Jumat, 27 September 2013

Nyawaku nyaris terenggut tangan aparat

Alex 27 tahun, karyawan swasta

Lepas SMA, aku diterima kerja di perhotelan. Bagian pramusaji di café. Di sana, aku bertemu dengan sekian banyak orang yang berbeda latar belakang. Ada pengunjung yang memang murni menginap di hotel. Sebagian yang lain, ada yang memanfaatkannya untuk menikmati gemerlapnya dunia malam.
Kerja di café sendiri, kurasakan mengandung banyak resiko. Aku sering melihat teman-teman dipukul, dibentak atau diberlakukan dengan kasar oleh preman yang mabuk. Terlebih bila kami, pramusaji, harus mengantarkan makanan atau minuman ke night club, segala kemungkinan bisa terjadi.
Suatu ketika, ada seorang teman yang betisnya ditembak oleh Rio, pentolan preman. Hanya karena alasan yang sepele. Rio mabuk. Secara tak sengaja temanku menyinggung perasaannya. Penembakan itu menjadi berita besar di media massa.
Melihat segala kemungkinan buruk juga bisa menimpaku, aku mengiyakan saja, ketika teman-teman mengajak ke dukun. Dalam hati, aku hanya ingin menemani mereka. Tidak terbetik sedikit pun keinginan untuk mencari ilmu kebal, atau ajian pengasihan. Anehnya, setiap kali menemani teman ke dukun, aku selalu ditawari dukun ilmu kesaktian tanpa harus membayar.
Tawaran itu senantiasa kutolak. Ketika ke Lampung misalnya, teman-teman minta diajari ilmu kesaktian. Aku sendiri yang tidak meminta. Tapi teman-teman tidak ada yang dikasih. Anehnya, aku yang justru ditawarinya. Aku tidak tahu mengapa dia ingin mewariskan ilmunya kepadaku. Padahal kami baru bertemu. Tujuanku kesana juga sekadar menemani teman. Tidak lebih.
“Malam ini kamu tidur saja di kamar saya, nanti ilmu saya itu nurun sama kamu,” kata dukun yang sudah paruh baya itu dengan serius. Tapi aku tidak mau. Bukannya apa-apa, aku memang tidak ingin menjadi orang sakti.

Di Palembang pun sama. Entah mengapa beberapa dukun yang kukunjungi selalu ingin mengajarkan ilmunya. Hingga suatu ketika ada yang memberiku sebuah batu cincin. Ia tidak mengajarkan apa-apa. Hanya mengatakan, “Kamu tidak perlu tahu kekuatan batu ini. Kalau kamu tahu nanti kamu takabur. Biar nanti kamu rasakan sendiri.”
Batu seukuran dengan batu permata yang menghiasi cincin itu berwarna putih dengan rona kebiru-biruan di tengahnya. Batu itu kusimpan saja dalam dompet. Tidak kukeluarkan atau kubuatkan cincin.
Aku merasa biasa saja. Tidak merasakan adanya keanehan setelah menyimpan batu putih itu. Hanya saja, Bondan, salah seorang teman yang sering mengajakku ke dukun keheranan ketika main ke rumahku.
“Kamu pegang apa sih, kok rumahmu rasanya beda?” tanyanya.
Nggak. Aku nggak pegang apa-apa. Hanya ada batu ini,” kataku setengah tidak percaya. Lalu kuambil batu putih itu dari dompet dan kutunjukkan pada Bondan. Setelah sekian lama mengamati cincin itu, Bondan mengakui bila batu itu memang ada ‘isinya’.
Kerja di café itu sistimnya sip-sipan. Kadang masuk siang, lain kali tugas malam. Ketika bertugas malam itu secara tak sengaja aku menyinggung perasaan Rio. Preman yang dulu pernah menembak temanku. Aku tak sadar apa yang telah kulakukan, yang jelas, tiba-tiba Rio yang lagi mabuk itu mencabut pistolnya. Ia merengkuh badanku dan menempelkan ujung pelatuknya di kepalaku.
Untuk sesaat aku terperangah. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Sementara orang-orang di sekelilingku secara reflek menyingkir. Mereka membiarkan kami berdua di tengah arena. Seakan kami adalah sepasang petarung di tengah arena yang dikelilingi penonton.
Hening dalam kebisuan. Sontak semuanya terdiam. Sesaat kami beradu pandang. Rio menatap mataku lekat-lekat, dengan jemari tengah siap mengokang pelatuk. Hingga tiba-tiba ia memelukku. Ia sarungkan pistolnya lalu memelukku sambil menangis. “Kamu adalah adikku,” katanya di tengah isak tangisnya.
Sontak semua yang mengelilingi kami keheranan. Mereka tidak menduga Rio bersikap seperti itu. Aku sendiri keheranan mengapa itu bisa terjadi. Setelah kejadian malam itu, aku bersikap biasa saja ketika bertemu Rio. Ia pun tidak lagi pedulikan diriku. Mungkin apa yang terjadi di malam itu karena pengaruh minuman keras, hingga Rio tidak menyadari apa yang telah dilakukannya.

Seorang wanita night club nekat mau bunuh diri
Kerja di hotel memang banyak cobaannya. Dari yang namanya narkoba hingga main perempuan. Terus terang, di mata wanita, katanya, aku tergolong tampan dengan postur tubuh yang atletis. Di tengah lingkungan seperti itu, tidak sedikit wanita yang tertarik kepadaku.
Bahkan ada yang sampai tergila-gila. Lusi namanya. Ia wanita simpanan seorang pejabat tinggi. Mereka sering menginap di hotel. Sesekali aku yang mengantarkan makanan ke meja mereka. Hingga akhirnya Lusi terpikat kepadaku.
Suatu malam, Lusi datang sendiri ke hotel. Ia mencariku. Dan secara terus terang mengatakan ketertarikannya kepadaku. Waktu itu, aku masih nakal. Kuterima tawarannya, karena aku terpikat dengan uangnya. Selama itu, aku tidak pernah menggunakan ajian pelet atau apalah namanya untuk menggaet wanita. Tapi entah mengapa begitu mudah mereka tertarik kepadaku.
Demikian juga dengan Lusi, aku tidak pernah memeletnya. Setelah hubungan kami berjalan beberapa saat, pejabat itu mencium hubungan gelap antara diriku dengan Lusi. Ia datang sendirian ke hotel dan memintaku datang ke kamarnya. Di sanalah aku disidang dengan pistol di atas meja. Aku ditanya macam-macam tentang hubunganku dengan Lusi, tapi aku menyangkalnya. Kukatakan bila hubungan kami sebatas tamu dan pelayan hotel.
Aku merasa hidupku terancam. Pejabat itu memang berkata, “Aku tidak akan ngapa-ngapain sama kamu,” tapi ia mengatakan itu sambil meletakkan pistolnya di atas meja. Hati siapa yang tidak mengkerut. Ia memang tidak mengancam akan mencelakakanku. Tapi bisa saja, ia mengirim anak buahnya.
Aku mulai menjaga jarak dengan Lusi, hingga akhirnya Lusi meninggalkan pejabat tersebut. Mungkin ia juga diinterogasi seperti diriku. Setelah putus, Lusi datang menemuiku. Dia ingin agar hubungan kami terus berlanjut, tapi aku menolaknya. Aku tidak mau, karena aku merasa hidupku terancam bila masih berdekatan dengannya.
Lusi kecewa. Sedemikian kesalnya, hingga ia membanting hand phonenya. Arloji yang sedianya diberikan kepadaku juga diinjak-injak dengan sepatu haknya yang tinggi. Ia menangis dan merengek agar aku tidak memutuskan hubungan.
Tapi aku kekeh menolak. Aku tidak menganggap main-main ancaman pejabat itu. Aku belum siap mati. Setidaknya saat itu. Sampai akhirnya Lusi berniat mengakhiri hidupnya, ia mengambil potongan kaca dan hendak memotong urat nadinya. Untunglah, temanku dengan sigap memegang tangannya dan menghentikan kenekatannya.

Bergabung dengan gerombolan perampok
Lima bulan setelah peristiwa itu, aku mengundurkan diri dari hotel. Kutinggalkan Palembang untuk mengadu keberuntungan di kota kembang, Bandung. Berangkat berempat dengan teman-teman satu band. Sejak SMA, aku sudah membentuk band bersama teman-teman. Aku didaulat sebagai vokalis. Selama kurun waktu itu, bisa dibilang, band ku sudah punya nama. Aku sering manggung di café, pesta ulang tahun atau acara-acara tertentu.
Kami memilih Bandung, karena dari sana banyak grup band yang meraih sukses. Namun, harapan itu tinggal harapan. Di Bandung, bukannya menuai keberhasilan. Sebaliknya grup band yang kurintis bersama teman-teman layu sebelum mekar. Kami terjebak dalam mata rantai narkoba, hingga cita-cita awal terabaikan.
Dua orang temanku kembali ke Palembang, sementara aku menetap di Bandung. Aku kos rame-rame dengan sekumpulan teman dari Palembang. Setiap kali bertemu dengan mereka, aku heran, ternyata teman-temanku itu uangnya berkecukupan, kalau tidak boleh dibilang berlimpah.
Mereka seakan tidak pernah kehabisan uang. Padahal, aku tahu apa yang mereka lakukan. Kerjanya adalah menghambur-hamburkan uang di dunia malam atau arena perjudian. Mereka juga tidak punya pekerjaan yang tetap. Yang mereka lakukan untuk memenuhi hasrat mereka adalah dengan menjambret atau merampok.
Awalnya, aku bertahan dengan idealisme untuk tidak terlibat terlalu jauh dengan mereka. Hubunganku hanyalah sebatas teman biasa. Namun, desakan ekonomi dan belum adanya pekerjaan yang bisa dijadikan pegangan akhirnya membuyarkan idealisme itu. Aku larut dalam suasana.
Mulailah, aku belajar dengan mereka. Mula-mula menjambret di terminal atau tempat ramai lainnya, sampai akhirnya ikut dalam rombongan perampok. Biasanya, kami memilih rumah yang sering ditinggal penghuninya keluar kota.
Dalam perampokan itu memang tidak ada yang dianggap sebagai ketua secara permanen. Karena yang disebut sebagai ketua perampok adalah yang memiliki ide untuk merampok rumah tertentu. Dia yang telah mengadakan survey, rumah mana hendak dijadikan sasaran.
Selanjutnya ia memilih siapa saja yang diajak bergabung. Dalam setiap perampokan biasanya beranggotakan empat orang. Hasil rampokan itu kemudian dibagi rata di antara anggota yang ikut merampok. Yang dibagi itu pun barang-barang berharga seperti televisi atau motor misalnya. Sedangkan untuk perhiasan atau barang-barang kecil yang bisa jadi tidak diketahui oleh anggota perampok lainnya dianggap menjadi hak milik orang yang mengambilnya. Bila ia berkenan memberikan bagian kepada yang lain, dipersilahkan dan jika ia mau menikmatinya sendiri juga tidak apa-apa. Hal semacam ini sudah dianggap sebagai hokum yang tak tertulis dan dipatuhi setiap anggota.
Suatu saat ketika aku sedang pulang kampung, tempat kosku bersama teman-teman digerebek polisi. Katanya, terjadilah aksi baku tembak dengan polisi, hingga akhirnya dua anggota perampok tewas tertembus timah panas. Satu di antara dua tertembak dengan mengenakan jaketku.
Itu adalah jaketku yang dipinjam sebelum aku pulang kampung. Padahal saat itu, ia tidak ikut dalam aksi perampokan. Mungkin polisi sudah lama mengincar tempat kosku dan teman-teman.  Hingga akhirnya dilakukan aksi penggerebekan itu.
Tiga hari setelah penggerebekan itu, aku baru mendapat informasi dari temanku yang  pulang ke Palembang. Ia mengatakan, sebaiknya aku tidak perlu kembali ke Bandung, karena tempat persembunyianku dan teman-teman sudah digerebek polisi. Dua anggota kami juga sudah tewas.
Aku menuruti saran temanku. Dan mulailah kujalani kehidupanku di Palembang. Aku kembali kerja di hotel. Meski tidak di hotel yang dulu. Aku juga masuk kuliah di perguruan tinggi swasta.
Aku seakan memutar jarum jam. Apa yang dulu kujalankan di hotel yang lama, kembali kugeluti. Pada saat yang bersamaan, aku juga berpacaran dengan adik kelasku. Evi namanya, gadis cantik berambut panjang itu menjadi rebutan beberapa lelaki.
Perebutan cinta yang memanas, sampai akhirnya melibatkan klenik. Aku yang berhasil menggaet Evi, menjadi sasaran santet orang-orang yang ingin merebut cintanya.
Suatu sore menjelang Maghrib, tiba-tiba kaca lemari dan tremos air pecah.  Beberapa hari kemudian, aku merasakan kesakitan seperti ditusuk jarum setiap waktu shalat. Aku memang tidak pernah shalat. Tapi setiap waktu shalat itu aku selalu kesakitan.
Aku berobat ke dukun. Namanya Poli. Ia lebih setahun dariku. Katanya, ada orang yang menyantetku. Dia mengerjaiku setiap habis shalat. Beberapa minggu, aku diterapi Poli sampai sembuh. Hubungan kami pun berlanjut tidak sekadar antara pasien dengan dukun, tapi antara guru dengan muridnya.
Ya, perlahan, aku diajari bagaimana menguasai ilmu pelet, ilmu harimua atau ilmu kesaktian lainnya. Evi yang sudah beralih ke pemuda lain itu coba dikembalikan kepadaku. “Mana HP kamu. Sebentar lagi dia nelpon ke HP mu,” katanya.
Benar. Beberapa saat kemudian, HP ku berdering.  Nama Evi muncul dilayar. Kukatakan bila besok aku ingin ketemu di kantor. Keesokan harinya, seperti yang dijanjikan Evi menemuiku di kantor. Ia meminta maaf bila telah berpaling ke lelaki lain.
Evi pun kembali ke pangkuanku. Pemuda yang mengirim guna-guna kepadaku itu pun kecewa. Mungkin karena tidak lagi mampu mencelakanku hingga ia beralih mencelakai Evi. Badannya disiram dengan cuka. Untunglah hanya mengenai pakaian di bagian punggung dan tidak sampai melukai kulitnya. Kekerasan terhadap wanita itu pun berbuntut panjang, hingga akhirnya pemuda itu masuk ke dalam penjara.

Taubat
Karena merasa bosan kerja di hotel, aku mengajukan lamaran ke perusahaan perminyakan. Alhamdulillah, aku diterima kemudian ditempatkan di Jambi.  Dari Jambi, aku ditugaskan ke Balikpapan.
Ketika di Balikpapan itulah, aku mulai menghindari narkoba. Shalat yang telah sekian puluh tahun kutinggalkan, kembali kujalani. Kesadaran untuk shalat itu muncul begitu saja. Sekitar awal tahun 2004.
Entah apa hubungannya dengan kekuatan ilmu pelet, yang jelas beberapa hari setelah melaksanakan shalat, Evi yang telah menjalin cinta denganku sejak tahun 1999 tiba-tiba memutuskan untuk berpisah. Ia akhirnya menikah dengan lelaki lain.
Setelah menjalankan shalat itu juga tiba-tiba aku lumpuh. Waktu itu aku sedang jongkok. Mau berdiri lagi, tapi tidak bisa. Padahal aku tidak melakukan aktifitas yang membebani urat syaraf. Sampai akhirnya aku dievakuasi ke rumah sakit.
Dokter bingung mendiagnosa sakit yang kuderita. Katanya, ginjal. Pemeriksaan berikutnya, katanya, usus buntu. Sampai akhirnya aku cuma dibilang kram otot saja. Tapi anehnya, ketika aku tidak shalat, aku tidak merasakan adanya gangguan kesehatan. Aku sehat seperti biasanya. Tapi ketika shalat, ada saja gangguan fisik yang kuterima.
 Setelah masa kontrak di Balikpapan habis, aku balik ke Palembang. Di sana, aku membuka rental play station. Aku mulai rajin ke masjid dan secara perlahan, aku berhasil meninggalkan narkoba yang telah sekian tahun akrab denganku.
Mulai ada rasa tenang. Omonganku juga mulai didengar orang. Yang biasanya slengekan mulai ada tatakramanya. Kubuat peraturan ketat di rental. Ketika tiba waktu shalat, untuk sementara rental ditutup. Selain itu, pelanggan tidak diperkenankan membawa makanan atau minuman ke dalam tempat play station. Semua itu untuk menghindari adanya pelanggan yang membawa narkoba.
Tahun 2006, aku dikenalkan dengan seorang gadis asal Palembang yang menetap di Jakarta. Zulaihah, namanya. Tak lama setelah perkenalan itu aku kembali mendapat panggilan kerja di perminyakan di Jambi.
Hubunganku dengan Zulaihah pun terus berlanjut, meski jarak memisahkan kami. Setelah masa kontrak di proyek habis, aku bulatkan tekat untuk melamar Zulaihah. Aku ingin membangun keluarga yang harmonis dengan seorang perempuan yang baik agamanya, baik akhlaknya.
Cukuplah kiranya pengembaraanku selama ini. Aku ingin mengakhirinya dan membangun mahligai rumah tangga yang diridhai-Nya. Pasca pernikahan, aku pindah ke Jakarta. Meninggalkan kenangan masa lalu untuk meraih masa depan yang lebih cerah.
Aku mengontrak di pinggiran kota Jakarta Timur. Awal-awal menetap di Jakarta, aku sering bermimpi didatangi ular dan Evi, pacar pertamaku. Waktu banjir besar melanda Jakarta, rumah kontrakanku juga ikut terkena imbasnya. Suatu siang, ada yang mengetok-ngetok pintu. Ketika kubuka, ternyata suara itu ditimbulkan oleh ular yang mematuk-matuk pintu. Entah apa maksudnya.
Ular itu kabur ke kontrakan sebelah. Kupanggil-panggil yang punya rumah, akhirnya ular itu pun mati di tangannya.
Di Jakarta, kesempatan untuk membaca buku-buku semakin banyak, pemahamanku kepada agama ini juga semakin meningkat, seiring dengan seringnya aku menghadiri majlis ta’lim dan menjalin persaudaraan dengan orang-orang shalih.
Aku mulai membiasakan diri untuk membaca doa sebelum tidur. Hasilnya, mimpi kedatangan ular maupun Evi tidak lagi datang.  
Kamis kemarin, aku shalat jama’ah di masjid. Aku ditawari Ustadz Bambang untuk ikut menghadiri ruqyah di masjid. Aku nunggu di luar ruangan. Ketika dibacakan ayat-ayat al-Qur’an, mataku terasa nanar. Keesokan harinya, aku disuruh datang ke rumah Ustadz Bambang untuk menjalani terapi ruqyah. Aku langsung reaksi.
Ustadz Bambang dan Ustadz Munif yang menerapiku sampai kewalahan. Cukup lama mereka berdua berusaha menenangkan diriku yang kerasukan jin harimau. Aku meraung dan mengamuk. Alhamdulillah, setelah sekian lama dialog dan dibacakan ayat-ayat al-Qur’an, akhirnya aku mulai sadarkan diri.
Selama ini memang, di punggungku terasa seperti ada koreng. Tapi tidak ada bekasnya. Rasanya itu gatal. Semoga dengan terapi ruqyah ini Allah memberikan keteguhan kepada diriku untuk senantiasa istiqamah di jalan-Nya. Semoga aku tidak lagi mudah terombang-ambing kepada kebimbangan yang pada ujungnya menjerumuskanku ke lembah hitam.
Semoga aku dan istriku diberi kekuatan untuk mewujudkan rumah impian. Baitii jannatii. Rumahku surgaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar