Lira, 22
tahun, karyawan swasta.
Play boy
SMA. Lira pantas mendapat julukan itu. Ia suka bergonta-ganti pacar. Tak kurang
dari tujuh belas cewek sempat mampir di hatinya, saat ia masih berseragam putih
abu-abu. Fantastis. Tujuh belas bukan jumlah yang sedikit. Mengapa begitu
banyak cewek yang tergoda? Apa rahasianya? Lira menuturkan kisahnya kepada Majalah
Ghoib di Jakarta. Berikut petikannya.
Palembang, 2.000
Hari
masih pagi. Jarum jam baru menunjuk angka 10. Aku duduk di bawah pohon rindang
di samping sekolah. Sudah lima
menit kutinggalkan ruangan kelas dengan segala hiruk pikuknya. Aku ingin
menyendiri, menghilangkan segala keresahan yang ada. Kupilih pohon rindang itu,
karena tak seorang pun ada di sana.
Sebagian teman memilih bermain bola. Ada
juga yang bertahan di ruangan kelas atau ke kantin.
Keceriaan
teman-teman yang bermain bola plastik di halaman sekolah tak lagi menarik
perhatianku. Aku larut dalam kesendirianku. Aku terduduk lesu menatap sepasang
muda-mudi yang duduk berdua di kantin sekolah. Linda dan Santo.
Kebersamaan
mereka mengusik ketenanganku. Linda. Gadis manis itu sedang mengobrak-abrik
perasaanku. Kebersamaannya dengan Santo
mengoyak-oyak hatiku. Mencabik-cabiknya hingga berkeping-keping. Aku tak
menyangkal, bila hatiku tertarik dengan gadis berambut panjang itu. Rambutnya
yang hitam tergerai bertambah manis dengan pipinya yang lesung.
Masalahnya,
aku tidak punya keberanian untuk mengutarakan isi hatiku kepada Linda. Selama
ini perasaan itu hanya kupendam sendiri. Perasaan malu dan rendah diri lebih
menguasai diriku. Lantaran asal-usul diriku yang bukan berasal dari keluarga
kaya. Tidak punya motor, seperti Santo atau teman-teman lainnya.
Ke
sekolah pun hanya jalan kaki. Dengan uang saku yang pas-pasan. Untuk memenuhi
kebutuhanku sendiri saja, masih kekurangan apalagi bila harus buat
pacaran. Secara materi aku memang kalah
segalanya. Berbagai pikiran negatif itu membunuh semangatku.
Dentuman
bel tanda berakhirnya jam istirahat membuyarkan lamunanku. Aku masuk ke dalam
kelas dengan lesu. Tak ubahnya seorang pemain yang kalah dalam pertandingan.
Hari-hariku pun terasa hambar. Semangat belajarku pun hilang.
Mata hatiku seakan telah tertutup oleh pandangan yang
sempit. Untuk mendapatkan cinta seorang gadis bukan hanya mengandalkan
kekayaan. Masih banyak peluang dan kesempatan untuk memikat hatinya. Sukses
dalam pelajaran atau jago basket misalnya.
Aku
ingat, dulu, aku pernah mengutarakan kata hatiku kepada seorang gadis teman
sekelas. Sebut saja namanya Nia. Kukatakan kata hatiku, layaknya seorang
laki-laki jagoan. Yang berani mengatakan apa adanya. Dengan dada membusung,
kuungkapkan perasaanku. I love you, kataku mantap, ketika kami sedang
berduaan di kelas.
Nia
terperangah mendengar kejujuranku. Kutangkap guratan tidak percaya di wajahnya.
Selama ini hubungan kami memang dekat. Dan aku pun tidak ragu-ragu menunjukkan
simpatiku kepadanya. Masalahnya, Nia hanya menganggapku sebatas teman biasa.
Tidak lebih.
"Maaf
ya, Lira, aku tidak mau pacaran. Biarlah kita berteman saja," katanya
setelah terdiam beberapa saat. Beberapa bulan sebelumnya, aku juga sempat
mengatakan hal yang sama kepada gadis lain. Waktu itu pun cintaku ditolak.
Semenjak penolakan
Nia, aku tidak berani mengutarakan kata hatiku kepada gadis lain. Aku hanya
memendam perasaan itu dalam hati. Karena aku tidak ingin sakit hati untuk yang
kesekian kalinya. Bukan karena tidak mau pacaran, Nia menolak cintaku. Tapi
lebih disebabkan oleh keadaanku yang serba kekurangan. Buktinya, Nia sudah
bergandengan tangan dengan cowok lain. Ia pacaran dengan Taufik, hanya
berselang dua minggu setelah menolakku. Berkali-kali kulihat mereka
berboncengan sepeda motor sepulang sekolah.
Aku berpacaran dengan tujuh belas gadis
Sebagai
seorang remaja, yang terbiasa hidup keras, aku tidak mau menyerah. Kekuranganku
secara materi tidak boleh membuatku larut dalam kesedihan. Aku bertekad untuk
menjalani masa remaja seperti halnya teman-temanku yang lain. Berpacaran dan
tidak minder, meski mereka juga tidak punya sepeda motor.
Kutempuh
jalan pintas. Aku meminta bantuan kepada seorang dukun yang terkenal
kesaktiannya di kampungku. Terus terang kukatakan bila aku ingin menjadi
muridnya. Aku ingin seperti dirinya yang disegani dan menarik perhatian wanita.
"Pak, saya ini orang susah. Jadi saya minta tolong, saya dikasih sesuatu agar
punya keberanian mendekati cewek. Agar orang-orang segan kepada saya."
Gayung
bersambut. Lelaki empat puluhan tahun yang biasa dipanggil Pak Sarno itu
memenuhi permintaanku. "Datang saja ke rumahku malam Legi. Jangan lupa untuk membawa bunga tujuh
warna," katanya.
Meski
awalnya, aku tidak mengerti mengapa harus membawa bunga tujuh warna. Tetap saja
permintaannya itu kupenuhi. Pada malam yang dijanjikan aku datang tepat waktu.
Jam sembilan. Setengah jam kemudian, Pak Sarno memulai ritual mandi kembang.
Setelah
mandi kembang itu, Pak Sarno membekali diriku dengan minyak wangi yang harus
dioleskan di alis sebelum keluar rumah. Selain itu, ia menyebutkan pantangan
yang tidak boleh dilanggar. "Ada
dua pantangan yang tidak boleh dilanggar,” katanya dengan mimik serius.
“Pertama, tidak boleh berpacaran dengan wanita yang sudah bersuami. Yang kedua,
tidak boleh melakukan hubungan di luar nikah," ujarnya sambil menyodorkan
botol minyak wangi.
Kupenuhi
saran Pak Sarno. Wiridan-wiridan yang harus dibaca setelah shalat pun
kujalankan. Hasilnya, langsung terasa setelah lima kali mandi kembang. Rasa percaya diriku
meningkat tajam. Aku tidak lagi merasa rendah diri di hadapan wanita, meski aku
tetap seperti kemarin. Masih tidak punya motor, serta uang saku yang pas-pasan.
Sasaran
pertamaku adalah Nia yang kuanggap telah meninggalkan luka yang mendalam. Ia
yang kini telah berpacaran dengan orang lain, kembali kudekati. Di hadapannya,
aku tidak menunjukkan rasa dendam atas penolakannya. Aku bersikap biasa, seakan
tak pernah kecewa. Aku mendekatinya dengan ungkapan kata-kata lucu yang
mengundang tawa.
Entah
kenapa, pancinganku berhasil begitu mudah. Perangkap yang kupasang ditelan
mentah-mentah. Perlahan namun pasti Nia mulai lebih memilih ngobrol denganku
daripada dengan pacarnya.
Suatu
hari, di saat jam istirahat, kuajak Nia ke samping sekolah. Di bawah pohon yang
rindang. Di sanalah dengan tenang kuucapkan kata-kata manis, bahwa aku
mencintainya. Kulihat matanya berkaca-kaca. Ia nampak senang mendengar
pengakuanku. Sangat jauh berbeda dengan dulu, ketika untuk pertama kalinya
kuucapkan kata cinta.
Nia pun
tidak menolak, meski ia juga belum memutuskan ya atau tidak. Karena ia merasa
masih menjadi kekasih orang lain. Dua hari kemudian, jawaban atas cintaku
terdengar. Di tempat yang sama, Nia menyatakan cintanya. Ia juga mengatakan
telah memutuskan cinta dengan pacarnya.
Hari-hariku
berubah. Setiap ada kesempatan aku dan Nia selalu mojok berdua. Saat istirahat
atau sepulang sekolah. Aku tidak mengajak Nia kemana-mana. Kami hanya ngobrol
berdua di sekolah. Membicarakan banyak hal. Bercerita tentang apa saja.
Semakin
lama, Nia semakin sayang kepadaku. Di sinilah niat jahat dalam diriku mulai
muncul. Aku ingin membalas dendam atas perbuatan Nia yang dulu menolak cintaku.
Aku ingin ia merasakan penderitaan yang sama. Betapa sakit rasanya patah hati.
Nia yang
seakan tidak mau berpisah dengan diriku itu sengaja kubuat hatinya terluka.
Kuputuskan cintanya. Nia menangis. Ia tidak mau bila harus berpisah denganku.
Tapi keputusanku sudah bulat. Aku tidak mau menarik kembali kata-kataku.
Tinggallah berduaan dengan Nia menjadi kenangan tersendiri dalam diriku.
Selepas
meninggalkan Nia, aku mencari sasaran baru. Siapa cewek yang dapat kudekati.
Setelah pilah-pilih, aku menemukan seorang gadis yang masih berdekatan dengan
Nia. Namanya, Trias. Ia teman dekatnya Nia. Selama ini mereka sering jalan
berdua. Mereka teman karib.
Kupasang
kembali jebakan yang sama. Dengan banyak bercerita yang lucu serta kepercayaan
diri yang tinggi. Beberapa hari aku mendekati Trias hingga akhirnya berhasil
juga. Kukatakan, bila aku sudah putus dengan Nia.
Aku juga
tidak mengerti mengapa Trias mau menerima uluran tanganku. Padahal dia tahu aku
dulu berpacaran dengan Nia. Dia tidak mengerti bila aku sengaja memperalat
dirinya untuk menyakiti hati Nia.
Saat jam istirahat, aku sengaja menemui Trias
di kelasnya, ketika Nia juga ada di sana.
Kuperhatikan, tatapan matanya. Ia kecewa dengan kedatanganku. Ia pun melengos
dan meninggalkan ruangan kelas. Kesedihan Nia tak membuatku merasa bersalah.
Aku enjoy saja ngobrol berdua dengan Trias.
Sejak
itu, aku menjadi petualang cinta. Lepas dari satu wanita beralih ke wanita yang
lain. Rata-rata mereka masih sekolah denganku. Meski ada juga yang berasal dari
lain sekolah.
Pernah,
dalam waktu yang sama aku berpacaran dengan empat gadis sekaligus. Gilakan?
Tapi aku merasa biasa saja. Waktu itu aku tidak merasa bersalah, lantaran
membagi cinta untuk empat wanita. Dua gadis masih satu sekolah denganku. Dan
dua lainnya berbeda sekolah.
Saat
perayan valentine day, aku bingung bagaimana cara menunjukkan simpatiku
kepada empat gadisku dengan tetap menjaga rahasia. Masing-masing merasa
diperhatikan tanpa ada yang merasa dikhianati.
Aku
sempat bingung tujuh keliling. Sampai terlintas untuk tidak memberikan apa-apa
kepada setiap gadisku. Tapi niatan itu kuurungkan. Aku meminta Rio, seorang temanku, untuk membeli empat bunga yang
murah tapi bagus. Masing-masing seharga seribu lima ratusan. Kuminta dia memberikan satu
bunga valentine kepada salah seorang pacarku.
Pada saat
yang bersamaan, aku memanggil pacarku yang lain ke kamar mandi. Di sanalah
kuberikan bunga valentine. Tak ketinggalan kubumbuhi juga dengan
ungkapan kasih sayang. Untuk dua pacarku yang berbeda sekolah, tidak ada
halangan yang berarti. Karena aku bisa janjian di tempat dan waktu yang
berbeda.
Nah,
untuk membagi waktu pertemuan dengan masing-masing pacarku, aku tidak mengalami banyak kendala. Sepulang
sekolah aku tinggal janjian untuk ketemu di sekolah. Di sanalah, kami ngobrol.
Hanya saja, aku harus bisa membagi waktu yang tepat untuk dua pacar yang masih
satu sekolah. Agar masing-masing tidak tahu. Untuk dua pacar yang lain sekolah,
aku biasanya janjian ketemu di pasar.
Waktu itu
aku tidak terlalu pusing bila akhirnya diketahui. Ada skenario lain yang kupersiapkan bila
rahasiaku terbongkar. Tinggal diputuskan dan mencari lagi mangsa yang baru. Toh
selama ini mudah bagiku mencari pacar. Hingga tak kurang dari tujuh belas gadis
yang sempat menjadi pacarku, hanya dalam kurun waktu tiga tahun.
Kuakui,
kemudahan itu tidak terlepas dari minyak wangi serta wirid yang diajarkan Pak Sarno.
Pada sisi lain, semenjak berguru pada Pak Sarno, aku merasa selalu dikuntit
dua orang kemanapun aku pergi. Keduanya memang tidak pernah menampakkan diri,
tapi kehadirannya dapat kurasakan. Ketika hal itu kutanyakan kepada Pak Sarno,
katanya, itu adalah khadam. Tidak perlu dikhawatirkan, katanya.
Apa
karena kehadiran khadam itu hingga aku mudah tersinggung? Entahlah. Tapi aku
memang mudah marah. Hanya karena masalah sepele, tanganku sudah melayang. Saat
sedang berkumpul bersama dengan teman-teman misalnya. Bila ada di antara mereka
yang tertawa tanpa alasan yang kuketahui, timbullah pikiran buruk dalam diriku.
Bahwa mereka sedang mentertawakanku. Kepalaku pun terasa panas dan pusing.
Merantau ke Jakarta
Lulus
SMA, kutinggalkan semua pacarku. Tinggal satu gadis yang kupertahankan. Namanya
Uli. Untuk yang satu ini aku serius. Aku ingin berlanjut hingga ke pelaminan.
Aku sudah
berubah. Aku tidak mau mempermainkan hati wanita lagi. Karena itu, kuputuskan
untuk merantau ke Jakarta,
menyusul paman yang sudah menetap di sana.
Aku ingin cari uang lalu menikah dengan Uli. Saat berangkat ke Jakarta, kudatangi Uli di rumahnya. “Tunggu
aku. Aku mau merantau ke Jakarta.
Kalau sudah waktunya, nanti aku melamarmu,” kataku serius. Rasanya berat
meninggalkannya.
Selama di
Jakarta, aku selalu memikirkan Uli. Terkadang aku sampai merengek-rengek pada kakak.
“Kak, aku ingin pulang. Aku mau ketemu Uli,” kataku. Saat itu pikiranku selalu
terhubung dengan Uli. Mau makan ingat dia, mau tidur ingat dia. Bayangan Uli
selalu hadir dalam jiwaku.
Setelah
empat bulan di Jakarta
aku pulang. Kebetulan bertepatan dengan bulan Ramadhan. Sekalian mau lebaran di
rumah. Setelah bertemu dengan orangtua, aku ingin melepas kerinduanku pada Uli.
Kudatangi rumahnya. Waktu itu ia masih menerimaku dengan wajar.
Mempersilahkanku masuk dan menyediakan minuman. Aku masih menganggapnya tidak
berubah.
Sehari
kemudian, aku baru menyadari bila Uli tidak lagi sendirian. Kini, ia sudah
memiliki pacar baru. Anaknya orang kaya. Meski wajahnya tidak setampan diriku.
Jujur, pengakuan ini kudapatkan dari tetangga. “Lira, anaknya tampan, cuma tidak
punya. Robin, anaknya kaya. Tapi tingkah lakunya seperti bencong,” begitulah
bisik-bisik tetangga yang kudengar.
Aku
kecewa. Wanita yang selama ini kupikirkan, ternyata telah mengkhianati diriku.
Malam itu, aku lampiaskan kekecewaan dengan menenggak minuman keras. Aku mabuk
dan kehilangan kendali hingga anak-anak yang bermain di jalan kupukul. Keesokan
harinya, masih dalam suasana hati yang tidak menentu, aku berkelahi dengan anak
mantan preman.
Karena merasa telah mempermalukan keluarga,
akhirnya kuputuskan untuk merantau lagi. Kali ini, aku berpindah ke Bogor. Kebetulan, kakakku
juga menetap di sana.
Aku bersyukur, tak lama kemudian, mendapatkan pekerjaan baru.
Selain
itu, aku juga bergabung dengan sebuah perguruan tenaga dalam. Dalam salah satu
latihannya, aku dan dua orang teman diajak berendam di sumur Kebun Raya Bogor. Saat
ritual itu, guru yang mengajar kami kerasukan jin. Dia mengatakan, “Itu, anak
yang dari seberang itu, suruh ngamalin al-Ikhlas seratus kali di batu Ki
Sentot.”
Batunya
besar. Kami bertiga wiridan di sana.
Belum lama merapal wiridan, kurasakan kepalaku pusing. Kubuka mata yang sedari
awal terpejam. Saat itulah aku mendengar suara guru. “Ada yang jatuh ke batu. Cari benda itu,”
katanya. Tanganku reflek meraba-raba di sekitarku. Ada dua benda asing yang tersentuh tanganku.
Satu berupa keris dan lainnya berbentuk segi empat terbuat dari kulit.
Kedua
benda itu pun kuserahkan kepada guru. Katanya, keris itu adalah keris penakluk
hujan. “Kamu belum kuat pegang keris ini. Keris ini saya berikan kepada
temanmu. Kamu yang kulit ini saja,” kata guru sambil menyodorkan kulit kepadaku.
Hanya
berselang seminggu dari pendadaran di Kebon Raya Bogor, aku sakit parah. Katanya, aku sudah
hampir mati. Nafasku tinggal satu dua. Akhirnya kakak membawaku ke tiga rumah
sakit. Setiap rumah sakit ada yang bilang tidak sanggup, ada yang mengatakan
sakit usus buntu, ada juga yang mengatakan aku tidak menderita sakit apa-apa.
Dikatakan
tidak sakit apa-apa, tapi mengapa jalan saja tidak bisa? Punggungku bungkuk.
Akhirnya, kakak menelpon orangtuaku di Palembang.
Bapak menyuruh kakak, agar segera membawaku ke Palembang. Nanti diobati di sana, katanya.
Bapak
membawaku ke dukun ternama. Ki Dirjo namanya. Dari namanya, terkesan ia bukan
penduduk asli Palembang.
Beberapa hari kemudian, setelah kesehatanku mulai membaik aku kembali ke Bogor.
Di Bogor,
aku gelisah. Aku merasakan ilmu yang kudapat dari Pak Sarno telah hilang. Aku kembali
takut berhadapan dengan wanita. Perasaan rendah diri pun muncul lagi. untuk
mengembalikan kepercayan diri, aku kembali menempuh langkah seperti dulu.
Mencari orang sakti yang dapat membantu.
Aku
berpikir, Ki Dirjo yang mengobatiku lebih sakti daripada Pak Sarno. Aku pun mulai mengatur keuangan, agar bisa
mendapat ilmu baru dari Ki Dirjo. Ki Dirjo mengerti apa yang kumaksudkan. Ia
memberiku 'semar mesem', minyak wangi dan wifk. Setelah itu saya disuruh
rebahan di lantai. Kemudian Ki Dirjo, mentransfer tenaga dalam melalui batu
kecil yang diusapkan ke seluruh tubuhku.
Sepulang
dari Ki Dirjo, kondisiku kejiwaanku makin parah. Mudah tersinggung. Tidak boleh
ada yang salah ucap sedikit saja. Bisa dikatakan, di Bogor, aku anak
perantauan. Tapi keberanianku melebihi orang pribumi. Siapa saja yang
menyakiti, kubikin ribut. Kadang kuancam dengan pisau, lain kali kuajak duel di
lapangan.
Suatu
malam, aku pulang apel jam sepuluh. Waktu itu aku ditemani seorang teman. Ketika
aku keluar dari kontrakan pacarku, sudah ada sebelas orang yang menghadangku.
Aku kenal beberapa orang dari mereka. Sepertinya mereka tidak senang, aku
berpacaran dengan gadis Bogor.
Adu mulut pun tak terhindarkan. Hingga adu jotos pun tak terelakkan. Dua lawan
sebelas, jelas tidaklah seimbang. Temanku kabur, aku menyusul di belakangnya.
Malam
itu, aku tidak mau menyerah. Kukumpulkan beberapa orang teman. Ada enam orang teman yang siap menyerang
kembali. Berbekal pentungan, samurai dan benda tajam lainnya, kudatangi sebelas
orang yang menghadangku.
Kami
mengobrak-abrik kontrakan mereka. Ada
yang hidungnya berdarah, ada pula yang kepalanya bocor. Kegaduhan malam itu
mengundang perhatian tetangga. Mereka berdatangan, meski hanya menjadi
penonton. Sebelum akhirnya kami melarikan diri seteleh melihat sekumpulan
polisi berseragam mendekat.
Malam
itu, aku menginap di rumah teman. Tapi keesokan harinya, begitu aku masuk ke
kontrakan, tanganku langsung diborgol polisi. Rupanya mereka telah menunggu
kedatanganku. Aku pun diciduk, dan sempat merasakan pahitnya hidup di balik
jeruji besi.
Menemukan ketenangan jiwa melalui ruqyah
Suatu
ketika, bibiku datang ke Bogor.
Sudah beberapa tahun, kami tidak bertemu. Bibiku meraskan ada yang aneh dalam
diriku. Tidak seperti biasanya, aku hanya bengong dan tidak banyak bicara.
Anting-anting yang menghiasi telingaku serta gaya celanaku yang robek di sana-sini lebih
membuat bibiku terkejut.
Saat itu,
bibi mengajakku ke Jakarta.
Katanya, aku mau dibawa berobat ke Ustadz Hasan untuk menjalani terapi ruqyah.
Kebetulan, bibiku kenal baik dengan Ustadz Hasan. Saat menjalani terapi ruqyah,
aku tidak sadar apa yang terjadi. Katanya aku meraung-raung seperti harimau.
Jariku yang tajam-tajam itu siap menerkam orang yang mendekat. Akibatnya salah
seorang yang berusaha meringkusku menjadi korban. Kakinya kucakar, hingga
berbekas.
Setelah
beberapa kali menjalani terapi ruqyah, aku bersyukur kondisiku semakin membaik.
Aku tidak lagi mudah tersulut emosi. Dengan wanita juga mulai takut kembali. Yang
lebih penting dari itu adalah perubahan kepribadianku. Aku baru menyadari atas
kesalahan langkah yang kutempuh selama ini. Mulai dari mempermainkan wanita
hingga berpindah dari satu dukun ke dukun lain untuk mendapatkan kepuasan jiwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar