Kesaksian
ibu Asti (30 tahun)
Aku lahir di
Jawa Timur tepatnya di kota Jombang 30 tahun yang lalu. Kota yang lebih dikenal dengan banyak kyai
dan para santrinya. Meski dibesarkan di
sana bukan berarti aku juga memiliki pemahaman Islam yang memadai. Boleh
dikata, aku nyaris tidak mengenal syariat Islam dengan baik. Aku hanya mengetahui orang Islam itu yang
penting shalat, puasa, dan mengaji.
Aku
dibesarkan di lingkungan keluarga yang berkecukupan secara ekonomi. Kehidupan masa kanak-kanak dan remaja kulalui
dengan mulus tanpa banyak kendala yang berarti.
Papaku memiliki usaha yang terbilang sukses sehingga aku bisa
melanjutkan kuliah di sebuah kampus terkenal di kota Semarang. Aku menyelesaikan kuliah pada tahun 1999.
Semasa
kuliah tingkat akhir aku bekerja di kantor papa sebagai bekal pengalaman
kelak. Kenyataannya, pengalaman kerja
yang kumiliki memang cukup membantu.
Akan tetapi roda kehidupan tidak selamanya berjalan mulus. Anak buah papa, sebut saja namanya Nina,
menghilangkan aset perusahaan yang nilainya cukup besar.
Meski Nina mau
bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukannya, namun belakangan diketahui
ada beberapa kejanggalan di balik hilangnya aset tersebut. Diduga ada beberapa indikasi mistis di balik
semua kejadian ini. Seperti ditemukannya taburan garam di rumah dan di kantor.
Hal ini
menjadi awal petaka yang menimpa keluargaku.
Kehidupan keluargaku berubah karena papa tidak lagi bekerja di kantor
yang dulu. Ia diberhentikan dengan tidak
hormat. Tanpa sepeserpun uang pesangon yang diterimanya. Secara otomatis bersamaan itu pula aku keluar.
Kondisi ini
membuatku harus berusaha keras untuk mendapatkan pekerjaan agar bisa membantu
keluarga. Meskipun sebelum lulus kuliah
banyak yang menawarkan pekerjaan kepadaku, tetapi dalam kondisi terdesak
seperti ini aku justru sangat kesulitan untuk memperoleh pekerjaan. Aku sempat berpikir mungkin saja ini ada
kaitannya dengan Nina yang tidak suka melihat kesuksesan dan kebahagiaan keluargaku.
Tapi, kupikir, tidak ada gunanya hanya meratapi nasib dan menyalahkan orang
lain. Hanya menambah dan masalah saja. Aku tidak mau larut dalam kesedihan.
Artinya, perjuangan untuk bertahan hidup tetap dilanjutkan. Meski dengan
segudang tantangan.
Alhamdulillah akhirnya aku diterima kerja menjadi
seorang SPG (Sales Promotion Girl) di sebuah perusahaan. Hatiku mulai tenang. Setidaknya ada harapan
untuk mengembalikan kebagiaan yang hilang itu.
Belum
berselang lama, kunikmati suasana kerja yang baru. Aku sudah dihadapkan dengan
masalah lain. Masalah klise. Masalah cinta dua anak manusia yang bertepuk
sebelah tangan.
Seorang
atasanku, sebut saja namanya Pras, menaruh hati kepadaku. Mungkin karena tingginya intensitas pertemuan
kami. Selain karena dia bertugas mentrainingku, kami juga terlibat dalam satu
tim kerja sehingga komunikasi di antara kami tidak bisa terelakkan lagi. Witing
trisno jalaran soko kulino, kata pepatah Jawa.
Lelaki yang
dulu dikenal sebagai playboy kampus itu jatuh cinta kepadaku. Masalahnya,
aku tidak merasakan getaran yang sama sehingga aku tak bisa menerima cintanya. Jujur,
kukatakan ia bukan lelaki idamanku. Dengan
halus kutolak cintanya. Sebisa mungkin aku berusaha tidak membuat hatinya
terluka. Aku tahu, tentu tidak mengenakkan bila ditolak cintanya. Terlebih dia
seorang playboy, yang terkenal mudah mendapatkan 'gebetan' baru.
Aku masih
menganggap wajar, bila sikapnya mulai berubah. Ia tidak lagi sebaik dulu. Tapi
bagiku, itu lebih melegakan daripada aku harus berpura-pura mencintainya.
Terjebak
dalam ikhtiyar yang salah
Pada tahun
2001 aku menikah dengan Mas Seno, seorang pria yang sangat kucintai. Masa penantian
bagi seorang gadis sepertiku telah berakhir dan kini berganti dengan
kebahagiaan yang menyelimuti seluruh keluarga.
Namun bayangan keindahan kebahagiaan rumah tangga yang kudambakan selama
ini tidaklah semudah yang kuangankan.
Aku
dihadapkan pada kenyataan pahit. Awal pernikahan yang seharusnya menjadi
samudra untuk mereguk kebagiaan bersama, justru laksana padang pasir yang
kering. Di malam hari, kulihat Mas Seno seakan-akan bukanlah suamiku. Ia nampak
seperti orang lain hingga aku enggan melayani hubungan lazimnya dua insan yang
telah terikat jalinan suci.
Masalah demi
masalah yang datang silih berganti dan kondisi kejiwaanku yang kacau membuatku
mencari informasi tentang dukun yang mungkin bisa membantu menyelesaikan semua
kemelut ini. Aku memperoleh informasi
tentang perdukunan tersebut dari sebuah majalah. Di sana tertulis dengan jelas
alamat dan jenis keahlian yang mereka tawarkan seperti pasang susuk, penglaris,
pelet, dan lain sebagainya.
Dari
beberapa informasi yang kuperoleh, kuputuskan untuk mendatangi seorang dukun terkenal
di Pati, Jawa Tengah. Namanya Pak Sati. Aku berangkat ke sana dengan ditemani
suami dan ibu. Dengan satu niat, meraih kebahagiaan dalam berumah tangga.
Sebenarnya,
aku ragu apakah langkah yang kutempuh ini benar. Karena dulu, sewaktu mengikuti
pesantren kilat di sekolah, aku mendapat penjelasan bahwa datang ke dukun itu
termasuk syirik. Karena itulah, aku langsung bertanya kepada Pak Sati, apakah
kedatanganku kali ini termasuk syirik.
Dengan tegas
Pak Sati menjawab, "Lha wong aku saja sudah lima kali haji." Jawabannya
membuatku sedikit lega. Penampilan karyawannya yang berjilbab serta keberadaan
mushalla menambah keyakinanku bahwa yang kulakukan tidak termasuk syirik.
Pak Sati
mengatakan, ada orang yang tidak ingin aku hidup bahagia bersama Mas Seno. Katanya, ada yang mengirim sihir untuk menceraiberaikan
rumah tanggaku.
Aku hanya
diam termangu. Pikiranku menerawang ke belakang. Aku mulai berpikiran negatif
dan menebak siapa pelakunya. Ini pasti ulah Pras, gumamku dalam hati.
Indikasi ini
diperkuat dengan kondisiku yang enggan berhubungan badan dengan suami. Aku juga mengalami frigiditas dan radang
vagina. Jadwal menstruasi menjadi tidak
teratur serta terkadang keluar terus menerus tanpa henti. Aku sudah berobat ke dokter dan psikiater
namun tidak ada hasilnya.
Masalah-masalah kecil yang seharusnya menjadi bumbu dalam rumah tangga
justru menjadi pemicu percekcokan hebat di antara kami.
Oleh Pak Sati aku diberi tiga jimat berbentuk
keris, tombak, dan golok. Katanya, masing-masing berfungsi untuk memperlancar
rizki, pagar badan atau penjagaan dan pemancar aura agar terlihat lebih muda
dan cantik. Selain itu aku juga dialiri
semacam sengatan listrik. Sebelumnya aku harus berwudlu kemudian membaca surat al-Fatihah,
al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Naas.
Pak Sati berpesan
agar aku merawat jimat pemberiannya dengan baik dengan cara melakukan penjamasan
(memandikan) setiap bulan Syuro. Bulan yang dikeramatkan oleh sebagian
masyarakat Jawa.
Setelah
kembali dari Pati, dengan berbagai pertimbangan, akhirnya aku mengundurkan diri
dari tempat kerja. Selain masalah dengan
Pras juga karena faktor kelelahan dan banyak waktu yang tersita.
Derap langkah pengiring jenazah di tengah malam
Setelah
keluar dari kantor, hatiku lebih tenang. Tidak ada lagi ketakutan atau perasaan
tidak enak dengan Pras. Akhirnya aku bisa menikmati kehidupan yang berbahagia
bersama suami hingga kami dikaruniai dua orang putra yang tampan dan lucu. Saat itu aku benar-benar merasakan
kebahagiaan sebagai seorang ibu muda dan merasa sempurna sebagai seorang
wanita. Putra pertamaku berusia 3 tahun
sedangkan adiknya berusia 1,5 tahun. Alhamdulillah
saat ini aku mempunyai usaha yang cukup maju tanpa melalaikan kewajibanku
sebagai seorang istri dan ibu bagi kedua buah hatiku.
Namun
akhir-akhir ini kebahagiaan itu terusik kembali. Aku gelisah tanpa sebab serta
sulit berkonsentrasi. Kegelisahan itu semakin menemukan titik puncaknya ketika
shalat. Yang diawali dengan perasaan sering keluar angin. Akibatnya hatiku
semakin tidak tenang. Aku pun mengulang wudhu hingga berkali-kali. Kalau hanya
sesekali, mungkin aku tidak terlalu gelisah. Tapi kejadiannya selalu berulang
ketika shalat.
Kondisi ini
diperparah dengan kejadian pada malam menjelang Ramadhan 1427 H. Sekitar pukul 21.00-22.00 aku beserta seluruh
penghuni rumah yang terdiri dari suami, kedua putraku, dan dua orang pembantu
mendengar suara langkah kaki pengiring jenazah diiringi bacaan tahlil, lazimnya
pengiring jenazah ke pemakaman.
Kami tidak
berani mengintip keluar dan memilih bersabar untuk bertanya kepada tetangga
pada keesokan harinya. Malam tersebut
kami lalui dengan ketakutan yang mencekam dan keresahan luar biasa. Gelisah. Tidak
bisa tidur. Putraku pun rewel terus.
Keesokan
harinya, aku bertanya kepada tetangga apakah ada orang yang meninggal atau
barangkali semalam mendengarkan suara iringan jenazah. Namun jawabannya nihil. Tidak ada yang mendengarnya. Bahkan di antara
warga sekitar rumahku pun tidak ada yang meninggal.
Taruhlah
yang meninggal itu warga dari kampung lain, tapi jarak antara rumahku dan
pemakaman sejauh satu kilo meter. Sangat tidak mungkin bila suara derap langkah
pengiring jenazah itu terdengar sampai rumahku. Terlebih bila hanya keluargaku
yang mendengarnya. Tak ada orang lain yang mendengarnya.
Sejak malam
itu satu persatu kejadian aneh menghinggapi kehidupan kami. Seluruh keluarga merasa ketakutan. Kedua pembantu yang minta izin pulang dalam
rangka lebaran jatuh sakit sesampainya di rumah masing-masing. Sakit yang tidak
kunjung sembuh, seakan sengaja dihalangi agar tidak kembali ke rumahku. Akhirnya
mereka datang juga, meski terlambat dari rencana semula.
Tidak
biasanya, masakan di rumah cepat basi. Pagi dimasak, sore sudah berbau
menyengat. Keanehan demi keanehan yang pada akhirnya membuat pembantuku
mengambil langkah seribu. Mereka mengundurkan diri dengan alasan tidak lagi
kerasan, padahal mereka sudah bersamaku selama bertahun-tahun.
Sejak
terdengar iringan jenazah itu, nyaris tiap malam putra pertamaku rewel. Dia
juga lebih sering menangis.
Pernah dua
kali ular berbisa masuk ke dalam rumah pada dini hari menjelang Shubuh. Kami berusaha mengusir keluar, tetapi ular
itu mbandel. Terpaksa kami membunuhnya meski disertai rasa ketakutan. Anehnya,
pada pagi harinya kami menemukan tiga onggokan kotoran manusia. Menurut
sebagian orang hal tersebut biasa digunakan sebagai media guna-guna.
Sinetron Astaghfirullah
membuka mata hatiku.
Kejadian
demi kejadian yang kami alami itu bermuara pada satu kesimpulan. Ada yang tidak
senang dengan kebahagiaan kami. Mereka ingin menghancurkan kehidupanku. Lalu,
kemana kami harus melangkah? Kembali mendatangi Pak Sati? Pikiran itu sudah mulai
muncul. Sebelum akhirnya dihempaskan oleh saran pembantu yang pernah menonton
sinetron Astaghfirullah. Ia menyarankanku mengikuti terapi ruqyah.
Hatiku pun tergerak dan berusaha mencari
informasi tentang ruqyah dari Majalah Ghoib yang dibawa oleh ibuku.
Aku bersyukur, untuk mengikuti terapi ruqyah itu aku tidak perlu jauh-jauh ke Jakarta.
Di Semarang sudah ada cabangnya.
Akan tetapi
perjalanan untuk melakukan ruqyah tidak semudah yang kubayangkan. Ada saja rintangan yang menghadang.
Pernah suatu
saat aku menyusul ibu dan adik yang lebih dulu berangkat ke Ghoib Ruqyah
Syar'iyyah cabang Semarang. Namun, begitu aku menginjakkan kaki di halaman, aku
merasakan ketakutan yang luar biasa. Ketakutan yang aku sendiri tidak tahu
sebabnya. Kucoba melawan, tapi rasa takut itu tetap bercokol. Hingga akhirnya
aku yang menyerah. Aku memilih pulang dan membatalkan ruqyah.
Di rumah,
kuberanikan diri untuk menghubungi Ustadz Ali yang menterapi di Ghoib Ruqyah
Syar'iyyah cabang Semarang. Aku minta disediakan waktu yang luang untuk terapi.
Hari, jam dan tanggal telah disepakati. Tapi lagi-lagi rencana ruqyah itu
batal. Ada sesuatu dalam diriku yang sulit dijelaskan. Sesuatu yang selalu
menghalangi untuk ruqyah.
Akhirnya kutempuh cara lain. Giliran Ustadz
Ali yang diundang ke rumah. Sekalian meruqyah kami sekeluarga sekaligus
meruqyah rumah. Satu persatu anggota keluarga diruqyah termasuk dua orang
pembantu. Dari enam orang yang diterapi,
hanya aku yang bereaksi. Aku merasakan kesakitan yang luar biasa, meski Ustadz
Ali hanya membacakan ayat-ayat al-Qur'an. Sedemikian sakitnya hingga aku
menangis, lalu tiba-tiba tangisan itu berubah menjadi tertawa sendiri tanpa
dapat dikontrol.
Setelah
selesai ruqyah ustadzpun memberi penjelasan bahwa ketika diruqyah tidak harus
mengalami reaksi. Akan tetapi bagi orang
yang mengalami reaksi sudah bisa dipastikan bahwa ada gangguan. Sedangkan bagi yang tidak bereaksi tetapi ada
indikasi gangguan maka harus rajin membaca al-Qur'an secara mandiri atau
melakukan terapi lanjutan. Yang
terpenting adalah setelah selesai terapi ruqyah orang yang bersangkutan
merasakan ada perubahan ke arah yang lebih baik. Ustadz juga menjelaskan bahwa inti dari ruqyah
adalah membaca doa dan berdzikir kepada Allah.
Alhamdulillah setelah diruqyah, kedua orang pembantuku
tidak lagi merasa ketakutan. Kami
diingatkan oleh ustadz agar senantiasa menjaga shalat dan selalu berdzikir
kepada Allah. Ustadz juga menjelaskan
bahwasanya orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkannya dengan
kemusyrikan, maka mereka akan mendapatkan perlindungan dari Allah.
Seminggu
kemudian aku melakukan terapi lanjutan.
Pada ruqyah yang kedua ini aku masih mengalami reaksi tetapi sudah
mereda dibandingkan ketika ruqyah pertama kali.
Setelah ruqyah aku bisa berkomunikasi dengan jin yang bersemayam di
dalam tubuhku.
Jin tersebut
mengultimatum hanya mau keluar jika syaratnya dipenuhi. Jin tersebut juga mengaku mau masuk Islam dan
minta sesajen pisang serta kembang setaman.
Namun aku sudah bertekad untuk tidak melakukan sesuatu yang melanggar
syariat Islam dan tidak ada tuntunannya dari Rasulullah. Aku tidak menuruti permintaannya bahkan
dengan kesadaran hati kubakar empat lembar jimat yang katanya berfungsi sebagai
tolak bala hantu cekik.
Hantu cekik adalah
momok yang menakutkan warga Demak dan sekitarnya pada awal Desember tahun
lalu. Karena isu yang santer beredar
bahwa hantu cekik sudah mendekati daerahku maka pembantuku berinisiatif mencari
keamanan dengan meminta jimat. Pucuk
dicinta ulampun tiba, ketika pembantuku pulang ke daerahnya, ia dibekali jimat oleh
keluarganya, yang terdiri dari empat lembar kertas yang harus ditempel di
dinding rumah.
Ada kejadian
aneh ketika kami membakar jimat tersebut.
Awalnya, jimat itu dibakar di belakang rumah dengan mempertimbangkan
arah angin supaya asap tidak masuk ke dalam rumah. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Asap
berupa gulungan besar justru mengepul ke dalam rumah. Akhirnya kami memindahkannya ke depan rumah, lagi-lagi
asap mengepul masuk ke dalam rumah. Meski
demikian, kami tidak lagi ketakutan. Karena kami yakin melakukan hal yang
benar.
Sebenarnya
kurang percaya dengan jimat dan kalaupun nekad ke orang pintar, hal tersebut
dikarenakan kondisi yang kepepet. Itupun
aku masih pilih-pilih di antaranya orang tersebut harus beragama Islam, rajin
shalat, ngaji, dan melaksanakan amalan-amalan lainnya. Selain itu juga harus memakai doa dan
ayat-ayat al-Qur'an. Sesesat-sesatnya aku,
tetap saja tidak mau mendatangi dukun ilmu hitam yang bukan Islam. Hal itulah yang menjadi penyebab kenapa aku
tidak pernah meruwat jimat, tetapi hanya sekadar memilikinya saja.
Namun
lagi-lagi dengan kepiawaiannya jin membisikkan kata-kata manis kepadaku. Jin mengatakan bahwa dia ingin tetap
bersemayam di dalam tubuhku untuk membantu agar usahaku laris, selalu menjagaku,
dan juga membuat diriku kelihatan awet muda dan cantik.
Aku jadi
teringat dengan kejadian enam tahun lalu ketika pergi ke Pak Sati yang memberiku
jimat tiga buah keris. Akan tetapi aku
sudah bertekad untuk tidak lagi tergoda dengan rayuan-rayuan jin yang justru
membuat kehidupanku tidak tenang dan jauh dari ketenteraman batin. Bahkan aku sempat mengatakan kepada jin dengan
tegas: "Masa bodoh, kalo kamu ingin keluar, ya keluar saja. Aku tidak peduli kamu mau Islam atau tidak. Kalau mau ke neraka tidak usah mengajakku."
Sampai
sekarang aku dan Mas Seno belum mengetahui secara pasti penyebab semua kejadian
yang menimpa diriku sekeluarga. Apakah
akibat kekhilafanku yang pernah memanfaatkan jasa dukun atau karena ulah orang
ketiga yang merasa iri denganku karena persaingan bisnis. Selama ini memang ada
seseorang yang tidak senang dengan kemajuan usahaku bahkan ketika bertemu
seringkali menunjukkan sikap kurang bersahabat dan memojokkan.
Namun aku
tidak mau bersu'udzon (berburuk sangka) kepada siapapun dan menyerahkan
semua urusan ini hanya kepada Allah.
Bahkan andaikata Allah memberikan kesempatan kepadaku untuk bertemu
dengan Nina atau Pras, justru aku ingin meminta maaf kepada mereka, barangkali
ada kesalahan yang tidak sengaja kulakukan sehingga membuat mereka ingin
menyakitiku secara membabi buta.
Yang jelas aku
bersyukur karena keluhan-keluhan yang kurasakan selama ini berangsur-angsur
membaik dan ketenangan pun mulai kuperoleh.
Aku juga merasa mantap untuk berjilbab.
Alhamdulillah sudah satu setengah bulan ini aku berusaha
menyempurnakan diri dengan mengenakan busana muslimah. Bahkan aku juga berniat bergabung dengan
perkumpulan muslimah supaya bisa menambah pemahaman tentang keislaman. Semoga Allah selalu membimbing dan melindungi
keluarga kami dari setiap kejahatan jin maupun manusia. Amien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar