ALAMAT RUQYAH SYAR'IYYAH DAN BEKAM
JL. PERCETAKAN NEGARA VII NO 31 RAWASARI JAKARTA PUSAT
BUKA PRAKTEK BEKAM SETIAP HARI DARI JAM 09.00 S/D 17.00 TERMASUK HARI LIBUR DILUAR JAM BISA JANJIAN MENERIMA BEKAM PANGGILAN, BEKAM MASSAL, BEKAM SUAMI ISTRI , BEKAM KEPALA TANPA HARUS MENCUKUR RAMBUT DLL, Tlp : 0815 11311 554 , 0812 828 11254 WA / SMS
JL. PERCETAKAN NEGARA VII NO 31 RAWASARI JAKARTA PUSAT
BUKA PRAKTEK BEKAM SETIAP HARI DARI JAM 09.00 S/D 17.00 TERMASUK HARI LIBUR DILUAR JAM BISA JANJIAN MENERIMA BEKAM PANGGILAN, BEKAM MASSAL, BEKAM SUAMI ISTRI , BEKAM KEPALA TANPA HARUS MENCUKUR RAMBUT DLL, Tlp : 0815 11311 554 , 0812 828 11254 WA / SMS
Kematian
adalah suatu kepastian. Seperti hukum matematika. Tak seorangpun dapat lepas
dari suratan ini. Burung elang yang bebas berkelana menjelajah jagad raya suatu
saat juga akan jatuh dan terkapar di atas tanah.
Tak ubahnya seperti manusia. Bila demikian, haruskah seseorang takut kepada kematian sedemikian rupa hingga di luar batas kewajaran? Seperti kisah Silfi, seorang karyawan swasta asal Bangka Belitung. Ia menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib di Jakarta. Berikut petikannya.
Sekian tahun merantau, saya dapat menghirup udara Jakarta dengan nyaman, seperti layaknya gadis-gadis yang lain. Atribut jilbab yang menutupi kepala semakin menenangkan jiwa. Setidaknya saya bisa menghindari tatapan jalang lelaki hidung belang, yang dengan seenaknya memelototi wanita yang tidak menutup aurat.
Kegamangan yang sempat menghantui, dulu sebelum berangkat ke Jakarta, sirna bersamaan dengan berjalannya waktu. Hingga muncullah suatu perasaan aneh yang menyebar dalam jiwa. Perasaan takut pada kematian, itulah awal derita yang sempat menghimpit dada sebulan lamanya.
Februari yang Menegangkan.
Berawal dari dirawatnya salah seorang kerabat tante di rumah sakit yang biasa saya panggil dengan nenek. Keadaannya sudah semakin kritis. Sehingga tante kembali berniat membesuk nenek. Sebenarnya beberapa hari sebelumnya saya sudah sempat menjenguk nenek, tapi karena keadaannya yang saat itu boleh dibilang sudah sangat kritis, saya berniat kembali menengoknya.
Tak ubahnya seperti manusia. Bila demikian, haruskah seseorang takut kepada kematian sedemikian rupa hingga di luar batas kewajaran? Seperti kisah Silfi, seorang karyawan swasta asal Bangka Belitung. Ia menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib di Jakarta. Berikut petikannya.
Sekian tahun merantau, saya dapat menghirup udara Jakarta dengan nyaman, seperti layaknya gadis-gadis yang lain. Atribut jilbab yang menutupi kepala semakin menenangkan jiwa. Setidaknya saya bisa menghindari tatapan jalang lelaki hidung belang, yang dengan seenaknya memelototi wanita yang tidak menutup aurat.
Kegamangan yang sempat menghantui, dulu sebelum berangkat ke Jakarta, sirna bersamaan dengan berjalannya waktu. Hingga muncullah suatu perasaan aneh yang menyebar dalam jiwa. Perasaan takut pada kematian, itulah awal derita yang sempat menghimpit dada sebulan lamanya.
Februari yang Menegangkan.
Berawal dari dirawatnya salah seorang kerabat tante di rumah sakit yang biasa saya panggil dengan nenek. Keadaannya sudah semakin kritis. Sehingga tante kembali berniat membesuk nenek. Sebenarnya beberapa hari sebelumnya saya sudah sempat menjenguk nenek, tapi karena keadaannya yang saat itu boleh dibilang sudah sangat kritis, saya berniat kembali menengoknya.
Bertiga dengan tante dan anaknya, Zulfa, kami berjalan
menelusuri lorong-lorong rumah sakit. Sesekali berpapasan dengan perawat yang
tergopoh-gopoh mendorong pasien yang sudah kritis. Hingga ketika sampai di
ruangan nenek, saya tidak diizinkan masuk. Itu memang peraturan rumah sakit
bahwa selain keluarga pasien tidak sembarang orang dibolehkan masuk.
Tidak masalah, pikir saya. Dengan santai saya berjalan ke
ruang tunggu, sementara Tante dan Zulfa bergegas masuk ke dalam ruangan.
Senyap, saya tenggelam dalam lamunan. Hingga beberapa saat kemudian, terlihat
tante berjalan tergopoh-gopoh dari ruangan nenek. Raut mukanya sendu,
menyiratkan sesuatu telah terjadi di sana.
Benar saja, “Nenek telah meninggal,” ujar tante
lirih. “Innalillahi wainna ilaihi raji’un,” gumam saya kemudian. Nenek
yang baik hati itu telah pergi mendahului kami, Meski berbeda agama, tapi saya
merasa kehilangan.
Setelah menyampaikan berita itu, tante kembali masuk ke
dalam ruangan nenek. “Masih banyak yang harus dikerjakan di sana,” katanya.
Sementara saya, masih duduk terpaku dalam keheningan.
Satu menit, sepuluh menit berlalu, saya masih tetap dalam
kesendirian. Hingga perasaan aneh menyeruak ke dalam jiwa. Perlahan namun
pasti, perasaan aneh itu semakin kuat. Saya pun mulai kehilangan nalar sehingga
yang terjadi kemudian di luar perkiraan saya.
“Di sini, saya mati. Di rumah sakit ini saya akan mati,”
seru suara dalam relung jiwa saya. Perasaan takut pada kematian segera
menghantui saya. Saya merasa kepergian nenek tidak berselang lama akan disusul
oleh yang lain. Dan ia adalah saya.
Saya gelisah. Ketakutan yang tidak berdasar itu semakin menguasai
saya. Hanya dalam hitungan menit, nafas saya mulai sesak. Saya semakin kalut
tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Butiran-butiran keringat dingin mulai
bercucuran.
Dalam ketidaktenangan itu terlintas dalam benak saya bahwa saya
harus dirawat. Saya harus diberi pernafasan pembantu untuk mengurangi sesak di
dada yang semakin parah. Saya mendekati seorang satpam yang tidak jauh dari
tempat duduk saya.”Pak, di mana ruang UGD? Sepertinya saya sesak nafas. Saya
butuh oksigen,” tanya saya dengan nada tersekat.
“Kenapa bu? Asma ya?” tanya satpam itu sebelum
menjawab pertanyaan saya. “Tidak tahu, pokoknya saya sesak nafas”. “Di mana
ruangan UGDnya” tanya saya kembali. Satpam itu pun menunjukkan lorong
mana yang harus saya lewati sebelum akhirnya sampai diruangan UGD.
Bergegas, saya mengikuti petunjuk satpam itu. Namun,
setibanya di depan ruangan UGD, saya mengurungkan diri untuk masuk ke dalam.
Ada perasaan malu yang tersirat. Beli balsem saja, pikir saya kemudian.
Saya menuruti kata hati. Kembali melangkah dengan gontai ke
halaman. Celingukan ke kiri dan kanan, dimana kiranya dijual balsem gosok.
Setelah membeli balsem, saya mencoba menenangkan diri dengan duduk di pelataran
rumah sakit. Tapi itu masih tidak bisa menolong.
Bisikan, “Mati, mati,” masih terus terngiang
di telinga. Hangatnya balsem tidak lagi bermanfaat. Saya semakin kalut, hingga
saya putuskan untuk kembali ke ruang UGD. Saya tidak mungkin sembuh kalau tidak
diobati seseorang atau tidak dekat dengan seseorang. Akhirnya saya masuk ke
ruang UGD.
Selang oksigen pun segera tersalurkan melalui hidung
saya. Lima, sepuluh menit saya mencoba bertahan. Menunggu reaksi positif dari
oksigen itu. tapi yang terjadi kemudian sangat di luar perkiraan. Bantuan
pernafasan itu tidak bisa berbuat apa-apa. Sesak nafas dan bisikan kematian
masih terus berdengung. “Sudah waktunya kamu mati sekarang. Kamu mati
sekarang. Di sini kamu mati,”
Saat-saat yang menegangkan. Seandainya saya bisa
melewati masa yang kritis ini, saya merasa itu adalah kemenangan yang hebat.
Sejenak, saya merenung dan terbetiklah keinginan untuk berbicara terbuka kepada
dokter jaga atas semua yang menimpa saya.
“Dok, sebenarnya saya ke sini membesuk nenek, tapi
sekarang beliau sudah meninggal. Sementara tante saya masih menunggu di kamar
nenek.” Saya berbicara apa adanya kepada dokter. “Saya merasa tidak
mungkin sembuh, bila saya tidak dipertemukan dengan mereka,” jelas saya
lebih lanjut. Setelah melihat tidak ada perkembangan yang berarti dari bantuan
pernafasan itu, akhirnya saya diantar seorang perawat menemui tante yang masih
berada di kamar nenek.
Plong rasanya melihat tante. Saya segera berhambur dan
mendekapnya. “Silfi kenapa?” tanya tante heran melihat sikap saya yang
tidak seperti biasanya. “Silfi takut mati, tante,” hanya kalimat itu
yang sempat terucap. Saya pun menangis bercucuran air mata.
“Silfi, Umur kan di tangan Allah, kalau kita sudah tahu
mau mati, ya enak duluan. Jadi sama sekali tidak ada yang tahu kapan ia mati,”
ujar tante menenangkan saya. “Berdzikirlah! Jangan terbawa emosi!” tante
berusaha menenangkan saya.
Perlahan, saya mulai bisa menguasai diri. Saya mencoba
merenung sejenak. Benar memang apa yang dikatakan tante. Mungkin waktu itu hati
saya sedang gersang sehingga mudah tergoda syetan, karena sudah beberapa lama
saya tidak menghadiri majlis ta’lim. Ini teguran dari Allah atas kelalaian ini.
Saat-saat berikutnya saya bergegas ke mushalla untuk
menenangkan diri. Sementara tante dan Zulfa mengiring jenazah nenek yang akar
disemayamkan di rumah duka. Saya merasa tidak sanggup mengiringi jenazah,
karena bagi saya kematian itu sesuatu yang menyakitkan.
Saya sendiri tidak tahu, bagaimana perasaan ini muncul,
apakah karena saya sering menonton film-film horor? Entahlah saya jadi pusing
bila memikirkannya. Lebih baik, menenangkan diri dengan membaca al-Qur’an,
pikir saya setelah sekian lama termenung di mushalla rumah sakit.
Malam-Malam yang Mengerikan
Peristiwa kelabu di rumah sakit itu tidak hilang begitu
saja. Hari-hari berikutnya saya hidup dalam ketakutan. Saya merasakan hidup
saya tidak lagi normal. Suasana malam yang hening menjadi momok tersendiri bagi
saya. Nyaris tiap malam saya tidak berani tidur sendirian.
Meski sudah tidur bersama tante, tapi bayang-bayang
kematian masih menghantui. Perasaan ini memang sulit dijelaskan. Dalam
kesendirian itu seolah-olah ada yang menakut-nakuti saya, padahal saya tidak
melihat apa-apa. Cuma perasaan saya yang memang ketakutan luar biasa.
Dalam balutan ketakutan, saya mendekap bantal sambil duduk
meringkuk di bawah kaki tante yang sudah tertidur lelap. Saya tidak berani
membangunkan tante. Kasihan, ia sudah seharian bekerja dan sekarang adalah
saatnya istirahat untuk menyambut hari esok.
Saya ingin memejamkan mata, tapi tetap saia mata ini enggan
terpejam. Hanya harapan yang terpatri bahwa saya bisa melewati malam ini dengan
baik dan melihat matahari esok hari. Saya terus berdzikir supaya bisa melewati
malam itu. Tanpa terasa keringat dingin pun bercucuran. Saya tidak sanggup lagi
membendung air mata.
Detik demi detik berjalan lambat dalam keheningan. Sunyi.
Senyap, binatang malam enggan bersuara. Hanya desahan nafas tante yang
terdengar teratur. Dalam keadaan seperti itu, saya teringat kembali dengan
sosok ibu yang jauh di pulau seberang.
Karena selama ini ibu adalah orang yang paling mengerti
diri saya. lbu yang pandai menghibur saya dalam keadaan kritis semacam ini.
Tapi apa boleh dikata, ibu memang tidak berada di samping saya.
Jam satu atau bahkan jam dua dinihari, saya baru bisa
memejamkan mata setelah melewati drama yang panjang. lronisnya, bila tiba-tiba
saya terbangun kembali sebelum sembuh, maka bayang-bayang kematian kembali
muncul menggantikan mimpi yang baru beberapa saat.
Malam-malam yang terlalu berat bagi saya, karena ketakutan
pada kematian itu sangat menyiksa. Pikiran negatif akan kematian terus menumpuk
dalam benak. Seakan pikiran ini tertanam kuat dengan akar-akarnya yang
menghujam ke dalam jiwa.
Sakit batuk yang bagi orang lain tergolong penyakit ringan dan
tidak berbahaya, buat saya itu sudah sangat menyiksa. Saya menganggap sakit
batuk merupakan pintu gerbang menuju kematian, sementara masih belum ada amal
yang bisa di banggakan untuk menyambut datangnya kematian. Maka yang terjadi
kemudian batuk-batuk kecil itu berubah menjadi sesak nafas.
Semakin lama semakin berat, sehingga saya merasa seperti
ada orang yang mencekik leher saya. Saya merasakan ajal saya sudah semakin
dekat. Saya berusaha melepaskan diri dari cekikan itu tapi tetap sia-sia.
Tangisan yang saya anggap menjadi senjata pamungkas pun tidak bisa dikeluarkan.
Saya benar-benar tidak bisa menangis, hingga jalan terakhir saya harus
membangunkan tante yang tidur pulas.
Tante bangun dengan mata yang sayu. Matanya semakin sayu, saat
melihat wajah saya yang pucat pasi dalam ketidakberdayaan. Dengan berlinang air
mata, saya mengadu kepada tante. Apa yang sebenarnya terjadi sehingga saya
harus mengalami penderitaan ini. Seperci biasa tante kemudian menenangkan saya.
Siang hari, saya merasa lebih tenang. Bisikan-bisikan
kematian tidak terlalu sering terbetik. Mungkin karena pikiran saya teralihkan
oleh aktifitas harian yang menyita waktu dan perhatian. Hanya sesekali
ketakutan itu muncul begitu saja tanpa didahului oleh tanda apa-apa. Tiba-tiba
saja saya merasa takut mati dan sesak nafas yang hebat. Bila sudah demikian
biasanya saya segera mengambil balsem atau menenangkan diri dengan minum air
putih.
Suatu hari, bisikan kematian itu muncul ketika saya sedang
shalat. “Wah, setelah shalat ini saya akan mati.” Saya bingung,
mengapa bisikan itu kemudian munculdi dalam shalat. Detik-detik berikutnya,
kembali terjadi dialog dalam batin.
“Mati nih, tapi bagus kamu mati dengan husnul
khatimah’. “Mati, mati, matiii ...” Akhirnya shalat saya terganggu.
Saya tidak bisa konsentrasi karena dialog kematian terus terjadi hingga shalat
selesai.
Kebetulan waktu itu ibu sedang ke Jakarta, sehingga saya
ceritakan apa yang saya alami selama ini kepadanya. “lbu, kalau nafas itu
bagaimana? Kok nafas saya sering sesak sih?” lbu terperangah mendengar
keluhan itu sehingga jalan pintas segera diambil.
“Ya sudah, kita bawa ke dokter saja,” jawab ibu
serius. Sejurus kemudian, saya ke dokter dengan ditemani ibu. Namun, diagnosa
dokter semakin membingungkan. Karena hasil tes jantung dan paru-paru semuanya
normal. Tidak ada masalah yang perlu dirisaukan.
Melihat perkembangan itu, saya pun memutuskan untuk
konsultasi dengan ustadz ngaji saya melalui telepon. “lni merupakan ujian
buat Silfi. Semakin tinggi keimanan seseorang semakin hebat ujiannya,”
nasehat ustadz melalui telepon itu semakin menguatkan diri saya agar tidak
menyerah dan hanya berpangku tangan.
Karena itu saya memberanikan diri untuk melayat tetangga
yang meninggal. Meski sejujurnya saya akui bahwa hati saya belum siap. Saya masih
memaksakan memaksakan diri, karena saya berpikir bahwa ini merupakan salah satu
bagian dari pengobatan juga.
Dengan berat, saya melangkahkan kaki ke sana dan melihat
wajah orang yang meninggal sebelum dikafani. Sebenarnya saya tidak tahan melihat
wajahnya tapi saya tetap bersikeras. Akibatnya sungguh di luar dugaan.
Bayangan wajah yang memutih itu tertanam kuat di benak
saya. Sekian cara yang saya tempuh untuk menghapus bayangan itu masih sia-sia. “Wah,
giliran berikutnya adalah saya. Saya bakalan mati dalam waktu dekat. Saya
bakalan mati dalam waktu dekat,” detik-detik berikutnya nafas saya kembali
sesak.
Momok malam yang mengerikan itu tidak terbatas pada
kesulitan tidur dan dicekam ketakutan. Karena pada saat tertidur pun sesekali mimpi
menyeramkan datang menghampiri. Sering saya bermimpi didatangi orang-orang yang
sudah meninggal.
Seperti yang terjadi pada suatu malam. Dalam keremangan
lampu, saya melihat ibu dikejar-kejar hantu. Sosok manusia dengan wajah biasa,
tapi saya tahu bahwa orang itu sudah mati. Hantu itu menakut-nakuti dengan
berjalan biasa. Saya terbangun dengan nafas tersengal-sengal.
Sebenarnya, jauh sebelum saya menderita takut mati seperti
sekarang, saya telah sering mengalami rep-repan (tindihan). Waktu
itu, saya masih belum menyadari bahwa rep-repan itu merupakan indikasi
seseorang terkena gangguan jin. Sehingga saya menanggapinya dengan biasa saja.
Tidak panik atau cemas.
Saat tidur lelap itu tiba-tiba seperti ada kekuatan besar
yang menindih badan saya. Dada saya dihimpit berton-ton barang. Saya berusaha
berontak, tapi kekuatan itu tetap tidak bergeser. lngin rasanya tangan ini
meraih pintu, tapi tangan saya sulit digerakkan.
Semakin keras berusaha, semakin kuat kekuatan itu menindih
saya. sementara mulut yang seharusnya mampu berteriak dan meminta tolong,
seakan terkunci.
Dada saya semakin sesak, dan seperti biasa reaksi yang
kemudian saya temukan setelah sekian lama dalam himpitan kekuatan besar itu
adalah nafas yang tersengal-sengal. lronisnya, rep-repan ini tidak hanya
menyerang saat sedang tertidur. Dalam kondisi terbangun dan dalam kesadaran
penuh, saya pernah mengalami hal serupa. Usaha keras saya untuk meraih pintu
juga sia-sia.
Saya Sadar Kematian itu Harus Dipersiapkan
Kejadian-kejadian inilah yang kemudian mengantarkan saya
untuk mengikuti terapi ruqyah di kantor Majalah Ghoib. Terapi ini saya ketahui
secara tidak sengaja, ketika saya bercerita kepada seorang teman, ia justru
menyarankan saya mengikuti terapi ruqyah, karena gangguan yang saya alami
selama ini terkesan memang tidak wajar. Pengobatan secara medis yang telah saya
tempuh juga menemui jalan buntu.
Sementara kondisi kejiwaan saya sudah lelah, bila tidak ada
perubahan dalam waktu dekat, saya tidak tahu apakah saya bisa bertahan. Saya
khawatir bila akhirnya semakin parah dan menjadi gila. Saya tidak sanggup lagi
dihantui ketakutan setiap malam.
Berbekal alamat yang saya peroleh dari seorang teman, saya
mencari kantor Majalah Ghoib. Namun, sayang ketika tiba di sana, saya harus
menunggu giliran terapi tiga minggu lamanya. Tiga minggu bukan waktu yang
pendek, segala kemungkinan bisa saja terjadi.
Saya merasa beruntung dalam masa penantian itu teman-teman ngaji
banyak memberi semangat dan dorongan kepada saya agar bertahan dan tidak
menyerah. Membaca al-Qur’an semakin saya tingkatkan intensitasnya. Dan
hasilnya pun terasa, berangsurangsur keadaan saya semakin membaik.
Tanggal 13 Maret, saya berangkat ke kantor Majalah Ghoib
untuk menglkuti terapi seperti yang telah dijadwalkan. Saya bersyukur bahwa
saat mengikuti terapi saya tidak bereaksi keras seperti pasien-pasien
lain.
Hanya rasa deg-degan yang mengaliri badan saya saat
mendengarkan lantunan ayat-ayat al-Qur’an. Sewaktu tiba giliran saya untuk
diterapi satu persatu pun sayatidak bereaksi apa-apa. Saya hanya diam dan tidak
kepanasan atau menjerit-jerit seperti beberapa pasien yang lain. Saat itu saya
terus berdoa dalam hati, semoga saya bisa hidup normal menghadapi masa depan.
Saya memang hanya sekali mengikuti terapi di kantor Majalah
Ghoib, karena saya merasa gangguan yang saya derita sekarang sudah jauh
berkurang. Rep-repan yang dulu bisa datang dua minggu sekali itu, sekarang
sudah tidak ada. Pada sisi lain, saya lebih mengedepankan terapi ruqyah mandiri
dengan banyak membaca al-Qur’an, al-Ma’tsurat serta melaksanakan shalat dan
perintah-perintah agama lainnya.
Saya sadar bahwa kematian bukan sesuatu yang harus
ditakutkan, karena semua orang akan mati. Yang perlu dipikirkan sekarang adalah
mempersiapkan diri sebaik mungkin menjemput kematian yang datangnya tidak
terduga. Saya hanya berharap pada akhirnya bisa mengakhiri hidup ini dengan husnul
khatimah.
Secara lebih jauh saya mencoba introspeksi ke dalam diri
saya sendiri, mengapa takut akan kematian itu bisa menjadi momok yang
menakutkan. Kesimpulan dari kesemuanya itu mungkin berpangkal pada kepribadian
saya yang suka menyendiri.
Saya suka melakukan apa saja sendiri, karena saya tidak
ingin merepotkan orang lain. Mungkin karena perasaan merasa kuat, sehingga
sepertinya tidak membutuhkan orang lain.
Akibatnya saya hidup dalam kesendirian saya, peristiwa ini
seolah-olah menyadarkan saya bahwa manusia itu membutuhkan orang lain. Sangat
butuh dan jangan merasa sombong dengan kebisaan dan kemampuan diri sendiri.
Kita butuh orang lain.
KISAH NYATA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar