Judul di atas tidak
salah ejaan. Memang benar seperti itu. Bukan Ramadhan, bulan yang tinggal
menghitung hari saja. Ramdha’ dalam bahasa Arab berarti cuaca yang panas
sekali. Ramadhan dan Ramdha’ memang dua kata yang mempunyai akar huruf yang
sama. Sehingga para ulama menerjemahkan kata Ramadhan secara bahasa dengan
mengambil kata Ramdha’. Yang berarti cuaca panas sekali.
Imam lbnu Hajar menjelaskan tentang akar kata
Ramadhan tersebut. Ada dua pendapat yang saling terkait. Pertama, waktu
diwajibkan untuk kali pertama Ramadhan ini saat cuaca sedang panas. Kedua,
Ramadhan ini berfungsi untuk membakar dosa. (Lihat Fathul Bari 4/113)
Berawal dari dua penjelasan tersebut, ada dua
hal besar yang harus kita perhatikan. Bahwa Ramadhan ini diwajibkan untuk kali
pertama justru saat cuaca sedang panas. Padahal kita ketahui bersama bahwa
ibadah paling penting di bulan suci tersebut adarah puasa. Artinya, waktu itu
Rasul dan para shahabat berpuasa dalam cuaca yang kurang bersahabat untuk
orang_orang yang sedang menahan lapar dan haus. Di negeri tropis seperti kita
tidak terasa kelelahan itu. Tetapi untuk mereka yang tinggal di daerah panas
seperti timur tengah, jelas sangat terasa.
Kemaharahman dan rahiman Allah tidak
menghalangi untuk menurunkan perintah dengan keadaan yang sulit atau bahkan
sekilas terlihat bertentangan. Puasa, haus dan tapar. Siang hari yang sangat
panas.
La yukallifullahu nafsan illa wus’aha,
penggalan ayat yang bermakna bahwa Allah tidak memberatkan seseorang kecuali
sekadar kemampuannya harus dimaknai dengan benar. Diletakkan pada tempat yang
proporsional. Tidak asal ambil, apalagi untuk melegalkan rasa malas serta
kurang kuatnya tekad beramal.
Karena Allah yang Maha Mengetahui kekuatan
manusia. Syariat ini semuanya telah sesuai dengan kemampuan dan daya manusia.
Sekiranya seseorang tidak mampu untuk berdiri saat shalat, maka dia
diperbolehkan duduk dan seterusnya.Demikian pula puasa ada keringanan mengganti
di hari lain bagi yang berhalangan dan tidak mampu.
Benar memang, taqwa kepada Allah itu semampu
kita. Sementara mencegah dari kemaksiatan tidak ada kata ‘semampu kita’, harus
mampu.
Penjelasan kata semampu kita pada takwa adalah
dengan contoh di atas. Tak mampu berdiri, ya duduk. Atau dalam tema lain,
ketika penegakan syariat Allah di bumi-Nya belum lagi sempurna atau lebih
tepatnya masih jauh dari sempurna. Maka kita bertakwa semampu kita dengan tetap
berusaha sekuat tenaga menegakkan syariat Allah di bumi-Nya.
Untuk poin kedua dari kata Ramdha’ adalah
Ramadhan yang telah dan akan selalu kita temui itu harus bernilai ampunan.
Harus bisa membakar dosa dan khilaf yang telah lalu. Untuk bisa bernilai
pembakaran dosa, tentu banyak hal yang harus kita perhatikan. Intinya bukan
sekadar puasa.
Untuk mudah menghasilkan puasa yang bernilai
pembakaran harus kita usahakan dari diri kita dengan maksimal. Mempersembahkan
ibadah terbaik. Dan untuk memudahkan itu, kita pun harus menciptakan suasana di
sekitar kita dengan maksimal. Agar tidak banyak gangguannya. Agar tidak banyak
maksiat yang terpampang sejauh mata memandang.
Maka kalau para ulama telah mengeluarkan
himbauan keras agar SMS bernilai judi dihentikan dari telivisi. Seharusnya ini
ditaati bersama. Paling tidak atas nama menghormati hak asasi yang sering
digemborkan, kalaupun syahwat syetan tetap menggelegak. Dan bagi kita, agar
Ramadhan ini bernilai Ramdha’.
Budi Ashari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar