Sabtu, 02 November 2013

Majalah Ghoib Kesaksian , Sihir Orang Ketiga, Gugurkan Janin Saya Dua Kali


  Masa-masa kehamilan menjadi hari yang menyenangkan bagi seorang wanita. Harapannya membumbung tinggi seiring dengan pergerakan janin yang lincah. Datangnya si buah hati seakan tinggal menunggu waktu. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Dan … tangisan kebahagiaan pun memecah kesunyian. 
  Masalahnya. Tidak semua orang hamil merasakan kebahagiaan ini. Sebagian dari mereka ada yang menggantinya dengan derita dan tangis yang memilukan. Lantaran janin yang menemaninya kini telah gugur. Terlebih bila tersirat ketidakwajaran dalam keguguran ini. 
  Seperti kisah Ibu Rosalia, mantan karyawan swasta. Dua kali ia keguguran, lantaran kedengkian mantan teman kerjanya sendiri. Ibu Rosalia menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib di Jakarta Timur, dengan ditemani ibu dan suaminya. Berikut petikan kisahnya.
  Saya terlahir dari keluarga yang tergolong menengah ke atas. Ibu seorang wanita karir yang terbilang sukses. Demikian pula dengan bapak. Meski saya ditakdirkan terlahir dari suku betawi yang menurut rumor kurang memperhatikan pendidikan, tapi kehidupan keluarga saya menjadi cermin gambaran sinetron ‘Si Doel Anak Sekolahan’. Sebuah keluarga yang mementingkan pendidikan, hingga tidaklah mengherankan bila ibu diterima kerja di perusahaan asing dan memiliki hubungan yang luas dengan orang-orang terhormat.
   Di sinilah uniknya, kesibukan dunia kerja tidak harus ditebus mahal dengan hilangnya kasih sayang. Tidak. Meski kedua orangtua saya terbilang sibuk, namun mereka masih meluangkan waktu untuk kami, anak-anaknya. Hingga saya dan kedua saudara saya tumbuh dengan baik tanpa kehilangan kasih sayang. Kini, adik saya menetap di luar negeri mengikuti suaminya.
  Saya sendiri menjadi wanita karir mengikuti jejak ibu. Seperti halnya ibu, saya juga bekerja di perusahaan asing dengan jabatan yang menggiurkan. Saya menjadi orang kedua di perusahaan. Sebuah tugas yang menuntut keahlian dan kemampuan yang tidak sedikit memang. Namun, di sinilah. Di perusahaan asing ini awal bencana yang datang beruntun.
  Awalnya biasa saja. Saya menjalani semua tugas kantor dengan baik. Saya menjadi jembatan atasan dengan bawahan atau relasi kerja. Semua tugas itu dapat saya selesaikan dengan lancar. Gender maupun usia tidak menjadi hambatan yang berarti bagi saya untuk mendapat kepercayaan atasan dan bawahan.
  Mungkin karena sikap saya yang sopan sehingga bawahan yang lebih tua usianya menjadi segan. Terus terang, saya tidak penah memberikan perintah kepada bawahan tanpa didahului kalimat minta tolong. Dengan sentuhan kejiwaan seperti ini karyawan menjadi senang karena eksistensinya dihargai.
  Sebagai orang kedua di perusaan asing, tentu saya sering menemani atasan mengadakan pertemuan dengan relasi bisnis. Baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Kebetulan dari relasi bisnis atasan, ada juga seorang wanita asal Indonesia yang memiliki kedudukan tidak jauh dengan saya. Sebut saja namanya Ani, seorang wanita berkulit gelap dan gemuk.
   Ani, bekerja di perusahaan lain yang menjadi relasi bisnis perusahaan tempat saya bekerja. Meski demikian intensitas pertemuan saya dengan Ani terbilan tinggi. Hal ini tidak lain kerena saya harus mewakili atasan melakukan rapat atau negosiasi dengan perusahaan Ani bila atasan saya tidak bisa datang.
  Pertemuan demi pertemuan itu makin merekatkan persahabatan kami. Hingga sesekali ia menyempatkan diri main ke rumah saya di Jakarta Timur. Ani pandai bergaul dan enak diajak bicara. Hal yang sama juga dirasakan oleh orangtua dan saudara-saudara saya.
  Pekerjaan saya menuntut banyak berhubungan dengan relasi bisnis. Selain dengan perusaan tempat Ani bekerja, saya juga sering mengikuti pertemuan dengan relasi yang lain, baik pria maupaun wanita. Di antaranya adalah Sulistio. Pria muda yang luwes dalam pergaulan dan berkepribadian dewasa.
  Pertemuan demi pertemuan yang pada akhirnya melahirkan benih-benih cinta di antara kami berdua. Meski saya akui bahwa saat bertemu dengan Sulistio saya berstatus janda. Tapi, status bukan halangan bagi seorang wanita untuk menikah lagi. Dan itulah yang terjadi.
  Perjalanan menuju pelaminan tidak semulus yang saya bayangkan. Hal ini terkait dengan kehadiran orang ketiga di antara kami. Ani, dialah yang lebih dulu mengenal Mas Sulistio memendam cinta yang mendalam. Meski untuk itu dia harus bertepuk sebelah tangan harapannya membina rumah tangga kandas. 
   Cintanya tidak terbalas. Berbagai cara telah ditempuhnya untuk mempengaruhi Mas Sulistio. Dengan menebar kabar burung misalnya. Kesana kemari, dia memperkenalkan diri sebagai pacarnya Mas Sulistio.
   Sebenarnya kabar tidak sedap ini, mengganggu hubungan saya dengan Mas Sulistio. Saya gamang, haruskah melanjutkan hubungan atau putus di tengah jalan. Sungguh tidak mengenakkan berada dipersimpangan jalan.
   Setelah menimbang masak-masak dan meminta ketegasan dari Mas Sulistio, saya pun menerima pinangannya. Karena dari pertemuan selama ini, saya lebih percaya Mas Sulistio daripada Ani. Seorang gadis yang tidak disenangi banyak orang. Lantaran sikapnya yang sombong dan mau menang sendiri.
   Saya tahu, sikap apapun yang saya ambil pasti mengandung resiko. Tapi saya harus tegar. Apapun yang terjadi, saya tidak boleh surut ke belakang. Meski harus mendengar nada sumbang dari Ani sekalipun. “Kamu itu janda. Kamu tidak pantas sama Sulistio. Mendingan kamu mundur. Dia punya gue. Karena gue masih gadis,” celoteh Ani dari balik telepon.
   Saya tidak lagi mempedulikan ocehannya. Biarlah dia mengumpat semaunya. Toh, Mas Sulistio juga tidak menghiraukannya. Akhirnya di penghujung tahun 2002, janur kuning pun berkibar. Resepsi pernikahan saya dengan Mas Sulistio berjalan lancar. 
   Ani yang saya khawatirkan selama ini, juga nampak di sela-sela undangan. Ia ikut tertawa dan berbaur dengan tamu-tamu yang lain. Sama sekali tidak terlihat rona marah atau kecewa. Semuanya nampak wajar-wajar saja. Saya pun lega. Ketakutan dia akan membuat ulah sedikit sirna. Bayangan hitam keterlibatan Ani dengan dukun, sedikit tersingkirkan oleh sikapnya yang manis.
Emosional Meningkat Saat Hamil
  Hari-hari pertama mengarungi rumah tangga dengan Mas Sulistio berjalan normal. Seperti layaknya pengantin baru. Bahkan kesana kemari kami selalu bergandengan tangan. Tidak ubahnya seperti sepasang kekasih yang sedang kasmaran. Rutinitas kerja kantoran pun masih berjalan seperti biasa. Saya menemukan kebahagiaan di awal pernikahan ini.
  Tiga bulan kemudian, dokter menyatakan saya positif hamil. Haru dan bahagia bercampur aduk menjadi satu. Harapan untuk menimang anak dari perkawinan kedua, tinggal menunggu pergantian bulan demi bulan. Namun, seiring dengan proses kehamilan, mulai muncul perubahan dalam diri saya. Sakit darah tinggi yang telah saya alami selama lima tahun, kembali memuncak. Akibatnya, saya mulai emosional.
  Di rumah, saya mulai menebar kemarahan dengan siapapun. Ibu, kakak, atau bahkan Mas Sulistio. Ya, sejak kehamilan yang seharunya disikapi dengan kedewasaan itu, perjalanan rumah tangga saya mulai goyah. Ada saja masalah yang muncul. Padahal sebelumnya, kami menganggap masalah itu biasa saja. 
   Terkadang terbetik keinginan untuk mengakhiri jalinan rumah tangga yang baru seumur jagung ini. Untunglah niatan itu masih bisa diredam oleh Mas Sulistio yang sabar. Hingga rumah tangga kami masih bisa bertahan.
   Menjelang kehamilan berusia tiga bulan, saya mengalami sakit. Tekanan darah tinggi saya naik menembus angka 200. Keluarga panik, karena menurut diagnosa dokter implikasi dari tekanan darah tinggi itu bisa berakibat fatal. 
   Benar memang, beberapa hari kemudian, saya mengalami keguguran. Janin benih perkawinan dengan Mas Sulistio hanya bertahan tiga bulan. Padahal dari pernikahan yang pertama, tidak ada masalah dalam rahim saya. Saya melahirkan anak yang pertama dengan normal.
  Keguguran yang pertama ini, saya sikapi dengan wajar. Sama sekali tidak ada kecurigaan sedetik pun bila ada yang berniat jahat. Dan ingin menghancurkan kebahagiaan kami. Namun, perasan ini tidak bertahan lama. Hanya dalam hitungan hari segera berubah. Lantaran celotehan dari balik telepon. Ani yang mendengar berita keguguran janin saya mendapat angin segar untuk menyerang. 
  “Turut berduka cita ya…,” katanya. Setelah itu dia malah tertawa-tawa. “Ha ha ha … percaya sajalah kamu tidak bakalan punya anak,” katanya. Saya terkejut mendengar ucapannya. Sama sekali tidak menduga bila ada yang tega berkata sekasar ini. Nada bicaranya memberi kesan ia sedang merayakan sebuah kemenangan. Entah kemenangan seperti apa.
   Pembicaraan dari balik telpon itu pun diakhirinya dengan nada tidak bersahabat ia tertawa. Laksana musik pengiring tarian di atas penderitaan orang lain. Awalnya saya tidak terlalu mengambil hati. Apa yang dikatakannya itu saya anggap sebagai angin lalu semata. 
   Setelah sehat, saya pun masuk kerja seperti biasa. Di sinilah kemudian, secara tak terduga Ani main ke kantor saya. Ia merangkul pinggang saya dari belakang. “Eh, gue bilang, lu tidak akan punya anak. Nanti lu bakal cerai. Sulistio gue pelet. Nanti dia bakal nikah sama gue,” katanya riang.
  Ia memeluk pinggang saya sambil tertawa menyeringai. Mengerikan. Tapi saya diam saja. Saya tidak menghiraukan apa yang dikatakannya. Orang-orang yang mendengar celotehannya juga keheranan dengan sikapnya. Hari itu, saya memang hanya mendiamkannya.
  Tidak bereaksinya saya dimaknai lain oleh Ani. Ia merasa berada di atas angin dan terus menebar kata-kata yang pedas di lain kesempatan. Bahkan saya mulai mendengar laporan dari anak buah saya, bahwa Ani mulai berulah. Karena itu saya disarankan agar waspada. “Hati-hati Bu, dengan Ibu Ani. Soalnya dia menjelek-jelekkan ibu di depan atasan ibu.” Laporan seperti itu sering saya terima dari sebagian karyawan.
   Mereka juga memperingatkan saya, bahwa setiap malam Jum’at Ibu Ani selalu memberi sesajen darah pada ‘pegangannya’. Ani tergolong suka ke dukun. Awalnya saya tidak begitu percaya. Tapi setelah mendengar kisah hari pertama dia masuk kerja, saya menjadi maklum. 
   Ani mengawali kerjanya dengan mengadakan syukuran penyembelihan kambing. Bila sekedar syukuran biasa, tentu tidak menyimpan sejuta tanda Tanya. Tapi syukuran itu menyimpan hawa mistis. Ani tidak membiarkan darah diminum tanah. Ia menampungnya di ember lalu menyimpannya. Entah apa yang dilakukannya dengan darah itu, tidak ada yang tahu.
   Setelah sekian kali mendengar ungkapan yang tidak enak di telinga, saya tidak kuasa menahan diri. Muka saya memerah menyimpan kemarahan. Mas Sulistio yang berada di samping saya, akhirnya memarahi Ani habis-habisan. Heboh memang siang itu.
   Hari demi hari terus berganti. Hingga enam bulan berlalu dari masa keguguran. Saya merasakan ada gejala lain. Siklus haidh saya terhenti. Dan saya dinyatakan positif hamil. Betapa bahagianya diri ini, Allah SWT. segera menggantikan dengan janin baru.
   Seiring dengan kehamilan yang kedua, emosional saya kembali meningkat. Kali ini lebih parah dari saat kehamilan yang lalu. Kemarahan itu bisa tumpah dimana saja tanpa memandang tempat. Di rumah atau di kantor sudah menjadi hal yang biasa. Sehingga karyawan di kantor sampai berkomentar, “Ibu mendingan tidak hamil saja deh bu. Ibu kalau hamil jadi galak,” ujar salah seorang anak buah saya.
   Mengerikan. Sungguh mengerikan. Saya tidak lagi menghiraukan siapa yang harus dimarahi. Atasan saya di kantor, bisa saya bentak-bentak bila saya tidak berkenan. Padahal dia adalah orang asing dan professional. Tangan saya menunjuk-nunjuk mukanya. Atasan saya hanya diam dan meninggalkan saya. Dia paham, bahwa saya bukanlah seorang pemarah. Apalagai sampai meledak-ledak seperti itu.
   Kejadian di rumah juga tidak kalah dahsyatnya. Kini, setelah hamil, justru timbul perasaan tidak senang dengan Mas Sulistio. Rasanya sumpek dan sesak bila dia di rumah. Akhirnya keributan-keributan dalam rumah tangga pun tidak lagi terhindarkan. Sampai saling menendang-nendang pintu. Untuk menenangkan diri, beberapa kali Mas Sulistio meninggalkan saya sendirian di rumah. Dan baru pulang setelah keadaan mereda.
   Hamil kedua ini memang berbeda. Tensi kemarahan saya terus memuncak. Tekanan darah tinggi saya kembali menembus angka 200. Sungguh mengerikan bagi seorang ibu yang sedang hamil seperti saya. Keributan demi keributan terus berlanjut.
   Suatu malam, tepatnya hari selasa malam Rabu, saat kehamilan saya mencapai empat setengah bulan, ada peristiwa aneh. Kulkas dan kitchen set yang terbuat dari kayu jati, tiba-tiba jatuh. Tidak ada angin, tidak ada Guntur, tapi akibanya seperti terguncang gempa. Saya dan Mas Sulistio terbangun. Kami ketakutan setengah mati. Ada apa gerangan? Perampok ataukah…
   Bermula dari sini, keanehan-keanehan dalam rumah mulai bermunculan. Sesekali Mas Sulistio melihat sosok bayangan berkelebat. Ia pun ketakutan. Untuk ke kamar kecil saya harus diantar. Memang, ini bukan salahnya. Karena saya tidak bisa memaksanya agar berani menghadapi penampakan jin. 
   Karena hal yang sama juga saya alami saat di kamar mandi. Di langit-langit kamar mandi bermunculan hewan-hewan menjijikkan dan menakutkan. Penampakan-penampakan yang membuat Mas Sulistio mulai jarang di rumah. Ia mulai pulang agak malam. 
   Dan begitu tiba di rumah, ia pun mudah tersulut kemarahan. Akibatnya malam-malam kami berlalu dengan iringan perkelahian. Seperti ada bisikan yang mempengaruhi saya agar tidak percaya dengan Mas Sulistio. “Suami lu nggak bener nih.”
   Di kantor, Ani mulai menabuh gendrang perang. Kemana-mana dia selalu menejelek jelekkan saya, “… pakai dukun.” Aneh memang. Saya tidak pernah pergi ke dukun. Bahkan dia sendiri pernah mengakuinya di depan saya. “… dukun lu hebat. Wah, gue akui dukun lu memang hebat. 
   Canggih. Canggih. Gue akui, gue kalah saat ini, tapi lu jangan berlagu.” Setelah itu dia bahkan mengatakan, “ lu mau gue bikin cerai sama Sulistio. Setelah cerai, jangan sebut nama gue, kalu gue tidak bisa pelet Sulistio.”
   Saya tidak terlalu menghiraukan ancaman Ani. Saya tetap ke kantor seperti biasa. Meski semenjak jatuhnya kitchen set, ulu hati saya selalu sakit pada hari Selasa. Sakit yang terus meningkat, hingga ketika hamil enam bulan saya harus menjalani rawat inap di rumah sakit di bilangan di Jakarta Timur.
   Saya menggelepar kesakitan. Ulu hati saya seperti ditusuk-tusuk pedang hingga tembus ke punggung. Berbagai obat pemberian dokter tidak mempan. Rasa sakit itu tetap tidak bisa hilang. Dan terus menusuk-nusuk . Raut muka sampai memutih pucat. 
   Dan baru berkurang setelah ibu memegang ulu hati saya sambil membacakan ayat-ayat al-qur’an. Saat berikutnya saya terlelap dalam tidur. Dari sini, ibu semakin yakin bahwa derita yang saya alami selama ini akibat sihir. Karena itu, ibu selalu meletakkan tanggannya di ulu hati saya bila rasa sakit itu datang.
   Dua hari dirawat, saya diizinkan pulang. Tapi rasa sakit di ulu hati masih terus mendera. Seorang teman kemudian membawa seorang yang katanya dikenal sebagai ustadz untuk datang ke rumah. Saya diberi beberapa jimat. Ada kain yang bertuliskan huruf Arab serta tiga buah bungkusan putih. Jimat jimat pemberian ‘ustadz’ itu pun saya biarkan begitu saja. Karena sejak awal saya kurang senang.
   Ketika rasa nyeri di ulu hati tidak kunjung sembuh, saya kembali menjalani rawat inap di sebuah rumah sakit di Jakarta Selatan. Di rumah sakit inilah, saya mengalami keguguran untuk kedua kalinya. Keguguran yang diawali dengan serentetan keanehan yang diluar nalar. 
   Siang harinya, ketika ditemani ibu mertua, saya melihat dua anak laki-laki tanggung berada di dekat jendela. “Di dekat jendela, kok ada dua anak laki-laki tanggung. Cakep-cakep amat. Ngapain?” Tanya saya kepada ibu mertua. Ibu mertua menoleh ke jendela, tapi ia tidak melihat siapa-siapa di sana. “Itu bu, keduanya tersenyum melihat saya,” kata saya meyakinkan ibu. Tapi ibu kembali geleng-geleng kepala.
   Malam harinya, giliran bisikan menakutkan yang terdengar. “Rosalia aku akan ambil anakmu. Biar aku ganti yang lebih bagus.” Saya terbangun. Saya tengok kiri kanan, Mas Sulistio sedang istirahat. Tidurnya pulas. Ia tidak terusik dengan bisikan yang saya dengar. Seakan bisikan itu hanya ditujukan kepada saya. Tapi apa makna di balik bisikan itu? Tak satu pun jawaban yang bisa saya dapatkan. Akhirnya saya kembali tertidur.
   Keesokan harinya, ketika diperiksa dokter pada jam sembilan, detak jantung janin saya tidak lagi terdengar. Tidak ada aktifitas yang memberikan sinya tanda-tanda kehidupan. “Kehabisan oksigen,” kata dokter. Deg, saya terkejut mendengar penuturan dokter, saya kembali mengalami keguguran. 
   Padahal seharian kemarin, janin saya masih bergerak-gerak lincah. “Oh, sehat. Bayinya sehat,“ kata ibu mertua saat meraba perut saya. Sehari sebelumnya saat di USG, dokter juga mengatakan bahwa janin saya sehat. Meski beberapa hari ini, saya menjalani rawat inap dan harus minum obat. Saya pun harus diinduksi untuk mengeluarkan janin yang telah meninggal dalam kandungan.
Sudah jatuh tertimpa tangga.
   Begitulah yang saya rasakan. Sudah sekian lama sakit di ulu hati menusuk-nusuk, kini saya harus kembali menerima kenyataan bahwa saya keguguran. Sedih dan pilu. Terlebih bila sakit di ulu hati kembali menghampiri. Sakit yang tidak bisa disembuhkan secara medis. 
   Biasanya hanya dengan tempelan tangan ibu seraya membaca ayat Kursi dan beberapa ayat lain yang bisa mengurangi kepedihan ini. Tapi ibu tidak sedang di rumah. Saya mengerang dan mengaduh. Suster yang mendekat pun saya bentak. Karena sakit yang tidak tertahankan. Mas Sulistio dan beberapa kerabat yang lain sudah mengerubungi saya. Saya terus mengerang sampai meliuk-liukkan badan untuk mengurangi rasa sakit di ulu hati.
  Dalam kondisi kritis itu, ibu muncul. Ia segera menempelkan tangannya ke punggung saya dan kembali membacakan ayat Kursi, al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Naas. Dengan itulah kemudian secara berangsur rasa nyeri itu hilang. Ibu bilang, bahwa sakit saya ini tidak wajar, tapi ibu tidak bisa berbuat banyak selain apa yang dilakukannya selama ini. Karena beberapa pertimbangan itulah akhirnya, saya dibawa pulang ke rumah ibu.
   Setelah saya di rumah, selanjutnya giliran ibu yang dirawat di rumah sakit. Entah kenapa setelah mengobati saya giliran ibu yang diserang. Perutnya membesar seperti orang sakit busung lapar. Di lengannya terdapat benjolan sebesar kelereng. Ibu curiga apa yang dialaminya ini karena gangguan. Jam dua belas malam, ibu muntah-muntah dan buang air. Badannya lemas karena terus mengeluarkan cairan. Tidak ada pilihan lain, jam dua belas malam ibu langsung dibawa ke rumah sakit menggantikan saya dan dirawat sehari semalam.
   Dua hari di rumah ibu, ulu hati saya kembali nyeri. Seperti ditusuk-tusuk belati. Ibu yang sudah sehat sepulang dari rumah sakit, kembali membacakan ayat-ayat al-Qur’an sambil menempelkan tangannya di uluhati saya. Saya muntah-muntah sampai Shubuh. Samar-samar saya melihat jin bertanduk seperti sapi di dalam kamar. Sosok aneh yang mengerikan itu menyeringai menertawakan saya. Setelah munculnya penampakan itu ulu hati saya kembali sakit seperti ditusuk-tusuk pisau.
   Akhirnya saya dibawa kembali ke rumah sakit. Kali ini, keluarga membawa saya ke rumah sakit di Jakarta Barat. Tiga jam sekali ulu hati saya ditusuk-tusuk. Saya mengaduh tidak karuan. Ketika seorang suster bertanya sakitnya seperti apa, bukan jawaban yang saya berikan. Suster itu mendapat semprotan dari saya, “Tanya melulu. Sakit tahu. Jangan Tanya-tanya, saya lagi sakit.” Sedemikian galaknya sehingga suster pada ketakutan memeriksa saya.
   Berbagai pemeriksaan medis, telah saya jalani di tiga rumah sakit, namun hasilnya tetap nihil. Dokter yang merawat saya pun sampai keheranan. “Sekarang banyak penyakit aneh-aneh,” ujar seorang dokter sambil membentangkan tangannya.
   Di saat kritis itulah, ibu mendapat informasi dari seorang lelaki yang menjenguk kerabatnya. “Diruqyah saja bu!” sarannya. Sebenarnya dan pengunjung lain yang menyarankan ibu untuk membawa saya ke paranormal, tapi lebih memilih ruqyah. Karena dari penjelasan bapak tadi ruqyah merupakan terapi gangguan jin dengan bacaan ayat-ayat al-Qur’an. Ibu merasa cocok, karena selama ini ibu mengobati saya juga dengan bacaan-bacaan al-Qur’an.
   Akhirnya, Mas Sulistio meminta Ustadz Aris Fathoni untuk menerapi saya di rumah sakit. Karena kondisi saya yang sedang kritis dan sulit dibawa ke kantor Majalah Ghoib. Saat membaca ayat-ayat al-Qur’an saya juga mendengar bisikan halus yang berusaha melunturkan keyakinan saya dengan ruqyah. “Lu mau saja digituin sama orang. Lu lihat, air itu gelasnya setengah. Nanti sehabis baca, gelasnya jadi penuh. Itu dari ludahnya dia. Idih lu mu aja. Bau. Lu mau saja.”
   Sebenarnya setelah Ustadz Aris membaca ayat-ayat al-Qur’an dan menyuruh saya meminum air, saya sempat ragu-ragu. Bisikan halus itu memang sedikit mempengaruhi saya. Tapi karena dorongan ibu dan nasehat Ustadz Aris, air itupun saya minum juga.
   Di luar dugaan, hanya dalam waktu setengah jam saya sudah tidak lagi merasakan tusukan di ulu hati yang begitu menyakitkan. Sungguh ini adalah karunia dari Allah yang semakin membuka mata hati kami sekeluarga akan kebesaran dan keagungan-Nya.
   Setelah sembuh dari sakit ulu hati, akhirnya kami mengambil kesimpulan, bahwa apa yang saya alami selama ini tidak terlepas dari sihir seseorang. Yang pada akhirnya mengarah kepada Ani, tentu ini semua berdasarkan bukti yang sangat kuat. 
   Untuk menghindari kemungkinan buruk di kemudian hari akhirnya saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari tempat kerja. Pengunduran diri ini bukan berarti bentuk kekalahan, tapi untuk meraih kebahagiaan yang sempat hilang selama ini. Semoga kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi siapapun yang membacanya.
Sumber : Majalah Ghoib Edisi 51/3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar