Rabu, 25 September 2013

Aku terbelenggu cinta sesama jenis

Putri, 30 tahun, eksekutif muda

Harus darimana aku memulai kisahku ini, sulit rasanya. Tapi baiklah, sebut saja namaku Putri, kelahiran 30 tahun silam di Kudus, Jawa Tengah. Aku lahir dan dibesarkan di tengah keluarga baik-baik dan berkecukupan. Satu hal yang kubanggakan dari ayah adalah semangatnya untuk belajar dan terus belajar. Sesuatu yang menurun pada diriku.

Masa-masa kuliah di salah satu perguruan tinggi ternama di Jawa Tengah, kulalui dengan mulus. Meski disibukkan dengan kegiatan ekstra kurikuler, tapi hal itu tidak mempengaruhi nilai akademisku. Bahkan banyak pelajaran berharga yang kureguk kala bergelut dengan dunia organisasi.

Pengalaman yang memudahkanku meraih prestasi di dunia kerja. Hingga sekarang, terbilang sudah lima perusahaan yang pernah kulewati. Semuanya dalam posisi yang strategis dan sangat menjanjikan. Sekarang, aku menjadi asisten manajer di PMA Jepang.
Enam tahun silam, aku mengakhiri masa lajangku. Kebetulan, Allah mempertemukanku kembali dengan pemuda satu angkatan di atasku. Mas Hanif, begitu aku biasa memanggilnya. Waktu kuliah, kami sama-sama aktif di organisasi. Kami sering bertemu dan bertukar pikiran. Tapi bukan berarti kami telah merajut cinta. Hubungan kami masih sebatas teman satu organisasi yang sering menyuarakan sikap yang sama.

Sungguh sebuah anugrah yang tidak terhingga. Allah memilihku menjadi pendampingnya. Aku mengenalnya sebagai orang yang sangat baik, penyabar dan pengertian.

Kehadiran Mas Hanif di sampingku, kian menguatkan semangat. Aku yang memang senang dengan tantangan baru dalam bidang yang kugeluti tidak memupus langkah dengan meninggalkan dunia kerja. Aku bersyukur, Mas Hanif sangat memahami diriku. Ia memberiku kebebasan menjadi ratu dalam rumah tangga tanpa melepaskan karir. Tentu dengan catatan, selama tidak mengganggu tugas utamaku sebagai istri dan ibu bagi anakku.

Aku menyanggupinya. Karena memang di tahun pertama pernikahan kami, Allah mempercayakan kami seorang bayi laki-laki yang lucu. Sebuah anugerah yang tidak terhingga. Kehadirannya semakin melengkapi kebahagiaan kami. Letih dan lelah setelah seharian berkutat dengan tugas kantor, terasa hilang, kala mata memandang si buah hati. Kehadirannya menjadi pelipur lara.

Kehadirannya kian melecut semangat kami dalam bekerja. Bukan untuk diri kami sendiri, tapi demi masa depan anak-anak kami.

Pindah kerja

Setelah lima tahun bekerja sebagai asisten manajer di salah satu perusahaan asing, aku memutuskan mencari tantangan baru di tempat lain. Aku pindah ke perusahaan garmen. Lima bulan di sana, aku beralih ke perusahaan baja. Nah, ketika bekerja di perusahaan baja tersebut, ada sebuah perusahaan yang baru dirintis menawariku bekerja di tempat mereka.

Sebenarnya, aku masih enjoy di perusahaan baja. Data lamaran kerjaku yang terpampang di internet masih ada. Perusahaan tersebut mencari karyawan untuk posisi tertentu dan kebetulan cocok dengan keahlianku.

Tiga kali mereka menghubungiku. Awalnya, aku menolak dengan halus. tapi mereka tetap gigih. Mereka terus mengejarku hingga akhirnya hatiku pun luluh. Suatu hari, dengan diantar Mas Hanif, aku menyelidiki perusahaan tersebut. Ternyata memang baru dibangun. Plat nama perusahaan saja masih belum terpasang.

Namun, di balik itu semua, aku melihat masa depan perusahaan tersebut cerah. Modalnya kuat. Ia juga mendapat garansi dari seorang konglomerat ternama. Akhirnya dengan segala keterbatasan yang ada, kuputuskan menerima tawaran mereka.

Ketika pertama kali menginjakkan kaki di perusahaan tersebut, aku melihat wajah-wajah mereka cukup welcome dan hormat. Aku dipercaya sebagai pimpinan setingkat asisten manajer. Menggantikan Edward, eksekutif, yang dimutasi ke bagian lain. Saat penyerahan tugas itu, Edward menyebut satu nama yang perlu diberi perhatian lebih. Rika, namanya. Ia bawahan langsung Edward. Bukan lantaran prestasi Rika yang menonjol, tapi lebih disebabkan oleh sikapnya yang kurang bagus. Susah diatur, etikanya tidak dan bagus dan yang lebih parah, Rika terlalu santai.

Catatan singkat itu kuperhatikan. Aku mengumpulkan segala informasi yang terkait dengan bidang kerjaku. Dari informasi yang kudapat, aku menyimpulkan bahwa konflik antara Edward dan Rika lebih disebabkan oleh gaya kepemimpinan Edward yang one man show. Ia kurang memberi kesempatan dan pelatihan kepada bawahannya. Di saat yang sama, ia meminta mereka bersikap professional.

Gaya kepemimpinan itu yang ingin kurubah. Aku menginginkan agar semua bawahan dapat bekerja secara tim dan memiliki tanggung jawab. Pada saat yang sama, aku melatih dan membimbing mereka agar dapat mengerjakan tugas sesuai dengan standar yang ditentukan perusahaan. Demikian pula terhadap Rika.

Setelah sekian minggu, ada perubahan positif atas kinerjanya.  Walau pada akhirnya, aku mengakui bahwa catatan yang diberikan Edward benar adanya.  Meski demikian, hal itu tidak menjadi penghalang hubungan di antara kami. Mungkin karena sama-sama perempuan, sehingga aku lebih bisa memahami sikapnya.

Baru tiga bulan bekerja, aku dan Mas Hanif dikejutkan dengan kabar gembira. Aku positif hamil. Memang, sudah kami rencanakan untuk segera menimang anak yang kedua. Karena anak yang pertama sudah berusia lima tahun. Tapi tetap saja kehamilanku itu menjadi surprise tersendiri. Perasaan haru sekaligus bahagia menyelimuti diriku bersama suami menapak hari-hari di awal tempat kerja yang baru.

Semakin tambah bulan kurasakan beban di perutku semakin berat. Ya, memang itu manusiawi sekali. Walaupun berat, aku masih tetap semangat bekerja. Apalagi tergolong orang baru sekaligus pimpinan. Kira-kira menginjak bulan ke enam masa kehamilanku atau kira-kira 9 bulan masa kerjaku. Nampak ada keanehan dalam diriku. Entah apa pemincunya dan kapan mulainya, rasanya seperti air yang mengalir, kudapati diriku tidak seperti yang dulu lagi.

Aku mulai sensitif, cepat marah dan mudah tersinggung. Awalnya Mas Hanif mengira kalau itu adalah gejala alami dari ibu yang sedang hamil. Puncaknya, aku malas bekerja. Aku lebih memilih mengurung diri di kamar ketimbang bercengkerama dengan suami dan anak-anak bila libur tiba.

Benar-benar aku merasakan kondisi yang sangat payah. Aku tidak mau lagi bekerja. Entah karena apa. Rasanya sangat berat untuk berangkat kerja. Bahkan aku sempat tidak masuk selama seminggu. Anehnya aku tidak mau ditinggal Mas Hanif kerja. Ada perasaan ketakutan yang luar biasa menyelimuti diriku saat itu.

Kepala dan pundak juga sering pusing dan pegal-pegal. Hampir setiap saat Mas Hanif kuminta untuk memijat bagian pundak, kaki dan kepala apabila rasa sakit itu datang menghampiri. Tragisnya lagi, aku juga tidak mau makan, padahal pada masa seperti inilah justru harus banyak makan asupan yang bergizi.

Kami belum mengerti mengapa seperti ini. Mas Hanif juga masih menganggap wajar karena masa kehamilanku semakin tua. Benar-benar aku sudah payah untuk bekerja lagi. Pernah suatu saat aku kuatkan diri untuk berangkat kerja. Sesampainya di kantor rasanya biasa saja. Tapi ketika pulang ke rumah, rasa sakit mendera kembali. Hingga aku hanya bisa tiduran saja. Mendapati gejala yang tidak wajar itu, Mas Hanif mencoba mencari ‘orang pintar’ yang bisa mengobati

Kata teman-teman, gejala seperti itu biasanya karena guna-guna. Datanglah orang pintar yang dimaksud. Sebut saja namanya Fadli. Lelaki paruh baya itu datang bersama seorang temannya. Kondisiku yang kian parah memaksa diriku hanya menerimanya sambil terbaring lemas. Beberapa saat setelah proses pengobatan dimulai, aku tidak sadarkan diri.

Aku tidak tahu bagaimana cara pengobatannya. Menurut penuturan Mas Hanif,  Fadli memanggil jin yang menggangguku kemudian dimasukkan ke mediator yang masih rekannya sendiri. Tak lama kemudian sang mediator berulah seperti babi. Ia terus bergerak-gerak sambil mengeluarkan suara babi.

Jin babi itu disuruh keluar dari ragaku, tapi tetap enggan keluar. Akhirnya Pak Fadli memaksanya. Entah bagaimana caranya, katanya jin babi itu sudah keluar. Konon, jin babi itu berasal dari empang yang berada tidak jauh dari rumahku. Antara percaya dan tidak, kami hanya mengiyakan saja penjelasan Pak Fadli.

 Setelah pengobatan malam itu, memang kondisiku membaik. Tapi aku masih enggan untuk berangkat kerja. Karena itulah pengobatan diulang sampai tiga kali. Sampai akhirnya, ia datang bersama timnya ke rumah. Katanya, ia perlu menggelar ruwatan untuk membersihkan rumah dari pengaruh makhluk ghaib tersebut.

Karena kondisiku masih payah, Mas Hanif mencari ‘orang pintar’ lagi. Atas saran dokter spesialis kandungan dimana aku rutin memeriksakan diri, kami mendatangi klinik seorang dokter di daerah Jakarta yang menggabungkan pengobatan medis dan non medis. Hasil pemeriksaan klinis, alhamdulillah kandunganku dinyatakan sehat. Kemudian aku disuruh terapi di ruang sebelahnya. Di ruang tersebut sudah menunggu lelaki setengah baya yang berbaju hitam. Kami disambut baik. Kemudian diminta menceritakan keluhannya.

Pengobatan yang kali ini berbeda dengan yang sebelumnya. Tapi intinya hampir sama. Pengobatan yang dimaksud menggunakan tenaga jin juga. Pengobatan di tempat ini sempat sampai dua kali. Bahkan kami disarankan untuk pindah rumah. Karena diduga ada sesuatu dengan rumah kami. Karena kondisiku masih tetap payah walaupun telah menjalani pengobatan.

Dengan sangat terpaksa aku mengajukan diri untuk mengambil cuti hamil lebih awal dari waktunya. Semua itu kulakukan demi kebaikan semua pihak. Sebagian tugas kantor kupercayakan kepada Rika. Meski ada beberapa sifatnya yang kurang berkenan, tapi setidaknya, ia bisa menyelesaikan tugas harian.

Aku bersyukur, akhirnya anakku lahir dengan selamat. Dia sehat dan cantik. Dalam hati aku sangat bersyukur kepada Allah. Karena sekali lagi anakku lahir dengan sehat jasmani dan rohani. Padahal selama hamil, benar-benar kondisiku sangat payah.

 

Terbelenggu cinta sesama jenis

Tiga bulan setelah melahirkan aku masuk kantor kembali. Aku bersikap biasa. Bekerja seperti biasa. Tapi beberapa hari kemudian, aku mendengar ghosib yang kurang menyenangkan. Ada isu bahwa aku akan keluar dari kantor. Posisiku akan diisi oleh eksekutif dari kantor pusat.

Jujur, aku kaget dengan berita tersebut. Selama ini, aku tidak punya niat mengundurkan diri dari kantor. Meski apa yang kualami saat hamil begitu menyakitkan, aku tidak menganggapnya sebagai penghalang untuk terus berkarir.

Aku penasaran. Siapa yang menyebarkan isu tersebut. Hingga semua karyawan menganggapnya itu berita benar. Dari sekian orang yang kutanya, ternyata semua berita itu bermuara pada Rika, orang yang kupercaya untuk mengemban amanah selama aku cuti.

Rika hanya tersenyum. Dia tidak membela diri ketika kutanyakan mengapa tega bersikap begitu. Saat itu, aku mulai bertanya apa motif Rika yang sebenarnya. Aku mulai merunut ke belakang. Enam bulan lamanya, aku menderita saat hamil. Dan sekarang, di kantor aku dibuatnya salah tingkah.

Terlebih reinbers kelahiranku molor dari jadwal. Rika yang berkuasa mengeluarkannya. Kalau dia memang berniat baik, mengapa harus ditunda-tunda. Toh, aku juga atasannya langsung. Tapi sudahlah, semua pikiran negatif itu kutepis. Aku tidak mau berburuk sangka.

Suatu ketika, aku menerima kado dari Rika. Katanya, itu kado kelahiran atas anakku yang kedua. Aku sempat heran juga. Mengapa baru sekarang dia memberikannya? Mengapa tidak sedari dulu, waktu anak keduaku lahir dan menyerahkannya di rumah? Ah, biarlah. Kado itu pun kuterima.

Waktu terus berjalan. Tiga bulan sudah aku kembali bekerja. Namun, di bulan yang ketiga itu pula aku merasakan keanehan dalam diriku. Entah mengapa muncul perasaan senang berduaan dengan Rika. Senang melihat wajahnya. Senang mendengar suaranya. Padahal sebelumnya, tidak ada perasaan seperti itu.

Perasaan aneh itu muncul hanya berselang beberapa hari setelah aku menerima satu karyawati kontrak. Karena aku melihat Rika sering keteteran mengerjakan tugasnya. Sementara perkembangan perusahaan terbilang cepat. Aku tidak ingin harus pulang malam setiap hari, karena pekerjaan yang belum terselesaikan.

Tapi di sinilah masalahnya. Kehadiran karyawati baru tersebut merubah sikapku kepada Rika. Gawat. Aku terperangkap dalam perasaan cinta sejenis. Yang lebih parah, hasratku tidak bertepuk sebelah tangan. Nampaknya Rika memahami perubahan sikapku.

Ia mulai mengirim pesan pendek tiap malam. Biasanya antara jam sebelas hingga dua belas. Mulanya, dia hanya kirim SMS yang lucu-lucu. Lama kelamaan tentang kematian. Hingga akhirnya aku menikmati dan menjawab SMSnya. SMS pun terus mengalir. Perasaan suka itu pun semakin terpupuk.

Lama kelamaan, perasaan sayang itu melebihi kasih sayang antara atasan dan bawahan. Bahkan lebih cenderung ke perasaan cinta. Menyadari perkembangan yang negatif itu, aku cerita secara terbuka kepada Mas Hanif. Ia suamiku. Sudah seharusnya ia tahu apa yang terjadi dalam diriku sejak awal.

Kaget juga ia mendengarnya. Selama ini, tidak keanehan dalam diriku, selain saat hamil anak yang kedua. Selebihnya, aku tidak memiliki catatan negatif.  Dalam sujud panjangku, aku sering menangis. Aku tahu perasaan ini tidak wajar. Tapi aku masih belum tahu bagaimana cara menyelesaikannya.

Yang terjadi justru sebaliknya. Perasaan sayang dan cinta kepada Rika semakin menguat. Meski juga sudah ada karyawati baru, tapi aku lebih menikmati suasana berduaan dengan Rika. Karena itulah, aku dan Rika masih sering kerja lembur. Walau sebenarnya pekerjaan kami sudah bisa terselesaikan tanpa harus lembur dengan tambahan karyawati baru.

Seandainya perilaku negatif itu merupakan penyimpangan bawaan, tentu aku tidak akan cerita kepada suamiku. Diam-diam aku akan menikmatinya sendiri. Tapi kenyataannya aku merasa tersiksa.

Mas Hanif sendiri tidak percaya. Secara penampilan, Rika tidaklah cantik. Wajahnya biasa saja. Masih banyak karyawati yang jauh lebih cantik darinya. Tapi sama sekali aku tidak tertarik dengan mereka.

Meski telah berupaya sekuat tenaga untuk mengusir dan menghapus perasaan itu, tapi semua usahaku sia-sia belaka. Aku justru semakin tergila-gila. Akibatnya konflik dalam rumah tangga pun tak lagi terelakkan.

Aku tidak lagi peduli dan perhatian kepada buah hatiku. Ketika hari libur kerjaku hanyalah tidur dan tidur. Sementara dua anakku kuserahkan sepenuhnya kepada pembantu dan suamiku. Buah hatiku yang masih merah itu pun tak kuasa meluluhkan perasaanku. Aku enggan menggendongnya atau sekadar melantunkan nyanyian anak-anak menjelang tidur.

Yang terbayang hanyalah wajah Rika. Perasaan ingin berdekatan dengannya. Sampai terbawa ke alam bawah sadar. Dalam tidur nyenyakku aku sering mengigau dan memanggil nama Rika. Bahkan dengan tegas aku menantang suamiku untuk berpisah. “Kalau kamu tidak mau aku seperti ini. Lebih baik aku hidup sendiri. Aku bisa menghidupi diriku sendiri.” Begitulah aku menantang Mas Hanif.

Aku tidak lagi memikirkan suami dan dua anakku. Yang terbayang dalam pikiran hanyalah Rika. Bahkan sempat terlontar ucapan yang memiriskan hati bila mengingatnya. “Lebih baik bersama dia saja,” kataku suatu saat.

Suatu hari Mas Hanif membeli Majalah Al-Iman di lapak koran. Ia tertarik dengan salah satu judul kesaksiannya. Dari sanalah, kami mengetahui terapi ruqyah untuk mengusir gangguan jin. Karena apa yang kualami dan kurasakan sangat kuat mengindikasikan bahwa diriku terkena gangguan jin. Setidaknya begitulah analisa suamiku.

Mas Hanif menghubungi Ustadz Bambang di 021- 4288 7942 dan membuat janji. Mulailah tetapi demi terapi kami jalani. Pada pertemuan ketiga, dengan ridha Allah aku mendapati perkembangan yang signifikan. Karena saat itu benar-benar nyata bahwa selama ini yang membuatku seperti ini adalah makhluk yang bernama jin. Dalam dialog itu jin mengaku dikirim Rika, orang yang selama ini mengganggu pikiranku.

Wallahu a’lam bishshawab. Allah Yang Maha Tahu. Aku tidak mau berburuk sangka dan menyalahkan orang lain. Tapi itulah yang kurasakan.

Sekarang, kondisiku jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Rasanya seperti baru dilahirkan kembali. Walaupun demikian aku putuskan untuk terus rutin menjalani terapi ruqyah. Aku tidak mau lagi coba-coba berobat ke yang bukan syar’i. Semoga diringankan langkah kami agar lebih baik dan selalu mendapatkan bimbingan dan ridha-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar