Bakri, 47 tahun.
Sejauh-jauh burung terbang, ia akan kembali ke sarang
juga, kata pepatah. Kehidupanku tidak jauh berbeda dengan burung-burung yang
berangkat pagi, pulang sore. Menembus cakrawala hingga berpuluh-puluh kilo, demi
sesuap nasi, lalu kembali dengan tenang di sore hari.
Seperti burung-burung itu, aku juga seorang perantau.
Jauh bermil-mil dari tanah kelahiranku, Cirebon,
Jawa Barat. Bedanya, aku menetap hingga puluhan tahun di tanah rantau, di ibokota
Sumatera Selatan, Palembang.
Di sanalah, aku merajut hari, menanam harapan. Di sana pula, aku dipertemukan Allah dengan
jodohku. Seorang wanita kelahiran Palembang.
Jeng Nur. Begitu aku biasa memanggilnya.
Jeng Nur, tipikal seorang istri yang penurut. Demikian
pula, ketika di awal tahun 2000, kuputuskan untuk kembali ke tanah kelahiran. Jeng
Nur dengan setia mengikutiku. Ia tidak menolak. Meski keenam anak kami juga
terlahir di Palembang.
Seperti burung yang kembali di sore hari, aku pun kembali
ke pangkuan ibu pertiwi.
Saat main ke rumah orangtuaku, kulihat tulisan
terpampang di papan pinggir jalan. "Rumah dijual tanpa perantara".
Seandainya, kubeli rumah itu tentu sangat menyenangkan, pikirku. Lokasinya
strategis, di pinggir jalan raya Blok A no 1. Solusi tepat bagiku yang telah
mengajukan pensiun dini dari kantor. Aku ingin berwiraswasta. Dan tidak
selamanya menjadi orang gajian.
Proses pembelian rumah itu berjalan lancar. Istri saya
setuju, dan pemilik rumah itu pun sepakat dengan tawaran harga yang kusodorkan.
Enam puluh lima
juta rupiah. Bahkan ia bersedia mengurus semua surat-suratnya. Aku tinggal
menunggu beres saja. "Kamu pulang ke Palembang
saja, Sini KTP kamu, biar aku yang ngurus balik nama sekalian," katanya.
Sebenarnya, peminat rumah itu banyak. Sampai ada yang
bermuka masam, ketika tahu rumah itu sudah berpindah tangan. Setelah rumah itu
kubeli pun 'orang bule' masih ada yang datang. "Oh, saya suka sekali rumah
ini," katanya. Tapi aku tidak mau menjualnya lagi. Aku ingin menjadikannya
sebagai tempat tinggal sekaligus usaha.
Enam bulan setelah pembelian rumah itu, aku selesaikan
semua urusan yang terkait dengan kantor lama, hingga aku bisa pindah dengan
tenang ke Cirebon.
Siang dibangun manusia, malam dibangun jin.
"La ilaha illallah, jauh-jauh dari Palembang, kok nempati
rumah kayak gini. Mau tidur di mana?" celoteh anak sulungku saat pertama
kali melihat rumah yang baru kubeli.
Aku tidak menyalahkan anak-anakku, karena bentuk rumah
itu memang kurang menarik. Rumahnya kecil dan nampak kurang terurus. Berbeda
dengan rumahku di Palembang.
Saat membeli rumah itu, aku memang tidak mempertimbangkan bentuk rumahnya,
karena rumah itu akan segera kurenofasi.
Untuk sementara
aku dan keluargaku tinggal bersama orangtuaku, sampai menunggu rumah yang kurehap
total. Kami terhitung keluarga besar dengan enam anak. Aku merencanakan
membangun rumah dua tingkat.
Kebetulan aku mendapat tukang yang bagus, Pak Radi,
namanya. Kupercayakan pembangunan rumah kepadanya. Ia bekerja dengan baik. Pembangunan
rumah dua tingkat seluas seratus delapan puluh meter itu terbilang cepat.
Biasanya dibutuhkan waktu empat bulanan. Rumahku selesai dalam waktu dua
setengah bulan. Sampai ada yang nyeletuk bertanya. "Apa yang diwiridkan nih
pak?" tanya seorang pekerja.
"Saya pakai doa Nabi Sulaiman," jawabku.
"Emang kenapa?" tanyanya penasaran.
"Siang dibangun orang, malam dibangun jin,"
jawabku sekenanya. Aku tidak serius mengungkapkannya. Karena aku memang tidak
merapal mantra atau mengamalkan lelakon tertentu. Ia terperangah. Ia kaget
mendengar jawabanku. Padahal aku hanya bergurau. Orang-orang yang mendengar
gurauanku pun tergelak tertawa.
Saat pembangunan rumah itu memang tidak ada peristiwa
yang aneh. Hingga sampai pada detik-detik akhir penyelesaian, Pak Radi
memintaku naik ke lantai dua. Di atas atap kulihat bendera merah putih
berkibar-kibar, didampingi janur kuning dan beberapa benda lainnya.
Saat itulah aku diminta mengumandangkan adzan.
"Pak, adzan Pak?" kata Pak Radi. "Adzan?" aku bingung juga
mengapa harus mengumandangkan adzan. Padahal saat itu bukan waktunya shalat.
Menurut Pak Radi memang begitulah kebiasaannya ketika membangun rumah. Di
samping mengibarkan bendera atau janur kuning, juga dilantunkan adzan.
Entah apakah karena lantunan adzan itu, hingga malamnya
aku bermimpi. Aku didatangi seerkor ular naga. Putih warnanya dengan lidah
menjulur-julur. Naga itu hanya mendengus, setelah itu berlalu begitu saja.
Selama ini, aku jarang bermimpi yang aneh-aneh. Malam itu, malam satu-satunya
aku mimpi bertemu naga.
Pembangunan rumah berjalan lancar. Pada saat pindahan
ke rumah baru, alhamdulillah, aku diantar rombongan jamaah masjid dan
dititipkan ke jamaah masjid di tempat tinggalku yang baru. Selama ini, aku
aktif di kegiatan masjid. Dan terbilang banyak temannya. Mungkin karena sifatku
yang humoris dan mudah bergaul hingga mereka dengan senang hati mengantarku ke
tempat yang baru.
Muntah darah, lantaran infeksi kecil di usus
Rumah baru. Suasana baru. Harapan baru. Begitu yang
kuharapkan kala menempati rumah sendiri. Kehidupan yang lebih harmonis antar
anggota keluarga. Antar orangtua dan anak-anak.
Aku sadar, bahwa semua keinginan manusia tidak bisa
langsung terkabul begitu saja. Ada
masa sulit ada pula masa senang. Istriku sedari awal merasa tidak tenang
tinggal di rumahnya sendiri. Ia lebih merasa nyaman tinggal di rumah
orangtuaku. Padahal kondisi rumahnya sudah jauh berbeda. Layak huni dan tidak
bising, meski berada di pinggir jalan.
Aku berusaha menenangkan istri. Bahwa itu perasaannya
saja. Tidak perlu terlalu dibesar-besarkan. Toh seiring dengan perjalanan waktu
serta keakraban dengan tetangga kiri kanan, akan merasa nyaman dengan
sendirinya. Awalnya aku berpikiran bahwa istriku terkena home sick. Ia
rindu dengan kampung halamannya, seperti kerinduanku dulu pada kampung
halamanku. Sampai pada titik ini, aku
bisa memahaminya.
Setahun setelah menempati rumah baru, aku muntah darah.
Padahal aku tidak sedang sakit. Malam sebelum muntah darah itu, aku sempat
nongkrong bersama beberapa tetangga di anjungan depan rumah. Shubuh pun aku
masih ke masjid. Saat itu, aku belum merasa ada yang tidak beres dengan
kesehatanku. Aku sehat-sehat saja. bahkan sepulang dari masjid, aku mengantar
istri belanja ke pasar. Naik motor.
Saat di pasar itulah, perutku sedikit melilit. Ah,
karena lapar, pikirku. Aku memang belum sarapan. Aku pun mampir di warung
makan. Kunikmati sarapan pagi itu dengan lahapnya.
Sepulang dari pasar, aku merasakan nyeri di perut. Dan
tak lama kemudian, aku muntah. Bukan makanan atau air yang keluar, tapi darah.
Merah. Aku terkejut, istriku pun menjerit. Aku segera bergegas ke kamar mandi.
Di sana,
kubiarkan darah itu keluar. Karena memang tidak kuasa kutahan.
Aneh, mengapa harus muntah darah? Padahal tidak ada
yang aneh dengan diriku. Aku merasa sehat-sehat saja. dokter yang merawatku di
rumah sakit pun dibuat keheranan. Pasalnya, setelah dilakukan scanning,
ternyata hanya terdapat luka kecil di usus. Luka itulah yang mengeluarkan
darah. Secara logika, jelas hal ini sulit diterima akal.
Akhirnya, untuk sementara aku menjalani rawat inap. Badanku
mulai lemas, karena muntah darah masih sesekali terjadi. lima bungkus darah, habis dalam hitungan
hari. Setiap tambah darah, justru HB (Haemogloubin
Cek ulang) turun. Kondisiku semakin kritis, akhirnya aku berpesan kepada istriku.
Lima
kantong darah, sampai habis. Tiap nambah hb nya turun. Akhirnya saya berpesan,
kalau saya nggak ada, titip anak-anak.' Nangislah istri saya. pulang ke palembang lagi.
Setelah ditambah dua kantong sekaligus, saya sembuh
lagi. Sampai cerita orang-orang sini, ada orang cempaka arum ini, tiga yang
muntah darah. Dua mati satu selamat. Pak dodi, kata mereka.
Dalam pikiran saya karena saya orang baru, saya tidak
punya musuh. Jadi suudzan saya lepas. Saya tidak mau buruk sangka. Karena saya
tidak punya musuh.
Setelah tahun ketiga, anak saya, tiba-tiba sakit.
Menurut pengalaman dokter, anak seumur itu tidak mungkin menderita kangker
dengan stadium berat. Itulah waktu perkenalan dengan ruqyah syar'iyah cabang cirebon.
Anak saya diruqyah dua kali oleh ustadz ya'qub dan
haris. Mereka berpendapat, medis juga perlu dilaksanakan. Akhirnya saya
jalankan dua-duanya. Akhirnya dioperasi. Sekilo setengah, keluar usus. Tumor
sebesar telur angsa tiga biji. Dipotong.
Saya disuruh kemoterapi lima belas kali. Pengalaman sampai tiga kali
saja, banyak yang tidak kuat. Saya nggak. Bismillah, kalau kata Allah, hidup,
hidup saya bilang. Saya pakai jamu saja. saya pakai brotowali. Saya pakai
pepahitan semua. Kebetulan, secara fisik, anak saya juga bagus. Alhamdulillah,
Allah menyembuhkannya.
Yang namanya penyakit itu tidak dirasakan saja. Cuma
dokter bingung. anak sekecil itu sudah kena tumor stadium tinggi. Jarang
terjadi. bentuknya sudah seperti telur angsa.
Sakitnya mendadak. Katanya lima bulan. dalam waktu lima bulan kok sudah separah itu
perkembangannya? Selain itu, benjolan itu juga bergerak-gerak. Berpindah-pindah
dalam perut. Secara teknis dipotong.
Selain ruqyah di kantor cabang Majalah Ghoib, juga saya
lakukan terapi di rumah.
Saya pensiun tahun 2000. menetap di palembang. Sesaat sebelum pindah ke sini,
tidak ada masalah dengan teman-teman kantor. Tetangga baik-baik semua.
Muntah darah setahun setelah di sini.
Sebelum muntah darah itu, siangnya saya main
tembak-tembakan, malamnya main gitar sama teman-teman di pos depan rumah. pagi
shalat shubuh lalu ngantar istri ke pasar. Sampai di pasar, saya bilang, kok
tidak enak perut saya. ah, belum makan ini, pikir saya. saya sarapan dulu di
gunung sahari.
Sampai di rumah, kok semakin tidak enak perut saya.
saya langsung muntah darah. Banyak sekali. Padahal yang luka hasil dari scaning
itu kecil di usus.
Sejak pindah ke sini, aktifitas saya wiraswasta.
Waktu saya bangun rumah ini, saya kan naik suwung. Tukang bilang, pak tolong
diadzanin.' Saya bilang, adzan kan
untuk manggil orang shalat. Pikir-pikir mau bentrok sama tukang kan nggak enak. Saya
adzan saja.
Malamnya itu saya mimpi didatangi ular naga.
Mendesis-desis. Tapi saya tidak tahu. ini mau kenalan atau marah. Tapi setelah
saya sembuh, saya malah dikejutkan oleh mimpi yang kedua. Saya didatangi oleh
pangeran cakra buana. Saya dituntun ke syarif hidayatullah, sunan gunung jati.
Saya dikenalkan. Saya salaman. Langsung,
Mimpi pertama dan kedua selang sebulan.
Sebelumnya banyak orang yang berminat, tapi uangnya
kurang. Tidak diizinkan. Buat mereka yang tidak punya duit dibilang mahal.
Bagiku tidak.
Ada
cerita bahwa orang yang ngontrak di rumah ini, anaknya yang masih bayi di bawah
tempat tidurnya itu ada ular dari besi. Kan
kalau bayi itu dikasih parlak. Anaknya kan
sakit terus.
Ini rumahnya dokter, tapi selalu dikontrakkan. Katanya
selalu ada kejadian aneh. Yang persis tahu, karena saya kenal dia. Katanya
anaknya yang bayi selalu sakit-sakitan, sampai katanya hidupnya anaknya itu
saja nebus. Sekarang ujung-ujungnya saja anak saya kan juga bayi. Saya tidak tahu apa
hubunganya.
Tapi saya hanya berpikiran begini, kalau ini merupakan
bagian dari cara untuk mengurangi dosa-dosa saya. akhirnya saya bersyukur saja.
daripada saya tuduh sana
tuduh sini, bikin pusing saja. sementara di sini, saya tidak punya musuh. Saya
orang baru.
Suka atau tidak suka,
Dari sisi tampilan fisik rumah itu ada yang menerawang
nggak?
Menurut pendapat yang sempat saya dengar, katanya di
rumah ini itu sarangnya ular. Rumahnya di sini. Keluar pintunya di situ, di
rumah sebelah. Ular-ular itu main kemana-mana. Setelah itu kembali ke rumah ini
lagi.
Itu penglihatan orang-orang di sini. Cerita lampau.
Tadinya di sini.
Yang mengatakan di sini rumahnya ular itu ada yang
paranormal ada juga orang-orang lama yang memang sudah lama di sini. Ini sudah
menjadi legenda kalau ular itu dari sini, main ke seberang, setelah itu balik
lagi ke sini.
Pintunya di sana,
katanya rumahnya di sini.
Waktu itu ibu saya bermimpi, katanya rumah saya itu
justru bagus. Saya tanya kenapa? Katanya rumah kamu itu balong. Banyak orang
ambil air minum. Jadinya sepertinya tabrakan ya, yang satu bilang begini, yang
satu begitu.
Orang-orang kraton menganggap daerah sini sebagai
daerah … apakah itu juga ada kaitannya ke sana,
saya tidak ngerti. Dari mulai arum sari itu katanya daerahnya ular.
Cuma saya tidak mengambil sebuah permusuhan.
Ya, saya perang dengan istri saya. 'mengapa kita harus
mengalah dengan hal-hal seperti itu?' tapi saya kembalikan kepada Allah. Ya
Allah, andaikan itu yang lebih baik, mengapa saya tidak hijrah. Rasulullah
sendiri kan
begitu. dalam kondisi yang membuat kita tidak nyaman dan kita bisa memilih dan
halal mengapa tidak?
(istri) sejak pertama tinggal di sini, ribut saja.
perasaannya itu kurang nyaman. Saya tidak tahu. bukan
karena saya (istri) orang palembang,
terus saya tidak betah di sini, bukan. Apapun yang saya lakukan di sini itu
tidak bisa langgeng. Misalnya, saya jualan, hari-hari pertama itu larisnya
bukan main. Nanti sesudah itu tidak ada yang mau beli.
Kalau saya lagi laris-larisnya, saya pernah kejadian
saya masak khas cirebon.
Dari wajan itu saya suruh suami untuk mencicipinya, rasanya enak. Selang berapa
lama kemudian, saya pindahin dari wajan, ke tempat cetakannya itu, rasanya
asem. Sudah berubah total. Jadi tidak bisa dijual.
Kalau masakan sering sekali. Awalnya laku-laku sampai
aneh. Kata orang, kalau hari pertama saya itu tidak bisa selaris ini, kalau ibu
enak, begitu jualan langsung laku.'
Tapi setelah itu, ada saja makanan yang basi, yang
inilah yang itulah.
Pembelikan selalu bilang ke saya (istri) ibu kok
tutup?' saya kan
tidak merasa tutup, jadi saya bilang, saya tidak tutup. Tapi dia ngotot,
katanya warung saya tutup. 'ibu warungnya tutup.' 'buka, ente itu gimana sih?
Ane buka, ente bilang tutup,' kata suamiku kesal.
Saya juga tidak mengerti. Saya punya pendapat saya
tidak punya musuh. Tapi semuanya saya kembalikan kepada Allah.
Sejarah rumah.
Dokter itu kan
buka praktek sama istrinya. Dokter kan
pintar milih ya. Letaknya bagus, di pinggir jalan. Blok A no satu. Nomor
teleponnya juga bagus,. Mudah diingat. Jadi kemudian, dokter itu mengalami
kecelakaan. Akhirnya ia tidak jadi membuka praktik di rumah ini.
Rumah ini akhirnya dijualnya. Yang berminat itu banyak
tapi tidak kesampaian. Saya dari palembang,
cari-cari rumah, (65 juta) luas tanah 190. Cuma rumahnya tidak bisa dipakai.
Waktu saya ambil, ada yang mukanya masam. Kesimpulan
awal, factor tempat, artinya siapapun yang tinggal di rumah ini akan mengalami
gangguan itu. saya larinya ke sana,
saya tidak mau menuduh orang lain.
Saya hanya berpikiran, orang yang ngontrak di rumah
ini, dulu mengalami kejadian yang aneh. Tetangga belakang tidak ada yang
mengalami keanehan. Tidak ada komentar tetangga tentang rumah ini.
Hanya waktu saya sakit mendadak saja, ada yang
komentar. Tiga orang muntah darah, dua meninggal, satu selamat. Tapi bagi saya
itu tidak berpengaruh apa-apa. umur itu ditangan Allah, kalau belum waktunya ya
tidak akan meninggal meski apapun yang terjadi.
Selang pembangunan rumah lama dan pemugaran, sekitar
enam bulan, pembangunan lagi tiga bulan. jadi total sembilan bulan. Setelah
saya beli kan
saya balik ke palembang.
Telpon juga saya bayar dari sana.
Setelah enam bulan saya baru ke sini. Saya rehab total. Selama tiga bulanan.
Saya dapat tukang yang bagus. Dua bulan setengah, waktu
itu saya sempat bergurau. Orang-orang kan
heran, rumah ini kok cepat sekali pembangunannya. Tingkat. Luas bangunan
seratus delapan puluhan. Orang bangun rumah kan rata-rata empat bulan.
Orang sendiri heran. 'apa yang dianu ini pak?' tanya
mereka. 'saya pakai doa nabi sualiman.' Saya bilang. 'kenapa?' siang dibangun
orang, malam dibangun jin,' saya bilang begitu.
Tertawa semua. Padahal saya Cuma nyeletuk saja. 'masya
Allah,' kata mereka. Saya hanya bercanda. Tapi nggak tahu mereka.
Ketika pembangunan rumah ini tidak ada yang mengalami
gangguan apa-apa. setiap kali mencangkul, yang keluar air saja. mau buat
septick tank, baru satu meter, sudah keluar air.
Tradisi di sini, kalau naik wuwung, yang ada genthong,
ada benderanya.
Saya kan
bingung, itu pakai apa? saya kan
kalau sudah pakai tukang itu kan
sudah saya serahkan semuanya ke tukang. Misalnya pimpinannya siapa gitu. Terus
saya disuruh naik ke atas. Pak naik sini pak. Ke suwunan. Saya naik ke atas.
Semua barang yang dibutuhkan itu sudah nempel di sana. Adzan pak. Katanya.
Itu kalau saya ambil maknanya, bendera ya sebagai
lambang negara. Janur karena kelapa itu semuanya berfungsi.
Malam harinya, saya didatangi naga. Warnanya putih.
Ketika menempati rumah ini, saya syukuran. Saya bahkan
diantar jamaah masjid tempat saya dititipkan ke jamaah masjid di tempat baru
ini.
(istri) tidak sreg sampai sekarang. Yang namanya istri
itu manut suami. Apalagi suaminya itu tidak macem-macem. Pokoknya nurutlah. Susah mau dibawa susah. Senang bersama-sama. Kalau
persoalan bahwa di sini tidak puas, setiap orang pasti tidak puas. Apalagi bila
jauh dari orangtua. Cuma saya pikir, setelah tinggal di sini agak lama kalau
secara tenang, ya tenang di sini. Cuma barangkali Cuma itu ..
setelah saya sakit ada orang datangi orang pintar, dia
kiai pondok pesantren. Kiai badrul. Saya kan
ke sana. Wah
kamu disenangi jin, katanya. Kamu disukai jin. minta dikawinin. 'gile, saya
bilang. Masak namanya manusia kawin sama jin. jin itu tinggalnya di kamar
mandi. Minta dibongkar saja, jangan dibikin kamar mandi. Buat ruang apalah
katanya.
Ini lebih gila lagi, saya bilang. Ada jin memerintah manusia. Tidak ada saya
bilang. Masak rumah sudah jadi begini disuruh dirombak. Apalagi senang sama
saya. nggak masuk diakal. Bini gue manusia, mau diapain? Guyon-guyonnya begitu.
Aneh-aneh saja. ada yang senang sama saya, bangsa lain.
Kan aneh itu.
apa saya sudah melakukan sesuatu yang aneh-aneh. Sejauh ini, saya tidak punya
mantra atau hidzib-hidzib. Saya hanya mengamalkan yang ada tuntunannya. Yang
sedang-sedang saja. emang daya ingat saya tidak sehebat.
Saran kiai itu tidak saya lakukan. Wong rumah sudah
jadi, mau dibongkar lagi.
Setelah itu saya tidak pernah datang lagi ke sana. Kesana setelah
muntah darah.
Katanya, karena cemburu sama saya, itu saya dibuat
sakit. Itu kata kiai.
Sebulan yang lalu, ada orang pintar datang ke sini.
Kita tidak mengundangnya. Di rumah kamu itu ada pedang, katanya. Ada, kata saya. pedang
china itu. ada naganya, katanya.
Ada
naganya. Itu ikut terus kemana kamu pergi. Walau pedang itu ada warangkanya.
Hawanya panas, katanya. Ini orang bisa kelihatan kayak begitu, darimana
ceritanya. Saya sendiri tidak pernah lihat-lihat, kata saya.
Ente senang sama pedang ini. kalau ente senang, bawa.
Dia cerita, katanya pedang ini dari dinasti ming, sudah membunuh lima belas orang,
katanya. Apalagi sudah membunuh, bawa saja. gratis saja. pedang itu dibawanya.
Setelah pedang itu saya buang, saya tidak merasakan ini
lagi. Keluar dari kamar kan,
kena tiang dari pohon ini. tiap malam kaset ruqyah tidak pernah berhenti. Kalau
saya habis tahajud, saya mau ke masjid, saya putar kaset ruqyah. saya pergi ke
masjid. Di sana,
saya juga tugasnya muadzin. Pulang dari masjid, masih bunyi.
Kamu sampai di mana, saya bilang. Saya putar kaset
ruqyah terus. Tiap hari. Orang disini
sudah pada tahu.
Pertama kali putar kaset ruqyah, tapenya hancur. Tidak bisa dipakai lagi. Bukan karena ada
kucing. Atau naruhnya dipinggir. Yang namanya anak-anak, pada kabur semua.
Pedang masih ada.
Saya memang senang barang-barang antic. Saya tidak tahu
asal-usul pedang itu. bambu ini juga dikasih orang. Sekadar bambu. Aku sering
lewat ladang, katanya. Tahu-tahu ada bambu ini. saya lewat situ nggak pernah
tahu. tiba-tiba ada yang nyala. Saya dekatin, ternyata dari bambu ini. saya
bawa saja ke rumah.
Setelah pembangunan rumah selesai, saya sekeluarga
langsung pindah ke sini. Pernah anak saya sekali, setelah proses operasinya
anak saya. istri saya bikin kue di situ, anak saya yang paling kecil, lewat.
Ma, ma, itu ada yu dinda kok masuk ke sana?
Katanya. Lari ke tempat cucian.
Nggak ada, kata istri saya. Cuma sekali itu. setelah
rumah selesai, saya buat bisnis macam-macam. Pernik-pernik, hiasan perempuan,
atk, baju-baju. Kerajinan tangan asal palembang.
Setelah dibuka pertama, ramai, lama kelamaan tidak ada
yang beli. Sampai akhirnya saya ganti. Etalase saya jual semua. Rencananya
samping rumah ini saya pakai kantor. Tapi nggak jadi.
Banyak yang bilang, katanya tokoku tutup. Apa saja
bisnis yang kita coba, tidak ada yang langgeng. Akhirnya saya buat kesimpulan,
orang lain saja yang buka usaha ini. tinggal bagi hasil saja. lancar akhirnya,
seperti voucher ini, sampai sekarang lancar.
Pebisnis yang memanfaatkan rumahku tidak ada masalah.
Keluar Belatung dari telinga
Setelah anak saya dioperasi, saya tidak punya pikiran
istrinya saya hamil. Karena sudah tujuh tahun tidak hamil. Tahu-tahu tiga
bulan, setelah anak saya operasi saya konsentrasi ke istri saya. saya lihat
capek sekali. Saya bawa ke dokter, ternyata positif hamil. Kaget saya. sudah
enam bulan.
Berarti selama anak saya sakit, saya kurang
memperhatikan istri.
Kalau orang hamil, biasanya nyidam, saya tidak begitu.
enam anak saya itu tidak pernah menyidam. Yang nyidam itu suami saya. jadi
istri saya tenang-tenang saja. baru ketahuan kalau hamil setelah enam bulan.
saya bilang, alhamdulillah. Tuhan memberi kepercayaan lagi.
Dalam kondisi yang lagi semrawut, mertua, orangtua dan
saudara tidak ada yang tahu. sampai proses lahiran. Begitu lahir, saya telpon.
Bu dodi punya anak satu lagi. Selamat. 'hah, anak? Kapan hamilnya?' tanya
mereka.
Anak dari siapa? Tanyanya lagi. Waktu operasi anak saya
yang sakit tumor itu kan
ibu mertua datang. Tapi tidak kelihatan tanda-tanda kehamilan. Malam jum'at jam
setengah satu.
Saat hamil, biasanya kan tidak mau diam istri saya. ngepel,
nyapu. Dia nyapu di lantai atas. Tangga belum sampai dikira sudah sampai di
dasar. Perasaannya itu sudah habis, tahu-tahu masih ada tangga lagi, dia hampir
jatuh. Badannya terjungkal. Alhamdulillah, otomatis pegangan pagar tangganya.
Masih tetap terjatuh. Tapi tidak fatal. Perutnya tidak pas di bawah.
Karena pikiran saya jatuh seperti itu bisa keseleo,
saya panggil dukun pijat. Orangnya sudah tua. Saya bonceng pakai motor. Baru
masuk ke dalam rumah. dia gluyur-guyur sempoyongan, jatuh di tempat yang sama
dengan jatuhnya istri. Saya berpikir, ini ada apa-apa nih. Akhirnya saya bawa
istri ke tempat ruqyah.
Saya pikir, saya sendiri sudah, anak juga sudah, istri
juga sudah. Waktu dibawa ke tempat ruqyah, saya menangkap kesan istri saya
tidak serius. ia bermaksud mempermainkan ustadz.
Ketika dibacakan al-Qur'an, istri melirik ke saya,
seakan tidak yakin. Begitu ustadz ngomong, 'hai jin yang berada di tubuh
saudaraku. Bertaubat kepada Allah cepat keluar. Pilih jalan mana yang kamu
pilih. Kaki perut. Keluar kamu. Kalau tidak, aku bakar dengan ayat-ayat
al-Qur'an.
Istri saya langsung menangis. Jin nya bereaksi. Istri
yang sedang hamil itu, perutnya bergerak-gerak. Istri saya menangis
sesenggukan.
Selesai ruqyah, istri saya langsung tertidur.
Kecapekan.
Pulanglah kami. Di rumah, saya gentian meruqyah istri
saya. saya bacakan ayat-ayat al-Qur'an yang ada dalam panduan buku ruqyah.
tangan. Saya tempelkan di perut. Saya baca terus, tahu-tahu pecah ketuban.
Selesai baca doa.
Lahiran lah anak keenam. Setelah dua minggu, ada tamu
datang. Sampai nabrak maghrib. Anak ditinggalkan di kamar. Dia menjerit
menangis. Tiba-tiba keluar darah dari telinganya. Darah segar.
Kemarinnya baru ditindik. Pikir saya, karena baru
ditindik. Saya panggil bidan yang lahirin kemarin. Nggak apa-apa, katanya. Tapi
anak saya menjerit. Semalaman. Dia menangis. Selesai shalat malam, saya berdoa.
Ya Allah, tolong, anak ini masih suci. Tidak berdosa. Kalau memang itu penyakit
pasti ada gejala awalnya. Apa busuk atau apa.
Apa sebenarnya yang terjadi. tolong berilah jalan
keluarnya. Saya pulang dari masjid setelah shalat shubuh. Anak saya masih
menangis. Tiba-tiba begitu saya gendong, 'pa, pa ada yang bergerak-gerak di
telinganya.
Saya bergerak otomatis, saya ambil kertas sedapatnya.
Saya ambil yang bergerak-gerak itu. ternyata itu adalah ulat. Putih seperti
susu, yang seperti ulat nangka. Yang kalau mau loncot begini dulu tuh.
Ukurannya pas dengan telinga anak saya. begitu keluar,
saya setengah tidak percaya. 'Ya Allah, siapa yang ngirim ini?' begitu yang
terpikir. 'saya tidak punya musuh, anak sesuci ini kok dimasukin seperti ini.
kenapa tidak emak bapaknya saja diserang.
Saya lapin. Sudah tidak keluar darah lagi. Habis itu
kita ruqyah lagi. Saya bawa ke kantor cabang. Barangkali masih ada yang lain.
Samping saya telpon lagi bidan yang menangani anak saya. katanya, bu kata
dokter, harus dirontgen kepalanya. Itu mungkin di kepalanya ada pembusukan.
Kata bidan itu lagi.
'nggak, nggak. Kalau ada pembusukan tidak seperti itu,
anak saya. 'tanggung sendiri nanti resikonya tidak mau.' Saya tolak. Saya tetap
memilih ruqyah.
sepulang dari ruqyah, bidan itu datang lagi. 'wah, ini
bener. Pasti ada pembusukan di dalam kepala.' Dia nakut-nakutin saja. saya
tolak dengan halus.
Kalau sebelumnya itu telinganya bau atau apa, nggak ada
apa-apa.
Sejak itu setiap malam habis maghrib sampai isya' saya
ruqyah anak-anak saya. anak-anak saya jejer seperti pindang. 'dengerin papa.
Ikutin. Yang satu saya pegang tangannya sambil berpegangan tangan. Lima anak dan satu yang masih berumur dua minggu.
Dengerin. Ikutin.' Anak-anak mendengarkan dan mengikuti
saya. sampai berkeringat. Saya lakukan sampai empat puluh hari. Terakhir agak
berhenti, ketika buku panduan ruqyah kuberikan kepada orang lain yang datang ke
rumah. jadi saya tidak punya buku itu
lagi berhentilah saya.
Habis diruqyah itu tidurnya ngeblek sampai
berhari-hari. Seperti orang kecapekan saja. bangun-bangun minta minum tidur
lagi. Saya takut juga.
Cuma selagi hamil ini, istri saya lagi masak di dapur.
Istri saya kan
bangunnya jam setengah lima.
'eh mama sembunyi-sembunyi makannya, sama dinda.' Yang lihat itu anak saya yang
paling kecil.
Sejak disini perasaannya, anak saya itu sewot melulu.
Mudah berantem dengan adik-adiknya. Yang namanya anak-anak, dulu juga begitu.
tapi tidak seperti sekarang. Sampai akhirnya saya berpikir, untuk potong
kambing di hara raya kurban atas nama anak-anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar