Kalimat
di atas adalah pertanyaan sekaligus permintaan Nabi Muhammad SAW pada suatu
hari yang disampaikan kepada para sahabat. Siapa yang mau membereskanKa’ab
bin Asyraf, begitulah arti dari permintaan tersebut.
Ka’ab adalah seorang tokoh pembesar Yahudi
yang menawan. Penampilannya menarik perhatian banyak orang terutama para para
wanita. Tanpan, menarik, pakaian modis, parfum memikat, ditambah dengan
keahliannya menyusun kata-kata sebagai seorang penyair, masih ditambah lagi
dengan keahliannya dalam dalam beladiri.
Nabi SAW tidak pernah mengusik keberadaan
Yahudi di Madinah. Buktinya, kedatangan kali pertama Nabi SAW ke Madinah,
beliau tidak mengusir mereka tanpa sebab. Yang beliau lakukan adalah membuat
perjanjian damai untuk saling menjaga kota Madinah dari serangan musuh, dan
saling membantu menjaga perdamaian.
Tetapi Yahudi-lah yang membuat ulah dan
menyebabkan mereka harus diusir dari Madinah, bahkan dibunuh secara massal
seperti yang terjadi pada Yahudi Bani Quraidhah yang dihukum oleh Nabi SAW
sebanyak 600 sampai 700 orang laki-laki dewasa. Termasuk Ka’ab bin Asyraf,
Nabi SAW ‘melelang’ kepala Ka’ab, karena kebiasaan Ka’ab menghina Nabi SAW
dengan syair-syairnya. Ka’ab telah melukai dan menodai kenabian. Seorang Nabi
punya hak untuk dihargai. Jangankan Nabi, kita pun sebagai manusia biasa
berhak dan menuntut dihargai, dan menentang keras siapapun yang menghina dan
merendahkan kita. Maka, bagaimana dengan Nabi. Tentu lebih utama.
Lima sahabat membuat scenario matang dipimpin
Muhammad bin Maslamah dan Abu Nailah dengan sangat dramatis. Untuk membawa
kepala Ka’ab bin Asyraf ke hadapan Nabi SAW. Mengingat penjagaan Yahudi
terhadap Ka’ab sangat ketat. Tinggal di benteng yang selalu ditutup jika
sudah sore. Dengan penjagaan dan benteng yang dikunci rapat. Dan benteng yang
berada di tengah kebun kurma yang juga rapat.
Drama menegangkan ini sangat berbeda dengan
suasana saat Nabi SAW dilempari batu di Thaif. Berdarah-darah, terluka. Tapi
Nabi SAW tidak mengambil tindakan tegas terhadap penduduk Thaif. Padahal
malaikat telah menawarkan adzab gunung yang akan ditimpakan jika Rasul mau.
Yang ada justru harapan Nabi SAW, kiranya kelak hadir dari mereka generasi
yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Selanjtnya Nabi SAW pun malah
mendoakan mereka, “Ya Allah, ampunilah kaumku karena mereka tidak tahu.” Ya,
karena mereka memang tidak tahu kalau beliau adalah Nabi. Sedang Ka’ab, dia
telah terbakar oleh rasa dengkinya terhadap Nabi SAW.
Dari kisah Thaif jelaslah bahwa Nabi SAW
adalah seorang yang pemaaf dan penebar kedamaian. Bukan pendendam. Bukan
pemarah. Sebagaimana siksaan, hinaan dan pengusiran dari Mekah tidak beliau
abadikan dalam bentuk dendam saat beliau masuk ke kota Mekah dengan pasukan
yang tak tertandingi oleh orang-orang Mekah. Yang ada adalah kata-kata, “Hari
ini adalah hari kasih sayang.”
Adapun kisah Ka’ab bin Asyraf merupakan
ajaran bahwa senyum, santun, akhlak mulia, pemaaf tidak berarti mematikan
hukum yang tegas. Sekali lagi, hokum yang tegas dan bukan anarkis.
Maka, diskusi hari ini tentang pembelaan
terhadap kehormatan Nabi SAW yang dilecehkan harus berpijak pada dua rel di
atas. Kesantunan tidak dibesarkan untuk mematikan hukum tegas menuntut hak
Nabi SAW. Dan hukum tegas juga tidak digunakan untuk berlaku anarkis. Karena
Nabi SAW hanya meminta Ka’ab dan bukan seluruh kaumnya.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar