Jumat, 27 September 2013

Aku cemburu pada mantan pacar suamiku

Terbalut cemburu pada mantan pacar suamiku/


Cinta pertama begitu melekat di hati, kata yang pernah pacaran. Hari-hari yang  'indah' itu terasa lengket. Kenangan demi kenangan pun tak mudah hilang, walau telah sekian lama berlalu. Meski, sang pujaan hati pun sudah menjadi milik orang lain. Tidak lagi single. Bila kenangan demi kenangan itu sesekali terlontarkan di hadapan sang istri atau suami, kecemburuan pun tak lagi dapat terhindarkan. Wajar memang. Menjadi tidak wajar, bila kemudian kecemburuan itu ditunggangi oleh jin. Seperti kisah Rine. Seorang ibu muda asal Cirebon, Jawa Barat.

Terus terang, seperti kebanyakan remaja, aku juga punya pacar. Seorang pemuda desaku yang sudah berniat untuk melamarku. Tapi aku menolaknya dengan halus. Kukatakan, bahwa usiaku masih muda. Aku ingin meringankan beban orangtua. Untuk saat itu, aku masih belum siap menikah.
Sebagai seorang wanita, aku juga memiliki kriteria seorang lelaki idaman yang kelak kuharapkan sebagai suamiku. Seorang lelaki yang penyayang, setia, perhatian dan bertanggungjawab. Dan lebih dari itu, aku mengharapkan seorang suami yang rajin shalat. Seorang suami yang mengerti masalah agama, sehingga bisa membimbing diriku serta anak-anakku ke masa depan yang lebih baik.
Sayangnya, kriteriaku itu tidak dimiliki pacarku. Singkat kata dia bukanlah lelaki idamanku. Itulah alasan utama mengapa aku menolak lamarannya dengan alasan belum siap.  
Setelah beberapa hari di rumah, aku bermain ke seorang teman yang secara kebetulan orangtuanya berprofesi sebagai dukun. Aku hanya ingin bersilaturrahmi dan berbagi cerita dengan anaknya. Tidak ada urusanku dengan orangtuanya. Entah kenapa, tiba-tiba orangtua temanku memberikan nasehat. "Kamu tidak usah kerja. Sudah menikah saja dengan tetangga desa kamu. Itu jodohmu," katanya.

Aku tidak percaya. Pemuda sebelah desa yang mana, pikirku. Aku tidak kenal dengan mereka. Pacarku masih sedesa denganku. Lalu siapa yang mau melamarku? Ah, tak usah dipikirkan. Toh, aku masih mau sendiri, gumamku dalam hati.
Aku pulang dengan pikiran yang lebih tenang. Tanpa beban pikiran yang mengganjal. Setidaknya, curhat dengan teman lama sedikit mengurangi rasa sesak di dada.
Selang beberapa hari kemudian, ada seorang pemuda yang belum kukenal main ke rumah. Dia mencari kakakku. “Oh, abang lagi di belakang,” jawabku ketika dia bertanya di mana kakak. Kupersilahkan dia masuk dan menunggu di ruang tamu. Sementara aku sendiri langsung ngibrit ke belakang mencari kakak.
Pemuda itu tidak terlalu menarik perhatianku. Karena aku sendiri sudah punya pacar. Kakak dan temannya, asik ngobrol di ruang tamu. Seperti ada masalah serius yang mereka perbincangkan. Sore itu, temannya kakak pulang, tanpa memperkenalkan namanya.
Suatu sore, pacarku main ke rumah. Namanya Andi. Seperti biasa ia datang bersama dua orang temannya. Kami pun asyik ngobrol. Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat. Semburat kekuningan telah memancar di ufuk barat. Pertanda waktu Maghrib telah tiba. Kakak yang terbiasa shalat berjamaah di masjid bergegas ke masjid yang hanya beberapa puluh meter dari rumahku. Sementara Andi tetap bercanda dengan teman-temannya, kali itu mereka berpindah ke halaman rumah. Aku sendiri sudah meninggalkan mereka.
Saat adzan Maghrib berkumandang, mereka asyik mengobrol. Ketika kakak pulang dari masjid pun pacarku masih belum beranjak dari tempatnya. Ia tetap di sana. Bersenda gurau dengan teman-temannya. Kejadian itu membuat kakak tidak lagi kuasa menyembunyikan ketidaksenangannya.
Ia mulai terang-terangan menentangku menjalin hubungan lebih jauh. Dengan kata lain, kakak tidak setuju bila aku menikah dengan Andi. Memang, selama berpacaran aku kurang sreg dengan gaya dan perilakunya. Maka, ketika kakak melarang pun aku tidak terlalu keberatan. Toh, kami belum berkomitmen apa-apa. Hanya sebatas penjajagan yang bisa berlanjut atau putus di tengah jalan.
Kakak mengambil alih kendali. Ia memperkenalkanku dengan temannya yang datang ke rumah dua hari yang lalu. Namanya, Purnomo. Perkenalan itu terjadi di rumahku. Ketika Purnomo main-main ke sana. Obrolan dan perbincangan ngalor ngidul itu pun menemukan titik terang. Ternyata antara ibuku dan ibu Purnomo masih ada hubungan darah. Dari situ, hubunganku dengan Purnomo makin akrab.
Terlebih kutemukan sesuatu yang berbeda pada diri Purnomo. Ia tidak jauh melenceng dari kriteria lelaki idamanku. Purnomo semakin terbuka. Tanpa kuminta ia menceritakan masa lalunya. Tentang dua orang mantan pacarnya. Keduanya kandas di tengah jalan. Yang pertama namanya, Mona dan yang kedua Ratih.
Aku kenal Mona. Ia temanku semasa SMP, tapi aku tidak kenal Ratih. Mendengar kisahnya, aku merasa terharu. Hubungan Purnomo dengan Ratih putus seminggu sebelum resepsi pernikahan digelar. Padahal, sebelumnya mereka antusias melangsungkan pernikahan. Entah kenapa tiba-tiba pihak Ratih membatalkan kesepakatan.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Undangan sudah terlanjur menyebar. Berbagai persiapan telah dilakukan. Tapi apalah daya, tidak ada paksaan dalam pernikahan. Karena hanya melahirkan duka nestapa yang lebih mendalam. Biarlah, mereka putus kalau itu memang lebih baik. Toh antara keduanya belum terjalin dalam ikatan resmi. Aku ikut berempati atas masalahnya, tapi dia juga tidak boleh larut dalam penyesalan. Karena jodoh tidak ada yang tahu.
Sejak itu, hubungan kami semakin akrab. Silaturahmi antara kedua orangtua kami pun tersambung kembali. Perlahan, aku mulai melepaskan diri dari Andi. Aku mulai memberikan sinyal bahwa hubunganku dengannya tidak mungkin berlanjut sampai ke pelaminan. Apalagi keluargaku sudah menunjukkan ketidaksenangannya dengan terang-terangan. Hingga di saat yang tepat, kuputuskan hubungan kami. Antara aku dan Andi kembali seperti semula. Hanya teman biasa.
Suatu hari, Purnomo mengajakku main ke rumahnya. Aku dipertemukan dengan orangtuanya. Mereka menyambutku dengan ramah. Tanpa kuduga, saat itu ibunya bertanya, "Mau nggak jadi istrinya Purnomo."  Ditanya begitu, aku tersipu malu, karena baru beberapa hari kami memutuskan untuk pacaran.
Ibu Purnomo mengerti perasaanku. Ia tahu, aku sebenarnya tidak menolak. Tapi untuk mengiyakan seketika juga jelas tidak mungkin. Tapi setidaknya, saat itu sudah ada titik terang kemana arah hubungan kami.
Dua minggu berselang dari pertemuan itu, orangtua Purnomo datang ke rumah. Mereka melamarku. Aku pun mengiyakan. Walau aku belum bisa membalas jasa orangtua, mungkin ini jodoh saya dan yang terbaik untuk semuanya.

Dibalut cemburu
Hari bahagia itu pun tiba. Aku bersanding di pelaminan dengan Purnomo. Lelaki yang baru kukenal dua bulan sebelumnya. Aku sudah mantap mengakhiri masa lajang dan memasuki gerbang baru, menjadi bagian dari kehidupan orang lain.
Andi hadir di pernikahanku. Demikian pula dengan Mona. Kulihat dia berada di antara pengunjung yang mengucapkan selamat atas pernikahan kami. Mereka berbaur di antara undangan lainnya.
Kulewati masa bulan madu dengan indah. Hatiku berbuncah penuh kebahagiaan. Dua hati yang dipertautkan dengan ikatan suci. Tidak ada alasan bagi kami untuk menutup diri dari masa lalu. Aku dan Purnomo yang saling memanggil dengan panggilan kesayangan, saling berbagi cerita. Mas Pur cerita masa lalunya, demikian pula dengan diriku.
Tidak ketinggalan, Mas Pur juga cerita tentang dua mantan pacarnya. Mona dan Ratih. Entah mengapa, hatiku berdesir kala Mas Pur menyebut nama Mona. Debaran berbeda kurasakan ketika dia menceritakan tentang Ratih. Padahal keduanya, mantan pacarnya.
Aku cemburu. Ya, hatiku dibalut perasaan cemburu. Terlebih bila saat bermain ke rumah tetangga, sesekali aku mendengar mereka menceritakan masa lalu Mas Pur saat masih pacaran dengan Mona. Kata mereka, keduanya pasangan yang serasi. Keduanya, sudah merencanakan ini dan itu. Sebagai seorang wanita yang sah menjadi istrinya, aku punya hak untuk cemburu.
Aku merasakan suasana berbeda. Gelisah, tidak tenang, berdebar-debar dan sakit di uluhati. Mulanya, aku berpikir, itu pembawaan dari janin yang sudah mengisi rahimku. Meski ini kehamilan pertama, tapi aku sering melihat ibu hamil yang suka sakit-sakitan. Aku berpikir, mungkin ini juga pembawaan bayi.
Aku mulai sakit-sakitan. Ada masalah kecil saja, perutku terasa melilit. Kepalaku pusing. Terlebih bila Mas Pur sedang kerja ke Jakarta. Selama ini Mas Pur memang mencari nafkah di Jakarta. Dia baru pulang dua bulan sekali. Bagi orang lain, mungkin dua bulan itu waktu yang pendek, tapi bagiku, itu sudah di luar batas kemampuanku untuk melawan penderitaan ini.
Aku mulai berpikiran buruk dan sering melamun. Akibatnya bisikan-bisikan syetan mulai berkelibatan di telinga. “Cerai saja! Cerai saja!” bisikan semacam ini nyaris menguasai diriku, kala ditinggal sendirian di rumah. Bisikan-bisikan yang terus menggumpal hingga membuatku hampir menyerah. Setidaknya sudah terlintas dalam benak untuk minta cerai, ketika Mas Pur pulang.
Tapi begitu melihat kedatangan suami yang selama ini kurindukan, bisikan itu hilang begitu saja. Aku seakan melupakan masa-masa kritis ketika ditinggal sendirian. Yang kurasakan hanyalah kebahagiaan sebagai wanita yang sempurna. Hamil dan didampingi suami.
Sayangnya, masalah itu tidak berhenti begitu saja. Sesekali suamiku masih menyebut nama mantan pacarnya. Mungkin ia hanya bergurau, tapi bagiku, gurauan itu sudah di luar batas kemampuanku untuk menerimanya. Aku cemburu bila dibandingkan dengan mantan pacarnya.  Meski cerita itu hanya masa lalu, tapi tetap saja aku tidak bisa menerima. Dadaku terasa sesak, bila mendengar namanya. Aku menangis. Ketika ketemu Mona pun, dadaku berdebar lebih kencang. Dan aku juga tidak kuasa menahan tangisan begitu tiba di rumah. Aku tahu, aku cemburu. Tapi mengapa kecemburuan itu seperti di luar batas kewajaran. Dadaku sampai sesak. Uluhati sakit bukan kepalang.  
Aku tidak tahu mengapa hanya kepada Mona perasaan itu muncul. Padahal Mas Pur pernah berpacaran dengan wanita lain. Ratih. Secara logika, seharusnya Ratih lebih berhak aku cemburui. Karena hubungan mereka sudah mendekati titik final. Hanya digagalkan seminggu menjelang akad nikah, sementara dengan Mona, sudah terputus jauh-jauh hari sebelumnya.
Tapi memang, ketika berpapasan dengan Mona di jalan, aku merasakan tatapan matanya kurang bersahabat. Ia menatap sinis kepadaku. Mungkin karena ia merasa aku menikah dengan orang yang masih dicintainya.
Aku pernah mengeluhkan perasaan ini kepada orangtuaku, mengapa dada ini selalu berdebar kencang ketika berpapasan dengan Mona. Sampai aku tidak mau melihatnya. Aku meminta nasehat bagaimana melepaskan diri dari siksa ini. “Kamu lihat matanya. Kamu lawan,” kata ibu. “Nggak bisa, Bu,” jawabku lemah. “Lihat matanya. Lawan. Jangan menyerah,” kata ibu lebih tegas. Dia tidak mau aku menyerah begitu saja.

Hidayah itu datang melalui ruqyah
Beberapa bulan setelah aku melahirkan, aku ikut Mas Pur ke Jakarta. Hitung-hitung membantu suami bergantian menjaga warung kopi. Yang lebih penting dari itu, aku ingin anakku tumbuh di tengah kasih sayang kedua orangtuanya. Sehingga dia tumbuh menjadi anak yang shalih.
Alhamdulillah, Allah memberikan yang terbaik buat kami untuk berusaha yaitu dekat masjid. Di sana juga banyak rintangan dan kendala yang harus kami hadapi. Tapi Allah maha mengetahui t entang hamba-Nya. Dan disinilah aku diberi hidayah. Awalnya aku tidak memakai jilbab. Pakaian pun ketat. Tapi setiap shalat di masjid aku merasa badan ini telanjang. Malu, minder yang kurasakan saat itu. Mimpi-mimpi pun selalu merasa telanjang dan sebenarnya aku ingin sekali memakai jilbab, tapi saat itu aku tidak bisa melakukannya.
Sedikit demi sedikit aku mulai mengerti tentang agama. Kalau dulu, aku sekadar ikut-ikutan, sekarang aku ingin beribadah berdasarkan ilmu.  Suatu hari, Mas Pur mengabarkan akan ada ruqyah massal di Masjid al-Huda. Ia menyarankanku ikut serta. “Agar tidak cemburuan,” katanya sambil bercanda. Di samping itu, aku juga ingin memperbaiki hidupku.
Aku buru-buru mendaftar. Daftarnya pun paling awal, karena sangat bersemangat. Pada saat mau ruqyah itu, hatiku tidak tenang. Dada berdebar-debar kencang, badan gemetaran. Ada juga rasa takut. Ruqyah massal itu diselenggarakan selepas shalat Jum’at. Nah, saat menunggu itu badanku sudah panas dingin. Entah kenapa, perasaanku tidak karuan.
Ruqyah dimulai. Tidak berapa lama, setelah pembacaan ayat al-Qur'an yang kedua, kaki sebelah kanan bergetar kencang.  Seperti digoncang kekuatan yang luar biasa. Tak lama kemudian, aku menjerit dan menangis histeris. Jeritan dan tangisan itu tiba-tiba saja muncul. Tanpa dapat kukendalikan. Ibu-ibu yang berada di sekitarku pun menyingkir. Karena aku mulai berontak dan teriakanku semakin keras.
Dalam jeritan dan tangisan itu keluar kelabang. Entah darimana datangnya. Apakah dari mukena atau dari bawah karpet, tidak ada yang tahu. Tiba-tiba kelabang itu keluar begitu saja. Aku terus menangis sampai shalat Ashar. Mas Pur mengatakan, reaksiku yang paling keras dibandingkan dengan peserta lainnya.
Setelah shalat Ashar, ruqyah massal selesai, aku pun pulang. Tapi badanku terasa lemas dan nafas sesak. Aku menangis lagi. Aku tidak tahu mengapa terus menangis. Akhirnya Mas Pur mengantarkanku ke Ghoib Ruqyah Syar’iyyah cabang Bekasi.
Sebelum pulang ustadz bertanya kepada Mas Pur, “Istri kamu pakai jilbab atau tidak?” “Nggak, tapi dia ingin sekali pakai jilbab,” jawab Mas Pur. “Setelah ini jilbabnya jangan dibuka lagi,” kata Ustadz. Ia pun memberikan nasehat panjang lebar. Ustadz juga mengatakan, berdasarkan pengalaman, apa yang kualami ini sebagian besar akibat sihir.
Kuikuti saran Ustadz. Aku tidak lagi melepaskan jilbab. meski cobaan demi cobaan terus bergulir, hanya karena aku mengenakan jilbab. pertentangan pertama datang dari anakku sendiri yang baru berumur tiga tahun. Entah kenapa dia menyuruhku melepas jilbab. Satu jam dia menangis agar aku melepaskan jilbab, tapi hatiku sudah bulat. Aku tidak akan membukanya, walau menangis darah sekalipun. Lama kelamaan anakku menerimanya. Ia tidak lagi menangis melihatku mengenakan jilbab.
Setelah ruqyah, badanku makin sakit. Aku sering menangis tanpa sebab. Beberapa kali aku mengikuti terapi ruqyah, selain itu suamiku juga membantu ruqyah mandiri. Ia membacakan surat al-Fatihah di air lalu meminumkannya padaku, alhamdulillah agak enakkan.
Karena tidak kuat menahan rasa sakit, aku pulang kampung bersama anakku. Sesampainya di rumah aku tetap tidak tenang. Begitu masuk rumah, aku ketakutan yang luar biasa dan tidak berani tidur sendirian. Akhirnya aku menginap di rumah mertua. Keesokan harinya, aku kembali menangis. Orang-orang sampai berdatangan. dan aku pun dipanggilkan seorang ustadz. Ia menterapi seperti yang dilakukan di kantor Majalah Ghoib. Tiga hari tiga malam berturut-urut aku diterapi di rumah.
Saat itu terjadi dialog dengan jin. Katanya, ia disuruh seseorang yang sakit hati. Ia iri dan tidak ingin melihatku bahagia. Ia ingin menghancurkan rumah tanggaku. Jin itu memang tidak menyebutkan nama orang yang mengirim sihir itu. aku pun tidak begitu mempedulikannya. Harapanku cuma satu, aku ingin sembuh. Titik. Tidak ada niatan untuk balas dendam atau upaya lainnya.
Meski demikian, aku akan terus melakukan terapi ruqyah secara mandiri. Selain itu, aku ingin tetap konsisten mengenakan jilbab. Terus terang, aku kembali diuji dengan jilbab. Waktu pulang kampung itu aku mengenakan jilbab panjang dan berkaos kaki. Bukan lagi jilbab gaul yang serba pendek.
Tapi entah kenapa, tetangga di sekitar rumah senang dengan perubahanku. Mereka justru mencemoohkan dan melecehkanku. Macam-macam omongannya. “Kok aneh pakai jilbab, kayak pesantrenan.”  Ada lagi yang menyindir, “Eh, kamu jangan ngikutin dia. Dia mah pakai jilbab karena gaya saja.”
Aku sedih dan bimbang. Sempat sekilas ingin membuka jilbab karena terlalu banyak cemoohan dan hinaan yang membuatku putus asa. Tapi mungkin hidayah Allah begitu kuat, aku selalu dinasehati orangtua,  agar tidak terlalu memikirkan omongna orang.
Cobaan demi cobaan atas perubahan dalam diriku selalu mengikutiku. Mulai dari nenek yang meninggal lalu ibu sakit. Aku sadar ini ujian dan aku harus menerimanya. Mungkin di situlah Allah menguji keimananku.
Namun cobaanku tidak berhenti sampai di sini. Di awal-awal mengenakan jilbab itu anakku kena musibah. Kakinya melepuh terkena air panas. Tetangga kiri kanan pun menemukan celah untuk kembali memojokkan diriku. Dibilang musibah ini gara-gara aku mengenakan jilbab. Aku menangis. Mengapa mereka terus mengusik jilbabku? Kaki anakku terkena air panas itu tidak murni kesalahanku. Akhirnya aku biarkan saja. Aku diamkan saja. Pada akhirnya mereka juga akan diam dengan sendirinya.
Upayaku berhasil. Keluara maupun tetangga kiri kanan, tidak ada lagi yang mempermasalahkan jilbabku. Kini, aku merasa mantap menjalani agama ini. Meski kuakui, derita yang kurasakan belum sembuh benar. Sesekali rasa nyeri dan sesak nafas itu masih hadir. Tapi aku sadar, bahwa rasa sakit itu adalah bagian dari ujianku.
Yang paling penting, aku menemukan momentum untuk melakukan perbaikan diri. Lebih hormat dan patuh pada orangtua, serta lebih menyayangi suami dan anak. Selain itu, ketika bertemu dengan Mona pun dadaku tidak lagi berdebar seperti dulu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar