Sabtu, 28 September 2013

Weton Sama, Anak Dibuang ?


Katanya, kalau weton antara orangtua dan anak itu sama, maka si anak harus dibuang. Bila tidak ingin terjadi prahara dalam rumah tangga mereka. Yang dimaksud dengan weton adalah hari lahir seseorang yang dihitung menurut kalender Jawa. Misalnya Senin Legi, Selasa Pahing dan seterusnya. Suasana rumah tangga yang tadinya adem ayem bisa berubah total. Kehadiran anak yang diharapkan menjadi pelita dalam rumah tangga katanya hanya pepesan kosong. Keributan dalam rumah tangga itu terus meningkat. Piring terbang, gelas melayang, pintu terbanting dan seterusnya.
Siapapun orangnya tentu tidak ingin hidup dalam ketidaktenangan seperti ini. Tidak peduli, apakah weton antara orangtua dan anak itu sama atau tidak. Tapi yang jelas bagi mereka yang tidak memiliki weton yang sama tidak akan berpikir macam-macam. Hal ini berbeda dengan mereka yang memiliki weton yang sama dengan anaknya, rasa was-was, takut dan khawatir mencekam jiwa mereka bila tidak melakukan ritual pengusir balak yang ditimbulkan oleh persamaan weton.
Ritualnya terbilang unik. Tidak ubahnya seperti permainan sinetron saja. Bayangkan orangtua yang memiliki weton yang sama dengan anaknya harus membuang sang jabang bayi yang masih merah dan tidak tahu apa-apa itu.
Bayi dibuang. Tapi skenario sudah dirancang sedemikian rupa. Si jabang bayi tidak dibiarkan terlalu lama terbuang dan menangis meraung-raung yang menyayat hati. Orang yang telah dipercaya untuk menemukan dan mengambil si bayi harus segera bertindak, berjalan menyusuri jalanan yang dilewati si orangtua yang “tega” membuang bayinya hanya karena mitos. Bayi telah ditemukan. Lalu dibawa pulang dan dirawat oleh si penemu yang dianggap sebagai orangtua si jabang bayi terbuang.

Skenario belum berakhir. Beberapa hari kemudian, orangtua asli yang telah membuang bayinya berpura-pura main ke rumah si penemu bayi. Dan terjadilah transaksi di antara mereka. Si bayi tidak ubahnya seperti barang dagangan saja. la dibeli oleh orangtuanya kembali. Itulah skenario yang biasa mereka lalui, hanya untuk mempertahankan sebuah mitos yang entah siapa pencetus idenya.
Ironisnya, mitos ini masih diyakini sebagian besar masyarakat Jawa. Bahkan mereka yang sudah lama menetap di Jakarta pun masih memegang tradisi yang tidak jelas ujung pangkalnya ini.
Keharmonisan rumah tangga tidak ditentukan oleh perbedaan weton setiap anggota keluarga itu, tapi lebih disebabkan oleh pemahaman masing-masing anggota keluarga. Serta komitmen mereka untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul dengan kepala dingin. Tidak perlu memperbesar ego masing-masing dan tidak mau mengalah. Toh mengalah bukan berarti kalah, karena mengalah di sini, hanya sebuah strategi untuk kembali bangkit merengkuh kebahagiaan yang mereka idam-idamkan. Berdoa dan berusahalah semoga Allah menyatukan hati setiap anggota keluarga dan tidak membuatnya bercerai berai. Karena Dia lah yang mampu menyatukan hati setiap hamba-Nya.
Akhirnya, jangan beralasan karena alasan weton yang sama dengan orangtua lalu bayi yang masih merah itu dibuang. Padahal itu adalah hasil hubungan gelap, misalnya. Sudah jatuh malah tertimpa tangga itu namanya, bukan mitos yang hilang, tapi penjara tempat huniannya. Nah Iho.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar