Katanya, kalau weton antara orangtua dan anak itu sama, maka
si anak harus dibuang. Bila tidak ingin terjadi prahara dalam rumah tangga mereka.
Yang dimaksud dengan weton adalah hari lahir seseorang yang dihitung
menurut kalender Jawa. Misalnya Senin Legi, Selasa Pahing dan seterusnya.
Suasana rumah tangga yang tadinya adem ayem bisa berubah total.
Kehadiran anak yang diharapkan menjadi pelita dalam rumah tangga katanya hanya
pepesan kosong. Keributan dalam rumah tangga itu terus meningkat. Piring
terbang, gelas melayang, pintu terbanting dan seterusnya.
Siapapun orangnya tentu tidak ingin hidup dalam ketidaktenangan
seperti ini. Tidak peduli, apakah weton antara orangtua dan anak itu
sama atau tidak. Tapi yang jelas bagi mereka yang tidak memiliki weton
yang sama tidak akan berpikir macam-macam. Hal ini berbeda dengan mereka yang
memiliki weton yang sama dengan anaknya, rasa was-was, takut dan
khawatir mencekam jiwa mereka bila tidak melakukan ritual pengusir balak yang
ditimbulkan oleh persamaan weton.
Ritualnya terbilang unik. Tidak ubahnya seperti permainan sinetron
saja. Bayangkan orangtua yang memiliki weton yang sama dengan anaknya
harus membuang sang jabang bayi yang masih merah dan tidak tahu apa-apa itu.
Bayi dibuang. Tapi skenario sudah dirancang sedemikian rupa. Si
jabang bayi tidak dibiarkan terlalu lama terbuang dan menangis meraung-raung
yang menyayat hati. Orang yang telah dipercaya untuk menemukan dan mengambil si
bayi harus segera bertindak, berjalan menyusuri jalanan yang dilewati si
orangtua yang “tega” membuang bayinya hanya karena mitos. Bayi telah ditemukan.
Lalu dibawa pulang dan dirawat oleh si penemu yang dianggap sebagai orangtua si
jabang bayi terbuang.
Skenario belum berakhir. Beberapa hari kemudian, orangtua asli yang
telah membuang bayinya berpura-pura main ke rumah si penemu bayi. Dan
terjadilah transaksi di antara mereka. Si bayi tidak ubahnya seperti barang
dagangan saja. la dibeli oleh orangtuanya kembali. Itulah skenario yang biasa
mereka lalui, hanya untuk mempertahankan sebuah mitos yang entah siapa pencetus
idenya.
Ironisnya, mitos ini masih diyakini sebagian besar masyarakat Jawa.
Bahkan mereka yang sudah lama menetap di Jakarta pun masih memegang tradisi
yang tidak jelas ujung pangkalnya ini.
Keharmonisan rumah tangga tidak ditentukan oleh perbedaan weton
setiap anggota keluarga itu, tapi lebih disebabkan oleh pemahaman masing-masing
anggota keluarga. Serta komitmen mereka untuk menyelesaikan setiap permasalahan
yang muncul dengan kepala dingin. Tidak perlu memperbesar ego masing-masing dan
tidak mau mengalah. Toh mengalah bukan berarti kalah, karena mengalah di sini,
hanya sebuah strategi untuk kembali bangkit merengkuh kebahagiaan yang mereka
idam-idamkan. Berdoa dan berusahalah semoga Allah menyatukan hati setiap
anggota keluarga dan tidak membuatnya bercerai berai. Karena Dia lah yang mampu
menyatukan hati setiap hamba-Nya.
Akhirnya, jangan beralasan karena alasan weton yang sama dengan
orangtua lalu bayi yang masih merah itu dibuang. Padahal itu adalah hasil
hubungan gelap, misalnya. Sudah jatuh malah tertimpa tangga itu namanya, bukan
mitos yang hilang, tapi penjara tempat huniannya. Nah Iho.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar