Senin, 30 September 2013

“Man Li Ka’ab bin Asyraf”





Kalimat di atas adalah pertanyaan sekaligus permintaan Nabi Muhammad SAW pada suatu hari yang disampaikan kepada para sahabat. Siapa yang mau membereskanKa’ab bin Asyraf, begitulah arti dari permintaan tersebut. 
Ka’ab adalah seorang tokoh pembesar Yahudi yang menawan. Penampilannya menarik perhatian banyak orang terutama para para wanita. Tanpan, menarik, pakaian modis, parfum memikat, ditambah dengan keahliannya menyusun kata-kata sebagai seorang penyair, masih ditambah lagi dengan keahliannya dalam dalam beladiri.
Nabi SAW tidak pernah mengusik keberadaan Yahudi di Madinah. Buktinya, kedatangan kali pertama Nabi SAW ke Madinah, beliau tidak mengusir mereka tanpa sebab. Yang beliau lakukan adalah membuat perjanjian damai untuk saling menjaga kota Madinah dari serangan musuh, dan saling membantu menjaga perdamaian.
Tetapi Yahudi-lah yang membuat ulah dan menyebabkan mereka harus diusir dari Madinah, bahkan dibunuh secara massal seperti yang terjadi pada Yahudi Bani Quraidhah yang dihukum oleh Nabi SAW sebanyak 600 sampai 700 orang laki-laki dewasa. Termasuk Ka’ab bin Asyraf, Nabi SAW ‘melelang’ kepala Ka’ab, karena kebiasaan Ka’ab menghina Nabi SAW dengan syair-syairnya. Ka’ab telah melukai dan menodai kenabian. Seorang Nabi punya hak untuk dihargai. Jangankan Nabi, kita pun sebagai manusia biasa berhak dan menuntut dihargai, dan menentang keras siapapun yang menghina dan merendahkan kita. Maka, bagaimana dengan Nabi. Tentu lebih utama.
Lima sahabat membuat scenario matang dipimpin Muhammad bin Maslamah dan Abu Nailah dengan sangat dramatis. Untuk membawa kepala Ka’ab bin Asyraf ke hadapan Nabi SAW. Mengingat penjagaan Yahudi terhadap Ka’ab sangat ketat. Tinggal di benteng yang selalu ditutup jika sudah sore. Dengan penjagaan dan benteng yang dikunci rapat. Dan benteng yang berada di tengah kebun kurma yang juga rapat.
Drama menegangkan ini sangat berbeda dengan suasana saat Nabi SAW dilempari batu di Thaif. Berdarah-darah, terluka. Tapi Nabi SAW tidak mengambil tindakan tegas terhadap penduduk Thaif. Padahal malaikat telah menawarkan adzab gunung yang akan ditimpakan jika Rasul mau. Yang ada justru harapan Nabi SAW, kiranya kelak hadir dari mereka generasi yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Selanjtnya Nabi SAW pun malah mendoakan mereka, “Ya Allah, ampunilah kaumku karena mereka tidak tahu.” Ya, karena mereka memang tidak tahu kalau beliau adalah Nabi. Sedang Ka’ab, dia telah terbakar oleh rasa dengkinya terhadap Nabi SAW.
Dari kisah Thaif jelaslah bahwa Nabi SAW adalah seorang yang pemaaf dan penebar kedamaian. Bukan pendendam. Bukan pemarah. Sebagaimana siksaan, hinaan dan pengusiran dari Mekah tidak beliau abadikan dalam bentuk dendam saat beliau masuk ke kota Mekah dengan pasukan yang tak tertandingi oleh orang-orang Mekah. Yang ada adalah kata-kata, “Hari ini adalah hari kasih sayang.”
Adapun kisah Ka’ab bin Asyraf merupakan ajaran bahwa senyum, santun, akhlak mulia, pemaaf tidak berarti mematikan hukum yang tegas. Sekali lagi, hokum yang tegas dan bukan anarkis.
Maka, diskusi hari ini tentang pembelaan terhadap kehormatan Nabi SAW yang dilecehkan harus berpijak pada dua rel di atas. Kesantunan tidak dibesarkan untuk mematikan hukum tegas menuntut hak Nabi SAW. Dan hukum tegas juga tidak digunakan untuk berlaku anarkis. Karena Nabi SAW hanya meminta Ka’ab dan bukan seluruh kaumnya.

Budi Ashari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar