Nurma, 30 tahun, ibu rumah tangga
Jangan pernah berputus asa. Ingat, bahwa Allah tidak akan membebani umatnya melebihi batas kemampuannya. Seberat apapun cobaan yang diberikan, masih bisa ditanggung selama ada iman di dada. Iman. Itu kuncinya. Seperti dialami Nurma, ibu beranak empat yang telah mengalami gangguan jin selama 12 tahun. Dengan ditemani suaminya, Nurma menceritakan kisahnya kepada Majalah Al-Iman. Berikut petikannya.
Tahun 1996, aku bekerja di salah satu supermarket ternama di bilangan Jakarta Timur. Aku bekerja di bagian penjualan. Dari sana, hubunganku semakin luas. Tiap hari bertemu dengan pelanggan-pelanggan yang baru kukenal. Semua itu membuat sikapku semakin luwes. Aku lebih mudah berkomunikasi dengan sekian banyak watak dan karakter seseorang.
Setelah sekian lama bekerja, masuklah pegawai baru. Tono, namanya. Ia masih kuliah. Untuk menambah pengalaman lapangan, Tono memilih kerja paruh waktu. Malam kuliah, siangnya bekerja. Orangnya pendiam dan tidak banyak bergaul dengan wanita.
Jangan pernah berputus asa. Ingat, bahwa Allah tidak akan membebani umatnya melebihi batas kemampuannya. Seberat apapun cobaan yang diberikan, masih bisa ditanggung selama ada iman di dada. Iman. Itu kuncinya. Seperti dialami Nurma, ibu beranak empat yang telah mengalami gangguan jin selama 12 tahun. Dengan ditemani suaminya, Nurma menceritakan kisahnya kepada Majalah Al-Iman. Berikut petikannya.
Tahun 1996, aku bekerja di salah satu supermarket ternama di bilangan Jakarta Timur. Aku bekerja di bagian penjualan. Dari sana, hubunganku semakin luas. Tiap hari bertemu dengan pelanggan-pelanggan yang baru kukenal. Semua itu membuat sikapku semakin luwes. Aku lebih mudah berkomunikasi dengan sekian banyak watak dan karakter seseorang.
Setelah sekian lama bekerja, masuklah pegawai baru. Tono, namanya. Ia masih kuliah. Untuk menambah pengalaman lapangan, Tono memilih kerja paruh waktu. Malam kuliah, siangnya bekerja. Orangnya pendiam dan tidak banyak bergaul dengan wanita.
Kata pepatah, trisno jalaran songko kulino.
Cinta itu datang kapan saja, lantaran seringnya pertemuan, menjadi
kenyataan. Sikapnya yang ulet dan pantang menyerah membuatku tertarik.
Ya, dalam usia yang baru delapan belas tahun itu aku mulai menjajaki
suasana baru. Singkat kata, aku berpacaran dengan Tono. Setelah tiga
bulan berpacaran, Tono menawariku untuk dipertemukan dengan orang
tuanya, di Solo, Jawa Tengah.
Terus terang, aku senang mendengar ajakan itu. Hatiku berbunga-bunga. Siapa yang tidak ingin bertemu dengan calon mertua? Wah, aku terlalu GR (gedhe rumongso) waktu itu. Tapi itulah kenyataannya. Aku mengartikan bahwa Tono tidak main-main dengan hubungan di antara kami.
Meski kepergian ke Solo itu adalah kesempatan untuk bertemu dengan
orang tua Tono, tapi aku tidak mau pergi berdua saja. Aku tidak mau
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Syetan bisa masuk dan mengacaukan
segalanya.
Tono
memang pacarku, tapi dia belum menjadi suamiku. Hubungan di antara kami
hanya sebatas itu. Artinya, dia masih orang lain. Ada banyak hal yang
tidak boleh kami lakukan. Karena itulah, aku mengajak Winda, teman
kerja, untuk menemaniku.
Tono tidak keberatan. Hubungan di antara kami bertiga selama ini
memang baik. Jadi kehadiran Winda tidak menjadi masalah bagi Tono.
Bertiga, kami berangkat dari terminal Pulogadung ke Solo. Dalam perjalanan aku lebih banyak ngobrol dengan Winda yang duduk sejajar denganku, sementara Tono memilih kursi di belakangku.
Dari terminal Solo perjalanan kemudian dilanjutkan dengan angkutan
pedesaan. Ya, rumahnya Tono memang agak ke pelosok. Pada detik itu, aku
makin kagum padanya. Ia berhasil kuliah di Jakarta dan juga tidak malu
untuk bekerja demi kelangsungan kuliahnya. Ia memang tipe seorang pemuda
yang mandiri.
Setelah satu jam prejalanan, kami sampai di rumahnya Tono. Kampungnya
tidak jauh dari hutan. Dikelilingi hamparan sawah yang menghijau.
mengingatkanku dengan kampung orang tuaku di Jawa Barat. Setidaknya,
setahun sekali bapak mengajakku bersilaturrahmi kepada keluarga yang
masih menetap di desa.
Rumahnya luas. Berdinding kayu dengan halaman yang juga luas. Rumah
bergaya kuno. Rumahnya Tono memang agak terpisah dari rumah sekitarnya.
Tono mempersilahkanku dan Winda masuk ke ruang tamu. Ia sendiri langsung
ngeloyor ke dalam mencari orang tuanya.
Di ruang tamu itu, kulihat sebongkah tengkorak kepala sapi menempel di
dinding. Entahlah, apakah itu tengkorak kepala sapi yang sesungguhnya
atau sekadar hiasan dinding yang terbuat dari plastik. Yang jelas
kehadiran tengkorak itu menambah seram rumah yang terkesan sepi ini.
Tak lama kemudian, Tono keluar lagi dengan membawa kendi minuman yang
terbuat dari tanah. “Dimana orang tuamu?” tanya Winda sambil menyeruput
air putih. “Masih di kebun. Sebentar lagi juga datang,” jawabnya sambil
berlalu ke dalam.
Lepas tengah hari, kedua orang tua Tono pulang. Mereka nampak agak
terkejut dengan kehadiranku dan Winda di rumahnya. Wajar, selama ini
Tono pasti belum berbicara dengan orang tuanya tentang diriku. Atau
memang Tono belum pernah mengajak teman wanita ke rumahnya.
Ibunya Tono memperhatikan diriku, lebih dari perhatiannya kepada
Winda. Padahal, ia juga belum pernah bertemu dengan Winda. Entah apa
yang dipikirkannya, yang jelas, hatiku merasa tidak tenang diperhatikan
seperti itu.
Setelah berbincang sejenak, orang tua Tono meninggalkan kami berdua.
“Nur, sepertinya orang tua Tono tidak suka denganmu,” celetuk Winda
dengan pelan. Rupanya, ia juga memperhatikan perbedaan sikap orang tua
Tono kepadaku.
Waktu itu, aku tidak memedulikan komentar Winda, toh ia juga belum lama bertemu denganku. Semoga pandangannya nanti juga akan berubah.
Setelah makan siang, Tono mengajakku dan Winda untuk jalan-jalan ke tepi hutan. “Pemandangannya indah,” kata Tono meyakinkan.
Bertiga, kami melewati jalanan berbatu dan pematang sawah untuk sampai
di tempat yang dituju. Kuakui, pemandangannya memang indah. Gemericik
air yang jatuh di bebatuan padas menjadi nyanyian tersendiri. Kami
bergantian mengabadikan momen itu dengan foto bersama.
Tak terasa hari telah menjelang senja, kami pun pulang dengan wajah
semringah. Sesampai di rumah, orang tua Tono tidak banyak
berbincang-bincang dengan diriku. Mereka sibuk dengan urusannya sendiri.
Akhirnya aku dan Winda masuk ke dalam kamar yang disediakan untuk kami
berdua.
Selepas
Isya’ kepalaku terasa agak pusing. Aku dan Winda memilih tidur duluan.
Tengah malam, sekitar jam dua aku terbangun. Kepalaku masih terasa
pusing. Aku bermaksud ke kamar mandi yang terletak di belakang rumah.
Betapa terkejutnya diriku, malam itu, kulihat ibunya Tono duduk
bersila di halaman tengah dengan asap kemenyan meliuk-liuk ke udara. Ia
sedang melakukan ritual tertentu. Rambutnya yang panjang dibiarkan
terurai. Susana malam yang hening, semakin menambah seram suasana.
Ya, rasa takut mulai menyeruak ke relung hatiku. Kupercepat langkah kakiku ke kamar mandi lalu meneruskan tidur kembali.
Keesokan harinya, kuperhatikan sikap orang tua Tono tidak berubah.
Ibunya masih menampakkan perasaan tidak senangnya kepada diriku.
Sementara itu sikapnya kepada Winda biasa saja.
Keadaan itu membuatku tidak betah untuk berlama-lama di sana. Siang
harinya aku dan Winda memutuskan untuk balik ke Jakarta. Tono yang
rencananya ingin tinggal beberapa hari di rumahnya, akhirnya juga ikut
kembali ke Jakarta bersama kami. Ia merasa tidak enak dengan sikap
ibunya, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Ketika menunggu bis jurusan Jakarta di terminal, kami dikejutkan oleh
kehadiran bapaknya Tono. Ia menyusul kami naik ojek. “Ini buat bekal di
jalan,” katanya sambil menyodorkan bungkusan kain kepada Tono.
Ternyata bungkusan itu berisi nasi dan seekor ayam kampung. Wah,
senang rasanya. Kami tidak khawatir kelaparan di tengah jalan atau tidak
harus mengeluarkan uang untuk membeli makanan.
Enam bulan tergeletak di tempat tidur
Setelah dua hari di Solo dalam suasana yang tidak menyenangkan, aku
kembali menghirup udara Jakarta. Berkumpul kembali dengan keluarga yang
sangat menyayangiku. Ada nuansa yang sangat jauh berbeda kurasakan.
Kesejukan, kedamaian dan ketenangan hati yang tidak kurasakan ketika di
Solo kembali merasuki jiwaku.
Namun, kepulanganku dari Solo membawa cerita sedih. Kepalaku yang
sedari pulang terasa pusing, kian menyakitkan. Aku bahkan muntah-muntah.
Awalnya kukira aku hanya masuk angin. Hingga obat-obatan yang dijual
bebas di pasaran menjadi incaranku.
Lain kali aku merasakan ada sesuatu yang dingin masuk. Entahlah apa
itu. Yang jelas sakitku makin parah. Aku dibawa bapak berobat ke dokter.
Bolak-balik ke dokter tetap tidak diketahui penyakitku. Dari hari ke
hari, sakitku makin parah. Hingga akhirnya aku hanya tergeletak di atas
tempat tidur.
Tono yang menjengukku ke rumah pun ditanya sama ibu. “Ini kenapa Mas, kok Nurma menjadi begini?” tanya ibu. “Nggak tahu Bu,” jawab Tono sambil menundukkan pandangan.
“Kejadiannya di sana memang bagaimana?” cerca ibu lagi. “Ya begitu.
Ibu saya kurang suka,” kata Tono. “Ya sudah, Mas bilangin saja ke ibu,
biar anak saya tidak begini,” kata ibu. Tono semakin merasa bersalah.
Selanjutnya ia hanya terdiam.
Kurasa Tono memang tidak tahu apa yang terjadi. Meski sebenarnya, ia
menyadari bahwa ibunya tidak suka denganku. Pada sisi lain, ibunya
tergolong penganut kejawen yang sangat kental.
Karena kondisiku yang makin kritis, berdasarkan saran dari keluarga
dan tetangga, aku dibawa berobat ke seorang tabib di Jakarta Timur. Saat
itu, aku sudah tidak lagi bisa berjalan. Untuk berobat pun aku harus
dibopong.
Tono ikut
menemaniku juga ke tabib. Setelah beberapa saat memeriksaku, tabib
mengatakan bila penyakit yang kuderita itu non medis. “Nurma memang ada
yang mengganggu,” katanya kepada bapak. Tanpa tedeng aling-aling, tabib
menunjuk seseorang sebagai pelakunya. Tak lain dia adalah ibunya Tono.
“Kamu jelaskan kepada orang tuamu, agar anak ini cepat sembuh,” kata
tabib kepada Tono. Tebakan tabib itu mengejutkan kami sekeluarga. Bapak
belum bercerita apa-apa tentang diriku, tapi tabib itu sudah menebaknya.
Tono yang langsung ditunjuk batang hidungnya, makin tidak berkutik. Ia
hanya terdiam tanpa usaha membela diri sama sekali. Sepulang dari
tabib, Tono berpamitan mau pulang ke Solo. Ia akan menemui orang tuanya
dan melepaskan jeratan sihirnya kepadaku.
Tapi yang terjadi kemudian Tono menghilang. Ia sama sekali tidak
muncul ke rumah. Kakak yang berusaha mencari dimana keberadaannya dibuat
kesal oleh kakak sepupunya yang tinggal di Kalibata, Jakarta Selatan.
“Kamu cari saja sendiri ke Solo,” katanya kepada kakak dengan nada
yang kurang bersahabat. Padahal kakak datang dengan baik-baik dan
bertanya dengan baik-baik. Semenjak itu, keluargaku tidak lagi berusaha
mencari Tono. Toh, ia bukan apa-apaku.
Walau kondisiku juga tidak kunjung membaik. Nyaris tiap malam, aku
tidak bisa tidur. Mataku selalu melotot. Yang lebih mengerikan, aku
sering merasakan kehadiran makhluk yang tidak kelihatan, namun kurasakan
kehadirannya. Ia selalu menindihku dari belakang.
Setelah beberapa kali ke tabib dan belum banyak perubahan yang
berarti, kakak pergi ke Ciamis untuk mencari pengobatan. Waktu itu, aku
tidak dibawa karena kondisiku yang makin parah. Kakak pulang membawa air
dalam botol. Katanya, air itu harus kupakai mandi.
Ketika air itu diguyurkan ke tubuhku, adik yang sedang membaca
al-Qur’an di lantai atas, tiba-tiba menjerit-jerit. Kami sekeluarga
dikejutkan dengan kejadian yang aneh itu. Adik seperti orang yang
kerasukan jin.
Meski pengobatan itu menimbulkan reaksi pada adik, tapi aku tidak
mengalami kejadian apa-apa. Aku tetap sakit. Badanku sesekali masih
merasakan hawa dingin sebagai pertanda ada jin yang masuk ke tubuhku.
Berbagai pengobatan itu menguras simpanan orang tuaku. Sampai ibu
merelakan untuk menjual empang yang di kampung. Meski demikian,
kondisiku tidak kunjung membaik.
Orang tuaku tidak berputus asa. Dimana dikatakan di sana ada
pengobatan yang mujarab, aku pun dibawa kesana. Seperti yang dilakukan
di Bekasi Selatan. Di sana, setelah dimandikan air, aku justru diikat di
pohon. Aneh memang. Aku yang datang ke sana dengan dibopong karena
tidak bisa jalan itu tetap harus diikat di pohon.
Meski demikian, bapak tidak banyak komentar. Bapak menurut saja ketika
disuruh mengikatku ke pohon yang berada tidak jauh dari rumah orang
pintar paruh baya itu.
Pengobatan demi pengobatan yang tidak membawa hasil itu, kembali
mempertemukanku dengan tabib yang di Jakarta Timur. Di sana, aku disuruh
memperbanyak membaca al-Qur’an, ayat Kursi dan juga shalat. Kuakui
selama ini, aku memang jarang shalat. Ketika ke Solo juga jarang shalat.
Ketika kuturuti nasehat dan saran tabib, berangsur-angsur kondisiku membaik. Meski belum bisa dibilang sembuh total.
Dipertemukan dengan jodoh di tempat kursus.
Setelah kondisiku membaik, aku kembali bekerja di supermarket.
Masalahnya, kehadiranku untuk yang kedua kalinya di sana, juga tidak
berlangsung lama. Hanya seminggu, lalu aku mengundurkan diri. Aku merasa
tidak enak dengan atasan, karena setelah bekerja seminggu, aku kembali
tidak sadarkan diri dan tidak masuk kerja.
Hal yang sama selalu berulang, ketika kondisiku membaik dan aku
diterima kerja di tempat yang baru, aku hanya masuk sebulan atau dua
bulan. Setelah itu aku mengundurkan diri.
Masalahnya selalu sama. Kalau kecapekan, keesokan harinya aku tidak
bisa bangun dari tempat tidur. Badanku lemas. Beberapa atasanku juga
merasa heran dengan keadaanku. Katanya, kerjaku bagus. Tapi mengapa
selalu tidak sadarkan diri?
Meski tidak lagi kuliah, aku memang selalu menambah wawasan dengan
ikut kursus. Itu mungkin yang membuatku berbeda dengan teman-teman
kerjaku yang enggan meningkatkan kemampuan.
Di tempat kursus pula, aku dipertemukan dengan suamiku. Mas Fahmi,
begitu aku biasa memanggilnya. Orangnya terkesan dewasa. Waktu itu Mas
Fahmi bekerja sebagai staf di tempat kursusku.
Tak perlu proses yang lama, kami pun menikah. Terus terang, aku tidak
cerita kepada Mas Fahmi tentang sakit kepala yang sering menderaku. Aku
juga tidak cerita bila dulu sempat sakit enam bulan lamanya. Aku hanya
berpikir, biarlah nanti waktu yang memberitahunya.
Saat resepsi pernikahan digelar, sebenarnya, aku juga merasakan sakit
kepala, dan perut yang melilit. Beberapa kali aku sempat muntah-muntah.
Tapi semua itu tidak kusampaikan kepada Mas Fahmi. Hanya ibuku yang
kuberitahu.
Kujalani hidup baru sebagai sepasang pengantin baru. Kami pun pindah ke
rumah kontrakan. Meski di rumah kontrakan, tapi aku ingin merajut hari
dengan kenangan manis. Meninggalkan masa lalu di belakang dan tidak
perlu ditengok kembali.
Waktu terus berjalan, kebahagiaan kami semakin lengkap dengan lahirnya
anak kembar kami. Ya, Allah memberi kami amanah dua anak langsung. Anak
yang manis dan lucu-lucu.
Di tengah kebahagiaan itu, sesekali aku masih merasakan kehadiran
makhluk asing tersebut. Puncaknya setelah tiga puluhan hari melahirkan,
aku merasakan ada bisikan-bisikan di dalam diri yang semakin kuat.
Sebelumnya, bisikan tersebut memang pernah kurasakan, tapi tidak terlalu
parah.
Sebelum
kejadian itu, aku melihat Ustadz Junaidi di salah satu stasiun televisi
menjelaskan tentang ruqyah syar’iyyah. Berbekal informasi dari televisi
tersebut aku minta diantar Mas Fahmi ke Ghoib Ruqyah Syar’iyyah yang dulu di percetakan Negara.
Mas Fahmi kuajak begitu saja. Padahal saat itu ia masih belum tahu apa
yang sebenarnya terjadi pada diriku. Baru setelah aku menjalani terapi
ruqyah, dan jin yang berada di dalam diriku berbicara dengan bahasa
China, Mas Fahmi tahu bila selama ini aku mengalami gangguan jin.
Berkali-kali aku menjalani terapi ruqyah. Saat itu, kurasakan ada
sesuatu yang keluar dari punggung dan kakiku. Kondisiku pun semakin
membaik. Kejadian itu, membuat Mas Fahmi bertanya apa yang sebenarnya
terjadi pada diriku. Kuceritakan semuanya apa adanya. Dari awal sampai
akhir.
Meski
demikian, aku tahu bahwa tidak semua jin yang merasuk ke dalam diriku
sudah keluar. Karena sesekali aku masih merasakan kehadirannya.
Kurasakan hawa dingin masuk ke dalam tubuhku, selanjutnya aku merasa
berat.
Bisikan-bisikan jahat pun sesekali masih terdengar. Bisikan itu semakin
sering ketika hatiku kesal. Kesal kepada anakku atau kesal kepada Mas
Fahmi. Suatu hari, ketika Mas Fahmi sedang menjemur pakaian, ada bisikan
jahat di telingaku. Bunuh saja anakmu. Bunuh saja anakmu.
Tanpa sadar, aku melangkah ke dapur. Kuturuti bisikan itu dan
kubiarkan anakku tergolek di atas ranjang. Pisau yang tergeletak di meja
kuambil. Hanya satu tujuanku. Mengikuti perintah dari bisikan yang
terus terngiang di telingaku. Bunuh anakmu. Bunuh anakmu.
Aku bersyukur di saat yang genting itu, Allah menyadarkanku. Betapa
terkejutnya diriku, menyadari apa yang telah kulakukan. Kulempar pisau
itu dan berkali-kali aku beristighfar.
Aku tidak menceritakan peristiwa itu kepada suamiku, karena khawatir
semakin memperuncing perselisihan di antara kami. Selama ini, kami
sering bertengkar, meski tidak sampai terdengar oleh tetangga.
Perselisihan itu hanya menjadi konsumsi kami berdua.
Telah puluhan kali aku menjalani terapi ruqyah. Dan berkali-kali
gangguan itu datang. Tapi aku tidak lagi menempuh cara yang dulu,
mencari kesembuhan dari jalan yang tidak diridhoi-Nya. Aku tidak lagi ke
‘orang pintar’ yang melakukan terapi dengan cara-cara yang aneh.
Seminggu yang lalu, aku dirawat di rumah sakit. Badanku panas.
Kepalaku pusing. Ketika Mas Fahmi menjengukku di rumah sakit, ia
merasakan ada keanehan dalam diriku. Katanya, ia meminta agar aku
meluruskan kaki, tapi aku tidak mau. Katanya, kakiku juga terasa dingin.
Melihat gejala yang aneh itu, Mas Fhami membaca ayat Kursi. Aku
menjerit dan meronta-meronta. Karena merasa tidak enak dengan pasien
sebelah, akhirnya Mas Fahmi menghentikan bacaannya. Ia hanya
meminjat-memijat kakiku. Anehnya, tak lama kemudian, kakiku kembali
menghangat.
Saat
itu juga Mas Fahmi menyadari bahwa sakitku ini bukan penyakit medis. Ada
jin yang kembali merasuk ke dalam diriku. Karena itulah, aku dibawa
kembali ke Ghoib Ruqyah Syar’iyyah.
Reaksinya tetap sama. Ketika dibacakan ayat-ayat al-Qur’an, aku
kembali meronta-ronta seperti dulu. Semoga Allah menguatkan diriku untuk
terus menapaki jalan yang benar. Semoga aku diberi kesabaran yang
berlipat untuk menjalani terapi ruqyah. Aku tidak ingin terjebak dalam
kesalahan masa lalu. Kembali ke dukun lantaran ketidaktahuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar