Jumat, 27 September 2013

Suara Iringan Jenazah Meresahkan Seluruh Keluarga


Kesaksian ibu Asti (30 tahun)

Aku lahir di Jawa Timur tepatnya di kota Jombang 30 tahun yang lalu.  Kota yang lebih dikenal dengan banyak kyai dan para santrinya.  Meski dibesarkan di sana bukan berarti aku juga memiliki pemahaman Islam yang memadai. Boleh dikata, aku nyaris tidak mengenal syariat Islam dengan baik.  Aku hanya mengetahui orang Islam itu yang penting shalat, puasa, dan mengaji. 
Aku dibesarkan di lingkungan keluarga yang berkecukupan secara ekonomi.  Kehidupan masa kanak-kanak dan remaja kulalui dengan mulus tanpa banyak kendala yang berarti.  Papaku memiliki usaha yang terbilang sukses sehingga aku bisa melanjutkan kuliah di sebuah kampus terkenal di kota Semarang. Aku menyelesaikan kuliah pada tahun 1999. 
Semasa kuliah tingkat akhir aku bekerja di kantor papa sebagai bekal pengalaman kelak.  Kenyataannya, pengalaman kerja yang kumiliki memang cukup membantu.  Akan tetapi roda kehidupan tidak selamanya berjalan mulus.  Anak buah papa, sebut saja namanya Nina, menghilangkan aset perusahaan yang nilainya cukup besar.
Meski Nina mau bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukannya, namun belakangan diketahui ada beberapa kejanggalan di balik hilangnya aset tersebut.  Diduga ada beberapa indikasi mistis di balik semua kejadian ini. Seperti ditemukannya taburan garam di rumah dan di kantor.
Hal ini menjadi awal petaka yang menimpa keluargaku.  Kehidupan keluargaku berubah karena papa tidak lagi bekerja di kantor yang dulu.  Ia diberhentikan dengan tidak hormat. Tanpa sepeserpun uang pesangon yang diterimanya.  Secara otomatis bersamaan itu pula aku keluar.  

Kondisi ini membuatku harus berusaha keras untuk mendapatkan pekerjaan agar bisa membantu keluarga.  Meskipun sebelum lulus kuliah banyak yang menawarkan pekerjaan kepadaku, tetapi dalam kondisi terdesak seperti ini aku justru sangat kesulitan untuk memperoleh pekerjaan.  Aku sempat berpikir mungkin saja ini ada kaitannya dengan Nina yang tidak suka melihat kesuksesan dan kebahagiaan keluargaku. Tapi, kupikir, tidak ada gunanya hanya meratapi nasib dan menyalahkan orang lain. Hanya menambah dan masalah saja. Aku tidak mau larut dalam kesedihan. Artinya, perjuangan untuk bertahan hidup tetap dilanjutkan. Meski dengan segudang tantangan.
Alhamdulillah akhirnya aku diterima kerja menjadi seorang SPG (Sales Promotion Girl) di sebuah perusahaan.  Hatiku mulai tenang. Setidaknya ada harapan untuk mengembalikan kebagiaan yang hilang itu.
Belum berselang lama, kunikmati suasana kerja yang baru. Aku sudah dihadapkan dengan masalah lain. Masalah klise. Masalah cinta dua anak manusia yang bertepuk sebelah tangan.
Seorang atasanku, sebut saja namanya Pras, menaruh hati kepadaku.  Mungkin karena tingginya intensitas pertemuan kami. Selain karena dia bertugas mentrainingku, kami juga terlibat dalam satu tim kerja sehingga komunikasi di antara kami tidak bisa terelakkan lagi. Witing trisno jalaran soko kulino, kata pepatah Jawa.
Lelaki yang dulu dikenal sebagai playboy kampus itu jatuh cinta kepadaku. Masalahnya, aku tidak merasakan getaran yang sama sehingga aku tak bisa menerima cintanya. Jujur, kukatakan ia bukan lelaki idamanku.  Dengan halus kutolak cintanya. Sebisa mungkin aku berusaha tidak membuat hatinya terluka. Aku tahu, tentu tidak mengenakkan bila ditolak cintanya. Terlebih dia seorang playboy, yang terkenal mudah mendapatkan 'gebetan' baru.
Aku masih menganggap wajar, bila sikapnya mulai berubah. Ia tidak lagi sebaik dulu. Tapi bagiku, itu lebih melegakan daripada aku harus berpura-pura mencintainya.

Terjebak dalam ikhtiyar yang salah
Pada tahun 2001 aku menikah dengan Mas Seno, seorang pria yang sangat kucintai. Masa penantian bagi seorang gadis sepertiku telah berakhir dan kini berganti dengan kebahagiaan yang menyelimuti seluruh keluarga.  Namun bayangan keindahan kebahagiaan rumah tangga yang kudambakan selama ini tidaklah semudah yang kuangankan. 
Aku dihadapkan pada kenyataan pahit. Awal pernikahan yang seharusnya menjadi samudra untuk mereguk kebagiaan bersama, justru laksana padang pasir yang kering. Di malam hari, kulihat Mas Seno seakan-akan bukanlah suamiku. Ia nampak seperti orang lain hingga aku enggan melayani hubungan lazimnya dua insan yang telah terikat jalinan suci.
Masalah demi masalah yang datang silih berganti dan kondisi kejiwaanku yang kacau membuatku mencari informasi tentang dukun yang mungkin bisa membantu menyelesaikan semua kemelut ini.  Aku memperoleh informasi tentang perdukunan tersebut dari sebuah majalah. Di sana tertulis dengan jelas alamat dan jenis keahlian yang mereka tawarkan seperti pasang susuk, penglaris, pelet, dan lain sebagainya.
Dari beberapa informasi yang kuperoleh, kuputuskan untuk mendatangi seorang dukun terkenal di Pati, Jawa Tengah. Namanya Pak Sati. Aku berangkat ke sana dengan ditemani suami dan ibu. Dengan satu niat, meraih kebahagiaan dalam berumah tangga.
Sebenarnya, aku ragu apakah langkah yang kutempuh ini benar. Karena dulu, sewaktu mengikuti pesantren kilat di sekolah, aku mendapat penjelasan bahwa datang ke dukun itu termasuk syirik. Karena itulah, aku langsung bertanya kepada Pak Sati, apakah kedatanganku kali ini termasuk syirik.
Dengan tegas Pak Sati menjawab, "Lha wong aku saja sudah lima kali haji." Jawabannya membuatku sedikit lega. Penampilan karyawannya yang berjilbab serta keberadaan mushalla menambah keyakinanku bahwa yang kulakukan tidak termasuk syirik. 
Pak Sati mengatakan, ada orang yang tidak ingin aku hidup bahagia bersama Mas Seno.  Katanya, ada yang mengirim sihir untuk menceraiberaikan rumah tanggaku.
Aku hanya diam termangu. Pikiranku menerawang ke belakang. Aku mulai berpikiran negatif dan menebak siapa pelakunya. Ini pasti ulah Pras, gumamku dalam hati.
Indikasi ini diperkuat dengan kondisiku yang enggan berhubungan badan dengan suami.  Aku juga mengalami frigiditas dan radang vagina.  Jadwal menstruasi menjadi tidak teratur serta terkadang keluar terus menerus tanpa henti.  Aku sudah berobat ke dokter dan psikiater namun tidak ada hasilnya.  Masalah-masalah kecil yang seharusnya menjadi bumbu dalam rumah tangga justru menjadi pemicu percekcokan hebat di antara kami.
 Oleh Pak Sati aku diberi tiga jimat berbentuk keris, tombak, dan golok. Katanya, masing-masing berfungsi untuk memperlancar rizki, pagar badan atau penjagaan dan pemancar aura agar terlihat lebih muda dan cantik.  Selain itu aku juga dialiri semacam sengatan listrik. Sebelumnya aku harus berwudlu kemudian membaca surat al-Fatihah, al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Naas. 
Pak Sati berpesan agar aku merawat jimat pemberiannya dengan baik dengan cara melakukan penjamasan (memandikan) setiap bulan Syuro. Bulan yang dikeramatkan oleh sebagian masyarakat Jawa.
Setelah kembali dari Pati, dengan berbagai pertimbangan, akhirnya aku mengundurkan diri dari tempat kerja.  Selain masalah dengan Pras juga karena faktor kelelahan dan banyak waktu yang tersita. 

Derap langkah pengiring jenazah di tengah malam
Setelah keluar dari kantor, hatiku lebih tenang. Tidak ada lagi ketakutan atau perasaan tidak enak dengan Pras. Akhirnya aku bisa menikmati kehidupan yang berbahagia bersama suami hingga kami dikaruniai dua orang putra yang tampan dan lucu.  Saat itu aku benar-benar merasakan kebahagiaan sebagai seorang ibu muda dan merasa sempurna sebagai seorang wanita.  Putra pertamaku berusia 3 tahun sedangkan adiknya berusia 1,5 tahun.  Alhamdulillah saat ini aku mempunyai usaha yang cukup maju tanpa melalaikan kewajibanku sebagai seorang istri dan ibu bagi kedua buah hatiku. 
Namun akhir-akhir ini kebahagiaan itu terusik kembali. Aku gelisah tanpa sebab serta sulit berkonsentrasi. Kegelisahan itu semakin menemukan titik puncaknya ketika shalat. Yang diawali dengan perasaan sering keluar angin. Akibatnya hatiku semakin tidak tenang. Aku pun mengulang wudhu hingga berkali-kali. Kalau hanya sesekali, mungkin aku tidak terlalu gelisah. Tapi kejadiannya selalu berulang ketika shalat.
Kondisi ini diperparah dengan kejadian pada malam menjelang Ramadhan 1427 H.  Sekitar pukul 21.00-22.00 aku beserta seluruh penghuni rumah yang terdiri dari suami, kedua putraku, dan dua orang pembantu mendengar suara langkah kaki pengiring jenazah diiringi bacaan tahlil, lazimnya pengiring jenazah ke pemakaman.
Kami tidak berani mengintip keluar dan memilih bersabar untuk bertanya kepada tetangga pada keesokan harinya.  Malam tersebut kami lalui dengan ketakutan yang mencekam dan keresahan luar biasa. Gelisah. Tidak bisa tidur. Putraku pun rewel terus.
Keesokan harinya, aku bertanya kepada tetangga apakah ada orang yang meninggal atau barangkali semalam mendengarkan suara iringan jenazah. Namun jawabannya nihil.  Tidak ada yang mendengarnya. Bahkan di antara warga sekitar rumahku pun tidak ada yang meninggal.
Taruhlah yang meninggal itu warga dari kampung lain, tapi jarak antara rumahku dan pemakaman sejauh satu kilo meter. Sangat tidak mungkin bila suara derap langkah pengiring jenazah itu terdengar sampai rumahku. Terlebih bila hanya keluargaku yang mendengarnya. Tak ada orang lain yang mendengarnya.
Sejak malam itu satu persatu kejadian aneh menghinggapi kehidupan kami.  Seluruh keluarga merasa ketakutan.  Kedua pembantu yang minta izin pulang dalam rangka lebaran jatuh sakit sesampainya di rumah masing-masing. Sakit yang tidak kunjung sembuh, seakan sengaja dihalangi agar tidak kembali ke rumahku. Akhirnya mereka datang juga, meski terlambat dari rencana semula.
Tidak biasanya, masakan di rumah cepat basi. Pagi dimasak, sore sudah berbau menyengat. Keanehan demi keanehan yang pada akhirnya membuat pembantuku mengambil langkah seribu. Mereka mengundurkan diri dengan alasan tidak lagi kerasan, padahal mereka sudah bersamaku selama bertahun-tahun.
Sejak terdengar iringan jenazah itu, nyaris tiap malam putra pertamaku rewel. Dia juga lebih sering menangis. 
Pernah dua kali ular berbisa masuk ke dalam rumah pada dini hari menjelang Shubuh.  Kami berusaha mengusir keluar, tetapi ular itu mbandel. Terpaksa kami membunuhnya meski disertai rasa ketakutan. Anehnya, pada pagi harinya kami menemukan tiga onggokan kotoran manusia. Menurut sebagian orang hal tersebut biasa digunakan sebagai media guna-guna.

Sinetron Astaghfirullah membuka mata hatiku.
Kejadian demi kejadian yang kami alami itu bermuara pada satu kesimpulan. Ada yang tidak senang dengan kebahagiaan kami. Mereka ingin menghancurkan kehidupanku. Lalu, kemana kami harus melangkah? Kembali mendatangi Pak Sati? Pikiran itu sudah mulai muncul. Sebelum akhirnya dihempaskan oleh saran pembantu yang pernah menonton sinetron Astaghfirullah. Ia menyarankanku mengikuti terapi ruqyah.
 Hatiku pun tergerak dan berusaha mencari informasi tentang ruqyah dari Majalah Ghoib yang dibawa oleh ibuku. Aku bersyukur, untuk mengikuti terapi ruqyah itu aku tidak perlu jauh-jauh ke Jakarta. Di Semarang sudah ada cabangnya.
Akan tetapi perjalanan untuk melakukan ruqyah tidak semudah yang kubayangkan.  Ada saja rintangan yang menghadang.
Pernah suatu saat aku menyusul ibu dan adik yang lebih dulu berangkat ke Ghoib Ruqyah Syar'iyyah cabang Semarang. Namun, begitu aku menginjakkan kaki di halaman, aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Ketakutan yang aku sendiri tidak tahu sebabnya. Kucoba melawan, tapi rasa takut itu tetap bercokol. Hingga akhirnya aku yang menyerah. Aku memilih pulang dan membatalkan ruqyah.
Di rumah, kuberanikan diri untuk menghubungi Ustadz Ali yang menterapi di Ghoib Ruqyah Syar'iyyah cabang Semarang. Aku minta disediakan waktu yang luang untuk terapi. Hari, jam dan tanggal telah disepakati. Tapi lagi-lagi rencana ruqyah itu batal. Ada sesuatu dalam diriku yang sulit dijelaskan. Sesuatu yang selalu menghalangi untuk ruqyah.
 Akhirnya kutempuh cara lain. Giliran Ustadz Ali yang diundang ke rumah. Sekalian meruqyah kami sekeluarga sekaligus meruqyah rumah. Satu persatu anggota keluarga diruqyah termasuk dua orang pembantu.  Dari enam orang yang diterapi, hanya aku yang bereaksi. Aku merasakan kesakitan yang luar biasa, meski Ustadz Ali hanya membacakan ayat-ayat al-Qur'an. Sedemikian sakitnya hingga aku menangis, lalu tiba-tiba tangisan itu berubah menjadi tertawa sendiri tanpa dapat dikontrol.
Setelah selesai ruqyah ustadzpun memberi penjelasan bahwa ketika diruqyah tidak harus mengalami reaksi.  Akan tetapi bagi orang yang mengalami reaksi sudah bisa dipastikan bahwa ada gangguan.  Sedangkan bagi yang tidak bereaksi tetapi ada indikasi gangguan maka harus rajin membaca al-Qur'an secara mandiri atau melakukan terapi lanjutan.  Yang terpenting adalah setelah selesai terapi ruqyah orang yang bersangkutan merasakan ada perubahan ke arah yang lebih baik.  Ustadz juga menjelaskan bahwa inti dari ruqyah adalah membaca doa dan berdzikir kepada Allah.
Alhamdulillah setelah diruqyah, kedua orang pembantuku tidak lagi merasa ketakutan.  Kami diingatkan oleh ustadz agar senantiasa menjaga shalat dan selalu berdzikir kepada Allah.  Ustadz juga menjelaskan bahwasanya orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkannya dengan kemusyrikan, maka mereka akan mendapatkan perlindungan dari Allah.
Seminggu kemudian aku melakukan terapi lanjutan.  Pada ruqyah yang kedua ini aku masih mengalami reaksi tetapi sudah mereda dibandingkan ketika ruqyah pertama kali.  Setelah ruqyah aku bisa berkomunikasi dengan jin yang bersemayam di dalam tubuhku. 
Jin tersebut mengultimatum hanya mau keluar jika syaratnya dipenuhi.  Jin tersebut juga mengaku mau masuk Islam dan minta sesajen pisang serta kembang setaman.  Namun aku sudah bertekad untuk tidak melakukan sesuatu yang melanggar syariat Islam dan tidak ada tuntunannya dari Rasulullah.  Aku tidak menuruti permintaannya bahkan dengan kesadaran hati kubakar empat lembar jimat yang katanya berfungsi sebagai tolak bala hantu cekik. 
Hantu cekik adalah momok yang menakutkan warga Demak dan sekitarnya pada awal Desember tahun lalu.  Karena isu yang santer beredar bahwa hantu cekik sudah mendekati daerahku maka pembantuku berinisiatif mencari keamanan dengan meminta jimat.  Pucuk dicinta ulampun tiba, ketika pembantuku pulang ke daerahnya, ia dibekali jimat oleh keluarganya, yang terdiri dari empat lembar kertas yang harus ditempel di dinding rumah. 
Ada kejadian aneh ketika kami membakar jimat tersebut.  Awalnya, jimat itu dibakar di belakang rumah dengan mempertimbangkan arah angin supaya asap tidak masuk ke dalam rumah.  Namun yang terjadi malah sebaliknya. Asap berupa gulungan besar justru mengepul ke dalam rumah.  Akhirnya kami memindahkannya ke depan rumah, lagi-lagi asap mengepul masuk ke dalam rumah.  Meski demikian, kami tidak lagi ketakutan. Karena kami yakin melakukan hal yang benar. 
Sebenarnya kurang percaya dengan jimat dan kalaupun nekad ke orang pintar, hal tersebut dikarenakan kondisi yang kepepet.  Itupun aku masih pilih-pilih di antaranya orang tersebut harus beragama Islam, rajin shalat, ngaji, dan melaksanakan amalan-amalan lainnya.  Selain itu juga harus memakai doa dan ayat-ayat al-Qur'an.  Sesesat-sesatnya aku, tetap saja tidak mau mendatangi dukun ilmu hitam yang bukan Islam.  Hal itulah yang menjadi penyebab kenapa aku tidak pernah meruwat jimat, tetapi hanya sekadar memilikinya saja. 
Namun lagi-lagi dengan kepiawaiannya jin membisikkan kata-kata manis kepadaku.  Jin mengatakan bahwa dia ingin tetap bersemayam di dalam tubuhku untuk membantu agar usahaku laris, selalu menjagaku, dan juga membuat diriku kelihatan awet muda dan cantik. 
Aku jadi teringat dengan kejadian enam tahun lalu ketika pergi ke Pak Sati yang memberiku jimat tiga buah keris.  Akan tetapi aku sudah bertekad untuk tidak lagi tergoda dengan rayuan-rayuan jin yang justru membuat kehidupanku tidak tenang dan jauh dari ketenteraman batin.  Bahkan aku sempat mengatakan kepada jin dengan tegas: "Masa bodoh, kalo kamu ingin keluar, ya keluar saja.  Aku tidak peduli kamu mau Islam atau tidak.  Kalau mau ke neraka tidak usah mengajakku."
Sampai sekarang aku dan Mas Seno belum mengetahui secara pasti penyebab semua kejadian yang menimpa diriku sekeluarga.  Apakah akibat kekhilafanku yang pernah memanfaatkan jasa dukun atau karena ulah orang ketiga yang merasa iri denganku karena persaingan bisnis. Selama ini memang ada seseorang yang tidak senang dengan kemajuan usahaku bahkan ketika bertemu seringkali menunjukkan sikap kurang bersahabat dan memojokkan. 
Namun aku tidak mau bersu'udzon (berburuk sangka) kepada siapapun dan menyerahkan semua urusan ini hanya kepada Allah.  Bahkan andaikata Allah memberikan kesempatan kepadaku untuk bertemu dengan Nina atau Pras, justru aku ingin meminta maaf kepada mereka, barangkali ada kesalahan yang tidak sengaja kulakukan sehingga membuat mereka ingin menyakitiku secara membabi buta. 
Yang jelas aku bersyukur karena keluhan-keluhan yang kurasakan selama ini berangsur-angsur membaik dan ketenangan pun mulai kuperoleh.  Aku juga merasa mantap untuk berjilbab.  Alhamdulillah sudah satu setengah bulan ini aku berusaha menyempurnakan diri dengan mengenakan busana muslimah.  Bahkan aku juga berniat bergabung dengan perkumpulan muslimah supaya bisa menambah pemahaman tentang keislaman.  Semoga Allah selalu membimbing dan melindungi keluarga kami dari setiap kejahatan jin maupun manusia.  Amien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar