarahannya, saya katakan bahwa saya sedang hamil dua
bulan. Selama ini saya memang belum bercerita kepada Mas Rizal, karena saya menunggu saat yang
tepat. Namun diluar
dugaan. Plok. Tangannya langsung melayang menampar pipi saya. Saya menangis dan tidak mengerti
mengapa sedemikian marahnya. Baru dua tahun menikah, tapi Mas Rizal terus berubah.
Saya pindahkan jemuran ke tempat lain. Saya pergi ke
rumah tetangga untuk meminjam
sesuatu. Tapi dia sudah pulang. tetangga sebelah menyampaikan bahwa Putri menangis. "Mbak dari
mana, itu Putri menangis. Sepertinya jatuh." Saya berlari ke rumah dan mendapatkan Putri
sudah di teras menangis. Saya tanya, "Kenapa menangis sayang?" "Itu
bapak nakal. Putri dipukul," jawabnya dengan sesenggukan. Saya ikut
menangis, kenapa Mas Rizal begitu tega memukul anaknya sendiri. Ketika saya
tegur, Mas Rizal menjawabnya dengan kasar. "Biarin. Saya banting
sekalian,' katanya.
Sejak
itu kemarahan Mas Rizal terus memuncak. Hanya karena masalah sepele, saya sudah kena damprat. Lupa
tidak menyediakan teh saat berangkat atau pulang kantor saja, saya sudah kena
marah. Padahal, saya merasa selama ini menuruti kemauannya. Dilarang main ke tetangga, saya
turuti. Tidak mengikuti pengajian, juga saya turuti.
Pernah
saya hampir disiram dengan air panas dari termos. Saya sampai menangis, dengan berlutut saya pegangi
kakinya. "Saya minta maaf kalau selama ini ada salahnya, tapi jangan sampai
begitu banget," kata saya. Tapi semua itu tidak meredakan kemarahannya.
"Sadar. Sadar kayak gitu itu dosa," saya berusaha menenankan Mas Rizal. Tapi ia
justru makin marah. Saya ditendangnya. "Ngomong lagi. Kalau dikasih tahu sama suami
diam. Tidak usah ucap sepatah katapun," katanya. Akhirnya saya memilih diam dengan air mata
berlinang.
Keluarga
Mas Rizal memperhatikan keadaan saya yang serba berkekurangan. Sehingga baju pun jarang gonta-ganti. Padahal mereka melihat sendiri
bahwa Mas Rizal kerja tiap hari. Sabtu dan Ahad pun tidak libur, pulang jam dua
belas malam. saya
sedih mendengar komentar mereka. Karena sebagai seorang istri saya tidak bisa menutupi kekurangan suami.
Kelahiran
anak yang kedua, tetap juga tidak membawa perubahan. Sikap kebapakan yang saya harapkan
darinya pun belum kelihatan. Sementara kedua anak saya sedang membutuhkan figur
seorang ayah yang mengayomi dan melindungi mereka. Saat liburan bersama keluarga besar, Mas Rizal
lebih senang menyendiri dan enggan bergabung dengan saya dan kedua anaknya. Sampai ada saudaranya
yang menegurnya.
"Rizal, kamu itu gimana sih. Istrimu itu sudah nggendong, terus bawa tas lagi." Tapi mas Rizal
hanya diam. Tidak tergerak untuk membantu saya.
Setelah
semakin lama, Mas Rizal semakin suka memukul, saya tidak tahan lagi menahan derita ini sendirian. Saya
membutuhkan tempat untuk berkeluh kesah. Akhirnya saya ceritakan semuanya
kepada Bibi. Dari sini kemudian semua keluarga pada. tahu. Mereka akhirnya menyerahkan semua
keputusan kepada saya, apakah masih terus berlanjut atau cerai.
Selama ini saya masih berkeyakinan
bahwa perangai yang kasar itu bukan bagian dari pribadi Mas Rizal yang sesungguhnya. Terlebih, Mas
Rizal pernah mengikuti terapi ruqyah di kantornya. Menurut berita yang saya dengar dari
temannya, saat itu Mas
Rizal paling keras reaksinya di antara peserta lainnya. Jin yang merasukinya bernama Adnan dan membutuhkan
waktu yang lama untuk mengeluarkannya. Namun, sejak itu Mas Rizal tidak pernah
lagi mau mengikuti ruqyah. Ketika saya desak, ia bahkan berkilah bahwa jin itu
tidak akan bisa dikeluarkan karena dia telah melakukan perjanjian tertentu.
Entahlah, perjanjian seperti apa. Mas Rizal tidak pernah mau terbuka. Saya
masih berharap Mas Rizal berubah. Karena itu saya mencoba bertahan sampai batas
kemampuan terakhir.
Sebenarnya, sejak
hamil kedua saya sudah merasakan sakit perut. Hal ini terjadi setelah saya
didatangi sosok hitam besar. Kulitnya berbulu. Makin lama makin dekat dan
tiba-tiba hilang begitu saja. Malam harinya, ketika tidur saya merasakan ada
makhluk besar yang duduk di atas saya sehingga saya tidak bisa bangun.
"Kok tidak bisa
bangun, kenapa ya Mas?" tanya saya. "Sudahlah tidur saja jangan
berisik," kata Mas
Rizal. Waktu itu lagi hamil muda. Tangan dan kaki saya tidak bisa diangkat.
Karena suami tidak bangun, saya terus membaca la ilaha illallah wahdahu la syarikalah menjelang shubuh, baru bisa tidur.
Semenjak itu saya sering sakit perut dan kadang kembung. Ketika berobat medis
dokter mengatakan bahwa saya tidak sakit apa-apa. Itu hanya karena beban
psikologis saja.
Akhir-akhir
ini saya suka menyendiri dan seperti orang kebingungan. Itulah yang kemudian
membawa saya mengikuti terapi ruqyah di kantor Majalah Ghoib, setelah mendapat informasi dari saudara
sepupu.
Saat terapi ruqyah,
saya berontak dan berteriak-teriak. Kata teman yang menyertai saya, suara saya
berubah seperti suara laki-laki. Malam harinya, saya tidak bisa tidur. Badan
saya rasanya sakit semua. Keesokan malamnya, saya bahkan tidak bisa bangun.
Waktu itu ibu ada main ke rumah dan saya ceritakan bila sebelumnya mengikuti ruqyah.
Ibu
tidak banyak berbicara, namun dari sorot matanya saya merasakan kesedihannya
melihat saya. Saya membaca doa-doa yang saya hafal, tapi seiring dengan itu,
saya semakin tidak bisa bangun. Sampai akhirnya Mas Rizal pulang jam dua belas malam. Saya minta
didoakan, semoga doanya dikabulkan Allah, tapi ia menanggapinya dengan acuh tak
acuh. "Doa saja sendiri," katanya sambil menyandarkan diri di kursi.
Keesokan
harinya, tenggorokan saya terasa kering. Saya minta Mas Rizal mengambil air
putih. Mas Rizal memberi segelas air putih setelah sebelumnya dibacakan doa. Entah apa yang
dibacanya, saya tidak tahu. Saya hanya berdoa, semoga Allah segera menyembuhkan saya. Memang,
setelah minum air tenggorokan saya terasa segar.
Kembali keanehan
bermunculan di rumah setelah saya mengikuti terapi ruqyah. Gelas di atas lemari
es, bergoyang-goyang sendiri. Saya sadar itu adalah bagian dari perjawanan jin
yang mencoba menteror saya agar saya melemah. Tapi bagi saya hal itu justru
berlaku sebaliknya. Saya akan tetap mengikuti terapi ruqyah. Saya terus
mendengarkan kaset ruqyah dengan headphone. Bahkan di sela-sela mengajar di bimbingan belajar, saya
sempatkan diri untuk dengarkan kaset ruqyah beberapa saat. Ya, sekarang saya
sudah punya kegiatan baru. Menjadi pembimbing di sebuah lembaga kursus.
Kegiatan yang baru berjalan beberapa bulan ini.
Saya berharap dengan itu semua,
saya tabah menghadapi masalah demi masalah yang terus mendera. Saya berdoa semoga perjalanan rumah
tangga kami segera menemukan titik terang. Bukan lagi seperti dua tahun kemarin
yang terus digoncang dengan perselisihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar