Senin, 30 September 2013

Ramdha’


Judul di atas tidak salah ejaan. Memang benar seperti itu. Bukan Ramadhan, bulan yang tinggal menghitung hari saja. Ramdha’ dalam bahasa Arab berarti cuaca yang panas sekali. Ramadhan dan Ramdha’ memang dua kata yang mempunyai akar huruf yang sama. Sehingga para ulama menerjemahkan kata Ramadhan secara bahasa dengan mengambil kata Ramdha’. Yang berarti cuaca panas sekali.
Imam lbnu Hajar menjelaskan tentang akar kata Ramadhan tersebut. Ada dua pendapat yang saling terkait. Pertama, waktu diwajibkan untuk kali pertama Ramadhan ini saat cuaca sedang panas. Kedua, Ramadhan ini berfungsi untuk membakar dosa. (Lihat Fathul Bari 4/113)
Berawal dari dua penjelasan tersebut, ada dua hal besar yang harus kita perhatikan. Bahwa Ramadhan ini diwajibkan untuk kali pertama justru saat cuaca sedang panas. Padahal kita ketahui bersama bahwa ibadah paling penting di bulan suci tersebut adarah puasa. Artinya, waktu itu Rasul dan para shahabat berpuasa dalam cuaca yang kurang bersahabat untuk orang_orang yang sedang menahan lapar dan haus. Di negeri tropis seperti kita tidak terasa kelelahan itu. Tetapi untuk mereka yang tinggal di daerah panas seperti timur tengah, jelas sangat terasa.
Kemaharahman dan rahiman Allah tidak menghalangi untuk menurunkan perintah dengan keadaan yang sulit atau bahkan sekilas terlihat bertentangan. Puasa, haus dan tapar. Siang hari yang sangat panas.
La yukallifullahu nafsan illa wus’aha, penggalan ayat yang bermakna bahwa Allah tidak memberatkan seseorang kecuali sekadar kemampuannya harus dimaknai dengan benar. Diletakkan pada tempat yang proporsional. Tidak asal ambil, apalagi untuk melegalkan rasa malas serta kurang kuatnya tekad beramal. 

Karena Allah yang Maha Mengetahui kekuatan manusia. Syariat ini semuanya telah sesuai dengan kemampuan dan daya manusia. Sekiranya seseorang tidak mampu untuk berdiri saat shalat, maka dia diperbolehkan duduk dan seterusnya.Demikian pula puasa ada keringanan mengganti di hari lain bagi yang berhalangan dan tidak mampu.
Benar memang, taqwa kepada Allah itu semampu kita. Sementara mencegah dari kemaksiatan tidak ada kata ‘semampu kita’, harus mampu.
Penjelasan kata semampu kita pada takwa adalah dengan contoh di atas. Tak mampu berdiri, ya duduk. Atau dalam tema lain, ketika penegakan syariat Allah di bumi-Nya belum lagi sempurna atau lebih tepatnya masih jauh dari sempurna. Maka kita bertakwa semampu kita dengan tetap berusaha sekuat tenaga menegakkan syariat Allah di bumi-Nya.
Untuk poin kedua dari kata Ramdha’ adalah Ramadhan yang telah dan akan selalu kita temui itu harus bernilai ampunan. Harus bisa membakar dosa dan khilaf yang telah lalu. Untuk bisa bernilai pembakaran dosa, tentu banyak hal yang harus kita perhatikan. Intinya bukan sekadar puasa.
Untuk mudah menghasilkan puasa yang bernilai pembakaran harus kita usahakan dari diri kita dengan maksimal. Mempersembahkan ibadah terbaik. Dan untuk memudahkan itu, kita pun harus menciptakan suasana di sekitar kita dengan maksimal. Agar tidak banyak gangguannya. Agar tidak banyak maksiat yang terpampang sejauh mata memandang.
Maka kalau para ulama telah mengeluarkan himbauan keras agar SMS bernilai judi dihentikan dari telivisi. Seharusnya ini ditaati bersama. Paling tidak atas nama menghormati hak asasi yang sering digemborkan, kalaupun syahwat syetan tetap menggelegak. Dan bagi kita, agar Ramadhan ini bernilai Ramdha’.

Budi Ashari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar